Вы находитесь на странице: 1из 5

STEREOTYPE; DARI MANUSIA, PADA MANUSIA

Sarah Qodriyani

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya

Email: sqodriyani@gmail.com

8 Maret merupakan salah satu hari penting dunia, yaitu International


Womens Day atau Hari Perempuan Sedunia. Secara umum jenis kelamin di dunia
hanya ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan jumlah sesedikit itu, tidak
akan mudah bagi seseorang untuk melupakan keberadaan keduanya. Lantas, untuk
apa keberadaan perempuan diperingati? Untuk apa diciptakan Hari Perempuan
Sedunia? Nyatanya, keberadaan perempuan memang selalu diingat, namun kurang
diakui.
Ketidaksetaraan antar jenis kelamin seringkali terjadi tanpa disadari.
Sederhana saja, sebagian pekerjaan seakan telah dimiliki oleh masing-masing
jenis kelamin, yang apabila dilakukan oleh jenis kelamin lainnya dianggap kurang
tepat atau bahkan tabu. Menurut penulis, bukan sekadar sejarah, adat, atau
kepercayaan lama yang membuat ketidaksetaraan tersebut muncul, namun juga
didukung oleh industri. Industri-lah yang pertama kali memunculkan stereotype
pada anak-anak bahwa hanya anak laki-laki yang pantas memainkan figurin tentara
dan bisa menjadi tentara, atau bahwa hanya anak perempuan yang pantas
memainkan mainan alat masak dan bisa memasak. Industri-lah yang pertama kali
memberikan pemahaman pada anak-anak bahwa hanya anak laki-laki yang pantas
memainkan mainan mobil dan bisa menjadi montir mobil, atau bahwa hanya anak
perempuan yang pantas memainkan boneka bayi dan bisa mengurus bayi. Industri-
lah yang pertama kali memisahkan warna berdasarkan jenis kelamin, bahwa warna
biru adalah untuk anak laki-laki dan merah muda adalah untuk anak perempuan.
Untuk mencegah anak-anak menjadi sexist atau memiliki stereotype-
stereotype berdasarkan jenis kelamin, maka anak-anak perlu diajarkan dan
diperlihatkan sebuah kesetaraan sejak dini. Dalam hal ini, tentunya industri mainan
berperan besar dalam mengendalikan pemikiran konsumen, yaitu anak-anak dan
para orang tuanya. Hal tersebut penting untuk dilakukan karena mainan bukan
sekadar sebuah benda mati, namun juga merupakan sarana belajar pertama bagi
anak-anak, yang bukannya tidak mungkin menjadi benda pertama yang memberi
anak-anak inspirasi untuk memiliki sebuah cita-cita. Seperti yang dilakukan oleh
sebuah department store pada tahun 2012 lalu, Harrods, membuka sebuah toko
mainan dengan mainan gender-neutral pertama. Menurut The Mary Sue, pada
akhirnya toko-toko mainan lain seperti Tesco, Sainsburys, Boots, dan Toys R Us
turut mengikuti jejaknya dengan membuang label jenis kelamin pada kemasan-
kemasan mainan yang dijual. Selain mencegah stereotype oleh industri mainan, hal
yang sama perlu dilakukan pada industri fashion untuk tidak menciptakan
stereotype bahwa suatu warna atau gambar pada pakaian dan tas diciptakan untuk
jenis kelamin tertentu.
Penghapusan pengelompokan mainan berdasarkan jenis kelamin tentunya
dapat memperluas pandangan dan cita-cita anak-anak, terutama anak-anak
perempuan. Mainan yang lebih variatif membuat anak-anak perempuan menjadi
percaya bahwa mereka tidak hanya dapat memasak dan mengurus bayi, tapi juga
dapat menjadi seorang tentara, polisi, astronot, atau pemadam kebakaran. Namun,
sayangnya cita-cita anak perempuan yang tinggi tersebut tidak selalu didukung
dengan pendidikan yang tinggi pula. Berdasarkan Indikator Kesejahteraan
Masyarakat Indonesia 2016, perkembangan rata-rata lama perempuan bersekolah
masih berada di bawah rata-rata lama laki-laki bersekolah.
Grafik 1. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun Ke
Atas Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2005-2015

Sumber: Susenas 2005-2015, BPS Indonesia

Salah satu penyebab rendahnya lama perempuan bersekolah adalah


pernikahan dini. Kondisi ekonomi keluarga seringkali dijadikan alasan
dilaksanakannya pernikahan dini, padahal Susenas Tahun 2012 menunjukkan
bahwa pernikahan dini justru berhubungan erat dengan kemiskinan. Hal tersebut,
salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang rendah.
Grafik 2. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20-24 Tahun yang Menikah
Sebelum Usia 18 Tahun Menurut Kondisi Perumahan, Tahun 2012
Sumber: Susenas 2012, BPS Indonesia

Selain kemiskinan, pernikahan dini juga memiliki risiko tinggi bagi


kematian ibu. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih
besar untuk meninggal saat kehamilan maupun proses kehamilan, jika
dibandingkan dengan perempuan usia 20-24 tahun. Risiko tersebut juga berlaku
pada anak yang dilahirkannya, yang memiliki risiko terlahir prematur dengan berat
badan rendah dan kekurangan gizi serta kematian sebelum berumur 1 tahun lebih
besar dibandingkan anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dengan umur yang lebih
matang. Selain itu, pernikahan dini juga memicu kekerasan dalam rumah tangga
karena istri/pengantin pada pernikahan tersebut merasa kurang memiliki status dan
kekuasaan dalam rumah tangganya sendiri akibat umurnya yang masih tergolong
rendah.
Untuk meningkatkan kesadaran akan bahayanya pernikahan dini dan
pentingnya sekolah bagi anak perempuan, pemerintah dan lembaga swadaya
masyarakat perlu untuk melakukan sosialisasi secara berkala, terutama kepada
orang tua dengan anak perempuan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memaparkan
hasil-hasil analisis mengenai hubungan antara pernikahan dini, pendidikan, dengan
keterpurukan anak perempuan di masa mendatang dengan memanfaatkan dokumen
publikasi Badan Pusat Statistik Indonesia seperti katalog Kemajuan yang
Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia dan katalog Potret
Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan. Dalam pelaksanaan sosialisasi, dapat
pula dipaparkan perbandingan antara kondisi rumah tangga orang tua dan anak
perempuan saat itu dengan kondisi lebih baik yang akan diraih anak di masa depan,
jika bersekolah. Hal tersebut dapat membuat orang-orang tua kembali
mempertimbangkan mengenai pentingnya sekolah bagi anak-anak perempuannya.
Setelah bersekolah, anak-anak perempuan yang telah tumbuh menjadi
dewasa perlu bekerja untuk bertahan hidup. Namun bagi perempuan, memiliki
sebuah pendapatan sendiri tidak semudah bagi laki-laki. Sexist yang mulanya
sempat muncul pada stereotype mainan, kali ini kembali hadir pada perbedaan jenis
pekerjaan dan besar pendapatan yang dapat diraih oleh masing-masing jenis
kelamin. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2014-2016, rata-rata
pendapatan perbulan pekerja perempuan selalu di bawah rata-rata pendapatan
perbulan pekerja laki-laki, pada tingkat pendidikan tertinggi apapun itu.
Tabel 1. Rata-Rata Upah/Gaji/Pendapatan Bersih Sebulan (Rupiah) Pekerja*) Menurut
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin (Rupiah), Tahun 2014-2016

* Pekerja adalah Buruh/Karyawan/Pegawai, Pekerja Bebas di pertanian dan Pekerja


Bebas di non-pertanian
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional 2014-2016

Penyebab utama perbedaan rata-rata pendapatan antara perempuan dan


laki-laki sebenarnya bukan karena terdapat perbedaan besar pemberian gaji dengan
tipe pekerjaan yang sama. Hal tersebut justru disebabkan oleh perbedaan
kesempatan yang didapatkan antara perempuan dan laki-laki untuk memilih jenis
pekerjaan yang lebih variatif. Beberapa jenis pekerjaan menolak adanya pekerja
perempuan karena dianggap kurang mampu atau tidak pantas untuk bekerja pada
bidang pekerjaan tertentu. Hal tersebut, sekali lagi, adalah stereotype yang dibentuk
oleh manusia sendiri. Padahal sebenarnya, perempuan sama hebatnya dengan laki-
laki. Justru stereotype semacam itu-lah yang menutup diri para perempuan sehingga
takut untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu untuk menjadi setara, atau bahkan
lebih dari laki-laki.
Untuk mengimbangi stereotype mengenai adanya pekerjaan laki-laki dan
pekerjaan perempuan, maka perusahaan-perusahaan perlu menyiapkan berbagai
posisi yang dikhususkan untuk diisi oleh perempuan. Tentunya hal tersebut
dilakukan tanpa memilih-milih jenis pekerjaan yang lebih mudah, lebih tradisional,
atau lebih pantas untuk dilakukan perempuan. Tersedianya lowongan khusus ini
bertujuan untuk memberdayakan perempuan sehingga banyak pekerja perempuan
pada tiap bidang pekerjaan setara dengan pekerja laki-laki, dan mencegah
munculnya suatu spesialisasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin.
Agar isu kesetaraan perempuan dengan laki-laki lebih tersebar luas di
antara masyarakat, maka hal terakhir dan terpenting yang harus dilakukan adalah
menyediakan lebih banyak porsi bagi perempuan untuk turut andil dalam bidang
politik atau pengambilan keputusan. Hal tersebut bertujuan agar suara perempuan
lebih didengar, sehingga perempuan bisa lebih diakui, bukannya sekadar diingat.

Вам также может понравиться