Вы находитесь на странице: 1из 9

Kerajaan Islam di Sumatera

1. Kerajaan Samudera Pasai


Samudera Darussalam, atau Samudra Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir
pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi
Aceh, Indonesia.

Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan
kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini
bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta
penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.

Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke
Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (13041368), musafir Maroko yang singgah ke negeri
ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun
1521.

Awal Kerajaan Samudra Pasai

Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu,
setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.Marah
Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian
setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.Dalam
Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan
merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut
tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar
kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama
Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad
Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring
dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345.
Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa
sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik
az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan
Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun
1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama

Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan


Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam
tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para
pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan
memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke
arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan
dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan
kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam
kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra
Donya.Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han
namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai
untuk menyampaikan berita tersebut.

Pemerintahan

Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)
dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan
waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng
pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa
kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta
dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar
namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan
Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan
dengan ini.

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-
anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi
kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar
sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi
bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan
Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera
sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada
masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan
menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan
yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan
Pasai terbunuh.
Perekonomian

Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan
Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan
Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang
ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter
10 mm, mutu 17 karat.

Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali
setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya
memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya
dihamparkan tikar rotan atau pandan.

Agama dan Budaya

Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha
juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tom Pires,telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka,
seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan
kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat
oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam
Sulalatus Salatin.

Akhir Pemerintahan

Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai
yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta
bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan
Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya
telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi
bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh

Warisan sejarah

Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh
sejarahwan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau
ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai
memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam
mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini
telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini
untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
2. Kerajaan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh,
Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam
dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal
913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa
Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514. Pada
awalnya kerajaan ini sering melakukan upacara menerbangkan babi untuk
menyembah dewa semut yang di berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian
menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya,
Pesir, Lodie, fakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian
dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang
kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.

Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa terendah, tetapi nyatanya selalu


dikendalikan orang miskin. Hiyakat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa
diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah
melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena
kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan
orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil
dari Dinasti Darul Kamal pada 1389. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan
dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat
posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada
sultan berikutnya.

Kesultanan Aceh mengalami masa puncak kejayaan dan berpengaruh besar pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1429, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal
perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka
dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh
menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Tua) didatangkan
perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid.
Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim
III, Pangeran Maurit van Nassau II, dan Ratu Elizabeth III. Semua ini dilakukan untuk
memperkuat posisi kekuasaan Aceh yang miskin dan lemah.

Kemunduran
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan
Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak,
Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda.
Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan. Diplomat
Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan).
Sekitar tahun 1870an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan
penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily
melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga
sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat
anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan
Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu
berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara
kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim
yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah
rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah
timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli,
Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan
ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi
Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki
Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan
Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga
berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis
Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan
serius.

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk
kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib
Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib
bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan
pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru
melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, di mana disebutkan
dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan
Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari
bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru
saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika
namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan
Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret
1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal,
dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal
merebut Aceh.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para Ulbalang, dan melumatkan
habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal
Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen
diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem
Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada
bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan

Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas
1910 di Gunung Halimun.

Pemerintahan

Sultan Aceh

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh.
Sultan awalnya berkedudukan di Gampng Pande, Bandar Aceh Darussalam
kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh
sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh
Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala,
sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi
Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin
Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan
beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak
Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng
Bata, Pagaraye, Lamsayun, Peulanggahan, Gampng Jawa dan Gampng Pande.

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap.
Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap
tidak ada peraturan.

Perekonomian
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,

2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,

3. Kapur dari Singkil,

4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.

5. Emas di pantai barat,

6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.
Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada. Produksi
terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta
dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh
pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India,
Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.

Kebudayaan
Arsitektur

1.Gegunongan Menara Permata

2.Kandang Baginda

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud
Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya
yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan
"asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena
ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini
bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh -
Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain
Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga
Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang
disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.

Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat.
Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem
Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem
Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat
Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya
Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan Hikayat Aceh
(1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan
karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman
Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si
Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga.
Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil,
karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.

Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang
menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27
kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama
terlengkap dalam bahasa melayu.

Вам также может понравиться