Вы находитесь на странице: 1из 10

Seperti yang telah kita ketahui bersama, konstitusi di Indonesia saat ini

adalah Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi itu sendiri berasal dari bahasa
Perancis constituer yang berarti membentuk. Jadi, term konstitusi dimaksudkan
pembentukan atau menyusun dan menyatukan satu negara. Pengertian konstitusi
dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada UUD. Tapi ada juga yang
menyamakan dengan pengertian konstitusi. Konstitusi itu sendiri dapat berarti
konstitusi tertulis, yaitu konstitusi yang ditulis dalam satu naskah. Dan konstitusi
tidak tertulis, yaitu konstitusi yang tidak tertulis dalam satu naskah tertentu, dan
berasal dari konvensi-konvensi atau undang-undang biasa. Contoh konvensi adalah
pidato kenegaraan presiden setiap tanggal 16 Agustus.

Perubahan konstitusi sering disebut dengan Amandemen (to amend). Dalam


melakukan perubahan konstitusi baik itu penambahan, pengurangan ataupun
penyempurnaan Undang-Undang Dasar tidak dapat dilakukan secara serampangan.
Karena dalam melakukan amandemen mempunyai cara-cara tersendiri yang telah
diatur sedemikian rupa. Di Indonesia, proses perubahan (amandemen), telah
dilakukan dalam empat kali periode, yaitu Amandemen pertama (pada SU MPR
1999 dan disahkan 19 Oktober 1999), Amandemen kedua (pada ST MPR 2000 dan
disahkan 18 Agustus 2000), Amandemen ketiga (pada ST MPR 2001 dan disahkan
10 November 2001) dan Amandemen keempat (pada ST MPR 2002 dan disahkan 10
Agustus 2002).

Tujuan dari perubahan itu sendiri adalah untuk menyempurnakan UUD 1945,
sesuai dengan perkembangan dan dinamika tuntutan masyarakat. Karena,
konstitusi bersifat dinamis, maka ia akan bergantung pada zamannya. Ada kalanya
sebuah konstitusi dianggap sempurna, tapi mungkin pada lain waktu konstitusi itu
tidak dikira sempurna lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat
yang selalu berubah-ubah.

Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945


Kata perubahan dalam Perubahan Konstitusi, asal katanya adalah rubah
dan kata kerjanya adalah mengubah. Menurut Sri Soematri kata mengubah
Konstitusi/Undang-Undang Dasar sama dengan mengamandemenkan
Konstitusi/UUD. Pendapat beliau didasarkan pada arti mengubah Undang-Undang
Dasar dalam bahasa Inggris berarti Constitution amandemen. Jadi, menurut Sri
Soematri, mengubah Undang-Undang Dasar/Konstitusi dapat berarti dua, yaitu
pertama mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam UUD/Konstitusi, dan kedua
menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam UUD/Konstitusi.

Amandemen berarti perubahan atau mengubah (to amend). Tujuannya


untuk memperkuat fungsi dan posisi UUD 1945 dengan mengakomodasikan aspirasi
politik yang berkembang untuk mencapai tujuan negara seperti halnya yang
dirumuskan oleh konstitusi itu sendiri. Cara melakukan amandemen setiap
konstitusi dan praktisi implementasinya memiliki cara tersendiri yang telah diatur.
Dalam UUD 1945, Pasal 37 yang diberi wewenang untuk melakukannya
adalah MPR. Amandemen UUD 1945 tersebut dilakukan pada saat berlangsungnya
Sidang Umum MPR. Amandemen dimaksudkan supaya UUD 1945 disempurnakan
sesuai dengan perkembangan dan dinamika tuntutan masyarakat.

UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia sampai sekarang ini
telah mengalami empat kali amandemen (perubahan) yang terjadi di era
Reformasi. Keempat amandemen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Amandemen pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999 dan disahkan
19 Oktober 1999.

Perubahan I UUD 1945 terdiri dari 9 pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum inti
Perubahan I UUD 1945 menyoroti perihal kekuasaan Presiden (eksekutif).

Dalam perubahan ini terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam


membentuk undang-undang, yang diatur dalam Pasal 5:Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang,berubah menjadi Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-undang
dialihkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 20
yang berbunyai: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang, perubahan pasala ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi
nasional yang semula berada di tangan Prresiden, beralih ke tangan DPR.

2. Amandemen kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2000 dan disahkan
18 Agustus 2000.

Perubahan terdiri dari 5 bab dan 25 pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal
18B, Pasal 19 Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B; Bab IXA: Pasal 25E, Bab X,
Pasal 26, Pasal 27, Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E,
Pasal 28F, asal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal
36A, Pasal 36B, DAN pasal 36C. Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah
Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu
Kebangsaan.

Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada Perubahan dan


kemajuan signifikan adalah dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas
dalam sebuah BAB tersendiri, yakni BAB XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal
28A sampai dengan 28J. Dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia
telah mengalami proses dialektika yang seruis dan panjang yang mengambarkan
komitmen atas upaya penegakan hkum dan HAM.

3. Amandemen ketiga dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2001 dan disahkan
10 November 2001.
Perubahan yang dilakukan terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1,
Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal7A, Pasal 7B, Pasal 7C, pasal 8, Pasal 11, Pasal 17;
Bab VIIIA :Pasal 22C, Pasal 22D; Bab VIIB: Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C,
Bab VIIIA: Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G; Pasal 24, Pasal 24A,Pasal 24B, Pasal 24B,
Pasal 24C. Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah
Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment,
Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman

4. Amandemen keempat dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2002 disahkan 10


Agustus 2002.

Beberapa perubahan terdiri atas 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A,
pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Bab
XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR,
Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang,
bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, perubahan UUD.

Amandemen UUD 1945 telah memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam


UUD 1945. Perbaikan dan perubahan yang dimaksud antara lain:

1. Adanya pembatasan atas kekuasaan presiden di Indonesia;

2. Memperkuat dan menegaskan kembali peran kekuasaan legislatif di Indonesia;

3. Mencantumkan hak asasi manusia Indonesia;

4. Menegaskan kembali hak dan kewajiban negara ataupun warga negara;

5. Otonomi daerah dan hak-hak rakyat di daerah ;

6. Pembaharuan lembaga negara sehingga tidak ada lagi istilah lembaga


tertinggi negara dan lembang tinggi negara.

Amandemen konstitusi dimaksudkan agar negara Indonesia benar-benar


merupakan pemerintahan yang konstitusional (constitutional government).
Pemerintah konstitusional tidak hanya pemerintahan itu berdasarkan pada sebuah
konstitusi, tetapi konstitusi negara itu harus berisi adanya pembatasan kekuasaan
dan jaminan hak-hak warga negara.

Wheare mengatakan perubahan cukup dengan The ordinat legislatif


process, seperti di New Zealand. Sedangkan konstitusi yang tergolong rigrid,
menurut Sri Soematri uang berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka cara
perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu;

2. Oleh rakyat melalui satu referendum;


3. Oleh sejumlah negara bagian khusus untuk negara serikat;

4. Dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh satu lembaga negara yang


khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

Dalam salah satu karangannya Ismail Suny mengemukakan bahwa proses


perubahan konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara karena:

1. Perubahan resmi,

2. Penafiran hakim,

3. Kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.

Tujuan Perubahan Konstitusi


Tujuan perubahan UUD Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk:

1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dam mencapai


tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila;

2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan


kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan
perkembangan paham demokrasi;

3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan Hak


Asasi Manusia agar sesuai demam perkembangan paham hak asasi manusia dalam
peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi satu negara
hukum dicita-citakan oleh UUD 1945;

4. Menyempurnakan auran dasar penyelenggaraan negara secara demokratis


dan modern, antara lain dengan lembaga kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling
mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan
transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru dan
mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman;

5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan


kewajiban negara yang mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan
bangsa, menegakkan etik, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam
perjuangan mewujudkan negara sejahtera;

6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan


negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi,
seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
7. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan
berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan
bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi
kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.

Konstitusi Sebagai Bagian Kehidupan Negara


Demokrasi
Kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari zaman
ke zaman. Dalam sejarah di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan
batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur jalannya
pemerintahan. Konstitusi menjamin alat rakyat untuk konsolidasai kedududkan
hukum dan politik untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-
citanya dalam bentuk negara.

Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi


konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu
membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa. Sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak
warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.

Menurut Carl J. Friedrich, konstisionalisme adalah gagasan bahwa


pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan
atas nama rakyat, dengan pembatasan untuk dapat menjamin kekuasaan yang
diperlukan, tidak disalahgunakan oleh mereka pemerintah.

Robert Dahl dalam On Democracy mengatakan pentingnya merancang


konstitusi yang demokratis karena akan menentukan kelangsungan hidup lembaga-
lembaga Demokrasi. Konstitusi yang demokratis menurut Dahl mengandung
beberapa unsur antara lain, pernyataan hak asasi manusia, hak sosal dan ekonomi.
Bentuk negara kesatuan atau federal, lembaga legislatif dengan satu kamar atau
dua kamar, pengaturan kekuasaan yudikatif, sistem pemerintahan presidensial atau
parlementer, pengaturan mengenai amandemen konstitusi dan referendum, serta
sistem pemilihan.

Demokrasi Konstitusional adalah demokrasi yang dibatasi kekuasaannya


oleh konstitusi. Jadi kekuasaan rakyat yang implementasinya berdasarkan konstitusi
dimana Negara tersebut berasal. Ciri khas demokrasi konstitusional adalah gagasan
bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga
negaranya. Dalam demokrasi konstitusional terdapat suatu konstitusi tertulis,
dimana dari situ akan dengan tegas menjamin hak asasi dari warga Negara.
Kekuasaan dibagi sedimikian rupa hingga penyalahgunaan diperkecil, yaitu dengan
cara menyerahkan kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan
kekuasaan pemerintah dalam tangan satu orang atau satu badan.
IMPLEMENTASI PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai


dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga
negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi
dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji
perkembangannya secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi
yangtidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik
dalam wacana politis maupun akademis.

Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila
telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarahbangsa
Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila
sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu:

(1) Tahap 1945 1968 sebagai tahap politis

(2) Tahap 1969 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan

(3) Tahap 1995 2020 sebagai tahap repositioning Pancasila


Penahapan ini memang tampak berbeda lazimnya para pakar
hukumketatanegaraan melakukan penahapan perkembangan Pancasila Dasar
Negara yaitu:

(1) 1945 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama

(2) 1949 1950 masa konstitusi RIS

(3) 1950 1959 masa UUDS 1950

(4) 1959 1965 masa orde lama

(5) 1966 1998 masa orde baru dan

(6) 1998 sekarang masa reformasi

Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik
dan dari segi hukum. Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki
kekuatanmempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer
seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam
melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan
vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan
Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa
ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap
menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti
globalisasi yang selalu mendikte,krisis ekonomi yang belum terlihat
penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi
sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan
dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebihkon septual,
komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,bangsa dan negara.

Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut Terdeskreditkan sebagai bagian dari
pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah
dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan
segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa lalu
bahwa mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap anti Pancasila. Jadi sulit
untuk dielakkan jika sekarang ini muncul pendeskreditanatas Pancasila. Pancasila
ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk berbicara
Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang
yang berbicara Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu.
Anak muda menampakkan kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan
dengan Pancasila. Salahsatunya ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan
Mahasiswadan Pemuda Indonesia M.Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008 bahwa kaum muda yang
diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa dengan Pancasila. Pernyataan
ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis
tersebut pada 2006 bahwa sebanyak 80 % mahasiswa memilih syariah sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 % responden memilih
aliran sosialis dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan hanya 4,5 %
responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup
berbangsa dan bernegara.

Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk malu-malu
terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai
pernyataan dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata
Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap
pernyataan pejabatnya menyertakan kata kata Pancasila Menarik sekali
pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim Reformasi ini masih
memiliki konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila?. Dinyatakan bahwa Rezim
Reformasi tampaknya ogah dan alergi bicara tentang Pancasila. Mungkin Rezim
Reformasi mempunyai cara sendiri mempraktikkanPancasila. Rezim ini tidak ingin
dinilai melakukan indoktrinasi Pancasila dan tidak ingin menjadi seperti dua rezim
sebelumnya yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi kekuasaan. untuk
melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme Orde Lama dan otoritarianisme Orde
Baru. Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan kembali Pancasila
dan menjadikannya sebagai wacana publik

Beberapa istilah barudi perkenalkan untuk melihat kembali Pancasila. Kuntowijoyo


memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila tidak
sepenuhnya benar. Pernyataan tegas dari negara mengenai Pancasila menurut
penulis dewasa ini adalah dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998
tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman
Penghayatandan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan
Penetapantentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal
1Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara.

Dokumen kenegaraan lainnya adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu
kutipan dari dokumen tersebut menyatakan bahwa dalam rangka Strategi Penataan
Kembali Indonesia,bangsa Indonesia ke depan perlu secara bersama-sama
memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 tidak lagi
diperdebatkan. Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden PresidenSusilo
Bambang Yudhoyono pada salah satu bagian pidatonya yang bertajuk Menata
Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila dalam rangka 61
tahun hari lahir Pancasila meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan
tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena berdasarkan Tap MPR No XVIII
/MPR/1998, telah menetapkan secara prinsip Pancasila sebagai dasar negara.

Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen masyarakat
bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang berbeda
dari orde sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap
menempatkan Pancasila dalam Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era
reformasi ini elemen masyarakat bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun
dalam pemaknaan yang berbeda dari orde sebelumnya Demikian pulanegara atau
rezim yang berkuasa tetap menempatkan Pancasila dalam bangunan negara
Indonesia. Selanjutnya juga keinginan menjalankan Pancasila ini dalam praktek
kehidupan bernegara atau lazim dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila.
Justru dengan demikian memunculkan masalah yang menarik yaitu bagaimana
melaksanakanPancasila itu dalam kehidupan bernegara ini.

Pedoman umum implementasi pancasila dalam kehidupan bernegara pengantar


bangsa indonesia harus bersyukur bahwa setelah melewati perjuangan
kemerdekaan implementasi pancasila di era setelah reformasi. Burung garuda
adalah lambang negara indonesia lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari
pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno Implementasi
Pancasila di Era Setelah reformasi. Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi
terhadap Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian,
merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan
oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun
dalam tataran rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan
mendirikan partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih
baik daripada masa Orde baru. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang
mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan
hukum.

Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap,dan


bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru
menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar suku, antar umat
beragama, antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas
meningkat dan pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan. Kondisi nyata saat ini yang dihadapi
adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi
tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila
sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti
diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari limasila (sikap/
prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan
dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam
etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu
tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.

Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini
adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik
horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di
Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa
antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan
kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan
kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. Orde Reformasi yang
baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat Presiden. Pergantian presiden
sebelum waktunya karena berbagai masalah.

Pada Era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan MegawatiSoekarno Putri, Pancasila


secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya
sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus
demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak
tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi negara yang seharusnya
menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para
negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun
negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan
yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan
dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut.

Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak
dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat
menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya
sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal
dengan subversi asing , yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena
campur tangan secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan formal, Pancasila
tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila pada
masyarakat melemah

Вам также может понравиться