Вы находитесь на странице: 1из 37

Populasi Rentan dan Berisiko Tinggi dalam Kesehatan

Komunitas

Disusun oleh : Kelompok 1 Reguler 2

Mega Wijaya 115070200111002

Prily Priscilia 115070200111004

Siti Aliyah 115070200111006

Anggernani Trias W 115070200111008

Bryan Prasetyo 115070200111014

Any Setyorini 115070200111016

M Junjung Rasa Bakti 115070200111018

Renny Rinovanti 115070200111020

Ana Muhassonah 115070207111028

Teguh Ryan 115070207111024

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

Juni 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada mulanya, epidemiologi diartikan sebagai studi tentang
epidemic. Hal ini berarti bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-
penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan selanjutnya
epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi, sehingga
dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran
penyakit pada manusia di dalam konteks lingkungannya. Epidemiologi
juga mencakup studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian
determinan-determinan penyakit tersebut. (Efendi,2009)
Pada kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari
penyakit-penyakit individu maka epidemiologi ini memusatkan
perhatiannya pada distribusi penyakit dalam populasi (masyarakat) atau
kelompok. Selain dari populasi yang diperhatikan tetapi pendekatan
ekologis, konsep penularan penyakit menjadi hal penting yang harus
diperhatikan dalam epidemiologi. Menurut pendekatan model ini, tingkat
sehat dan sakit individu suatu kelompok ditentukan oleh hubungan
dinamis antara agen, penjamu (host), dan lingkungan (environment). Host
adalah sekolompok orang yang rentan terhadap suatu penyakit atau sakit
tertentu. Faktor host antara lain situasi atau kondisi fisik dan psikososial
dan menyebabkan seseorang beresiko menjadi sakit. Misalnya riwayat
keluarga, usia, gaya hidup dan lainnya. Populasi beresiko adalah
kelompok populasi yang digunakan sebagai penyebut dan harus dibatasi
hanya pada mereka yang dapat terpajan atau mengalami penyakit,
kondisi, cedera, ketidakmampuan, ataupun kematian. Penetaan populasi
semacam ini dapat dilakukan secara langsung. Akan tetapi banyak hal
yang harus diperhatikan sepert aspek yang berkaitan dengan kejadian
penyakit karena hal ini penting untuk menginvestigasi wabah
(Efendi,2009).
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TBC (Depkes RI, 2002). Jumlah prevalensi TBC
di Indonesia pada 2013 adalah 297 per 100.000 penduduk dengan
460.000 kasus baru setiap tahunnya. Artinya totra kasus TB di 2013
mencapai sekitar 800 ribu sampai 900 ribu kasus (RISKESDAS,2013).
Sekumpulan masyarakat yang dimana di lingkungannya memiliki agen
TBC yaitu bakterinya dan di daerahnya telah ada yang menderita TBC
maka populasi itu menjadi populasi rentan. Dari hal diatas maka
diperlukan studi lebih lanjut terkait sasaran dan cara penanganan
sehingga suatu populasi rentan ini dapat dikontrol sehingga memutuskan
rantai penyebaran TBC. Maka dari itu makalah ini disusun untuk
mengumpulkan literature terkait hal-hal diatas.
Sesuai dengan MDGs 2015 Indonesia harus bisa mengontrol
kematian ibu. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada
tahun 2005, bahawa setiap tahunnya wanita yang bersalin meninggal
dunia mencapai lebih dari 500.000 orang. Menurut SDKI tahun 2002/2003
menunjukkan 307 per 100.000 kelahiran hidup. Ini merupakan angka
tertinggi di Asean. Ibu dengan beberapa masalah pada kehamilannya
merupakan anggota kelompok yang beresiko tinggi untuk mengalami
kematian pada saat persalinan. Diperlukan tindakan ekstra untuk
mengontrol angka kematian ibu di Indonesia. Seorang ibu dengan resiko
tinggi maka memrlukan tindakan khusus sehingga mengurangi resiko
terjadinya kematian ibu pada saat melahirkan. Maka dari itu makalah ini
disusun untuk mengumpulkan literature terkait hal-hal diatas.

1.2 Tujuan Umum dan Tujuan Khusus


1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan konsep populasi rentan dan beresiko tinggi
masalah kesehatan sehingga dapat dipahami dengan baik oleh
rekan-rekan mahasiswa keperawatan Universitas Brawijaya.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Menjelaskan dan mengidentifikasi apa yang harus dipahami
dari kelompok rentan termasuk sasaran dan strategi
penanganan yang pada kasus ini adalah TBC.
2. Menjelaskan dan mengidentifikasi apa yang harus dipahami
dari kelompok rentan termasuk sasaran dan strategi
penanganan yang pada kasus ini adalah kelompok wanita
hamil.

BAB II
Teori dan Konsep

2.1 Kelompok rentan


2.1.1 Definisi Keperawatan kesehatan masyarakat
Berbagai definisi mengenai keperawatan kesehatan komunitas
telah dikeluarkan oleh organisasi-organisasi professional. Pada tahun
2004, American Nurses Association (ANA) mendefinisikan keperawatan
kesehatan komunitas sebagai tindakan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan dari populasi dengan mengintegrasikan
keterampilan dan pengetahuan yang sesuai dengan keperawatan
kesehatan masyarakat. Praktik tersebut dilakukan secara komprehensif,
umum (tidak terbatas pada kelompok tertentu), berkelanjutan, dan tidak
terbatas pada perawatan yang bersifat episodic. Definisi keperawatan
kesehatan komunitas, menurut American Public Health Association
(1996), yaitu sintesis dari ilmu kesehatan masyarakat dan teori
keperawatan professional yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan
pada keseluruhan komunitas.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
128/Menkes/SK/II/Tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat, Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkemas) merupakan
pelayanan penunjang yang kegiatannya terintegrasi dalam upaya
kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan. Apabila di
suatu daerah terdapat masalah kesehatan yang spesifik seperti endemis
malaria, Demam Berdarah dan penyakit lainnya yang membutuhkan
intervensi keperawatan kesehatan masyarakat, maka Perkemas menjadi
upaya kesehatan pengembangan.
Sumber lain mengatakan bahwa keperawatan kesehatan
masyarakat (perkesmas) adalah suatu bidang dalam keperawatan
kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan
kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta aktif masyarakat
yang mengutamakan pelayanan positif dan preventif secara
berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif
secara menyeluruh dan terpadu. Pelayanan tersebut ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sebagai suatu kesatuan
yang utuh, melalui proses keperawatan untuk meningkatkan fungsi
kehidupan manusia secara optimal sehingga dapat mandiri dalam upaya
kesehatannya (Depkes, 2006).
Perkesmas merupakan salah satu kegiatan pokok puskesmas yang
sudah ada sejak konsep puskesmas diperkenalkan. Perkesmas sering
disebut dengan Public Health Nursing (PHN) namun saat ini lebih tepat
disebut dengan Community Health Nursing (CHN). Perubahan istilah
Public menjadi Community, terjadi di banyak Negara karena istilah public
sering kali dihubungkan dengan bantuan dana atau subsidi pemerintah
(government subsidy atau public funding). Sementara, perkesmas dapat
dikembangkan tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat
atau swasta, khususnya pada sasaran individu (UKP) sebagai contoh
adalah perawatan kesehatan individu di rumah (home health nursing)
(Depkes, 2006).

2.1.2 Tujuan
Tujuan pelayanan perkesmas adalah meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam mengatasi masalah perkesmas secara optimal.
Pelayanan keperawatan diberikan secara langsung kepada seluruh
masyarakat dalam rentang sehat- sakit dengan mempertimbangkan
seberapa jauh masalah kesehatan masyarakat dapat mempengaruhi
individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat. (Efendi, 2009)
A. Tujuan Umum
Meningkatkan kemandirian masyarakat untuk mengatasi
masalah keehatan khususnya masalah keperawatan kesehatan untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

B. Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat tentang kesehatan.
2. Meningkatkan penemuan dini kasus-kasus prioritas
3. Meningkatnya penanganan keperawatan kasus prioritas di
Puskesmas
4. Meningkatnya penanganan kasus prioritas yang mendapatkan
tindak lanjut keperawatan di rumah
5. Meningkatnya akses keluarga miskin mendapatkan pelayanan
kesehatan/keperawatan kesehatan masyarakat.
6. Meningkatnya pembinaan keperawatn kelompok khusus.
7. Memperluas daerah binaan keperawatan di masyarakat.

2.1.3 Sasaran
Sasaran perkesmas adalah seluruh komponen masyarakat yang
terdiri atas individu, keluarga, dan kelompok berisiko tinggi termasuk
kelompok atau penduduk di daerah kumuh, terisolasi, berkonflik, dan
daerah yang tidak terjangkau oleh pelayanan kesehatan (Efendi, 2009).
Sasaran keperawatan kesehatan masyarakat meliputi kelompok maslaah
kesehatan (vulnerable group) dan kelompok resiko tinggi masalah
kesehatan (high risk group) yang ada baik di kelompok individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat. Antara lain :
A. Sasaran individu
Sasaran individu meliputi balita gizi buruk, ibu hamil resiko tinggi,
usia lanjut, penderita penyakit menuluar (TB, Kusta, Malaria,
Demam Berdarah, Diare, ISPA/Pneumonia), penderita penyakit
degenaratif.
B. Sasaran keluarga
1. Keluarga miskin yang belum kontak dengan sarana pelayanan
kesehatan baik puskesmas dan jaringannya derta belum
memiliki kartu sehat
2. Keluarga miskin yang sudah memanfaatkan saranan pelayanan
kesehatan mempunyai masalah kesehatan terkait dengan
pertumbuhan dan perkembangan balita, kesehatan reproduksi,
penyakit menular.
3. Keluarga tidak termasuk miskin yang mempunyai masalah
kesehatan priorotas serta belum memanfaatkan sarana
pelayanan kesehatan
C. Sasaran kelompok
1. Kelompok masyarakat khusus tidak terkait dalam suatu institusi
antara lain : Posyandu, Kelompok Balita, Kelompok ibu hamil,
kelompok usia lanjut, kelompok penderita penyakit tertentu,
kelompok pekerja informal.
2. Kelompok masyarakat khusus terkait dalam suatu institusi
antara lain sekolah, pesantren, panti asuhan, panti usia lanjut,
rumah tahanan, lembaga permasyarakatan.
D. Sasaran masyarakat
1. Masyarakat di suatu wilayah (RT, RW, Kelurahan/Desa) yang
mempunyai:
- Jumlah bayi meninggal lebih tinggi di bandingkan dengan
darah lainnya
- Jumlah penderita penyakit tertentu lebih tinggi dibandingkan
daerah lainnya
- Cakupan pelayanan kesehatan lebih rendah dari daerah lain
2. Masyarakat di daerah endemis penyakut menular (malaria,
diare, demam berdarah dll)
3. Masyarakat do lokasi/barak pengungsian, akibat bencana atau
akibat lainnya
4. Masyarakat di daerah dengan kondisi geografi sulit antara lain
derah terpencil, daerha perbatasan.
5. Masyarakat di daerah permukiman baru dengan transportasi
sulit seperti daerah transmigrasi.
2.1.4 Konsep rentan
Kerentanan adalah keadaan atau sikap (perilaku) manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya
atau ancaman dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan,
mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu.
Kerentanan ini mecakup :
1. Kerentanan fisik : kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam
menghadapi ancaman bahaya tertentu
2. Kerentanan ekonomi : kemampuan ekonomi individu dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencegahan dan mitidasi serta
penanggulangan bencana. Pada umumnya masyarakat miskin
lebih rentan terhadapa bencana karena tidak memiliki kemampuan
finansial yang memadai untuk melakukan pencegahan.
3. Kerentanan social : kodisi social masyarakat dilihat dari
aspekpendidikan, pengetahuan tentang ancaman dan resiko
bencana, dan tingkat kesehatan yang rendah yang berpotensi
meningkatkan kerentanan.
4. Kerentanan lingkungan : keadaan lingkungan disekitar tempat
tinggal.

Kelompok-kelompok rentan meliputi:


Anak-anak
Perempuan
IDPs (Internally Displace Persons) dan pengungsi
Kelompok Minoritas

Anak-anak masuk ke dalam kategori rentan karena:


Fisik yang masih lemah
Psikis yang masih labil
Pengetahuan yang masih terbatas
Pengalaman hidup yang kurang

Faktor yang mempengaruhi kelompok rentan :


Budaya,
ekonomi,
pendidikan,
lingkungan,
usia

Dampak kelompok rentan :


menurunnya status kesehatan,
membuat stress,
keluarga tersebut menjadi putus asa,
bertambahnya penyakit kronis,
kurangnya komunikasi social dengan lingkungan,

Faktor penyebab :
perceraian,
keterbatasan mental,
lingkungan kumuh,
kebutuhan makan tidak terpenuhi,
penghasilan tidak tetap,
tidak mengerti kesehatan,
usia,
penyalahgunaan obat,
kehamilan

Tidak hanya individu namun keluarga juga dapat menjadi


kelompk rentan. Vulnerable Family Keluarga yang berkemungkinan
besar mengembangkan masalah kesehatan sebagai hasil dari paparan
resiko atau memiliki outcome yang buruk dari masalah kesehatan
tersebut daripada populasi lainnya. Vulnerable group sering mengalami
akumulasi faktor resiko yang membuat mereka lebih sensitif pada efek
yang merugikan dari faktor resiko individual yang dimana individu lain
mungkin dapat teratasi.

Prioritas vulnerable family :


Keluarga yang belum terjangkau pelayanan kesehatan, yaitu
keluarga dengan:
Ibu hamil tertentu yang belum ANC
Ibu nifas yang persalinannya ditolong oleh dukun
Balita tertentu
Penyakit kronis menular yang tidak bisa diintervensi oleh
program
Penyakit endemis
Penyakit kronis tidak menular
Kecacatan tertentu (mental ataupun fisik)

Selain itu kelompok lain yang dikategorikan kelompok


rentan antara lain:
Kelompok yang rawan dan rentan terhadap masalah
keperawatan
Terikat dalam institusi, misal :
- Panti
- Rutan/lapas
- Pondok pesantren
- Lokalisasi/WTS
Tidak terikat dalam institusi, misal :
- Karang wredha
- Karang balita
- KPKIA
- Kelompok pekerja informal
- Perkumpulan penyandang penyakit tertentu (jantung,
asma, DM, dll)
- Kelompok remaja

Penanggulangan kelompok rentan :


Pembinaan ( konseling, kemitraan )
Promosi kesehatan
Dapus :
Efendi, ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
2.1.5 Konsep TB
A. Definisi TBC
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian
besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kuman
tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia mellaui udara
pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas
(bronkus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur baik di paru
maupun luar paru (Depkes, 1999)
Indonesia merupakan negara dengan peringkat kelima
beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus
adalah sebesar 660.000 dan estimasi insiden berjumlah 430.000
kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61.000 kematian tiap tahunnya. Selain itu Indonesia merupakan
negara dengan percepatan peningkatan epidemic HIV yang
tertinggi di antara negara-negara Asia. HIV dinyatakan sebagai
epidemic terkosentrasi. Secara nasional, angka estimasi prevalensi
HIV yang mengidap TB adalah 2.8%. Sehingga perlu perhatian
terhadap kelompok yang rentan terkena TB, untuk mencegah
kematian akibat TB. Kelompok yang rentan terhadap TB adalah
anak, pengidap HIV/AIDS penduduk yang ada di daerah
pemukiman kumuh perkotaan, wanita, keluarga yang tinggal satu
rumah dengan penderita TB, masyarakat miskin dan tidak tercakup
asuransi. Kelompok inilah yang menjadi prioritas utama dalam
pemberian layanan TB.

Kelompok Rentan TB Paru


Kelompok TB paru tergolong rentan karena seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, yang tergolong kelompok rentan
adalah kelompok yang dapat terkena penyakit menular, tidak
terjangkau layanan kesehatan, dan berada di lingkungan kotor.

B. Faktor Resiko
1. Umur
Sebagian besar penderita TB paru di negara berkembang berumur
di bawah 50 tahun, sedangkan di negara maju prevalensi TB
sangat rendah pada kelompok umur di bawah 50 tahun tetapi
masih tinggi pada kelompok yang lebih tua.
2. Jenis Kelamin
Wanita dalam usia reproduksi lebih rentan terhadap TBC dan lebih
mungkin terjangkit TBC dibandingkan kelompok laki-laki pada usia
yang sama. Bahkan di beberapa bagian dunia, stigma atau rasa
malu akibat TBC menyebabkan terjadinya isolasi, pengucilan dan
perceraian bagi kaum wanita.
3. Status Gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menentukan fungsi
seluruh sistem tubuh termasuk sistem imunitas. Sistem imunitas
dibutuhkan untuk melindungi tubuh dari penyakit, termasuk TBC.
Bila seseorang sedang dalam daya tahan tubuh yang rendah dan
terinfeksi kuman TB, maka kuman TB akan mudah masuk dan
berkumpul di paru-paru, berkembang biak, dan menyebar ke
seluruh tubuh. Bila daya tahan tubuh dalam keadaan baik, penyakit
TB tidak akan terjadi karena kuman TB akan tertidur, dan ketika
daya tahan tubuh rendah maka kuman tersebut dapat aktif kembali.
4. Lingkungan
TB paru merupakan penyakit berbasis lingkungan yang ditularkan
melalui udara. Keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran TBC salah satunya dapat berawal dari lingkungan
keluarga. Tempat tinggal identik dengan lingkungan keluarga
meliputi: sumber air, pembuangan kotoran manusia, bangunan
yang meliputi ventilasi, jenis bahan bangunan, luas per penghuni,
kandang ternak, pembuangan limbah atau sampah rumah tangga.
5. Keteraturan minum obat dan peran Pengawas Minum Obat
Keteraturan minum obat prinsipnya adalah sebuah perilaku peran
sakit dengan segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu
yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan melalui usaha keteraturan sesorang berobat atau
memenuhi aturan yang dibuat oleh dokternya untuk mempercepat
kesembuhannya. Sedangkan pengawas minum obat adalah orang
yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan antara petugas kesehatan
dengan penderita itu sendiri, yaitu dapat saja petugas puskesmas
yang berada dalam lingkungan desa/wilayah penderita itu sendiri
terutama bila petugas puskesmas telah mempunyai wilayah binaan
masing-masing. Selain itu dpat pula tokoh masyarakat yang
disegani. Bila seseorang penderita TB teratur dalam minum obat
dan peran PMO aktif maka kesembuhan dapat segera tercapai dan
angka kekambuhan juga akan menurun.
6. Kondisi Sosial Ekonomi
Menurut WHO, sebagian besar penderita TB berasal dari kondisi
sosial ekonomi rendah, terutama di wilayah negara berkembang.
Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan tempat tinggal dan
status gizi individu. (Ikatan Dokter Indonesia. 2004).
2.1.5 Tuberkulosis Paru (TBC) Di Masyarakat Dan Strategi
Penangganannya
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TBC (Depkes RI, 2002). Definisi lain
menyebutkan bahwa Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi
menahun yang menular yang disebabkan oleh mybacterium tuberculosis
(Depkes RI, 1998). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara (pernapasan) ke dalam paru. Kemudian kuman
tersebut menyebar dari paru ke organ tubuh yang lain melaui peredaran
darah, kelenjar limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke organ
tubuh lain (Depkes RI, 2002).
Tuberkulosis dibedakan menjadi dua yaitu tuberkulosis primer dan
tuberkulosis post primer. Pada tuberkulosis primer penularan tuberkulosis
paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi
droplet nuclei dalam udara. Dalam suasana gelap dan lembab kuman
dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel ini
terhisap oleh orang yang sehat maka akan menempel pada jalan nafas
atau paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag yang keluar dari cabang trakheo-bronkhial beserta gerakan silia
dengan sekretnya (Soeparman, 1990; Snieltzer, 2000).
Kuman juga dapat masuk melalui luka pada kulit atau mukosa
tetapi jarang sekali terjadi. Bila kuman menetap di jaringan paru, akan
tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman
terbawa masuk ke organ lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
akan membentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang
primer atau efek efek primer. Sarang primer ini dapat terjadi di bagian-
bagian jaringan paru. Dari sarang primer ini akan timbul peradangan
saluran getah bening hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran
kelenjar getah bening hilus (limfadenitis hilus). Sarang primer, limfangitis
local, limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer (Soeparman,
1990; Snieltzer, 2000).
Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi sembuh dengan
meninggalkan cacat atau sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas
berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang)
Ghon, ataupun bisa berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum,
yakni menyebar ke sekitarnya, secara bronkhogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Dapat juga kuman tertelan
bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, secara limfogen,
secara hematogen, ke organ lainnya (Soeparman, 1990; Snieltzer, 2000).
Gejala-gejala klinis yang muncul pada klien TBC paru adalah
sebagai berikut : demam yang terjadi biasanya menyerupai demam pada
influenza, terkadang sampai 40-41 0 C. Batuk terjadi karena iritasi
bronchus, sifat batuk dimulai dari batuk non produktif kemudian setelah
timbul peradangan menjadi batuk produktif. Keadaan lanjut dapat terjadi
hemoptoe karena pecahnya pembuluh darah. Ini terjadi karena kavitas,
tapi dapat juga terjadi ulkus dinding bronchus. Sesak nafas terjadi pada
kondisi lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru. Nyeri dada
timbul bila sudah terjadi infiltrasi ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis. Malaise dengan gejala yang dapat ditemukan adalah anorexia,
berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari
(Soeparman, 1990; Heitkemper, 2000).
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, foto thoraks dan laboratorium. Di Indonesia
sebagai standar untuk penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah
pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis sangat cocok dengan
kondisi Puskesmas dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis paru
(Depkes RI, 2002). Oleh karena itu untuk deteksi kuman TBC digunakan
pemeriksaan mikroskopis dalam menetapkan diagnosis dan pengobatan.
Pengobatan Tuberkulosis Paru mempunyai tujuan :
1. Menyembuhkan klien dengan gangguan seminimal mungkin
2. Mencegah kematian klien yang sakit sangat berat
3. Mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang
terkait
4. Mencegah kambuhnya penyakit
5. Mencegah kuman TBC menjadi resisten
6. Melindungi keluarga dan masyarakat terhadap infeksi
(Crofton, Norman & Miller, 2002).
Sistem pengobatan klien tuberkulosis paru dahulu, seorang klien
harus disuntik dalam waktu 1-2 tahun. Akibatnya klien menjadi tidak sabar
dan bosan untuk berobat. Sistem pengobatan sekarang, seorang klien
diwajibkan minum obat selama 6 bulan. Jenis obat yang harus diminum
harus disesuaikan dengan kategori pengobatan yang diberikan (Depkes
RI, 1997).
Terapi obat yang dilakukan sekarang dengan terapi jangka pendek
selama enam bulan dengan jenis obat INH atau Isoniasid (H), Rifampicin
(R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (Soeparman, 1990).
Paduan obat anti tuberkulosis tabel 1 adalah paduan yang digunakan
dalam program nasional penanggulangan tuberkulosis dan dikemas dalam
bentuk paket kombipak (Depkes RI, 2002). Paduan pengobatan terbaru
dengan menggunakan FDCs (Fix Dose Combinations) yaitu kombinasi
dari obat anti tuberkulosis dalam satu kemasan (WHO, 2002).

2.1.6 Kategori Pengobatan Klien TBC Paru


Paduan Obat
Kategor Tahap Tahap Untuk Klien Tuberkulosis
i Intensif Lanjutan
I 2HRZE 4H3R3 v TBC Paru baru BTA (+)
v TBC Paru BTA (-) Ro (+)
dengan kerusakan
jaringan paru yang luas
v TBC ekstra paru sakit
berat
II 2HRZES 5H3R3E3 v TBC paru BTA (+),
atau kambuh
1HRZE v TBC paru BTA (+), gagal
v TBC paru BTA (+),
pengobatan ulang
karena lalai berobat
III 2HRZ 4H3R3 v TBC paru BTA (-) Ro (+)
v TBC ekstra paru
Keterangan :
H : INH; R : Rifampicin; E : Etambutol; Z : Pirasinamid; S : Streptomisin
(Depkes, RI, 2002)
Angka yang berada di depan menunjukkan lamanya minum obat
dalam bulan, sedangkan angka di belakang huruf menunjukkan berapa
kali dalam seminggu obat tersebut diminum. Sebagai contoh 2HRZ artinya
INH, Rifampicin dan Pirasinamid diminum dalam jangka waktu 2 bulan
dan minumnya setiap hari. 4H3R3 artinya INH, Rifampicin diminum
selama 4 bulan dan diminum 3 kali dalam seminggu (Depkes RI, 2002).
Efek samping yang ditimbulkan dari obat-obat tersebut adalah : INH
: Hepatotoksik. Rifampicin dapat terjadi sindrom flu dan hepatotoksik.
Pada Streptomisin dapat mengakibatkan nefrotoksik, gangguan nervus
VIII cranial. Pirazinamid dapat mengakibatkan hepatotoksik dan
hiperurisemia. Etambutol dapat mengakibatkan neurosis optika,
nefrotoksik, skin rash atau dermatitis. Efek samping dari obat anti
tuberkulosis yang tersering terjadi pada klien adalah pusing, mual,
muntah-muntah, gatal-gatal, mata kabur dan nyeri otot atau tulang
(Depkes RI, 2002). Agar pengobatan berhasil, efek samping dapat
terdeteksi secara dini dan dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
terdekat, maka diperlukan pengawas minum obat karena ketidakteraturan
minum obat dapat menyebabkan resistensi terhadap obat.
Upaya untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi tuberkulosis
paru dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya 2 macam obat
yang bakterisid. Dengan memakai obat ini, kemungkinan resistensi awal
dapat diabaikan karena jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam
obat atau lebih, dan pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH
(Soeparman, 1990; Depkes RI, 2011). Peran perawat komunitas untuk
menghindari terjadinya resistensi obat adalah dengan selalu memantau
pengobatan dengan kunjungan rumah dan memberikan penyuluhan akibat
ketidakteraturan minum obat.

2.1.7 Teori Dan Model Yang Mendasari Praktik Keperawatan


Komunitas Pada Tuberculosis Paru
Peran perawat dalam penanggulangan penyakit menular
khususnya penyakit Tuberkulosis dengan menerapkan asuhan
keperawatan menggunakan model keperawatan. Model Community As
Partner merupakan salah satu model yang dapat diterapkan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada populasi dengan tuberkulosis.
Model ini diterapkan karena menyediakan struktur intervensi keperawatan
yang komprehensif, memberikan wawasan profesi lain dalam memberikan
pelayanan yang lebih menyeluruh.
Kaitan keperawatan komunitas dengan teori dan model Community As
Partner dengan Health Believe Model pada penanggulangan TBC :
Model community as partner dari Anderson & McFarlane (2000)
merupakan pengembangan dari model Neuman, dengan fokus komunitas
sebagai partner dan proses keperawatan sebagai pendekatan. Neuman
memandang klien sebagai sistem terbuka dimana klien dan lingkungannya
berada dalam interaksi yang dinamis.
Sistem klien dapat individu, keluarga atau kelompok dan
komunitas. Klien dikatakan dalam keadaan sehat jika mereka mampu
mempertahankan keseimbangan yang dinamis. Neuman mengungkapkan
bahwa untuk melindungi klien dari berbagai stressor yang dapat
mengganggu keseimbangan , maka klien memiliki tiga garis pertahanan,
yaitu; garis fleksibel (flexible line of defense), garis pertahanan normal
(normal line of defense), dan garis resisten (resistance defense).
Selanjutnya aplikasi proses keperawatan model community as partner
dijeaskan secara berturut-turut.
Pengkajian terdiri dari dua bagian utama yaitu inti komunitas (core)
dan delapan sub sistem yang melingkupinya. Inti komunitas menjelaskan
kondisi penduduk yang dijabarkan dalam demografi, nilai dan
kepercayaan, serta riwayat komunitas, sedangkan delapan subsistem
meliputi lingkungan fisik, pendidikan, keamanan dan transportasi, politik
dan pemerintah, pelayanan kesehatan dan sosial, komunikasi, ekonomi,
dan rekreasi. Komponen lingkungan fisik yang dikaji meliputi; luas daerah,
denah atau peta wilayah, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk.
Lingkungan fisik juga dapat dikaji melalui wienshield survey.
Data yang dikaji dari subsistem pelayanan kesehatan dan sosial
meliputi fasilitas di dalam komunitas dan di luar komunitas. Pelayanan
kesehatan meliputi; jenis pelayanan, sumber daya, karakteristik pemakai,
statistik, bayaran, jam pelayanan, keadekuatan, ketercapaian, diterima
atau tidak oleh komunitas. Pelayanan social dapat meliputi; pelayanan
konseling, panti wredha bagi lansia, pusat belanja, dan lain-lain yang
merupakan sistem pendukung bagi komunitas dalam menyelesaikan
masalah kesehatan. Pengkajian pelayanan kesehatan dan sosial juga
meliputi kebijakan dari pemerintah setempat terhadap kedua pelayanan
tersebut.
Pada subsistem ekonomi dikaji pendapatan penduduk, jumlah
penduduk miskin, adakah industri, took/pusat perbelanjaan dan tempat
komunitas bekerja. Komponen ini mengarahkan pada kemudahan
komunitas memperoleh bahan makanan, dan lain sebagainya. Komponen
politik dan pemerintahan dikaji tentang; situasi politik dan pemerintahan di
komunitas, peraturan dan kebijakan pemerintah daerah terhadap
komunitas, adakah program kesehatan yang ditujukan kepada
peningkatan kesehatan komunitas.
Keterkaitan model Health Belief Model dengan model Comunity As
partner adalah pada pengkajian terhadap keputusan populasi untuk mulai
bertindak menghindari TBC dengan melihat motivasi yang mendorong
meliputi :
a. Kepekaan yang dirasakan terhadap penyakit
bagaimana kemampuan populasi dalam bertindak untuk mengobati
atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan
terhadap penyakit TBC Dengan perkataan lain, suatu tindakan
pencegahan terhadap penyakit TBC akan timbul bila masyarakat telah
merasakan bahwa individu atau keluarganya rentan terhadap penyakit
TBC.
b. Keparahan penyakit yang dirasakan
Tindakan populasi dalam mencari pengobatan dan pencegahan
penyakit TBC akan didorong oleh keseriusan penyakit TBC terhadap
individu atau masyarakat.
c. Manfaat-manfaat yang dirasakan untuk mentaati tindakan-tindakan
yang diusulkan
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang
dianggap serius, ia akan melakukan tindakan tertentu. Tindakan ini
tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan
yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya
manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang
mungkin ditemukan didalam melakukan tindakan tersebut. Persepsi
terhadap penghalang atau rintangan untuk mengambil tindakan,
termasuk, ketakutan, nyeri, biaya, keadaan yang memalukan, dan
tidak menyenangkan.
Faktor faktor yang lebih lanjut dimodifikasi dalam HBM dan
Comunity As partner adalah; Faktor-faktor demografis seperti usia, seks,
ras, dan etnis, Sociopsychological faktor seperti kelas sosial, panutan,
tekanan, dan sikap-sikap terhadap personil pelayanan kesehatan dan
Faktor-faktor struktural seperti pengalaman pribadi dengan penyakit dan
pengetahuan tentang penyakit
Isyarat tindakan dapat juga memodifikasi perilaku, ini bisa internal,
seperti mengidentifikasi gejala-gejala dari penyakit. Untuk mendapatkan
tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan
keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa factor-
faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, misalnya pesan-pesan media
massa, nasihat atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain, dan
sebagainya.Pengkajian subsistem komunikasi diarahkan pada bagaimana
biasanya komunitas memperoleh informasi tentang kesehatan, adakah
perkumpulan atau wadah bagi komunitas sebagai sarana untuk
mendapatkan informasi, dari siapa komunitas memperoleh banyak
informasi tentang kesehatan dan adakah sarana komunikasi formal dan
informal. Komponen pendidikan meliputi; fasilitas pendidikan yang ada di
komunitas, jenis pendidikan, tingkat pendidikan, komunitas yang buta
huruf. Untuk subsistem rekreasi diarahkan pada kebiasaan komunitas
berekreasi, aktifitas di luar rumah termasuk dalam mengisi waktu luang
dan jenis rekreasi di wilayah yang dapat dijadikan oleh komunitas.
Setelah dilakukan pengkajian, selanjutnya data dianalisis untuk
dapat merumuskan diagnosis keperawatan. Diagnosis dirumuskan terkait
garis pertahanan yang terancam. Ancaman terhadap garis pertahanan
fleksibel akan memunculkan diagnosis potensial, terhadap garis normal
akan muncul diagnosis risiko dan terhadap garis pertahanan resisten akan
muncul diagnosis aktual. Tahap berikutnya setelah merumuskan diagnosis
keperawatan komunitas adalah menyususn perencanaan. Perencanaan
diawali dengan merumuskan tujuan yang ingin dicapai serta rencana
tindakan untuk mengatasi masalah yang ada. Tujuan dirumuskan untuk
mengatasi atau meminimalkan stressor dan intervensi dirancang
berdasarkan tiga tingkat pencegahan. Pencegahan primer untuk
meperkuat garis pertahanan fleksibel, pencegahan sekunder untuk
memperkuat garis pertahanan sekunder dan pencegahan tertier untuk
memperkuat garis pertahanan resisten (Anderson & Mc Farlane, 2000)
Langkah selanjunya setelah perencanaan adalah impelementasi.
Implementasi keperawatan dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan
komunitas dengan menggunakan strategi; proses kelompok, pendidikan
kesehatan, kerjasama (partnership) dan pemberdayaan masyarakat
(empowerment). Melalui proses kelompok perawat melakukan
implementasi dengan memperhatikan peraturan, keterpaduan,
kepemimpinan dan kekuatan dalam kelompok tersebut. Sedangkan
pendidikan kesehatan merupakan aktivitas yang langsung bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan dan aktualisasi komunitas melalui perubahan
pengetahuan, sikap dan keterampilan. Partnership atau kerjasama,
perawat menjalin hubungan yang baik dan mutual dengan klien dan pihak-
pihak terkait lainnya. Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini perawat
komunitas menjadikan klien sebagai subyek dalam memberikan asuhan
keperawatan, perawat menggali dan meningkatkan potensi komunitas
untuk dapat mandiri dalam memeliharan kesehatannya.
Pemberdayaan adalah suatu proses pemberian daya atau
kemampuan dari pihak yang mempunyai kemampuan kepada pihak yang
belum berdaya atau kurang berdaya (Sulistiyani, 2004). Pemberdayaan
mempunyai tujuan agar mempunyai kemampuan dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian dalam berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang
dilakukan individu, keluarga, kelompok dan kumunitas (Watkins, Edwards
& Gastrell, 2003; Sulistiyani, 2004).
Pemberdayaan pada komunitas dapat dilakukan dalam dua tingkat.
Pada tingkat pertama, individu yang merupakan bagian dari suatu
komunitas berupaya untuk meningkatkan dukungan sosial. Tingkat kedua,
pemberdayaan yang dilakukan pada tatanan komunitas, sehingga
membuat komunitas menjadi lebih mampu bekerja efektif selama
perubahan yang dilakukan dan memberikan solusi penyelesaian pada
masalah-masalah yang berkontribusi terhadap peran sehat-sakit (Helvie,
1998).
Melihat dari uraian model diatas maka masalah keperawatan
komunitas yang bisa muncul pada asuhan keperawatan komunitas pada
populasi dengan masalah TBC adalah : Resiko tinggi terjadi penularan
TBC pada anggota masyarakat, Resiko tinggi terjadi kegagalan
pengobatan (drop out), dan resiko tinggi terjadi gangguan nutrisi.

2.1.8 Family Centre Nursing dengan Masalah TBC


Keperawatan kesehatan keluarga adalah keperawatan kesehatan
masyarakat yang dipusatkan pada keluarga sebagai unit atau satu
kesatuan yang dirawat dengan tujuan keluarga sehat melalui asuhan
keperawatan. Kemitraan dan pemberdayaan masyarakat serta
pemberdayaan keluarga merupakan hal penting dalam meningkatkan
perilaku hidup sehat anggota keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil
di dalam masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap derajat
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu bila keluarga berperilaku hidup
sehat tentu akan terwujud masyarakat atau komunitas sehat dan
sebaliknya (Friedman, 1998).
Friedman (1998) mengemukakan bahwa asuhan keperawatan
keluarga berfokus pada keluarga sebagai klien. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa keluarga dipandang sebagai sistem yang berinteraksi satu sama
lain, berfokus pada dinamika hubungan internal keluarga, struktur dan
fungsi keluarga dan adanya hubungan saling ketergantungan antara
subsistem keluarga secara keseluruhan serta keluarga dengan
lingkungannya. Karena keluarga sebagai system, maka bila salah satu
anggota keluarga mengalami suatu masalah akan mempengaruhi anggota
keluarga yang lain serta stabilitas dalam keluarga tersebut. Dengan
asuhan keperawatan keluarga diharapkan keluarga akan sehat sehingga
pada akhirnya berpengaruh pada status kesehatan pada komunitas
karena keluarga merupakan subsitem dari suatu komunitas.
Terwujudnya keluarga sehat dan masyarakat yang sehat, akan
mempercepat cita-cita terwujudnya Indonesia Sehat 2010. Secara
konseptual pada hakekatnya Indonesia Sehat 2010 ini akan dapat dicapai
apabila seluruh masyarakat Indonesia sadar atau tahu, mau, dan mampu
untuk berperilaku hidup sehat. Sedangkan perilaku sehat adalah perilaku
proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko
terjadinya penyakit, dan melindungi diri dari ancaman penyakit. Dengan
demikian mutlak perlu dilaksanakan asuhan keperawatan keluarga dalam
konteks praktik keperawatan profesional.
Tujuan keperawatan keluarga adalah sebagai upaya untuk
meningkatkan status kesehatan keluarga secara menyeluruh
(komprehensif) beserta anggota keluarganya melalui pemberdayaan
sumber-sumber atau potensi yang ada dalam keluarga (Friedman, 1998).
Sumber-sumber tersebut meliputi penggunaan kekuatan-kekuatan yang
ada termasuk sumber perawatan diri, sistem pendukung dalam keluarga ,
sumber-sumber bantuan fisik serta sumber-sumber yang ada di
komunitas.
Asuhan keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian kegiatan
yang diberikan melalui praktik keperawatan kepada keluarga, untuk
membantu menyelesaikan masalah kesehatan keluarga tersebut dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan (pengkajian, perumusan
diagnosis keperawatan, penyusunan rencana keperawatan, implementasi
dan evaluasi ).
Area pengkajian keluarga menurut Friedman (1998) meliputi
identifikasi data sosiokultural, lingkungan, struktur keluarga, fungsi
keluarga, stress dan strategi koping keluarga. Sedangkan pengkajian
terhadap anggota keluarga secara individual meliputi pemeriksaan fisik,
mental, emosional, sosial, budaya dan spiritual. Metode pengkajian yang
digunakan baik melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik
secara cermat dan teliti dengan melibatkan klien.
Diagnosis keperawatan keluarga merupakan eksistensi dari
diagnosis keperawatan pada sistem keluarga dan subsistemnya.
Diagnosis keperawatan dapat dikembangkan dari teori keperawatan atau
mempergunakan diagnosis yang dikembangkan dari North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) yang didasarkan dari kesimpulan
hasil pengkajian keperawatan.
Berdasarkan diagnosis yang telah ditegakkan, perawat menyusun
perencanaan intervensi keperawatan guna menyelesaikan masalah
tersebut. Perencanaan disusun bersama keluarga dengan melibatkan
seluruh anggota keluarga dalam unit pelayanan. Perencanaan diarahkan
pada penyelesaian masalah dimana keluarga akan memilih jenis
intervensi keperawatan yang diyakini akan menyelesaikan masalahnya
dan akan diterima, didukung dan dipelihara. Peran keluarga akan sangat
dibutuhkan bila keluarga tidak mampu membuat pilihan. Perencanaan
asuhan keperawatan keluarga diharapkan mampu mendorong kearah
kemandirian keluarga. Perencanaan keperawatan meliputi penetapan
tujuan , rencana tindakan dan rencana evaluasi.
Setelah ditetapkan rencana keperawatan, langkah selanjutnya
adalah implementasi keperawatan. Implementasi merupakan pelaksanaan
rencana tindakan keperawatan, yang difokuskan pada 5 (lima) tugas
kesehatan keluarga. Implementasi keperawatan melibatkan seluruh
anggota keluarga yang ada dan selama implementasi perawat perlu
memperhatikan respon verbal dan non verbal keluarga. Beberapa
hambatan dalam implementasi keperawatan adalah keluarga menolak,
merasa bukan masalah yang harus segera ditangani, sumber daya yang
terbatas dan faktor budaya yang sangat berperan.
Setelah implementasi dilaksanakan, langkah selanjutnya
melakukan evaluasi sesuai dengan tujuan khusus yang telah dirumuskan.
Evaluasi ini didasarkan pada efektifnya intervensi keperawatan yang
berpatokan pada hasil yang telah dicapai oleh keluarga dan anggota
keluarga. Hasil evaluasi merupakan bentuk tingkat kemandirian keluarga I,
II, III, dan IV (Depkes RI, 1997).

2.2 Kelompok resiko tinggi


2.2.1 Definisi & kelompok resiko tinggi
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama
(Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009). Kelompok beresiko
tinggi adalah kumpulan individu yang permasalahan, kegiatan yang
terorganisasi yang sangat rawan terhadap masalah kesehatan. Yang
termasuk kelompok resiko tiggi antara lain:
1. Kelompok wanita, anak-anak, dan lansia yang mendapatkan
perlakukan kekerasan
2. Pusat pelayanan kesehatan jiwa dan penyalahgunaan obat
3. Tempat penampungan kelompok lansia, gelandangan dan
pemulung, kelompok orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan
wanita tuna susila.
4. Keluarga dengan resiko tinggi.
Keluarga resiko tinggi adalah keluarga dimana terdapt faktor
resiko yang dapat mengancam kesehatan keluarga karena
keadaan fisik, mental, maupun sosial ekonominya perlu
mendapatkan bimbingan dan asuhan keperawata serta
pelayanan kesehatan karena tidak tahu, tidak mampu, dan tidak
meme;lihara kesehatan dan perawatan. Yang termasuk
kelompok keluarga beresiko tinggi antara lain:
- Keluarga dengan anggota keluarga dalam masa usia subur
dengan masalah:
a. Tingkat sosial ekonomi keluarga rendah
b. Keluarga tidak mampu mengatasi masalah kesehatan
sendiri
c. Keluarga yang kurang baik atau dengan penyakit
keturunan
- Keluarga dengan ibu yang berisiko tinggi kebidanan pada
waktu hamil:
a. Umur ibu <16 tahun atau >35 tahun
b. Menderita kekurangan gizi atau anemia
c. Menderita hipertensi
d. Primipara atau multipara
e. Riwayat persalinan dengan komplikasi
- Keluarga dengan anak menjadi resiko tinggi, karean:
a. Lahir premature atau BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
b. Berat badan sukar naik
c. Lahir dengan cacat bawaan
d. ASI ibu kurang sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi
e. Ibu menderita penyakit menular yang dapat mengancam
nyawa bayinya
- Keluarga bermasalah dalam hubungan antar anggota
keluarga:
a. Anak yang tidak dikehendaki dan pernah dicoba untuk
digugurkan
b. Tidak ada kesesuaian pendapat antara anggota keluarga
dan sering timbul ketegangan
c. Ada anggota keluarga yang sering sakit
d. Salah satu orang tua meninggal, cerai atau lari
meninggalkan keluarga.
Sedangkan sumber lain menyebutkan, dikatakan keluarga dengan
resiko tinggi, yaitu keluarga dengan ibu hamil yang memiliki masalah gizi,
seperti anemia gizi berat (HB kurang dari 8 gr%) ataupun kurang energy
kronis (KEK), keluarga dengan ibu hamil resiko tinggi seperti pendarahan,
infeksi, hipertensi, keluarga dengan balita dengan BGM (bawah garis
merah), keluarga dengan neonates BBLR, keluarga dengan usia lanjut
jompo atau keluarga dengan kasus percobaan.
2.2.2 Risiko Tinggi: Kelompok Wanita Hamil
A. Definisi
Kehamilan (gestasi) adalah kondisi seorang ibu dengan
perkembangan janin yang ada di dalam perutnya. Kehamilan
biasanya merupakan peristiwa bahagia. Namun, beberapa
komplikasi pengalaman yang terjadi pada perempuan selama
ataupun sebelum kehamilan akan mengancam kesejahteraan ibu
dan bayi. Setiap kehamilan memiliki risiko. Karena itulah
menjelang hamil, seorang calon ibu perlu menyiapkan kondisinya
secara istimewa.
Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang akan
menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi yang lebih besar
baik terhadap ibu maupun terhadap janin yang dikandungnya
selama masa kehamilan, melahirkan ataupun nifas bila
dibandingkan dengan kehamilan persalinan dan nifas normal.
B. Frekuensi
Frekuensi kehamilan risiko tinggi yang dilaporkan oleh
beberapa peneliti berbeda-beda, tergantung dari cara penilaian
faktor yang dimasukkan dalam kehamilan risiko tinggi. Rochjati
(2003) dari RS dr. Sutomo Surabaya melaporkan frekuensi
kehamilan risiko tinggi 30,8%. Daely (1979) dari RS dr. Pirngadi
Medan melaporkan frekuensi kehamilan risiko tinggi 69,7%
dengan kriteria tersendiri yaitu dari jumlah kasus-kasus persalinan
sebagai penyebut. Tingginya angka kehamilan risiko tinggi di RS
dr. Pirngadi Medan mungkin karena banyaknya kasus patologi
yang dirujuk setelah ditangani di luar dan setelah terjadi
komplikasi.
C. Menentukan kehamilan risiko tinggi
Cara penentuan KRT dapat dengan memakai kriteria dan
juga dikelompokkan berdasarkan skoring atau nilai. Kriteria yang
dikemukakan oleh peneliti-peneliti dari berbagai institut berbeda,
namun dengan tujuan yang sama mencoba mengelompokkan
kasus-kasus risiko tinggi.
Rochyati, dkk mengemukakan kriteria KRT adalah:
primimuda, primitua, umur 35 tahun atau lebih, tinggi badan
kurang dari 145 cm,grandemulti, riwayat persalinan yang buruk,
bekas seksio sesaria, pre-eklampsia, hamil serotinus, perdarahan
antepartum, kelainan letak, kelainan medis, dan lain-lain.
Kriteria kehamilan risiko tinggi:
a. Komplikasi Obstetrik
Umur (19 tahun atau > 35 tahun)
Paritas (primigravida atau para lebih dari 6)
Riwayat kehamilan yang lalu :
- 2 kali abortus
- 2 kali partus prematur
- Kematian janin dalam kandungan atau kematian perinatal
- Perdarahan paska persalinan
- Pre-eklampsi dan eklampsi
- Kehamilan mola
- Pernah ditolong secara obstetri operatif
- Pernah operasi ginekologik
- Pernah inersia uteri
Disproporsi sefalo pelvik, perdarahan antepartum, pre-
eklampsi dan eklampsi, kehamilan ganda, hidramnion,
kelainan letak pada hamil tua, dismaturitas, kehamilan pada
infertilitas, persalinan terakhir 5 tahun, inkompetensi
serviks, postmaturitas, hamil dengan tumor (mioma atau
kista ovarii), uji serologis lues positif.
b. Komplikasi Medis
Anemia, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus,
obesitas, penyakit saluran kencing, penyakit hati, penyakit paru
dan penyakit-penyakit lain dalam kehamilan.
D. Faktor risiko
Faktor risiko merupakan situasi dan kondisi serta keadaan
umum ibu selama kehamilan, persalinan dan nifas akan
memberikan ancaman pada kesehatan dan jiwa ibu maupun janin
yang dikandungnya. Keadaan dan kondisi tersebut bisa
digolongkan sebagai faktor medis dan non medis.
Faktor non medis antara lain adalah kemiskinan, ketidak
tahuan, adat, tradisi, kepercayaan, dan lain-lain. Hal ini banyak
terjadi terutama pada negara berkembang, yang berdasarkan
penelitian ternyata sangat mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas. Dimasukkan pula dalam faktor non medis adalah sosial
ekonomi rendah, kebersihan lingkungan, kesadaran
memeriksakan kehamilan secara teratur, fasilitas dan sarana
kesehatan yang serba kekurangan.
Faktor medis antara lain adalah penyakit-penyakit ibu dan
janin, kelainan obstetri, gangguan plasenta, gangguan tali pusat,
komplikasi persalinan, penyakit neonatus dan kelainan genetik.
Menurut Backett faktor risiko itu bisa bersifat biologis, genetika,
lingkungan atau psikososial. Namun dalam kesehatan reproduksi
kita dapat membaginya secara lebih spesifik, yaitu:
a. Faktor demografi: umur, paritas dan tinggi badan
b. Faktor medis biologis: underlying disease, seperti penyakit
jantung dan malaria.
c. Faktor riwayat obstetri: abortus habitualis, SC, dan lain-lain.
d. Faktor lingkungan: polusi udara, kelangkaan air bersih, penyakit
endemis, dan lain-lain.
e. Faktor sosioekonomi budaya : pendidikan, penghasilan.
f. Penyakit yang menyertai kehamilan
Penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah dan
ginjal misalnya darah tinggi, rendahnya kadar protein dalam
darah dan tingginya kadar protein dalam urin.
Inkompatibilitas darah atau ketidaksesuaian golongan
darah misalnya pada janin dan ibu yang dapat
menyebabkan bahaya baik bagi janin maupun ibu seperti
ketidaksesuaian resus.
Endokrinopati atau kelainan endokrin seperti penyakit gula
Kardiopati atau kelainan jantung pada ibu yang tidak
memungkinkan atau membahayakan bagi ibu jika hamil
dan melahirkan.
Haematopati atau kelainan darah, misalnya adanya
gangguan pembekuan darah yang memungkinkan
terjadinya perdarahan yang lama yang dapat mengancam
jiwa.
Infeksi, misalnya infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubella,
Citomegalo virus dan Herpes simpleks), dapat
membahayakan ibu dan janin.
g. Penyulit kehamilan
Partus prematurus atau melahirkan sebelum waktunya yaitu
kurang dari 37 minggu usia kehamilan. Hal ini merupakan
sebab kematian neonatal yang terpenting.
Perdarahan dalam kehamilan, baik perdarahan pada hamil
muda yang disebabkan oleh abortus atau keguguran,
kehamilan ektopik atau kehamilan diluar kandungan dan
hamil mola, maupun perdarahan pada triwulan terakhir
kehamilan yang disebabkan oleh plasenta previa atau
plasenta (ari-ari) yang berimplantasi atau melekat tidak
normal dalam kandungan dan solutio plasenta atau
pelepasan plasenta sebelum waktunya.
Ketidaksesuaian antara besarnya rahim dan tuanya
kehamilan, misalnya hidramnion atau cairan ketuban yang
banyak, gemelli atau kehamilan kembar dan gangguan
pertumbuhan janin dalam kandungan.
Kehamilan serotin atau kehamilan lewat waktu yaitu usia
kehamilan lebih dari 42 minggu.
Kelainan uterus atau kandungan, misalnya bekas seksio
sesarea dan lain-lain
h. Riwayat obstetris yang buruk
Kematian anak pada persalinan yang lalu atau anak lahir
dengan kelainan congenital (cacat bawaan)
Satu atau beberapa kali mengalami partus prematurus atau
melahirkan belum pada waktunya.
Abortus habitualis atau keguguran yang terjadi berulang kali
dan berturut-turut terjadi, sekurang-kurangnya 3 kali berturut-
turut.
Infertilitas tidak disengaja lebih dari 5 tahun yaitu tidak
merencanakan untuk menunda kehamilan dengan cara
apapun, tapi selama 5 tahun tidak hamil.
i. Keadaan ibu secara umum
Umur ibu, kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
Paritas atau banyaknya melahirkan, berisiko tinggi pada ibu
yang sudah melahirkan lebih dari 4 orang anak.
Berat badan ibu, yaitu ibu yang terlalu kurus atau ibu yang
terlalu gemuk.
Tinggi badan ibu, yaitu tinggi badan kurang dari 145 cm.
Bentuk panggul ibu yang tidak normal.
Jarak antara dua kehamilan yang terlalu berdekatan yaitu
kurang dari 2 tahun.
Ibu yang tidak menikah, berhubungan dengan kondisi
psikologis
Keadaan sosio ekonomi yang rendah
Ketagihan alkohol, tembakau dan morfin
E. Komplikasi kehamilan risiko tinggi
Bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kehamilan risiko tinggi bisa
terjadi pada janin maupun pada ibu. Antara lain:
a. Bayi
a) Bayi lahir belum cukup bulan.
b) Bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR)
c) Janin mati dalam kandungan.15
b. Ibu
i. Keguguran (abortus).
ii. Persalinan tidak lancar / macet.
iii. Perdarahan sebelum dan sesudah persalinan.
iv. Ibu hamil / bersalin meninggal dunia.
v. Keracunan kehamilan/kejang-kejang.

F. Penanganan kehamilan risiko tinggi


Penanganan terhadap pasien dengan kehamilan risiko tinggi
berbeda-beda tergantung dari penyakit apa yang sudah di derita
sebelumnya dan efek samping penyakit yang dijumpai nanti pada
saat kehamilan.tes penunjang sangat diharapkan dapat
membantu perbaikan dari pengobatan atau dari pemeriksaan
tambahan.
Kehamilan dengan risiko tinggi harus ditangani oleh ahli
kebidanan yang harus melakukan pengawasan yng intensif,
misalnya dengan mengatur frekuensi pemeriksaan prenatal.
Konsultasi diperlukan dengan ahli kedokteran lainnya terutama
ahli penyakit dalam dan ahli kesehatan anak. Pengelolaan kasus
merupakan hasil kerja tim antara berbagai ahli. Keputusan untuk
melakukan pengakhiran kehamilan perlu dipertimbngkan oleh tim
tersebut dan juga dipilih apakah perlu di lakukan induksi
persalinan atau tidak.
G. Pencegahan kehamilan risiko tinggi
Pendekatan risiko pada ibu hamil merupakan strategi
operasional dalam upaya pencegahan terhadap kemungkinan
kesakitan atau kematian melalui peningkatan efektifitas dan
efisiensi dengan memberikan pelayanan yang lebih intensif
kepada risiko ibu hamil dengan cepat serta tepat, agar keadaan
gawat ibu maupun gawat janin dapat dicegah. Untuk itu diperlukan
skrining sebagai komponen penting dalam perawatan kehamilan
untuk mengetahui ada tidaknya faktor risiko pada ibu hamil
tersebut.
Pengenalan adanya Resiko Tinggi Ibu Hamil dilakukan
melalui skrining/deteksi dini adanya faktor resiko secara pro/aktif
pada semua ibu hamil, sedini mungkin pada awal kehamilan oleh
petugas kesehatan atau nonkesehatan yang terlatih di
masyarakat, misalnya ibu-ibu PKK, Kader Karang Taruna, ibu
hamil sendiri, suami atau keluarga.
Setiap kontak pada saat melakukan skrining dibicarakan
dengan ibu hamil, suami, keluarga tentang tempat dan penolong
untuk persalinan aman. Pengambilan keputusan dapat dilakukan
dalam keluarga untuk persiapan mental dan perencanaan untuk
biaya, transportasi telah mulai dolakukan jauh sebelum persalinan
menuju kepatuhan untuk Rujukan Dini Berencana/ Rujukan In
Utero dan Rujukan Tepat Waktu.
Mengingat sebagian besar kematian ibu sesungguhnya
dapat dicegah, maka diupayakan untuk mencegah 4 terlambat
yang meyebabkan kematian ibu, yaitu :
1. Mencegah terlambat mengenali tanda bahaya resiko tinggi
2. Mencegah terlambat mengambil keputusan dalam keluarga
3. Mencegah terlambat memperoleh transportasi dalam rujukan
4. Mencegah terlambat memperoleh penanganan gawat darurat
secara memadai

BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
1. Keperawatan kesehatan komunitas adalah tindakan untuk
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dari populasi
dengan mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan yang
sesuai dengan keperawatan kesehatan masyarakat.
2. Kelompok rentan dibagi menjadi 3 yaitu kelompok rentan gizi,
rentan penyakit, dan kelompok rentan didaerah bencana.
3. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TBC.
4. Terapi obat yang dilakukan sekarang dengan terapi jangka pendek
selama enam bulan dengan jenis obat INH atau Isoniasid (H),
Rifampicin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin
(Soeparman, 1990). Paduan obat anti tuberkulosis tabel 1 adalah
paduan yang digunakan dalam program nasional penanggulangan
tuberkulosis dan dikemas dalam bentuk paket kombipak.
5. Peran perawat dalam penanggulangan penyakit menular
khususnya penyakit Tuberkulosis dengan menerapkan asuhan
keperawatan menggunakan model keperawatan. Model
Community As Partner merupakan salah satu model yang dapat
diterapkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
populasi dengan tuberkulosis.
6. Kelompok beresiko tinggi adalah kumpulan individu yang
permasalahan, kegiatan yang terorganisasi yang sangat rawan
terhadap masalah kesehatan.
7. Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang akan
menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi yang lebih besar
baik terhadap ibu maupun terhadap janin yang dikandungnya
selama masa kehamilan, melahirkan ataupun nifas bila
dibandingkan dengan kehamilan persalinan dan nifas normal.
8. Cara penentuan KRT dapat dengan memakai kriteria dan juga
dikelompokkan berdasarkan skoring atau nilai. Kriteria yang
dikemukakan oleh peneliti-peneliti dari berbagai institut berbeda,
namun dengan tujuan yang sama mencoba mengelompokkan
kasus-kasus risiko tinggi.
9. Faktor risiko merupakan situasi dan kondisi serta keadaan umum
ibu selama kehamilan, persalinan dan nifas akan memberikan
ancaman pada kesehatan dan jiwa ibu maupun janin yang
dikandungnya. Keadaan dan kondisi tersebut bisa digolongkan
sebagai faktor medis dan non medis.
10. Bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kehamilan risiko tinggi bisa
terjadi pada janin maupun pada ibu.
11. Penanganan terhadap pasien dengan kehamilan risiko tinggi
berbeda-beda tergantung dari penyakit apa yang sudah di derita
sebelumnya dan efek samping penyakit yang dijumpai nanti pada
saat kehamilan.
12. Pendekatan risiko pada ibu hamil merupakan strategi operasional
dalam upaya pencegahan terhadap kemungkinan kesakitan atau
kematian melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi dengan
memberikan pelayanan yang lebih intensif kepada risiko ibu hamil
dengan cepat serta tepat, agar keadaan gawat ibu maupun gawat
janin dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

American Nurses Association. 2004. Scope and Standards for Nurse


Administrators. Edisi 2. Washington: Nursesbooks.org.
American Public Health Association, ublic Health Nursing Section. 1996.
Essentials of Masters Level Nursing Education for Advanced
Community/ Public Health Nursing Practice. New York: Association
of Community Health Nurse Educators.
Asril Bahar. 1990. Tuberkulosis Paru. Soeparman, Sarwono Waseadji,
editor: llmu Penyakit Da/am Jilid II. Jakarta: Gaya Baru. P. 715-
720
Crofton J, Home N, Miller F. 2002. Tuberkulosis Pulmonal Pada Orang
Dewasa. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. P. 93-
105.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman
Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di
Puskesmas. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI, 1997. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan
Penanggulangannya. Dirjen P2M dan PLP, Jakarta.
Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Depkes
Depkes RI. 2011. Pedoman penanggulangan TB di Indonesia
Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Friedman, Marilyn M. (1998). Family Nursing Teoryand Practice. Edisi III.
Penerjemah Ina Debora R. L. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta
Helvie, C. 1998. Homelessness in The Different Countries, Sage. USA
Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor
279/Menkes/SK/IV/2006 tentang pedoman penyelenggaraan
upaya keperwatan kesehatan masyarakat di puskesmas.
Lewis, S., Heitkemper, M., Dirkson, S., (2000). Medical Surgical Nursing.
1193-1198. Mosby
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
Rochjati. 2003. Skrining Antenatal pada Ibu Hamil Pusat Safe Mother
Hood- Lab/SMF Obgyn RSU Dr. Sutomo/ FK Unair : Surabaya
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths textbook of medical
surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A.Jakarta: EGC;
2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gava
Media, Jogjakarta.
Watkins, Edwards & Gastrell.2003. Community Health Nursing:
Frameworks for Practice. England : Bailliere Tindall
World Health Organization. 2002. Global Tuberculosis Control,
surveillance, planning, financing. South Africa : Health System
Trust
Ikatan Dokter Indonesia. 2004. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis Indonesia

Вам также может понравиться