Вы находитесь на странице: 1из 179

LAMPIRAN II

SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH TERPUSAT


PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN SISTEM
PENGELOLAAN AIR LIMBAH TERPUSAT

BUKU 1

PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIS

A. PENGERTIAN PERENCANAAN TEKNIS SPAL-T

Perencanaan teknis SPAL-T merupakan rencana rinci pembangunan SPAL di


suatu kota atau kawasan meliputi unit pelayanan, unit pengumpulan, unit
pengolahan, dan unit pembuangan akhir atau unit pengolahan lumpur.

B. DASAR DASAR PERENCANAAN TEKNIS SPAL-T

Perencanaan teknis SPAL-T disusun berdasarkan :

1. Rencana Induk SPAL yang telah ditetapkan;


2. Hasil Studi Kelayakan;
3. Jadwal Pelaksanaan Konstruksi;
4. Kepastian Sumber Pembiayaan;
5. Kepastian Lahan; dan
6. Hasil Konsultasi Teknis dengan Instansi Teknis terkait.

C. MUATAN PERENCANAAN TEKNIS SPAL-T

Perencanaan teknis SPAL-T paling sedikit memuat :

1. Rencana Detail Kegiatan serta Tahapan dan Jadwal Pelaksanaan;


2. Perhitungan dan Gambar Teknis;
3. Spesifikasi Teknis;
4. Perkiraan Biaya;
5. Dokumen Pelaksanaan Kegiatan; dan
6. Prosedur Operasi Standar.

D. PEDOMAN PEMILIHAN SPAL-T

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan sistem dan teknologi


pengolahan air limbah adalah :

1. Kepadatan Penduduk

Tingkat kepadatan penduduk yang biasa digunakan dalam


perencanaan sistem pengelolaan air limbah adalah :
a. Kepadatan tinggi > 300 jiwa/ha
b. Kepadatan sedang 100 300 jiwa /ha
c. Kepadatan rendah < 100 jiwa /ha

2. Konsumsi Air Minum

Tingkat konsumsi air minum berdasarkan atas besarnya tingkat


pelayanan dari PDAM terhadap masyarakat dan sumber lainnya.,

Kebutuhan air minum setiap orang di kota:


a. Kota Metropolitan berkisar 120-190 L/jiwa.hari
b. Kota Besar berkisar 100-170 L/jiwa.hari
c. Kota Sedang berkisar 90-150 L/jiwa.hari
d. Kota Kecil berkisar 60-130 L/jiwa.hari
e. Ibu Kota Kecamatan (IKK) berkisar 45-100 L/jiwa.hari

3. Kemiringan Tanah

Penggunaan sistem sewerage konvensional sesuai jika kemiringan tanah


sama dengan atau lebih dari 2%, sedangkan shallow sewer dan small bore
sewer dapat digunakan pada berbagai kemiringan tanah.

4. Kedalaman Air Tanah

Kedalaman muka air tanah digunakan sebagai kriteria dalam


penetapan sistem. Sistem off-site digunakan jika muka air tanah lebih
kecil dari 1-1,5 meter atau jika air tanah sudah tercemar.
5. Permeabilitas Tanah

Permeabilitas tanah sangat mempengaruhi penentuan SPAL


khususnya untuk penerapan sistem setempat (cubluk maupun septik
tank dengan bidang resapan). Untuk mengetahui besar kecilnya
permeabilitas tanah dapat diperkirakan dengan memperhatikan jenis
tanah dan angka infiltrasi atau melakukan test perkolasi. Kisaran
permeabilitas yang efektif adalah 2,7.10-7 4,2.10-6 m/detik, untuk jenis
tanah pasir halus sampai dengan pasir yang mengandung lempung.

6. Kemampuan Membiayai

Kemampuan pemerintah atau masyarakat untuk membiayai


pembangunan SPAL akan menentukan jenis teknologi yang dipilih.
Faktor yang juga tidak dapat diabaikan dalam pemilihan sistem adalah
faktor sosial masyarakat untuk menerimanya.

Dalam proses pemilihan teknologi yang digunakan baik sistem on-site


maupun sistem off-site dapat dilakukan dengan menggunakan diagram alir
SPAL seperti pada Gambar II.1.

Gambar II.1. Diagram Alir Pemilihan SPAL


Dasar pertimbangan yang utama dalam pemilihan teknologi SPAL adalah
kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk > 300 jiwa/ha sudah pasti
harus melakukan sistem off- site, sedangkan untuk kepadatan penduduk
kurang dari itu masih terdapat beberapa pertimbangan lainnya, seperti
sumber air yang ada, kedalaman air tanah, permeabilitas tanah, kemiringan
tanah, ketersediaan lahan, dan termasuk kemampuan membiayai.
Contohnya apabila kepadatan penduduknya lebih dari 300jiwa/ha,
kedalaman air tanahnya kurang dari 1,5m dan tidak memiliki permeabilitas
tinggi, sumber air yang disarankan adalah dilayani oleh PDAM. Jika
kemiringan tanahnya lebih dari 2% dan kemampuan membiayai memenuhi
maka dapat menggunakan sistem off-site, sedangkan jika kemiringan
tanahnya kurang dari 2%, maka terdapat pilihan teknologi lain tergantung
pada kemampuan membiayai dan kecocokan teknologi yang dipilih. Faktor
kemampuan membiayai dan kecocokan juga menjadi faktor yang penting
dalam pemilihan teknologi dan faktor ini dapat dilihat dari besarnya nilai
PBB dari setiap rumah. Apabila nilai PBBnya masih kecil walaupun
kepadatan penduduknya lebih dari 300 jiwa/ha dikhawatirkan penduduk di
kawasan tersebut tidak mampu membayar biaya retribusi SPAL yang
dibangun, sehingga dengan mengetahui nilai PBB dari setiap perumahan,
dapat secara tepat memliih sistem on-site atau off-site yang akan digunakan.

E. KOMPONEN SPAL TERPUSAT

Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman Terpusat terdiri dari:

1. Unit pelayanan (Sambungan Rumah);

Unit pelayanan berfungsi untuk mengumpulkan air limbah (black water


dan grey water) dari setiap rumah dan menyalurkannya ke dalam unit
pengumpulan. Unit ini terdiri dari sambungan rumah dan inspection
chamber. Sambungan rumah yang termasuk dalam unit pelayanan
meliputi pipa dari kloset, pipa non tinja, perangkap pasir/lemak, bak
control pekarangan, pipa persil, dan bak kontrol akhir.

2. Unit pengumpulan;

Unit pengumpulan berfungsi untuk menyalurkan air limbah dari tiap


unit pelayanan melalui jaringan pipa menuju Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). Unit pengumpulan terdiri dari pipa servis, pipa lateral,
dan manhole.
3. Unit pengolahan;

Unit pengolahan berfungsi untuk mengolah air limbah yang masuk ke


dalam IPAL. Unit pengolahan terdiri dari pengolahan air limbah
(pengolahan fisik dan pengolahan biologis) dan pengolahan lumpur
hasil olahan air limbah tersebut (baik berupa lumpur dari pengolahan
fisik maupun lumpur dari hasil pengolahan biologis).

Bagi kota yang sudah mempunyai IPAL tapi tidak mempunyai IPLT,
IPAL yang sudah ada tidak dapat berfungsi sekaligus sebagai IPLT
untuk membuang lumpur tinjanya karena IPAL tetap berfungsi untuk
mengolah air limbah saja. Apabila IPAL yang ada ingin difungsikan
sebagai IPLT juga, maka diperlukan penyediaan tambahan unit bak
pemisah lumpur atau solid separation chamber sebelum lumpur tinja
tersebut masuk ke dalam IPAL.

Selain itu, tidak semua air limbah bisa diolah di dalam IPAL.
Karakteristik kualitas air limbah yang boleh masuk ke IPAL adalah air
limbah dengan kualitas beban organik sebesar 300 mg/L atau sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan untuk masing-masing daerah.
Apabila terdapat air limbah dengan konsentrasi pencemar lebih dari
itu, maka perlu dilakukan proses pre-treatment terlebih dahulu
sebelum masuk ke dalam IPAL.

4. Unit Pengolahan Lumpur atau Pembuangan Akhir.

Unit ini digunakan untuk membuang air limbah yang telah terolah
atau hasil olahan dan membuang atau mengolah lumpur hasil
pengolahan. Air limbah yang telah terolah dapat dimanfaatkan untuk
irigasi, dijadikan sebagai bahan baku air PDAM (dengan ketentuan
telah memenuhi persyaratan pembuangan air limbah pada sungai
sesuai dengan peruntukkannya), penyiraman taman, dll. Sedangkan
lumpur hasil pengolahan air limbah yang telah diolah dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk, tanah penutup sanitary landfill, sebagai
bahan baku pembuatan semen, dapat dijadikan bahan baku paving
block, dan pemanfaatan lumpur hasil olahan ini juga harus disesuaikan
dengan peraturan yang berlaku di tiap daerah.
F. PERENCANAAN TEKNIS UNIT PELAYANAN

F.1. Komponen Unit Pelayanan

Unit pelayanan terdiri dari sambungan rumah dan lubang inspeksi


(Inspection Chamber/IC). Sambungan rumah terdiri dari:

1. Pipa dari Kloset (black water)

a. Diameter minimal 100 mm

b. Bahan dari PVC, asbes semen,

c. Kemiringan minimal 2%

2. Pipa dari Non Tinja (grey water)

a. Diameter minimal 50 mm

b. Bahan dari PVC, asbes semen,

c. Kemiringan minimal 2%

d. Khusus dari dapur harus dilengkapi dengan unit perangkap


lemak.

3. Penangkap Pasir/Lemak

a. Dimaksudkan untuk mencegah penyumbatan akibat masuknya


lemak dan pasir ke dalam pipa persil dan lateral dalam jumlah
besar

b. Disarankan dipakai pada dapur, tempat cuci, atau pada daerah


dengan pemakaian air rendah

c. Lokasinya sedekat mungkin dengan sumbernya

d. Perangkap Pasir/Lemak dapat berupa saringan, bak yang ditutupi


kain, atau sejenisnya.

4. Bak Kontrol Pekarangan (Private Boxes/PB)

a. Luas permukaan minimal 40x40 cm (bagian dalam), dan diberi


tutup plat beton yang mudah dibuka-tutup.

b. Kedalaman bak, minimal 30 cm, disesuaikan dengan kebutuhan


kemiringan pipa-pipa yang masuk/keluar bak.
c. Dinding bagian atas dipasang 10 cm lebih tinggi daripada muka
tanah agar dapat dicegah masuknya limpasan air hujan.

d. Bahan dinding dan dasar dari batu bata kedap atau beton. Tutup
dari beton bertulang atau plat baja yang bisa dibuka tutup.

5. Pipa Persil (House Connection / HC)

a. Dimensi dibuat sama atau lebih besar daripada dimensi pipa


plambing utama. Biasanya sebesar (100-150) mm yang menuju ke
lubang inspeksi.

b. Kemiringan dipasang selurus mungkin, dengan kemiringan


minimal 2%. Kemiringan minimal 2% supaya tidak terjadi
pengendapan dalam pipa karena pipa persil membawa cukup
banyak lumpur dari PB ke HI. Selain alasan tersebut, kemiringan
minimal 2% ditujukan agar kecepatan dalam pipa (self cleansing)
minimal 0,6 m/detik.

6. Bak Kontrol Akhir (House Inlet/HI)

a. Luas permukaan minimal 50x50 cm (bagian dalam), dan diberi


tutup plat beton yang mudah dibuka-tutup.

b. Kedalaman bak, (40-60) cm, disesuaikan dengan kebutuhan


kemiringan pipa persil yang masuk.

c. Dinding bagian atas dipasang 10 cm lebih tinggi daripada muka


tanah agar dapat dicegah masuknya limpasan air hujan.

d. Bahan dinding dan dasar dari batu bata kedap atau beton. Tutup
dari beton bertulang atau plat baja yang bisa dibuka tutup.

7. Lubang Inspeksi (Inspection Chamber/IC)

a. Jarak antara dua IC dan HI 40 m

b. Ada 3 tipe IC untuk kedalaman hingga 2 m. Untuk kedalaman


2,5 m, gunakan manhole yang dipakai pada sistem konvensional.

c. Dimensinya tergantung pada tipe dan bentuk penampang IC, serta


kedalaman pipa (seperti pada Tabel II.1). Bentuk empat persegi
panjang dipilih bila akan dilakukan pembersihan pipa dengan
bambu atau besi beton.
d. Bila kedalaman IC 1 m, maka di sisi dalamnya dilengkapi tangga
dari mild steel ukuran 20 mm yang ditancapkan ke dinding sedalam
20 cm dengan masing masing panjang 75 cm. Bagian tangga teratas
berada 45 cm di bawah cover, dan yang terbawah 30 cm di atas
benching.

e. Bahan IC terdiri dari beton tanpa tulangan untuk lantai, dan


pasangan batu untuk dinding. Tutupnya harus dari beton
bertulang atau plat baja yang bisa dibuka tutup.

f. Level tutup IC, harus 10 cm di atas level muka tanah, agar dapat
dicegah masuknya limpasan air hujan.

Tabel II.1. Dimensi IC


Dimensi IC (m2)
Kedalaman Pipa
Tipe IC Persegi
(m) Bujur sangkar
panjang
IC-1 0,75 0,4 x 0,4 0,4 x 0,6
IC-2 0,75-1,35 0,7 x 0,7 0,6 x 0,8
IC-3 1,35-2,5 - 0,8 x 1,2

Ket :
PB : Private Box (bak kontrol pekarangan)
HC : House Connection (pipa persil)
HI : House Inlet (bak kontrol akhir)
IC : Inspection Chamber (lubang inspeksi)
MH : Manhole

Gambar II.2. Batas Sambungan Rumah


Unit pelayanan yang terdiri dari sambungan rumah (bak kontrol
pekarangan, pipa persil, dan bak kontrol akhir) dan lubang inspeksi
merupakan tanggung jawab dari pemilik rumah, sehingga operasi dan
pemeliharaan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemilik rumah,
sementara itu untuk unit pengumpulan hingga unit pengolahan akhir
merupakan tanggung jawab pengembang (bagi kawasan yang mempunyai
SPAL tersendiri) atau tanggung jawab kota yang bersangkutan (bagi
kawasan yang mempunyai SPAL terpusat dengan jaringan perkotaan).

F.2. Survey Sambungan Rumah (SR)

1. Sketsa tata letak bangunan dan titik-titik lokasi sumber air limbah
2. Catat rencana elevasi invert pipa lateral dan/atau invert IC
3. Plot rencana titik-titik lokasi PB dan HI
4. Sket panjang, kemiringan dan diameter pipa persil
5. Kebutuhan minimal beda elevasi antara elevasi dasar titik-titik sumber
air limbah terhadap elevasi dasar IC dengan kemiringan minimal 2 %:
- Jarak 10 m = 20 cm
- Jarak 20 m = 40 cm
- Jarak 30 m = 60 cm
6. Cek berturut-turut elevasi dasar PB, HI dan IC harus menurun dan
masih berada di atas elevasi dasar pipa lateral
7. Buat lay-out SR dan total kebutuhan pengadaan/pemasangan
mencakup :
- Pipa-pipa dari sumber air limbah ke PB
- Pipa-pipa dari PB ke HI

G. PERENC. TEKNIS UNIT PENGUMPULAN (JAR. PERPIP.)

Jaringan perpipaan pada unit pengumpul pada prinsipnya menyalurkan


air limbah dari unit pelayanan ke unit pengolahan melalui sistem
penyaluran terbuka atau sistem gravitasi. Namun, pada beberapa kondisi
sesuai dengan kondisi topografi lapangan dapat pula air limbah disalurkan
ke unit pengolahan menggunakan sistem pemompaan (sistem pengaliran
tertutup). Sistem ini dapat terlihat pada Gambar II.3. Seperti pada Gambar
II.3, wilayah A adalah wilayah yang dilayani dengan sistem aliran
gravitasi, sedangkan wilayah C adalah wilayah yang dilayani dengan
sistem pemompaan. Dalam kondisi khusus yaitu pada lokasi dimana
terdapat kota yang tidak mempunyai IPLT, maka unit tangki penyedot
tinja dapat digunakan untuk mengumpulkan air limbah / lumpur tinja
dari inhoff tank atau prasarana komunal lainnya langsung ke IPAL. Dalam
hal ini IPAL tersebut memerlukan unit pemisah padatan, seperti unit solid
separation chamber yang digunakan untuk memisahkan padatan dan air dari
lumpur tinja untuk selanjutnya air tersebut diolah melalui sistem unit
pengolah dalam IPAL.

Gambar II.3. Jenis Jaringan Perpipaan pada Unit Pengumpul

Sistem penyaluran air limbah (baik sistem pemompaan atau gravitasi),


harus menggunakan sistem penyaluran pipa yang terpisah dari saluran
draianse. Namun apabila belum memungkinkan sehingga harus dilakukan
pencampuran antara air limbah dan air hujan di beberapa lokasi ,maka
perlu dibuat perencanaan secara bertahap sampai sistem penyalurannya
benar-benar dialirkan secara terpisah. Sementara itu, untuk kondisi sistem
pengaliran eksisting yang masih tercampur, maka diperlukan penggunaan
interceptor untuk meminimalkan debit air hujan yang ikut terbawa ke
bangunan pengolahan air limbah.

Ketentuan dalam perencanaan unit pengumpul secara detail dapat


dijelaskan pada pembahasan di bawah ini.
G.1. Sistem Pengumpulan Air Limbah

Sistem pengumpulan air limbah dapat dibuat dalam berbagai tipe, yaitu:

1. Teknologi Perencanaan Air Limbah dengan Sistem Setempat (On-Site)

Sanitasi sistem setempat (on-site) yaitu sistem dimana fasilitas


pengolahan air limbah berada dalam persil atau batas tanah yang
dimiliki, fasilitas ini merupakan fasilitas sanitasi individual seperti
septik tank atau cubluk. Sistem ini diterapkan pada :

a. Kepadatan < 100 orang/ha


b. Kepadatan > 100 orang/ha, sarana on-site dilengkapi pengolahan
tambahan seperti kontak media dengan atau tanpa aerasi
c. Jarak sumur dengan bidang resapan atau cubluk > 10 m
d. Instalasi pengolahan lumpur tinja minimal untuk melayani
penduduk urban > 50.000 jiwa atau bergabung dengan kawasan
urban lainnya

Pada sistem on-site ada 2 jenis sarana yang dapat diterapkan yakni
sistem individual dan komunal. Pada skala invidual sarana yang
digunakan adalah septik dengan varian pada pengolahan lanjutan
untuk effluentnya yakni :

a. Dengan bidang resapan


b. Dialirkan pada small bore sewer
c. Dengan evapotranspirasi
d. Menggunakan filter

Sedangkan tinja dari septik tank akan diangkut menggunakan truk


penyedot tinja dan diolah di IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja)

Berikut ini penjelasan mengenai alternatif teknologi pada sistem On-


Site :

a. Sistem Cubluk
Cubluk merupakan sistem pembuangan yang paling sederhana
terdiri atas lubang yang digali secara manual dengan dilengkapi
dinding rembes air yang dibuat dari pasangan bata berongga,
anyaman bambu, dan bahan-bahan lainnya (Sugiharto, 1997). Pada
umumnya cubluk berbentuk lingkaran, kotak persegi dengan
diameter sepanjang (0,5-1) m, cubluk memiliki kedalaman (1-3) m.
hanya sedikit air yang digunakan untuk menggelontor kotoran/
tinja ke dalam cubluk dikarenakan kotoran biasanya langsung
jatuh dari atas bangunan cubluk yang dibangun sederhana. Cubluk
biasanya didesain untuk waktu (5-10) tahun. Berikut jenis cubluk
diantaranya :
1) Cubluk Tunggal
Cubluk tunggal dapat digunakan untuk daerah yang memiliki
ketinggian muka air tanah > 1 m dari dasar cubluk. Cocok
untuk daerah dengan kepadatan < 200 jiwa/ha. Pemakaian
cubluk dihentikan apabila sudah terisi 75% dari kapasitas yang
ada, apabila masih digunakan melebihi batas tersebut maka
dikuatirkan timbul pencemaran seperti bauu, kotoran/tinja
meluber ke atas permukaan
2) Cubluk Ganda/Kembar
Cubluk kembar dapat digunakan untuk daerah dengan
kepadatan penduduk < 50 jiwa/ha dan memiliki muka air
tanah > 2 m dari dasar cubluk. Pemakaian lubang cubluk
pertama dihentikan setelah terisi 75% dan selanjutnya cubluk
kedua dapat disatukan. Jika lubang cubluk kedua telah terisi
75%, maka tinja yang ada di dalam lobang pertama dapat
dikosongkan secara manual dan dapat digunakan untuk
pupuk tanaman. Setealh itu lubang cubluk dapat difungsikan
kembali.

b. Sistem Tangki Septik Individu


Sistem ini merupakan sistem conventional yang banyak digunakan
oleh masyarakat. Pada umumnya terdiri dari satu buah tangki
septic berbentuk kotak/lingkarann dan satu buah untuk resapan
untuk menampung effluent dari tangki septik. Tangki septic
merupakan suatu ruangan yang terdiri dari beberpa kompartemen
yang berfungsi sebagai bangunan pengendap untuk menampung
kotoran padat agar mengalami pengolahan biologis oleh bakteri
anaerob dalam jangka waktu tertentu. Proses dapat berjalan
dengan baik apabila tangki terisi penuh dengan cairan, oleh karena
itu tangki septic haruslah kedap air. Hal- hal yang perlu
dipertimbangkan dalam penggunaan tangki septic adalah :
1) Kecepatan daya serap tanah > 0,0146 cm/menit
2) Cocok diterapkan di daerah yang memiliki kepadatan
penduduk < 500jiwa/ha
3) Dapat dijangkau oleh truk penyedot tinja
4) Tersedia lahan untuk bidang resapan
Berdasarkan SNI 03-2398-2002 tangki septic dapat didesain dengan
bentuk persegi panjang mengikuti kriteria desain sebagai berikut :

1) Perbandingan antara panjang dan lebar adalah (2-3) : 1


2) Lebar minimum tangki adalah 0,75 m
3) Panjang minimum tangki adalah 1,5 m
4) Kedalaman air efektif di dalam tangki antara (1-2,1) m
5) Tinggi tangki septic adalah ketinggian air dalam tangki
ditambah dengan tinggi ruang bebas (free board) yang berkisar
(0,2-0,4) m
6) Penutup tangki septic yang terbenam ke dalam tanah
maksimum sedalam 0,4 m

Bila panjang tangki lebih besar dari 2,4 m atau volume tangki lebih
besar dari 5,6 m3, maka interior tangki dibagi menjadi 2
kompartemen yaitu kompartemen inlet dan outlet. Proporsi
besaran kompartemen inlet berkisar 75% dari besaran total tangki
septic.

c. Tangki Septik Komunal


Proses pengolahan limbah domestic yang terjadi pada tangki spetik
adalah proses pengendapan dan stabilisasi anaerobic. Tangki septic
bisa dianggap sebagai pengolahan awal (primer). Tangki efektif
tidak efektif untuk mengurangi jumlah bakteri dan virus yang ada
pada limbah domestic. Minimal jarak sumur resapan dan tangki
septic adalah 10 m, tergantung aliran air tanah dan porositas tanah.

d. MCK Komunal
MCK komunal/ umum adalah sarana umum yang digunakan
bersama oleh beberpa keluarga untuk mandi, mencuci, dan buang
air di lokasi pemukiman yang berpenduduk dengan kepadatan
sedang sampai tinggi (300-500) orang/ha.

2. Teknologi Pengolahan Air Limbah Sistem Terpusat (Off-Site)

Sanitasi sistem terpusat (off-site) yaitu sistem dimana fasilitas


pengolahan air limbah berada diluar persil atau dipisahkan dengan
batas jarak atau tanah yang menggunakan perpipaan untuk
mengalirkan air limbah dari rumah-rumah secara bersamaan dan
kemudian dialirkan ke IPAL. Sistem ini diterapkan pada kawasan :
a. Kepadatan > 100 orang/ha
b. Bagi kawasan berpenghasilan rendah dapat menggunakan sistem
septik tank komunal (decentralized water treatment) dan pengaliran
dengan konsep perpipaan shallow sewer. Dapat juga melalui sistem
kota/ modular bila ada subsidi tariff
c. Bagi kawasan terbatas untuk pelayanan 500-1000 sambungan
rumah disarankan menggunakan basis modul. Sistem ini hanya
menggunakan 2 atau 3 unit pengolahan limbah yang paralel.

Pengolahan sanitasi sistem terpusat terutama bertujuan untuk


menurunkan kadar pencemar di dalam air buangan. Ada beberapa
tingkat pengolahan yang umumnya dilakukan untuk mengolah air
buangan agar tidak berbahaya bagi lingkungan, yaitu :

a. Pengolahan fisik, seperti penyaringan sampah dari aliran,


pengendapan pasir, pengendapan partikel discrete.
b. Pengolahan biologis yang dapat terdiri dari proses anaerobic
dan/atau proses aerobic, serta pengendapan flok hasil proses
sintesa oleh bakteri
c. Pengolahan secara kimia dengan pembubuhan disinfektan untuk
mengontrol bakteri fekal dari effluent hasil pengolahan sebelumnya

Di bagian bawah dari pengolahan air limbah adalah sisa lumpur yang
terbentuk harus dikendalikan serta diolah sehingga aman terhadap
lingkungan. Berikut ini alternatif teknologi untuk pengolahan air
limbah sistem Off-Site :

a. Sistem Penyaluran Konventional


Sistem penyaluran konventional (Conventional Sewer) merupakan
suatu jaringan perpipaan yang membawa air buangan ke suatu
tempat berupa bangunan pengolahan atau tempat pembuaangan
akhir seperti badan air penerima. Sistem in terdiri dari jaringan
pipa persil, pipa lateral, dan pipa induk yang melayani penduduk
suatu daerah pelayanan yang cukup luas. Syarat yang harus
dipenuhi untuk penerpan sistem penyaluran konventional adalah :
1) Suplai air bersih yang tinggi karena diperlukan untuk
menggelontor
2) Diameter pipa minimal 100 mm, karena membawa padatan
3) Aliran dalam pipa harus aliran seragam
4) Slope pipa harus diatur sehingga Vcleansing terpenuhi (0,6
m/det.). aliran dalam saluran harus memiliki tinggi renang
agar dapat mengalirkan padatan
5) Kecepatan maksimum pada penyaluran konventional 3 m/det.

Kelebihan sistem ini adalah tidak memerlukan pengendapan


padatan atau tangki septik. Sedangkan kelemahannya adalah biaya
konstruksi yang relative mahal. Selain itu, peraturan jaringan akan
sulit apabila dikombinasikan dengan saluran small bore sewer,
karena dua sistem tersebut membawa iar buangan dengan
karakteristik berbeda, sehingga tidak boleh ada cabang dari sistem
konventional ke saluran small bore sewer. Daerah yang cocok untuk
penerapan sistem ini adalah :

1) Daerah yang sudah mempunyai sistem jaringan saluran


konventional atau dekat dengan daerah yang punya sistem ini.
2) Daerah yang punya kepekaan lingkungan tinggi, misalnya
perumahan mewah dan pariwisata.
3) Lokasi pemukiman baru, dimana penduduknya memiliki
penghasilan cukup tinggi dan mampu membayar biaya
operasional dan perawatan
4) Di pusat kota yang terdapat gedung-gedung bertingkat yang
apabila tidak dibangun jaringan saluran, akan diperlukan
lahan untuk pembuangan dan pengolahan sendiri
5) Di pusat kota, dengan kepadatan penduduk > 300 jiwa/ha dan
umumnya penduduk menggunakan air tanah, serta lahan
untuk pembuatan sistem setempat sangat sulit dan
permeabilitas tanah buruk

b. Sistem Riol Dangkal (Shallow Sewer) atau Settled Sewerage


Perbedaan dengan sistem konventional adalah sistem ini
mengangkut air buangan dalam skala kecil dan pipa dipasang
dengan slope lebih landai. Peletakan saluran ini biasanya
diterapkan pada blok-blok rumah. Shallow sewer sangat tergantung
pada pembilasan air buangan untuk mengangkut buangan padat
jika dibandingkan dengan cara konventional yang mengandalkan
self cleansing.
Sistem ini harus dipertimbangkan untuk daerah perkampungan
dengan kepadatan penduduk tinggi dimana sebagian besar
penduduk sudah memiliki sambungan air bersih dan kamar mandi
pribadi tanpa pembuangan setempat yang memadai. Sistem ini
melayani air buangan dari kamar mandi, cucian, pipa servis, pipa
lateral tanpa induk serta dilengkapi dengan pengolahan mini.
Contoh gambar sistem in terdapat pada Gambar II.4. Kriteria
perencanaannya adalah sebagai berikut :
1) Kepadatan penduduk sedang ( > 150 jiwa/ha)
2) Suplai air bersih > 60%
3) Permeabilitas tanah buruk ( < 0,0416 cm/menit)
4) Muka air tanah minimum adalah 2 m
5) Kemiringan < 2% (+ 1%)
6) Persentase yang memiliki tangki septic < 60%

House Inlet Inspection Chamber

Gambar II.4. Skema Shallow Sewer

c. Small Bore Sewer / Simplified Sewerage


Sistem ini didesain hanya untuk menerima bagian cair dari limbah
rumah tangga untuk disalurkan dalam saluran pembuangan. Pasir,
lemak, dan padatan lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan
saluran dipisahkan dari aliran limbah di dalam tangki septic yang
dibangun lebih tinggi dari setiap sambungan saluran pipa. Padatan
yang terakumulasi dalam tangki septik akan dikuras secara
periodik.

Sistem ini dirancang hanya untuk menerima bagian- bagian cair


dari air buangan kamar mandi, cuci dapur, dan limpahan air dari
tangki septik sehingga sistem ini harus bebas dari zat padat.
Saluran ini tidak dirancang untuk self cleansing. Pipa yang dipasang
hanya pipa persil dan servis yang menuju lokasi pembuangan
akhir. Pipa lateral dan pipa induk digunakan dalam sistem ini
apabila sistem ini diterapkan di daerah perencanaan dengan
kepadatan penduduk sangat tinggi. Sistem ini juga dilengkapi
dengan instalasi pengolahan sederhana. Contoh gambar skema
small bore sewer terdapat pada Gambar II.5. Persyaratan yang harus
dipenuhi untuk penerapan sistem ini adalah :

1) Memerlukan tangki untuk memisahkan padatan dan cairan.

2) Diameter pipa minimal 100 mm karena tidak membawa


padatan.

3) Kecepatan maksimum 3 m/detik (aliran dalam pipa tidak


harus memenuhi kecepatan self cleansing karena tidak
membawa padatan)

Gambar II.5. Skema Small Bore Sewer

Sistem ini cocok untuk daerah pelayanan dengan kepadatan


penduduk sedang sampai tinggi, terutama untuk daerah yang
telah menggunakan tangki septik tapi tanah sekitarnya sudah tidak
mampu lagi menyerap effluent tangki septik.

Secara umum sistem ini memiliki komponen :


1) Sambungan Rumah
Dibuat pada inlet tangki interceptor, semua air buangan
memasuki sistem melalui bagian ini.
2) Tangki Interceptor
Didesain untuk menampung aliran sederhana 12-24 jam untuk
memisahkan padatan dari cairannya. Volumenya dapat
menyimpan endapan yang akan diambil secara periodik.
3) Saluran
Berupa pipa yang berukuran kecil (50-100) mm, dengan
kedalaman yang cukup untuk mengalirkan air buangan dari
tangki interceptor dengan sistem gravitasi dan dibuat sesuai
dengan topografi yang ada.
4) Manhole
Sebagai jalan masuk dalam pemeliharaan saluran serta untuk
menggelontor saluran selama pembersihan saluran.
5) Vent
Fungsinya untuk memelihara kondisi aliran yang bebas.
6) Sistem Pemompaan (jika diperlukan)
Berfungsi untuk mengangkat effluent dari tangki interceptor ke
saluran untuk mengatasi perbedaan elevasi yang diperlukan
bagi sistem saluran dengan area yang luas.

Selain itu, sistem penyaluran air limbah dibedakan menjadi sistem terpisah
dan sistem tercampur, selengkapnya adalah sebagai berikut :

1. Sistem terpisah, yaitu sistem pengumpulan air limbah yang terpisah


dari sistem penyaluran air hujan.

Sistem terpisah merupakan sistem yang tepat apabila:

a. Air limbah akan dikonsentrasikan di satu tempat keluaran seperti


instalasi pengolahan air limbah.

b. Pengaliran air limbah diutamakan dengan cara gravitasi, akan


tetapi untuk tempat tempat tertentu yang sudah tidak bisa
dirancang sistem gravitasi maka diperbolehkan menggunakan
pompa.

c. Topografi daerahnya datar sehingga harus ditempatkan di tempat


yang lebih dalam dari pada kedalaman yang diperlukan untuk
penyaluran air hujan.

d. Area drainase merupakan daerah yang pendek dan terjal sehingga


menyebabkan kecepatan aliran yang tinggi menuju saluran
drainase alami.

e. Ketersediaan dana yang terbatas. Pembangunan sistem tercampur


akan memerlukan dana yang lebih besar dari sistem terpisah.

2. Sistem tercampur,

Sistem pengumpulan air limbah yang dicampur dengan penyaluran air


hujan. Sistem ini digunakan apabila daerah pelayanannya adalah
daerah padat dan sangat terbatas lahan untuk membangun saluran air
buangan yang terpisah dengan saluran air hujan. Sistem ini bisa
diterapkan dengan syarat :

- Debit air buangan relatif kecil

- Fluktuasi curah hujan relatif kecil dari tahun ke tahun

Kelebihan sistem ini adalah terjadinya pengurangan konsentrasi


pencemar air buangan karena adanya pengenceran dari air hujan, akan
tetapi sistem ini biasanya membutuhkan dimensi saluran yang lebih
besar daripada sistem lain.

Sementara itu, sistem tercampur dapat digunakan apabila:

a. Daerah yang akan dibangun saluran, merupakan daerah yang


sudah terbangun dan padat, dan ada keterbatasan ruang untuk
membangun dua jalur saluran.

b. Saluran penyalur air hujan sudah ada atau harus dibangun


sedangkan tambahan aliran air limbah jumlahnya relatif kecil
dibandingkan dengan air hujan yang disalurkan.
c. Dari segi pertimbangan lingkungan, tidak menimbulkan masalah
untuk membuang air limbah yang tercampur dengan air hujan
pada titik-titik pembuangan.

d. Air hujan yang ditampung pada saluran tidak dimanfaatkan


kembali oleh masyarakat, sehingga air hujan berfungsi sebagai
penurun konsentrasi air limbah yang masuk ke saluran.

e. Ada pengaturan tentang pembagian sebagian aliran pada waktu


hujan yang dapat disalurkan ke dalam saluran drainase alami,
sementara sejumlah aliran yang besarnya sama dengan jumlah
aliran yang didesain pada aliran musim kering tetap mengalir ke
outlet yang lain.

Unit pengumpulan terdiri dari beberapa komponen, yaitu :

a. Pipa Retikulasi
Pipa retikulasi terdiri dari pipa lateral dan pipa servis.
1) Pipa lateral berfungsi sebagai saluran pengumpul air limbah
dari sambungan rumah ke pipa induk. Pipa lateral
disambungkan ke pipa induk secara langsung melalui
manhole yang terdekat.
2) Pipa servis berfungsi sebagai saluran pengumpul air limbah
dari pipa lateral ke pipa induk. Pipa ini dapat dipasang
apabila kondisi lapangan tidak memungkinkan secara teknis
untuk menyambungkan pipa lateral ke pipa induk.
b. Pipa Induk
c. Bangunan Pelengkap
Bangunan pelengkap yang dimaksud dapat berupa Manhole atau
syphon.

G.2. Pengembangan Sistem Jaringan Air Limbah

Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam pengembangan suatu


rancangan sistem pengumpulan air limbah antara lain:

1. Studi tentang kebutuhan sarana tersebut yang dilengkapi dengan


sebuah laporan awal dan perkiraan biaya yang dibutuhkan.

2. Rekomendasi yang menyangkut metode pembiayaan yang diusulkan


untuk proyek yang diusulkan.
3. Publikasi proyek kepada masyarakat guna memastikan adanya
dukungan masyarakat.

4. Investigasi kerekayasaan sebelum menyusun rencana akhir.

5. Rencana itu sendiri yang diikuti oleh kontrak dan penyelesaian


pekerjaan.

Masyarakat perlu diberi penjelasan mengenai perlunya proyek tersebut


dilaksanakan dengan memberikan gambaran tentang keadaan kota/daerah
sekarang ini dibandingkan dengan daerah lain yang telah memiliki sistem
penyaluran air limbah yang baik. Publikasi harus memasukkan beberapa
informasi berikut:

1. Uraian tentang kondisi yang tidak diinginkan pada suatu wilayah yang
belum mempunyai fasiitas tersebut.

2. Uraian tentang kondisi daerah hilir dengan penjelasan tentang bahaya


kerusakan yang akan dihadapi.

3. Diskusi sebelum dan sesudahnya tentang apa yang dilakukan wilayah


tetangga.

4. Himbauan untuk meningkatkan kebanggaan masyarakat.

G.3. Daerah dan Tingkat Pelayanan

1. Daerah pelayanan harus ditunjukkan dengan jelas dalam peta hingga


mencakup skala kelurahan termasuk jalur pipa utama yang
melewatinya.

2. Daerah pelayanan setiap jalur (seksi) pipa harus ditandai dengan jelas
berupa blok-blok pelayanan, dengan aliran air limbah yang masuk ke
manhole hulu di seksi pipa yang menerimanya.

3. Daerah pelayanan pada daerah komersil akan memberikan percepatan


cost recovery O & M.

4. Tingkat pelayanan dinyatakan dengan persentase jumlah penduduk


ekivalen atau jumlah sambungan rumah yang dilayani oleh suatu jalur
(seksi) pipa.
G.4. Penyusunan Layout & Pemil. Paket Pek. Prioritas

1. Lay out sistem jaringan pipa harus diplot pada zona off-site dengan
karakteristik fisik minimal:

a. Pada zona dengan kepadatan penduduk tinggi. Kepadatan


penduduk untuk diharuskan adanya IPAL > 300 jiwa/ha.

b. Pada zona di mana air bersih tersedia dengan kapasitas yang


memadai untuk penggelontoran kloset.

c. Pada zona di mana elevasi muka air tanah tinggi.

d. Pada zona di mana air tanah dan sungai mempunyai beban


pencemaran tinggi melebihi beban maksimal sesuai
peruntukannya.

e. Pada zona di mana calon konsumennya mampu dan mau


membayar tarif.

f. Diprioritaskan pada zona komersil dan perkantoran.

2. Setiap pembuatan DED perlu me-review rencana lay-out jaringan pipa


(bila ada) atas pertimbangan potensi pengembangan daerah pelayanan,
kemudahan pelaksanaan atau biaya, dan kondisi eksisting daerah
pelayanan.

3. Alternatif lokasi IPAL potensial sudah ditetapkan. Di mana kapasitas


dan topografinya cukup memadai dan mudah dibebaskan.

4. Untuk pekerjaan pengembangan, pada ujung pipa lama yang akan


diadop harus selalu diukur kembali diameter dan elevasi invertnya
meskipun sudah ada as-build drawingnya.

5. Paket pekerjaan prioritas harus merupakan paket fungsional baru


dan/atau perbaikan seksi pipa yang bermasalah.

6. Paket pekerjaan prioritas mencakup suatu zona pelayanan dengan


karakterisik konsumen yang relatif sama, yang diprioritaskan untuk
didesain dan diimplementasikan.
G.5. Perancangan Sistem

Perancangan sistem jaringan perpipaan air limbah harus


mencantumkan:

1. Peta umum sistem pengumpulan air limbah yang menunjukkan distrik


atau wilayah sistem pengumpulan dan penyaluran air limbah utama
beserta distrik-distrik pelengkapnya.
2. Perencanaan dan profil tiap sistem pengumpulan air limbah.
3. Detail peralatan pelengkapnya.
4. Laporan lengkap proposal pembangunan sistem
5. Spesifikasi teknis sistem perpipaan dan detailnya.

G.6. Desain Aktual

1. Desain kapasitas pada setiap seksi pipa dengan awal manhole yang
mendapat tambahan debit, di buat khusus dalam lembar perhitungan,
seperti debit rata-rata, debit minimal, debit maksimal dan debit puncak
dari domestik, industri dan infilltrasi. Data debit ini digunakan lebih
lanjut dalam lembar perhitungan desain hidrolika.

2. Desain hidrolika dibuat dalam lembar perhitungan tersendiri, dengan


berbagai keluaran seperti diameter, kemiringan, kecepatan, elevasi
invert saluran dan manhole.

3. Desain struktur perlu memperhatikan kualitas media kontak (cairan


yang akan dialirkan, kualitas tanah dan tinggi muka air tanah), beban,
keamanan pekerja dan umur ekonomis struktur. Beberapa konstruksi
yang perlu diperhatikan adalah:

a. Pemilihan bahan pipa

b. Bedding, turap, tanah urug pada pemasangan pipa

c. Manhole dan pondasinya

d. Rumah pompa dan perlengkapan pipa lainnya

Gunakan mutu beton minimal K 350, dan untuk pekerjaan akhir


dengan semen tipe 5.
G.7. Pemetaan

Untuk keperluan operasi dan pemeliharaan yang sempurna, serta untuk


keperluan dokumentasi, jalur saluran yang direncanakan haruslah
dipetakan dengan baik. Sebelum melakukan pemetaan, terlebih dahulu
perlu ditetapkan batas-batas wilayah atau distrik berdasarkan daerah
pelayanan yang direncanakan, pertimbangan ekonomi, dan faktor-
faktor lain yang terkait seperti pertumbuhan di masa yang akan datang,
serta pertimbangan-pertimbangan politik dan sosiologi. Apabila batas
wilayah atau distrik telah ditetapkan, pemetaan awal harus segera
dilakukan. Pemetaan harus mengindikasikan bagaimana usulan sistem
pengumpulan air limbah bagi wilayah yang tidak termasuk dalam
rencana.

Guna memperoleh pemahaman yang baik tentang proyek yang


direncanakan, pemetaan harus menunjukkan beberapa informasi
berikut ini:

1. Elevasi dari lahan atau persil dan ruang-ruang bawah tanah.

2. Karakteristik wilayah yang telah terbangun apabila tidak melalui


bangunan-bangunan dengan atap datar, pabrik-pabrik, dll.

3. Rencana pemasangan pipa sistem penyaluran air limbah.

4. Garis batas kepemilikan.

5. Lebar jalan diantara garis kepemilikan dan di antara garis kelokan.

6. Lebar dan tipe jalan untuk pejalan kaki dan yang diaspal.

7. Jalur jalan kendaraan mobil dan jalan kereta api.

8. Struktur bawah tanah eksisting, seperti sluran pengumpul air limbah,


pipa air minum, dan kabel telepon.

9. Lokasi-lokasi struktur yang dapat memberikan hambatan dalam desain


saluran seperti jembatan, terowongan kereta api, penggalian yang
dalam, dan gorong-gorong.

10. Lokasi outlet saluran yang memungkinkan.

11. Lokasi instalasi pengolahan air limbah.


12. As built drawing dari instansi terkait.

Selain informasi-informasi yang dicantumkan dalam pemetaan tersebut,


yang dapat dijadikan dasar dalam memperkirakan jumlah air limbah
yang akan ditangani dapat diperoleh dari studi tentang pemakaian air
dan kerapatan serta pertumbuhan penduduk di wilayah yang akan
dilayani oleh sistem yang direncanakan, pengukuran debit di saluran air
limbah yang telah ada (eksisting), serta kompilasi data tentang hujan
dan run off yang ada. Apabila tidak diperoleh satu datapun yang
diperlukan dalam wilayah yang direncanakan,perkiraan harus
dilakukan berdasarkan data dari wilayah atau distrik yang mirip
dengan yang direncanakan.

G.8. Survei Bawah Tanah

Untuk memperoleh informasi tentang bangunan-bangunan, kesulitan


penggalian saluran, serta kondisi-kondisi lainnya yang mungkin akan
dijumpai dalam pelaksanaan pekerjaan, perlu melakukan survey-survei
bawah tanah disepanjang jalur saluran yang direncanakan.

Informasi pasti yang dapat diperoleh termasuk jenis bahan/material


yang akan digali, muka air tanah, letak dan ukuran pipa-pipa air, gas,
dan air limbah, kabel-kabel listrik dan telepon, jalur kendaraan di jalan,
dan struktur lain-lain yang dapat mempengaruhi konstruksi bawah
tanah. Struktur-struktur tersebut harus ditempatkan dengan mengacu
pada suatu titik permanen diatas muka tanah. Elevasi bagian atas pipa
harus dicatat, bukan kedalaman lapisan tanah penutup pipanya karena
kedalaman lapisan tanah penutup ini dapat berubah sesuai keadaan.
Elevasi saluran ditetapkan terhadap dasar saluran, bukan bagian atas
pipa.

Pekerjaan geoteknik atau penyelidikan geologi teknik merupakan salah


satu pekerjaan untuk mendapatkan data/informasi kedalaman muka air
tanah, jenis kualitas tanah serta daya dukungnya yang nantinya akan
merupakan bahan pertimbangan didalam menentukan desain
pemasangan pipa dan penentuan metode konstruksi (pemilihan jenis
turap penahan galian longsor dsb.). Penyelidikan tanah dilaksanakan di
beberapa lokasi sepanjang jalur pipa yang direncanakan dengan
kedalaman tertentu. Pekerjaan ini dibagi menjadi 2 pekerjaan utama
yaitu pekerjaan lapangan dan pekerjaan laboratorium, yang diuraikan
sebagai berikut :

1. Pekerjaan di Lapangan

Terdiri dari pekerjaan pengeboran dan pengambilan contoh tanah serta


pengujian Standard Penetration Test (SPT) pada kedalaman lubang bor.
Pengeboran dilakukan di beberapa lokasi dengan kedalaman rata-rata
tergantung kondisi lapangan dan rencana kedalaman pemasangan pipa
air limbah. Test SPT pada lubang bor dilakukan setiap interval
kedalaman 2 meter dan pengambilan contoh tanah tidak terganggu
dilakukan sebanyak satu kali untuk setiap lubang bor. Sedangkan
pengamatan visual untuk tanah terganggu dilakukan sepanjang
kedalaman pengeboran. Dan dari setiap lubang bor juga akan diketahui
tinggi muka air tanah.

2. Pekerjaan Laboratorium

Contoh tanah terganggu dan tidak terganggu yang diperoleh dari hasil
pengeboran di lapangan, akan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan
beberapa pengujian yang meliputi:

a. Kadar air
b. Berat isi
c. Berat jenis Gs
d. Unconfined Compresion Test
Kohesi c
Sudut geser
Analisa saringan
e. Proctor Test
Optimum Moisture Content w. Opt
Dry Maximum Density d. Max

G.9. Penempatan/Letak Saluran

Penempatan saluran dilakukan berdasarkan pada pertimbangan


kemudahan dalam pemeliharaan dan pemeriksaan saluran. Untuk jalan-
jalan di wilayah yang belum terbangun yang hanya akan dipasang satu
jalur pipa (baik cabang maupun sub induk) saja, saluran seringkali
diletakkan di tengah jalan. Pada jalan-jalan yang lebih padat dilalui
kendaraan dan dimana saluran air hujan juga akan dipasang, saluran air
hujan dan saluran air limbah akan lebih ekonomis jika ditempatkan
pada trench yang sama dengan menggunakan manhole yang sama,
seperti digambarkan pada Gambar II.6.

Gambar II.6. Tipikal Manhole Untuk Dua Macam Saluran dalam


Trench Yang Sama

Letak saluran air limbah harus sedemikian rupa sehingga memberikan


kombinasi yang diinginkan dalam:

1. Murah pembiayaannya

2. Sambungan ke rumah yang pendek

3. Kedalaman yang tepat

4. Menghindari pengaspalan

Di jalan-jalan yang lebar seperti boulevard, saluran diletakkan di tempat


parkir pada kedua sisi jalan sehingga tidak mengganggu pengaspalan
dan menghindari sambungan rumah yang panjang.

G.10. Penyajian Gambar Perencanaan


Gambar perencanaan secara keseluruhan terdiri dari :

1. Peta kunci (key map) seluruh sistem penyaluran air limbah (jaringan
pipa, termasuk titik lokasi pompa dan IPAL) yang dibagi dalam
beberapa indek peta. Peta ini sebaiknya dibuat digital dari hasil
pemotretan udara. Skala 1 : (30.000-50.000).

2. Peta sistem jaringan (lay-out) dalam satu index peta (terdiri dari satu
atau beberapa seksi pipa), sebagai hasil desain, skala 1 : 1000, yang
mencakup:

a. Lay-out seksi pipa (dua atau beberapa Manhole yang ada dalam
satu indek peta)

b. Nama jalan dan tata-letak persil konsumen

c. Utilitas kota di sekitar (jalur) jaringan

d. Panjang dan diameter pipa

e. Titik lokasi dan No. Manhole

f. Elevasi muka tanah dan/atau ditunjukkan dengan kontur interval


300 mm.

3. Gambar detailed plan, sebuah profil kerja yang dapat dipakai sebagai
gambar dokumen tender, dalam satu lembar gambar kerja terdiri dari :

a. Gambar denah (sewer plan) skala 1 : 1000

b. Gambar profil (sewer profile), dengan posisi di bawah gambar


denah, berupa potongan memanjang pipa dan data desain pipa
mencakup nama jalan; utilitas kota di sekitar (jalur) jaringan;
panjang dan diameter pipa; titik lokasi, no. dan tipe Manhole;
elevai muka tanah eksisting; lokasi boring; jenis tanah (termasuk
lapisan kerasnya); tipe bedding; metode konstruksi pipa.

c. Informasi penting lainnya dengan posisi di bagian kanan berupa


gambar logo dari pemberi tugas, perencana dan gambar instansi
lain; indeks peta dan nomornya; judul, nomer dan halaman
gambar; skala 1 : 100 (vertikal) dan 1: 1000 (horisontal); tanggal
disetujuinya gambar; nama-nama drafter, pemeriksa dan pemberi
persetujuan untuk keperluan tanda tangan yang bersangkutan
sesuai dengan kebutuhan (kesepakatan); nama proyek; nama
paket; legend seperti notasi jalan, jembatan, sungai, manhole,
pipa air, pipa/kabel listrik, bangunan-bangunan (perumahan,
gedung dan fasilitas lain lengkap dengan namanya), pipa air
limbah dengan arah aliran, dimensi dan panjangnya, serta notasi
lain yang dianggap penting.

d. Gambar detail/tipikal yang terdiri dari detail Manhole, bedding,


Sambungan Rumah, bangunan pengumpul, rumah pompa dan
lain-lain.

G.11. Perencanaan Teknis Sistem Perpipaan Air Limbah

G.11.1. Perencanaan Pipa Retikulasi

1. Pipa retikulasi adalah saluran pengumpul air limbah untuk


disalurkan ke pipa utama;

2. Pipa retikulasi terdiri dari pipa servis dan pipa lateral;

3. Pipa servis adalah saluran pengumpul air limbah dari pipa lateral
ke pipa induk;

4. Pipa lateral adalah saluran pengumpul air limbah dari


sambungan rumah ke pipa induk.

5. Perencanaan pipa retikulasi air limbah meliputi: letak pipa,


diameter dan bahan pipa, metode konstruksi (open trench atau pipe
jacking), kemiringan minimum, manhole;

6. Perencanaan debit rata-rata (m3/hr) pada masing-masing seksi


pipa lateral harus memperhitungkan luas daerah tangkapan (ha),
klasifikasi dan proyeksi debit spesifik air limbah yang dilayani
(m3/hr/ha).

7. Perencanaan dimensi pipa retikulasi harus memperhitungkan:

a. Debit rata-rata (tanpa infiltrasi)

b. Debit jam maksimum/puncak (dengan infiltrasi)

c. Debit jam minimum (tanpa infiltrasi)

Perencanaan dimensi pipa dan pompa harus memperhitungkan


debit jam maksimum dan debit jam minimum untuk perencanaan
penggelontoran di beberapa seksi pipa.
8. Perencanaan pipa retikulasi harus mengacu pada kriteria dan tata
cara perencanaan teknis yang berlaku.

G.11.2. Perencanaan Pipa Induk (Main/trunk sewer)

1. Pipa induk adalah saluran yang menyalurkan air limbah dari


pipa lateral (retikulasi) menuju instalasi pengolahan air limbah;

2. Bila diperlukan pipa induk dapat dilengkapi dengan pipa cabang


yang berfungsi menyalurkan air limbah dari pipa lateral
(retikulasi) ke pipa induk;

3. Perencanaan pipa induk air limbah meliputi: letak pipa, dimensi


dan bahan pipa, metode konstruksi (open trench atau pipe jacking),
stasiun pompa dan bangunan pelengkap (seperti manhole,
siphon, dll).

4. Perencanaan debit rata-rata (m3/hr) harus memperhitungkan


seluruh daerah tangkapan (ha), klasifikasi dan proyeksi debit
spesifik air limbah yang dilayani (m3/hr/ha).

5. Perencanaan dimensi pipa induk harus memperhitungkan:

a. Debit rata-rata (tanpa infiltrasi)

b. Debit jam maksimum/puncak (dengan infiltrasi)

c. Debit jam minimum (tanpa infiltrasi)

Perencanaan dimensi pipa dan pompa harus memperhitungkan


debit jam maksimum dan debit jam minimum untuk perencanaan
penggelontoran pipa induk.

6. Perencanaan teknis pipa induk harus mengacu pada standard


teknis dan tata cara perhitungan perencanaan teknis pipa induk
Air Limbah yang berlaku.

7. Material pipa jacking mengacu pada JIS A5303 atau JIS 5302,
dengan mutu beton minimum K 400, menggunakan sement Type
V (Sulfate Resisting Portland Cement) sesuai dengan SII 0013-84,
dan menggunakan besi jenis Hard Drawn deformed wire dengan
Yield Strength > 4500kg/cm2 dan Tensile Strength > 5000 kg/cm2
G.11.3. Debit Desain

1. Debit Rata-Rata

a. Debit rata-rata suatu seksi pipa merupakan komulatif debit


rata-rata seksi pipa hulu yang mengkontribusinya.

b. Debit rata-rata suatu seksi pipa (qR) bisa terdiri dari debit satu
atau beberapa sumber air limbah dengan debit air limbah
spesifik, qr [m3/hr.ha] dan luas, a [m2] yang berbeda :

qR-C [m3/hr] = qR-A [m3/hr] + qR-B [m3/hr] + qr1


[m3/(hr.ha)] a1 [ha] + qr2 [m3/(hr.ha)] a2 [ha]
+ ...

c. Debit air limbah spesifik dari daerah permukiman

qr [m3/(hr.ha)]=(0,15 sampai dengan 0,25) [m3/(org.hr)]


(200-400) [org/ha]

d. Debit air limbah spesifik dari daerah komersil, perkantoran


atau highrise building

qr [m3/(hr.ha)] =Ls1 [m3/(unit.hr)] Ls2 [unit/ha], atau


= (0,01-0,03) [m3/(org.hr)] Ls3 [org/lt] Ls4 [lt/unit]
Ls2 [unit/ha]

Besarnya Ls1 tergantung pada data pemakaian air bersih dan


faktor air limbah (0,70-0,80). Ls2, Ls3, dan Ls4 tergantung pada
kondisi sumber air limbahnya.

e. Debit air limbah spesifik dari rumah sakit

qr [m3/(hr.ha)] =Ls1 [m3/(unit.hr)] Ls2 [unit/ha], atau


= (0,3) [m3/(bed.hr)] Ls3 [bed/kmr] Ls4 [kmr/lt] Ls5
[lt/unit] Ls2 [unit/ha],

Besarnya Ls1 tergantung pada data pemakaian air bersih dan


faktor air limbah (0,70-0,80). Ls2, Ls3, Ls4 dan Ls5 tergantung
pada kondisi sumber air limbahnya.
2. Debit Jam Maksimal (puncak)

a. Debit puncak suatu seksi pipa merupakan debit rata-rata di


seksi yang bersangkutan (tanpa infiltrasi) dikalikan dengan
faktor puncak sesuai dengan dimensi pipanya.

b. Faktor puncak untuk berbagai dimensi pipa air limbah.

Tabel II.2. Faktor Puncak


Jenis Pipa fp = qp/qR
Pipa SR 6
Pipa lateral 4-6
Pipa cabang 3
Pipa induk 2,5
Pipa pembawa (trunk) atau outfall 2
Atau dari formula Babbit :

qp = fp qR
di mana :
fp = 5/(P0,167)
P = jml penduduk dilayani, ribuan

c. Debit puncak total, (QP) harus mempertimbangkan debit


infiltrasi

QP = qp + qi

d. Debit infiltrasi, (qi)

qi = 10% qR

G.11.4. Kecepatan dan Kemiringan Pipa

1. Kemiringan pipa minimal diperlukan agar di dalam


pengoperasiannya diperoleh kecepatan pengaliran minimal
dengan daya pembilasan sendiri (tractive force) guna mengurangi
gangguan endapan di dasar pipa;

2. Koefisien kekasaran Manning untuk berbagai bahan pipa yang


terdapat pada Tabel II.3.
Tabel II.3. Koefisien Kekasaran Pipa
Koefisien Kekasaran
No Jenis Saluran
Manning (n)
Pipa Besi Tanpa Lapisan 0.012 0.015
11.1. Dengan Lapisan Semen 0.012 0.013
1.2. Pipa Berlapis Gelas 0.011 0.017
2 Pipa Asbestos Semen 0.010 0.015
3 Saluran Pasangan Batu Bata 0.012 0.017
4 Pipa Beton 0.012 0.016
5 Pipa Baja Spiral dan Pipa Kelingan 0.013 0.017
6 Pipa Plastik Halus (PVC) 0.002 0.012
7 Pipa Tanah Liat (Vitrified Clay) 0.011 0.015

3. Kecepatan pengaliran pipa minimal saat full flow atas dasar


tractive force, yang terdapat pada Tabel II.4.

Tabel II.4. Kecepatan Pengaliran Pipa Minimal Saat Full Flow


Kecepatan Self Cleansing
Diameter
(m/detik)
(m)
n=0,013 n=0,015
200 0,47 0,41
250 0,49 0,42
300 0,50 0,44
375 0,52 0,45
450 0,54 0,47

4. Kemiringan pipa minimal praktis untuk berbagai diameter atas


dasar kecepatan 0.60 m/dtk saat pengaliran penuh terdapat pada
Tabel II.5.

Tabel II.5. Kemiringan Minimal


Kemiringan Minimal
Diameter
(mm)
(m)
n = 0,013 n=0,015
200 0,0033 0,0044
250 0,0025 0,0033
300 0,0019 0,0026
375 0,0014 0,0019
450 0,0011 0,0015
Atau dengan formula praktis :
2
Smin = 3atau 0,01 Q0,667
di mana Smin (m/m), D (mm) dan Q (L/dtk)
Kecepatan aliran minimum 0,6 m/detik dan maksimum 3
m/detik.

5. Kemiringan muka tanah yang lebih curam daripada kemiringan


pipa minimal, bisa dipakai sebagai kemiringan desain selama
kecepatannya masih di bawah kecepatan maksimal.

G.11.5. Kedalaman Pipa


1. Kedalaman perletakan pipa minimal diperlukan untuk
perlindungan pipa dari beban di atasnya dan gangguan lain;

2. Kedalaman galian pipa:

a. Persil > 0.4 m (beban ringan, > 0,8 m (beban berat)

b. Pipa service 0,75 m dan,

c. Pipa lateral (1-1.2) m,

3. Kedalaman maksimal pipa induk untuk open trench 7m atau


dipilih kedalam ekonomis atas pertimbangan biaya dan
kemudahan/resiko pelaksanaan galian dan pemasangan pipa.

G.11.6. Hidrolika Pipa

1. Metode atau formula desain pipa pengaliran penuh (full flow)


yang digunakan dalam pedoman ini adalah Manning;

2. Ada 4 parameter utama dalam mendesain pipa full-flow, dengan


kaitan persamaan antar-parameter sebagai berikut:

a. Debit, QF (m3/dtk)

12.5505 3 4
QF = = 0.785 VF (D/1000)2
1,5
0.3116 (D/1000)16/3 0.5
=

b. Kecepatan, VF (m/dtk)
0.397 1.2739
VF= (D/1000)2/3 S0,5 = (1000)2

= (0.5313/n0.75) QF0.25 S3/8

c. Kemiringan, S (m/m)

10,3 ( )2 6.3448 ( )2 5.4454 2 8/3


S= = =
(/1000)16/3 [(/1000)/4]4/3 2/3

d. Diameter, D (mm)

1.5485 ( )3/8 1.1287 0.5 3.9977n 1.5 1.5


D= = =
S3/16 0.5 0.75

Pemakaian formula-formula diatas dapat juga dengan


menggunakan Nomogram untuk berbagai koefisien Manning.

3. Pengaliran di dalam pipa air limbah adalah pengaliran secara


gravitasi (tidak bertekanan), kecuali pada bangunan perlintasan
(sifon) dan bila ada pemompaan.

4. Pada pengaliran secara gravitasi, air limbah hanya mengisi


penampang pipa dengan kedalaman air hingga
< (70 80)% terhadap diameter pipa, atau debit puncak = (70
80)%, atau terhadap debit full atau allowance
= (2030)%.

Air dalam pipa maksimum sebesar 2/3 diameter pipa atau 80%
dari volume total pipa.

Perbandingan luas penampang basah dengan luas penampang


pipa untuk D < 150mm yaitu a/A = 0,5 dan untuk D> 150mm
a/A = 0,7.

5. Dari hasil perhitungan debit puncak (dengan infiltrasi), maka


debit full dapat diperoleh, QF = QP + allowance.

Allowance Debit puncak Debit Full


(QP) (QF)
D
d

6. Dari data kemiringan pipa rencana (S) dan debit full (QF), dengan
menggunakan formula kecepatan dan diameter pipa di atas dapat
dihitung diameter (D) dan kecepatan pipa (VF).
7. v/VF dan d/D dihitung dengan formula

(1/)[1/ArcCos]0,6667[ArcCos-Sin(ArcCos)
Cos(ArcCos)]1,667 , di mana = (1-2d/D) dalam radian :

Partially flow Full flow

q, v, d Q,V, D
D

d

8. Perhitungan hidrolika pipa bisa dilakukan secara manual atau


menggunakan perhitungan cepat dengan program komputer
(Microsoft Excel).

G.11.7. Dimensi Pipa & Populasi Ekivalen yg dilayani

Dari perhitungan dimensi pipa berdasarkan aliran atau tiap jalur


pipa dari berbagai sumber air limbah dapat dihitung dimensi pipa.
Perhitungan dimensi pipa dari rumah tangga akan mudah diketahui
bila sudah diketahui jumlah populasi dan jumlah pemakaian air
bersihnya. Untuk mengetahui secara cepat dimensi pipa dari
kegiatan lain seperti bisnis area, rumah sakit, pasar dan sebagainya
digunakan populasi ekivalen.

Berikut ini disampaikan besaran population ekivalen dari berbagai


jenis kegiatan yang terdapat pada Tabel II.6.

Tabel II.6. Nilai PE Untuk Setiap Kegiatan


No Kegiatan Nilai PE Acuan
1 Rumah Biasa 1 Study JICA 1990
2 Rumah Mewah 1,67 Sofyan M Noerlambang
3 Apartemen 1,67 Sofyan M Noerlambang
4 Rumah Susun 0,67 Sofyan M Noerlambang
5 Puskesmas 0,02 Sofyan M Noerlambang
6 Rumah Sakit Mewah 6,67 SNI 03 7065-2005
7 Rumah Sakit Menengah 5 SNI 03 7065-2005
8 Rumah Sakit Umum 2,83 SNI 03 7065-2005
9 SD 0,27 SNI 03 7065-2005
10 SLTP 0,33 SNI 03 7065-2005
No Kegiatan Nilai PE Acuan
11 SLTA 0,53 SNI 03 7065-2005
12 Perguruan Tinggi 0,53 SNI 03 7065-2005
13 Ruko 0,67 SNI 03 7065-2005
14 Kantor 0,33 SNI 03 7065-2005
15 Stasiun 0,02 SNI 03 7065-2005
16 Restoran 0,11 SNI 03 7065-2005

1. Setiap SR atau dimensi pipa secara praktis dapat melayani suatu


jumlah penduduk ekivalen (PE)

2. Setiap SR dari permukiman akan melayani (3-10) PE tergantung


jumlah penghuninya.

3. Setiap SR atau suatu seksi pipa akan melayani:

q [3 ]
r
PE = (0.801.50)[m 3 org]

Jumlah PE di sini kemungkinan tidak sama dengan jumlah


penduduk yang dilayani.

4. Jumlah PE untuk masing-masing SR atau pipa. Konversi nilai PE


terhadap diameter pipa terdapat pada Tabel II.7.

Tabel II.7. Konversi Nilai PE Terhadap Diameter Pipa


Miring Minimal
PE Diameter (mm)
(mm)
< 150 100 0,0200
150 - 300 125 0,0150
300 - 500 150 0,0100
500 - 1000 180 0,0055
1000 - 2000 200 0,0033

G.11.8. Pemilihan Bahan Pipa

Pemilihan bahan pipa harus betul-betul dipertimbangkan mengingat


air limbah banyak mengandung bahan yang mengganggu kekuatan
pipa. Demikian pula selama pengangkutan dan pemasangannya
diperlukan kemudahan serta kekuatan fisik yang memadai. Sehingga
berbagai faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pipa secara
menyeluruh adalah:

1. Umur ekonomis.

2. Pengalaman pipa sejenis yang telah diaplikasikan di lapangan.

3. Resistensi terhadap korosi (kimia) atau abrasi (fisik).

4. Koefisiensi kekasaran (hidrolik).

5. Kemudahan transpor dan handling.

6. Kekuatan struktur.

7. Biaya suplai, transpor dan pemasangan.

8. Ketersediaan di lapangan.

9. Ketahanan terhadap disolusi di dalam air.

10. Kekedapan dinding.

11. Kemudahan pemasangan sambungan.

Pipa yang bisa dipakai untuk penyaluran air limbah adalah Vitrified
Clay (VC), Asbestos Cement (AC), Reinforced Concrete (RC), Stell, Cast
Iron, High Density Poly Ethylene (HDPE), Unplasticised Polyvinylchloride
(uPVC) dan Glass Reinforced Plastic (GRP).

1. Pipa Beton

a. Aplikasi

Pada pengaliran gravitasi (lebih umum) dan bertekanan

1) Untuk pembuatan sifon


2) Untuk sistem tercampur dengan saluran drainase
diameter (300-3600) mm akan lebih ekonomis karena
durabilitasnya jauh lebih baik dibandingkan dengan
bahan saluran lainnya.
3) Hindari aplikasi sebagai sanitary sewer dengan dimensi
kecil terutama bila ada air limbah industri atau
mengandung H2S berlebih. Untuk dimensi kecil hingga
diameter 45 mm biasanya dipakai pipa bahan PVC
atau lempung.
4) Pada sanitary trunk sewer, beton bertulang juga dipakai
dengan diameter lebih besar daripada PVC maksimal,
dengan lining plastik atau epoksi (diproses monolit di
pabrik) atau pengecatan bitumas-tik atau coal tar epoxy
(dilakukan setelah instalasi di lapangan).

b. Ukuran dan Panjang Pipa

1) Pipa pracetak dengan diameter diatas 600 mm harus


dipasang dengan tulangan, meskipun pada diameter
yang lebih kecil tetap dibuat beton bertulang.

2) Untuk konstruksi beton bertulang (pracetak), diameter


dan panjang yang tersedia di lapangan:

a) Diameter : [(300) 600 2700] mm


b) Panjang : 1.8 m untuk diameter < 375 mm
c) Panjang : 3 m untuk diameter > 375 mm
d) Tersedia 5 kelas berdasarkan pada kekuatan beban
eksternal.
3) Untuk konstruksi beton tidak bertulang (pracetak)

a) Diameter : (100 - 600) mm


b) Panjang : (1.2 7.3)

c. Sambungan

1) Tongue dan Groove (khusus beton bertulang)

a) Untuk diameter > 760 mm

b) Dengan menggunakan sambungan senyawa mastic


atau gasket karet yang membentuk seal kedap air
dengan plastic atau tar panas mastic, clay tile, atau
senyawa asphatik.

2) Spigot dan Soket dengan semen

a) Untuk diameter (305-760) mm

b) Ekonomis
c) Mudah pemasangannya

d) Aman dan Memuaskan

3) Cincin karet fleksibel

2. Pipa Cast Iron

a. Aplikasi

1) Bangunan layang diatas tanah (perlintasan sungai,


jembatan, dan sebagainya)

2) Stasiun pompa

3) Transport lumpur

4) Pipa bertekanan

5) Situasi yang sulit (misal pondasi jelek)

6) Pipa yang diaplikasikan pada tanah yang bermasalah


dengan akar pepohonan

7) Tidak cocok apabila diaplikasikan pada:

a) Daerah payau, yang selalu ada aksi elektrolit


b) Sambungan rumah karena biaya mahal
c) Daerah dengan tanah mengandung sulfat

8) Pipa yang akan dipasang pada kedalaman lebih dari 0.5m


mengingat bila menggunakan cara pemasangan pipa
dangkal cenderung akan menemukan banyak gangguan.

b. Diameter dan Panjang Tersedia

1) Diameter: (2 48) inch

2) Panjang : 3.6 m

c. Sambungan

1) Flanged dan Spigot


2) Flanged dan Soket

3) Tarred Gasket dengan Cauled Lead

3. Pipa Asbes Semen

a. Aplikasi

1) Sambungan rumah

2) Saluran gravitasi

3) Pipa bertekanan (terbatas)

b. Diameter dan Panjang Lapangan

1) Diameter (100 1050) mm, panjang 4 m

2) Diameter (250 525) mm, panjang 2 m

3) Tersedia berbagai klas didasarkan pada supporting


strength, dan epoxy-lined.

4. Vitrified Clay Pipe (VCP)

a. Aplikasi

1) Untuk pipa pengaliran gravitasi

2) Sebagai sambungan rumah (SR)

a) SR pipa standar
b) SR pipa dengan riser vertical

b. Diameter dan Panjang Tersedia

1) Diameter : (100 1050) mm dan (100 375) mm.

2) Panjang : (0.6 1.5) m.

3) Tersedia dalam bentuk standard dan ekstra kuat.


5. Pipa Plastik (Bahan PVC dan PE)

a. Aplikasi

1) PVC : untuk sambungan rumah dan pipa cabang.

2) PE : untuk daerah rawa attau persilangan di bawah air.

b. Klasifikasi

1) Standar JIS K 6741-1984

a) Klas D/VU dengan tekanan 5 kg/cm2


b) Klas AW/VP dengan tekanan 10 kg/cm2

2) Standar SNI 0084-89-A/SII-0344-82

a) Seri S-8 dengan tekanan 12.5 kg/cm2


b) Seri S-10 dengan tekanan 10 kg/cm2
c) Seri S-12.5 dengan tekanan 8 kg/cm2
d) Seri S-16 dengan tekanan 6.25 kg/cm2

Pemilihan klas diatas tergantung pada beban pipa dan tipe


bedding dan dalam kondisi pengaliran secara gravitasi atau
dengan adanya pompa (tekanan).

c. Diameter dan Panjang Tersedia

1) Diameter sampai dengan 300 mm.

2) Panjang standar 6 m.

G.11.9. Bentuk Penampang Pipa

Penampang pipa yang digunakan dapat berbentuk bundar, empat


persegi panjang atau bulat telur.
G.11.10. Beban Di atas Pipa dan Bedding

- Perhitungan beban-beban yang bekerja di atas pipa dapat


dipakai untuk mengontrol atau merencanakan pemasangan
pipa agar pipa dapat menahan beban yang bekerja sesuai
dengan kekuatannya.

- Kekuatan pipa dapat ditingkatkan dengan pemilihan


konstruksi landasan pipa (bedding).

- Ada 6 (enam) tipe konstruksi bedding dengan load factor 1,1 -1,5
-1,9 -2,4 dan -4,5.

G.11.10.1. Menentukan Beban yang Bekerja pada Pipa

Desain struktur pipa air limbah sangat tergantung dari daya


dukung tanah di sekitar pipa yang terpasang dibagi dengan factor
keamanan, dimana nilainya harus sama atau tidak boleh kurang
dari beban yang bekerja pada pipa. Beban yang bekerja pada pipa
berupa beban kombinasi dari berat tanah di atas pipa dan beban
yang bekerja di atas timbunan. Macam-macam beban pipa
dicontohkan pada Gambar II.7.

Gambar II.7. Macam-Macam Beban yang terjadi pada Pipa

1. Beban pada pipa yang disebabkan tekanan grafitasi tanah

Untuk menghitung beban yang bekerja pada pipa dapat


menggunakan teori Marston. Teori Marston cocok digunakan
untuk diameter pipa besar (>20 inch). Sedangkan pipa
diameter kecil tidak tepat menggunakan teori Marston.

Persamaan umum teori Marston untuk beban merata akibat


tekanan tanah :
Wc = Cd . . Bd2
Dimana :
Wc = Beban yang bekerja di atas pipa (N/m)
Cd = koefisien beban, tergantung tinggi urugan dan lebar
galian pipa (Gambar I.21)
= berat jenis tanah (kg/m3)
Bd = lebar galian pipa (m)

2. Beban pada pipa yang disebabkan beban yang bekerja di atas


timbunan (Gambar II.8).

a. Beban terpusat (seprti beban roda kendaraan)


Wsc = Cs PF / L

Dimana :
Wsc = beban yang bekerja di atas pipa (N/m)
P = beban terpusat
F = factor kejut
L = panjang efektif pipa
Cs = koefisien beban (table 9.4)
= fungsi Bc/2H dan L/2H (Tabel I.9)
H = tinggi urugan diatas pipa (m)
Bc = lebar pipa (m)

Gambar II.8. Beban yang Bekerja pada Pipa


b. Beban merata
Rumus yang dipakai :
Wsd = Cs .. F . Bc
Dimana :
Wsd = beban yang bekerja di atas pipa (N/m)
= beban merata (pascal)
F = faktor kejut
Bc = diameter luar pipa (m)
Cs = koefisien beban, merupakan fungsi dari D/2H
dan M/2H (Tabel I.9)
D,M = lebar dan panjang (m)
H = tinggi urugan di atas pipa (m)
Nilai F :
- Jalan Raya F=1.3
- Jalan kereta api F=1.4
- Runway F=1.0

G.11.10.2. Bedding dan Urugan

Kemampuan pipa sewer menahan beban yang bekerja padanya


sangat tergantung dari kemampuan material yang
menyelimutinya (bedding) dan pondasi (tanah asli) dibawahnya.
Dalam konstruksi pipa air limbah yang menjadi satu kesatuan
dengan tanah di sekitar pipa terdapat 5 area penting yaitu :
fondasi, bedding, hauncing, urugan pertama dan urugan terakhir
seperti terlihat pada Gambar II.9.

Gambar II.9. Potongan Melintang Konstruksi Pipa Sewer

1. Pondasi, yang dimaksud pondasi dalam sistem pipa sewer


adalah tanah dasar galian. Tanah dasar galian harus dalam
kondisi stabil sehingga mampu menahan beban pipa dan
beban semua urugan di atasnya. Untuk jenis tanah tertentu
dengan daya dukung rendah dilakukan stabilisasi atau
mengganti lapisan tanah asli.

2. Bedding, adalah lapisan material diatas pondasi sebagai


tempat duduknya pipa sewer. Material yang dipakai
umumnya adalah pasir supaya memudahkan dalam
pemadatan. Material pasir yang dipakai harus tidak
mengandung lempung lebih dari 10% berat, dan tidak
mengandung batu berukuran lebih dari 25 mm.

3. Hauncing, berfungsi untuk mengunci pipa sewer di kedua


sisinya, agar posisi pipa kea rah memanjang tetap dalam
kondisi lurus. Material yang dipakai umumnya sama dengan
material bedding.

4. Urugan Awal (initial backfill), material yang dipakai


umumnya material berpasir, dimana tidak diperbolehkan ada
butiran/batu berdiameter lebih dari 50 mm. Lapisan ini
berfungsi menutup pipa dengan ketinggian urugan
umumnya 15-30 cm. Lapisan ini tidak dipadatkan dengan
mesin karena dapat mengganggu elevasi pipa. Pemadatan
dilakukan dengan manual (hand tamper) atau dengan bantuan
air (compact by water).

5. Urugan Penutup (final backfill), urugan penutup dapat


menggunakan material hasil galian atau material yang
didatangkan, termasuk tanah lempung dan campuran pasir
dengan kandungan lumpur tidak lebih dari 30%. Tidak boleh
terdapat batuan lebih besar dari 50mm.
G.11.10.3. Menentukan Type Bedding

Untuk pipa sewer jenis rigid pipe ada 4 tipe bedding yang biasa
dipakai seperti Gambar II.10.

Gambar II.10. Type Bedding untuk Rigid Pipe

Untuk menentukan type bedding (Type Bedding untuk Rigid Pipe terdapat
pada Gambar II.11) yang dipakai, rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut :

x Faktor Keamanan
Bedding factor (FB) =

Dimana:
Design Load = Wc + Wsd +Wsc
FK = 1.25 1.5
BS = Hasil test laboratorium pipa

Nilai Bedding factor adalah sebagai berikut :


Class A FB = 2.2 untuk type concrete cradle
FB = 2.8 untuk type concrete arch
Class B FB = 1.9 untuk type compacted granular bedding
Class C FB = 1.5 untuk type granular bedding
Class D FB = 1.1 untuk type flat bottom

Gambar II.11. Type Bedding untuk Rigid Pipe

Tabel II.8. Besaran Nilai Koefisien Beban


G.11.11. Perencanaan Vertikal Shaft

1. Karakteristik Shaft

Metode Jacking yang digunakan akan dilakukan di bawah


permukaan tanah, walau demikian masih tetap diperlukan
kegiatan galian terbuka. Galian ini dibutuhkan untuk pembuatan
shaft. Shaft merupakan suatu lubang yang digunakan untuk
menempatkan peralatan jacking, memasukkan pipa dan sebagai
tempat berakhirnya pipa serta keluarnya mesin. Terdapat dua
buah shaft yaitu departure shaft dan arrival shaft. Departure shaft
adalah tempat yang didisain sebagai awal dari jacking dan
merupakan ruang kontrol pelaksanaan jacking. Dalan departure
shaft terdapat mesin jacking dan segala perlengkapan untuk
kegiatan jacking. Arrival shaft adalah suatu lubang tempat
berakhirnya pipa jacking dan digunakan untuk demobilisasi
mesin bor tanah.

Arrival shaft dan departure shaft memiliki perbedaan dimensi.


Penyebabnya adalah fungsinya berbeda. Departure shaft memiliki
dimensi yang lebih besar karena akan banyak diisi dengan
peralatan jacking dan alat lainnya. Sedangkan arrival shaft
dimensinya lebih kecil dan hanya berfungsi untuk mengeluarkan
mata bor jacking.

2. Pekerjaan Geoteknik

Penyelidikan geologi teknik dilaksanakan untuk mendapatkan


data/informasi kedalaman muka air tanah, jenis kualitas tanah
serta daya dukungnya yang nantinya akan merupakan bahan
pertimbangan didalam menentukan desain shaft untuk pemilihan
jenis turap penahan galian longsor. Penyelidikan tanah
dilaksanakan di beberapa titik sepanjang jalur pipa yang
direncanakan dengan kedalaman tertentu. Pekerjaan ini dibagi
menjadi 2 pekerjaan utama yaitu pekerjaan lapangan dan
pekerjaan laboratorium, yang diuraikan sebagai berikut :

a. Pekerjaan di Lapangan
Terdiri dari pekerjaan pengeboran dan pengambilan contoh
tanah serta pengujian Standard Penetration Test (SPT) pada
kedalaman lubang bor. Pengeboran dilakukan dibeberapa
lokasi tergantung kondisi lapangan dan rencana kedalaman
pemasangan pipa air limbah. Test SPT pada lubang bor
dilakukan setiap interval kedalaman 2 meter dan pengambilan
contoh tanah tidak terganggu dilakukan sebanyak satu kali
untuk setiap lubang bor. Sedangkan pengamatan visual untuk
tanah terganggu dilakukan sepanjang kedalaman pengeboran.
Dan dari setiap lubang bor juga akan diketahui tinggi muka air
tanah.

b. Pekerjaan Laboratorium
Contoh tanah terganggu dan tidak terganggu yang diperoleh
dari hasil pengeboran di lapangan, akan dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan beberapa pengujian yang
meliputi:

1) Kadar air

2) Berat isi

3) Berat jenis Gs

4) Unconfined Compresion Test

Kohesi c
Sudut geser
Analisa saringan

5) Proctor Test

Optimum Moisture Content w. Opt

Dry Maximum Density d. max

Untuk pelaksanaan pekerjaan lapangan akan dilakukan oleh


tim survey bekerja sama dengan Laboratorium Mekanika
Tanah setempat.

Hasil dari penyelidikan tanah ini mencakup:

1) Boring Profile

2) Resume hasil pengujian tanah yang terdiri dari :

- Pemeriksaan kekuatan tanah tekan bebas


- Pemeriksaan berat jenis

- Analisa saringan

3) Peta lokasi pengeboran

4) Dokumentasi lapangan

G.11.12. Konstruksi Shaft

Untuk meminimalisasi penggunaan lahan dan kemacetan lalu lintas


disekitar area shaft, digunakanlah deck beton bertulang (RDC/Road
Deck Cover) untuk menutup lubang SHAFT sehingga ruang publik
menjadi sedikit dipergunakan dan lalu lintas dapat melalui jalan
diluar shaft dengan baik. RDC dibuat dari beton bertulang
berukuran 1.0 m x 2.0 m dengan tebal 20 cm , dan dikeempat sisinya
diperkuat dengan besi siku. RDC ditumpu oleh Girder Steel H Beam.
Konfigurasi RDC disesuaikan dengan ukuran Shaft dan kondisi di
lapangan.

G.11.12.1. Perhitungan Road Deck Cover

Referensi : - SNI 03 2847 2004


Data
- Beban Hidup, L (Crain) , 26 ton dengan 4 roda P = 26,000
kg/4 = 6,500 kg (per roda).
- Beban Mati, D (berat sendiri RDC) : 1,0 m (b) x 0,2 m (t) x 2400
= 480 kg/m
- Dimension : b (lebar) = 100 cm , H (tebal) = 20 cm
- Mutu Beton fc = 25 Mpa (K-300)
- Mutu Baja fy = 32 Mpa
1. Perhitungan Momen dan Gaya Geser
Pu= 6500 kg
Wu

Lt = 2,0 m
A B
1/2Lt

Moment Diagram

Shear Diagram M service= 1/8 Wu Lt 2 + 1/4PuLt

Pshear= Wu Lt + Pu + Pu
-

Kombinasi Pembebanan :

U = 1,2 D + 1,6 L + 5% L,

D = beban mati L = beban hidup

Du = 1,2 x D (kg/m)

Lu = 1,6 x L + 5% x L

Momen = 1/8 x Wu x lt2 + x Pu x lt (kgm)

Dimana :
Wu = beban merata ultimit
Du = beban mati ultimit
Lu = beban hidup ultimit
Pu = beban terpusat ultimit
lt = lebar bentang
sehingga :
Wu = 1,2 x 480 = 576 kg/m

Lu = 1,6 x 6500 + 5% x 6500 = 10.725 kg

Momen = 1/8 x Wu x L2 + x Lu x Lt = 6514 kgm

2. Penulangan Pelat

Untuk : fc' 30 MPa, 1 = 0.85


Rasio tulangan pada kondisi balance,
(b1 0.85 fc) ( 600 + fy )
b= fy 600

Faktor tahanan momen maksimum,


( 1 0.75 rb fy)
max = 0.75 rb fy [ (0.85 fc)
]

Momen nominal rencana Mn = Mu /

Mn106
Faktor tahanan momen Rn = , Rn < Rmax
( b d2 )

Rasio tulangan minimum min = 0,0025

Rasio tulangan yang diperlukan :

(0.85 fc)
={ Rn }
fy[ 1 [ 1 2 { } ]
( 0.85 fc )

Luas tulangan yang diperlukan,

As = b d

Dimana :
b = lebar pelat
d = jarak as tulangan ke tepi beton

G.11.12.2. Perhitungan Girder H-BEAM

Beban yang bekerja :

1. Beban Hidup (Crane) Kapasitas


2. Beban mati : berat sendiri dan berat road deck cover
Kedua ujung girder dianggap tumpuan sendi.
Pu= Beban Roda

Wu

A Lt B

1/2Lt
Kombinasi Pembebanan :

Wu = 1,2 D + 1,6 L + 5% L,

D = beban mati L = beban hidup

Momen = 1/8 x Wu x lt2 + x Lu x lt

3. Bending Moment

Tegangan yang terjadi tidak boleh lebih besar dari tegangan


ijin
N Mx
= + N

A Wx N
N
Dimana :
N = gaya aksial ( kg )
A = luas penampang H beam ( Ax compose , cm2)
Mx = bending moment ( kg cm )

Wx = momen inersia (cm3 ) ( eq. 7 )
1/2
= tegangan lentur ( kg/cm2 )
= Fy /1,5 = tegangan ijin baja ( kg/cm2 ) ( eq. 8 )
( PPBBI84 clause 2.2 (2) )

G.11.12.3. Perhitungan Dinding Shaft

Ada dua metode dalam pembuatan dinding Shaft. Metode


pertama adalah dengan menggunakan sheet pile sebagai
perkuatan dindingnya. Dengan menggunakan sheet pile bentuk
Shaft dapat dibuat persegi. Metode ini memerlukan area yang
cukup luas agar bisa menempatkan alat pancang sheet pile, dan
menimbulkan getaran yang dapat mengganggu area di
sekitarnya. Pada kondisi tanah berpasir, pemancangan sheet pile
akan mengalami kesulitan. Untuk mengatasi hal tersebut dan
untuk area yang tidak begitu luas, maka digunakan metode
Linner Plate untuk perkuatan dinding Shaft (Gambar II.12).
Untuk membuat dinding Shaft lebih stabil, bentuk shaft harus
dibuat dalam bentuk lingkaran atau oval.
Gambar II.12. Shaft dengan Linner Plate bentuk Oval

Gambar II.13. Konstruksi Departure Shaft


Gambar II.14. Shaft dengan Linner Plate bentuk bulat

1. Perhitungan Tekanan Tanah

Tekanan tanah aktif yang akan terjadi di belakang dinding


sebesar

t = 1/2 x t x H2 x Ka.
Data tanah:
H = kedalaman total lantai basement (m)
t = berat jenis tanah (t/m3)
= sudut geser tana
Perhitungan nilai Ka : Ka = tg2 ( 45 /2 )

Dimana :
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
= sudut geser tanah

Menurut Peraturan Pembebanan untuk Bangunan, beban


untuk lantai parkir diambil sebesar q = 400 kg/m2. Tegangan
yang disebabkan oleh beban merata:

= q x Ka

2. Perhitungan Tekanan Air

Tegangan yang disebabkan oleh air pori :


= w x H2
3. Perhitungan Momen dan Geser
PL2 H=PL2 tg 12 0

A B
s/2 (cm) s/2 (cm)

S (cm)
Moment Diagram

M
- - = ( PL2 S ) / 12
2
-
+
M+ = ( PL2 S2 ) / 24

Shear Diagram

+
-
Ps= PL2 S

Momen M = P lt2 /12

Geser Ps = P lt / 2

Dimana :

M = momen

Ps = gaya geser

P = beban merata

lt = panjang bentang

a. Bending Moment

Tegangan yang terjadi tidak boleh lebih besar dari


tegangan ijin.

N Mx
= + N

A Wx N
Dimana : N
N = gaya aksial ( kg )
A = luas penampang H beam ( Ax compose , cm2)
Mx = bending moment ( kg cm )

Wx = momen inersia (cm3 ) ( eq. 7 )
1/2
= tegangan lentur ( kg/cm2 )
= Fy /1,5 = tegangan ijin baja ( kg/cm2 ) ( eq. 8 )
( PPBBI84 clause 2.2 (2) )

b. Tegangan Geser
N
=
A N

Dimana :

= tegangan geser yang terjadi (kg/cm2 )

= 0,58 = tegangan geser ijin (kg/cm2 )

c. Sambungan Baut

Untuk menyatukan antar elemen liner plate digunakan


sambungan baut

Tegangan geser ijin baut :

= 0,6 ( PPBBI 84 , pasal 8.2 (1) )

d. Kontrol Kekuatan Baut

Tegangan geser yang bekerja pada baut :


= Ps /As

dimana :
Ps = gaya geser yang bekerja pada baut
As = luas penampang baut

Kontraktor harus memberikan jangkar baut, mur, ring dan


lengan desain yang memadai seperti yang diperlukan
untuk konstruksi yang tepat dari basis dan pelat alas
dengan dasar beton. Jangkar baut, mur, ring dan lengan
digunakan dalam kondisi terendam atau sebentar-sebentar
terendam harus stainless steel, Type SUS 304.

G.12. Perencanaan Teknis Bangunan Pelengkap

I.C.7.12.1. Manhole

1. Lokasi Manhole

a. Pada jalur saluran yang lurus, dengan jarak tertentu


tergantung diameter saluran, seperti pada tabel II.9, tapi perlu
disesuaikan juga terhadap panjang peralatan pembersih yang
akan dipakai.

b. Pada setiap perubahan kemiringan saluran, perubahan


diameter, dan perubahan arah aliran, baik vertikal maupun
horizontal.

c. Pada lokasi sambungan, persilangan atau percabangan


(intersection) dengan pipa atau bangunan lain.

Tabel II.9. Jarak Antar Manhole Pada Jalur Lurus


Diameter Jarak antar MH
(mm) (m)
(20 - 50) 50 - 75
(50 - 75) 75 - 125
(100 - 150) 125 - 150
(150 - 200) 150 - 200
1000 100 -150

2. Klasifikasi manhole

a. Manhole dangkal : kedalaman (0,75-0,9) m, dengan cover


kedap.

b. Manhole normal : kedalaman 1,5 m, dengan cover berat.

c. Manhole dalam : kedalaman di atas 1,5 m, dengan cover


berat.
Khusus Manhole dalam dapat diklasifikasikan lagi sesuai
dengan kedalaman, ketebalan dinding, keberadaan drop,
keberadaan pompa, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan.

3. Manhole khusus

a. Junction chamber

b. Drop manhole

c. Flushing manhole

d. Pumping manhole

4. Eksentrisitas

a. Eksentrisitas manhole pada suatu jalur sistem perpipaan


tergantung pada diameter salurannya

b. Untuk pipa dimensi besar (D > 1,20 m), manhole diletakkan


secara eksentrik agar memudahkan operator turun ke dasar
saluran.

c. Untuk pipa dimensi kecil [D (0,2-1,2) m], manhole diletakkan


secara sentrik, langsung di atas pipa.

5. Bentuk Manhole

Pada umumnya bentuk manhole empat persegi panjang, kubus


atau bulat.

6. Dimensi Manhole

a. Dimensi horizontal harus cukup untuk melakukan


pemeriksaan dan pembersihan dengan masuk ke dalam
saluran. Dimensi vertikal tergantung pada kedalamannya.

b. Lubang masuk (acces shaft), minimal 50 cm x 50 cm atau


diameter 60 cm

c. Dimensi minimal di sebelah bawah lubang masuk

1) Untuk kedalaman sampai 0,8 m : 75 cm x 75 cm


2) Untuk kedalaman (0,8-2,1) m : 120 cm x 90 cm atau
diameter 1,2 m

3) Untuk kedalaman > 2,1 m : 120 cm x 90 cm atau diameter


140 cm

Manhole D 80 cm untuk dimensi pipa kurang dari 800 mm


dan dipasang disetiap 100m pipa lurus atau dibelokan dan
pertemuan pipa.

7. Manhole step atau ladder ring

a. Perlengkapan ini merupakan sebuah tangga besi yang


dipasang menempel di dinding manhole sebelah dalam untuk
keperluan operasional.

b. Dipasang vertikal dan zig zag 20 cm dengan jarak vertikal


masing-masing (30-40) cm.

8. Bottom invert

Dasar manhole pada jalur pipa dilengkapi saluran terbuka dari


beton berbentuk U (cetak di tempat) dengan konstruksi dasar
setengah bundar menghubungkan invert pipa masuk dan ke luar.
Ketinggian saluran U dibuat sama dengan diameter saluran
terbesar dan diberi benching ke kanan/kiri dengan kemiringan 1 :
6 hingga mencapai dinding manhole.

9. Notasi

a. Manhole yang ada, dengan no. urut 9,


contoh :

b. Manhole rencana, dengan no. urut 9, contoh:

I.C.7.12.2. Bangunan Penggelontor

1. Aplikasi

Di setiap garis pipa dimana kecepatan pembersihan (self cleansing)


tidak tercapai akibat kemiringan tanah/pipa yang terlalu landai
atau kurang kapasitas aliran. Hal ini bisa dilihat melalui tabel
kalkulasi dimensi pipa.

2. Cara Penggelontoran

Dengan periode waktu tetap


a. Dipilih pada waktu keadaan debit aliran minimum tiap
harinya, dimana pada saat itu kedalaman renang air limbah
tidak cukup untuk membersihkan tinja/endapan-endapan.

b. Air untuk penggelontoran dapat menggunakan air sungau


terdekat dengan persyaratan airnya cukup bersih. Kebutuhan
air untuk penggelontoran dimasukkan ke dalam perhitungan
dimensi pipa.

c. Bila menggunakan tangki gelontor.

- Dioperasikan secara otomatis.

- Dilakukan saat tengah malam, dimana bangunan


penggelontor dengan peralatan siphon diatur pada kran
pengatur, tepat penuh mengisi bak penggelontor sesuai
jadwal waktu periodic penggelontoran tiap harinya.
Kapasitas tangki minimal 1 m3 dan/atau 10% dari
kapasitas pipa yang disuplai sesuai dengan kebutuha.
Lebih jelasnya terdapat pada Tabel II.10.

Tabel II.10. Alternatif Kapasitas Air Penggelontor


Kebutuhan Air (liter) untuk diameter pipa
Kemiringan
20 cm 25 cm 30 cm
1 : 200 2240 2520 2800
1 : 133 1540 1820 2240
1 : 100 1260 1540 1960
1 : 50 560 840 930
1 : 33 420 560 672

Dengan periode Insidentil


a. Metode ini dipilih jika ujung atas (awal) pipa lateral tidak
dilengkapi dengan bangunan penggelontor, biasanya air dapat
diambil dari kran kebakaran terdekat dengan menggunakan
selang karet. Air dimasukkan ke dalam bangunan
perlengkapan pipa terminal cleanout, dengan debit 15
liter/detik, selama (5 -15) menit. Bila tidak ada kran kebakaran,
dapat menggunakan tangki air bersih.

b. Alternatif lain adalah dengan pintu- pintu pada pipa air


limbah.

- Dapat dioperasikan secara otomatis

- Pintu pintu dipasang pada inlet dan oulet saluran di


setiap bukaan dalam manhole.

- Pintu segera dibuka begitu terjadi akumulasi air limbah


di dalam suatu seksi saluran, dan gelombang aliran akan
menghanyutkan endapan kotoran.

- Disediakan bangunan sadap dengan perlengkapan bar


screen (trails), bangunan ukur, bangunan pelimpah, pintu
air, dan bangunan peninggi muka air.

I.C.7.12.3. Syphon

1. Fungsi / Aplikasi

Sebagai bangunan perlintasan, seperti pada sungai/kali, jalan


kereta api, atau depressed highway.

2. Komponen Struktur

a. Inlet dan outlet (box)

Berfungsi sebagai pengendalian debit dan fasilitas


pembersihan pipa.

b. Depressed sewer (pipa syphon)

1) Berfungsi sebagai perangkap, sehingga kecepatan


pengaliran harus cukup tinggi, di atas 1 m/detik pada
saat debit rata-rata.

2) Terdiri dari minimal 3 unit (ruas) pipa syphon dengan


dimensi yang berbeda, minimal 150 mm. Pipa ke 1
didesain dengan Qmin, pipa ke 2 didesain dengan (Qr-
Qmin) dan pipa ke 3 didesain dengan (Qp-Qr).

I.C.7.12.4. Terminal Clean Out

1. Fungsi/aplikasi

Terminal clean-out dapat berfungsi sebagai (alternatif) pengganti


manhole.

2. Lokasi

Di ujung saluran, terutama pada pipa lateral yang pendek dengan


jarak dari manhole < 50 m.

I.C.7.12.5. Stasiun Pompa

1. Aplikasi

a. Sebagai lift station, dipasang pada setiap jarak tertentu pada


sistem perpipaan yang sudah cukup dalam.

b. Sebagai booster station, untuk penyaluran yang tidak


memerlukan pengaliran secara gravitasi. Misal dari zona
rendah ke zona yang lebih tinggi atau pada conveyance sewer
ke instalasi. Di sini dapat digunakan manhole pompa.

2. Kriteria Lokasi

a. Tidak banjir dan mudah menerima air limbah secara


gravitasi.

b. Dapat memompa air limbah hingga ke elevasi yang


direncanakan.

c. Dapat memompa seluruh air limbah, meskipun dalam


keadaan darurat.

d. Fleksibel, dan kompak.

e. Biaya investasi dan pemeliharaannya rendah.


f. Desain pompa harus dapat mengikuti fluktuasi debit.

g. Bahan yang dipilih tidak mudah korosi oleh air limbah.

h. Sedikit mungkin adanya pengaruh bising pada masyarakat


sekitarnya.

i. Tidak membutuhkan lahan yang luas.

j. Tidak membutuhkan keahlian tinggi.

3. Komponen Rumah Pompa

a. Rumah pompa (termasuk pondasi).

b. Pompa.

c. Mesin penggerak atau motor.

d. Ruang pompa atau dry well.

e. Sump atau wet well.

f. Screen dan Grit chamber.

g. Perpipaan, valve, fitting, pencatat debit, dan overflow darurat.

h. Sumber power/ Sumber listrik, dan pengendali pompa


(panel).

4. Rencana Rinci Rumah Pompa

a. Konstruksi rumah pompa dari beton bertulang.

b. Tipe masing-masing unit pompa dan karakteristiknya.

c. Proteksi penyumbatan pompa.

d. Lokasi pompa dan jarak antarpompa.

e. Wet well dan dry well, dimensi dan konstruksi rinci.

f. Valve.

g. Level control untuk permukaan air limbah.

h. Overflow (by pass).


i. Sistem alaram dan ventilasi.

j. Penyaring untuk inflow dan by pass.

k. Pipa tekan : diameter, bahan dan pembaca tekanan.

l. Pagar dan pengaman lainnya.

m. Panel listrik.

5. Pumping (wet) well

Manfaat adanya pumping well akan membuat air limbah yang


akan dipompa masuk terlebih dahulu ke rumah pompa dan
ditampung sementara di dalam tangki yang disebut wet well. Unit
ini diperlukan karena debit pompa sulit disamakan dengan debit
masuk.

a. Interior Pumping Well, yaitu :

1) Terdiri dari kompartemen yang basah (untuk


menampung sementara air limbah) dengan pompa selam
atau terpisah dalam kompartemen kering (sebagai tempat
pompa).

2) Paling baik memasang pompa di dalam dry pit dengan


pipa isap berada di bawah muka air terendah pada
pumping well terdekat agar dapat meniadakan priming.
Pengoperasiaan pompa secara otomatis diatur dengan
pelampung pada bagian basah.

3) Semua bagian wet well, aksesnya harus mudah, dilengkapi


man-hole dan tangga.

4) Slope dasar wet well dibuat 1 : 1 ke arah pipa isap agar


dapat dicegah akumulasi padatan.

5) Kedalaman wet well (1,5-2) m, dan tergantung pada posisi


pipa yang masuk.

6) Sebuah gate-valve dipasang pada pipa masuk untuk


menutup aliran bila terjadi perbaikan di dalam wet well.

b. Lay-out Pumping Well, yaitu :


Paling baik memasang pompa di dalam dry well/pit dengan
pipa isap berada di bawah muka air terendah pada wet well
terdekat agar dapat meniadakan priming. Pengoperasian
pompa secara otomatis diatur dengan pelampung pada wet
well.

c. Kapasitas Wet well

1) Kapasitas wet well tergantung pada waktu pengoperasian,


jumlah pompa dan waktu siklus.

2) Waktu siklus > 4 menit, berarti dalam 1 jam terjadi

< 15 x start.

3) Waktu pengoperasian pompa > (15-20) menit.

4) Kapasitas efektif wet well guna memberikan periode


holding sebaiknya tidak lebih daripada 10 menit pada
desain rata-rata.

5) Volume atas dasar waktu siklus


900

=
di mana :
V = volume antara level switch-on dan switch-off, m3
S = waktu siklus
6 kali untuk dry pit motor 20 kW
= 4 kali untuk dry pit motor (25-75) kW
= 2 kali untuk dry pit motor (100-200) kW
10 kali untuk pompa selam
Qp = debit pompa, m3/detik
= debit jam puncak inflow

6. Jenis Pompa

Pompa Sentrifugal merupakan jenis yang umum digunakan


untuk memompa air limbah karena tidak mudah tersumbat.
Penggunaan Pompa rendam (submersible) untuk air limbah lebih
baik, karena mencegah terjadinya kavitasi, sebagaimana sering
terjadi pada penggunaan pompa non submersibel dengan posisi
head negatif (posisi pompa berada diatas permukaan air).
7. Kapasitas (Debit)

Kapasitas atau debit pompa adalah volume cairan yang dipompa


dalam satuan m3/detik, atau L/detik. Debit desain pompa adalah
debit jam puncak.

8. Hidrolika pompa

a. Data yang Dibutuhkan

1) Elevasi pipa tekan (discharge).

2) Elevasi garis pusat pompa.

3) Elevasi muka air wet well saat pompa off (volume air
minimal).

4) Elevasi muka air wet well saat pompa on (volume air


maksimal).

5) Pada pipa isap dan tekan, masing-masing diameter pipa,


bahan pipa, panjang pipa, jumlah dan macam fitting
(aksesoris).

6) Debit desain.

b. Daya pompa
Pip = Q.T.g. H /ep
Pim = Pip / em
di mana :
Pip = power input ke pompa, W (= N m/dtk)
Pim = power input ke motor, W
Q = debit, m/dtk
T = massa jenis air
= 997 kg/m3
g = gravitasi spesifik (9,81 m/dtk2)
H = total dynamic head (manometric head), m
= Hstat + hf + hm + hv
Hstat = beda muka air hisap dan tekan, m
hf = kehilangan tekanan akibat gesekan air pada pipa,
m
16/3
( )
= 1000
10,3()2
2
hm = minor loss = 2
2
hv = sisa head kecepatan = 2

ep = efisiensi pompa, desimal


em = efisiensi motor, desimal

9. Jumlah Pompa dan Sumber Power

a. Mempunyai 2 unit pompa

1) Walau hanya pada stasiun/ rumah pompa kecil.

2) Lebih efisien bila mempunyai 3 unit pompa, terutama


dalam mengatasi variasi debit.

3) Bila menggunakan 2 unit, kapasitas masing-masing unit


dibuat sama atas dasar debit desain.

b. Mempunyai 2 sumber power/stasiun pompa

Motor listrik sebagai sumber power utama dan internal-


combustion engine (generator) sebagai stand-by.

10. Perpipaan pada Pompa

a. Kecepatan Pengaliran

1) Pipa isap : (0,6-2,5) m/dtk; umumnya 1,5 m/dtk

2) Pipa tekan : (1-2,5) m/dtk

b. Periksa diameter pipa dengan rumus empiris bila head


kecepatan V2/2g melebihi 0,32 m.

11. Perlengkapan pompa

a. Screen dipasang di depan pompa, terutama bila limbah yang


diolah terdapat banyak sampahnya;
b. Tambahkan unit Grit chamber bila air limbah banyak
mengandung grit.

c. Berbagai perlengkapan untuk pompa sentrifugal:

1) Sebuah air-release valve (valve pelepas tekanan udara)


dipasang pada titik tertinggi di dalam casing untuk
melepaskan udara atau gas.

2) Gauges pada pipa tekan dan isap.

3) Sebuah meter pada pipa tekan.

4) Sebuah kurva karakteristik pompa.

5) Sebuah check-valve antara gate valve dan pompa pada pipa


tekan.

d. Alat otomatis (floating switches) sebaiknya digunakan agar


pemompaan dapat dilakukan 24 jam secara otomatis.

12. Motor pompa (pump drive equipment)

a. Motor Listrik

1) Aplikasi

a) Lebih andal, murah dan mudah pemeliharaannya.


b) Dipakai untuk sanitary sewage pump.

2) Spesifikasi

a) Tipe atau kelas


b) Phase
c) Daya (kWH)
d) Tipe bearing
e) Kecepatan
f) Tipe insulasi
g) Voltase
h) Tipe penggerak
i) Frekuensi
j) Konstruksi mekanik
b. Mesin Diesel

1) Dipakai sebagai stand-by unit pada sanitary sewage pump.

2) Pemilihannya tetap mempertimbangkan biaya energi,


biaya konstruksi, kebutuhan O&M, geografis, musim dan
sosial.

c. Voltase

Akan lebih ekonomis bila memakai voltase berikut untuk


suatu power tertentu :

1) (37 - 45) kW memakai 230 V.

2) (45 - 150) kW memakai 460 V.

3) > 150 kW memakai 23.000 V.

13. Konstruksi Rumah Pompa

a. Desain Pondasi

Jenis pondasi yang akan digunakan pada bangunan Inflow


Pumping Station ditentukan oleh kondisi tanah pada
kedalaman rencana wet well dan berat seluruh bangunan.
Apabila daya dukung tanah tidak mampu menahan berat
bangunan dan beban hidup yang bekerja diatasnya, maka
perlu digunakan jenis pondasi dalam (pondasi tiang).
Ada 3 cara bagaimana suatu pondasi tiang menahan gaya
luar tekan yang bekerja :

1) Dengan menggunakan ketahanan lekat atau skin friction


(Qs) permukaan dimana beban ditahan oleh gesekan pada
tanah non-kohesif atau adesi pada tanah kohesif.

2) Dengan menggunakan ketahanan dasar atau end bearing


(Qb) dimana beban ditahan pada dasar tiang

3) Kombinasi dari ketahanan dasar dan ketahanan lekat

Qp = Qs + Qb
Data lapisan tanah yang diperlukan adalah tebal lapisan (m),
berat jenis (kN/m3), sudut geser dalam (derajat) , kohesi c
(kN/m2), nilai rata rata SPT pada lapisan tersebut (SPT), nilai
index plastisitas pada lapisan tersebut (IP) dan kode apakah
gaya gesekan negative /Negative Skin Friction (INEG) perlu
dihitung pada lapisan tersebut. Nilai 1 untuk INEG berarti
pada lapisan tersebut diperlukan analisa untuk menghitung
Gaya gesekan negatif. Nilai 0 artinya tidak ada bahaya gaya
gesekan negatif pada lapisan tersebut. Untuk lapisan paling
bawah sebaiknya ketebalan lapisan dinyatakan dengan suatu
angka yang relatif besar.

1) Daya Dukung dari Hambatan Lekat

Daya dukung dari hambatan lekat tanah-pondasi untuk


tanah tidak kohesif dihitung dengan persamaan berikut :

Qs Fi S z C p Li
Qs = Daya dukung hambatan lekat (kN)
Fi = Faktor Gesek Rencana,
Sz = Tegangan efektif rencana sepanjang tiang
(kN/m2)

Nilai Sz diambil tidak boleh melebihi tegangan


padakedalaman batas ZL. sedangkan nilai ZL diperoleh dari
Tabel II.11.

Cp = Keliling efektip dari tiang (meter), diperoleh


berdasarkan Tabel II.13
Li = Tebal lapisan penahan (meter)

Daya dukung dari hambatan lekat tanah-pondasi untuk


tanah kohesif dihitung dengan persamaan berikut

Qs Fc K CR Cu C p Li

Dimana :
Qs = Daya dukung hambatan lekat (kN)
Fc = Faktor Reduksi,
K C
R = 0.7
Cu = Kuat geser undrained rata-rata (kN/m2)
Cp = Keliling efektif dari tiang (meter), diperoleh
berdasarkan Tabel II.13.
Li = Tebal Lapisan Penahan (meter)

2) Daya Dukung Dari Tahanan Ujung

Daya dukung dari tahanan ujung untuk tanah tidak


kohesif dihitung dengan persamaan berikut

Qb N q S z Ap
Dimana :
Qb = Daya dukung tahanan ujung (kN)
Nq = Faktor Kapasitas Daya Dukung, didapat dari
Tabel II.12
Ap = Luas dasar tiang (meter2), diperoleh berdasarkan
Tabel II.13.

Daya dukung dari tahanan ujung untuk tanah kohesif


dihitung dengan persamaan berikut

Qb N c Cu Ap
Dimana :
Qb = Daya dukung tahanan ujung (kN)
Nc = Faktor Kapasitas Daya Dukung.

(Biasanya diambil = 9, tetapi bila tiang tertanam kurang


dari 4 kali diameter, nilai Nc dikurangi secara linier sampai
suatu nilai 5.6 pada permukaan).

Ap = Luas dasar tiang (meter2), diperoleh


berdasarkan Tabel II.13.

3) Gaya Horisontal Terhadap Tiang Pancang

Beban-beban horisontal yang mungkin diterima oleh tiang


pancang adalah :

a) Beban horisontal sementara, seperti beban gempa


b) Beban horisontal tetap, seperti tekanan tanah aktif dan
tekanan air

Akibat beban horisontal sementara yang bekerja pada


tiang maka harus ditinjau tekanan tanah pasif yang akan
menahan gaya horisontal tersebut. Jika tekanan tanah pasif
cukup kuat menahan gaya horisontal tersebut maka harus
ditinjau kekuatan tiang pancang tersebut memikul beban
momen akibat tekanan tanah pasif.

Sedangkan beban horisontal tetap akan bekerja dalam


jangka waktu lama, karena itu tekanan tanah pasif
mungkin tidak dapat lagi mengimbangi gaya horisontal
tersebut. Untuk melawan gaya horisontal yang bekerja
tetap ini dapat digunakan tiang pancang yang dipancang
miring yang disebut Batter Pile. Kemiringan pemancangan
tergantung kemampuan alat pancang, biasanya berkisar
antara 1:10 sampai dengan 1:5

Cara menghitung gaya horizontal sementara yang


diijinkan pada tiang pancang adalah sebagai berikut:

x dilihat pada grafik dan diplot sehingga diperoleh harga

dari persamaan diatas dapat dicari Hu

Untuk menghitung momen maksimum, Brooms


menggunakan persamaan:

dengan

dimana :
Hu = gaya horizontal
Mu = momen maksimum
x = momen tahanan ultimit
y = gaya lateral tahanan ultimit
f = koefisien
Cu = kohesi (consolidation undrained)
d = diameter tiang

Gambar II.15. Resistensi Ultimate Tiang Pancang di Tanah yang


Kohesif dihubungkan dengan Resistensi Momen Ultimate menurut
Brooms

Tabel II.11. Parameter Perencanaan Tiang Untuk Tanah


Non-Kohesif
Fi Nq
Nilai SPT ZL/dia
T. Pancang T. Bor T. Pancang T. Bor
0 10 6 0.8 0.3 60 25
10 30 8 1.0 0.5 100 60
30 50 15 1.5 0.8 180 100
Tabel II.12.Parameter Perencanaan Tiang Untuk Tanah
Kohesif
Kuat geser undrained Koef. terganggu
rata-rata nominal Cu (kPa) Fc
0 10 1.00
10 25 1.00
25 45 1.00
45 50 1.00 0.95
50 60 0.95 0.80
60 80 0.80 0.65
80 100 0.65 0.55
100 120 0.55 0.45
120 140 0.45 0.40
140 160 0.40 0.36
160 180 0.36 0.35
180 200 0.35 - 0.40
>200 0.40

Tabel II.13. Luas Dasar Efektif (Ap) dan Keliling Efektif


(Cp) Pondasi Tiang
Tipe tiang Bentuk Ap Cp
b
Tiang beton
persegi b bxb 2(b + b)
panjang

Tinag beton D
sirkular 0.25D2 D

Tiang pipa d
baja dengan
0.25 (D2 - d2) D
ujung terbuka
Tiang pipa
baja dengan 0.25D2 D
ujung D

tertutup

Tiang H baja
b
dengan ujung
terbuka Penampang
2(b+h)
h melintang

h
Tiang H baja
dengan ujung h
tertutup bh 2(b+h)

b. Desain Struktur Atas

Struktur atas bangunan Inflow Pumping Station terdiri dari :


kolom, balok, dinding beton, dan pelat lantai. Data-data yang
diperlukan dalam mendesain struktur atas bangunan Inflow
Pumping adalah : mutu beton (fc), mutu tulangan (fy), beban
yang bekerja baik beban mati maupun beban hidup. Untuk
mendapatkan gaya-gaya dalam (momen, gaya tekan aksial,
gaya geser, gaya puntir) yang bekerja pada komponen struktur
dapat digunakan program analisa struktur seperti SAP2000.

Perencanaan komponen struktur beton berdasarkan :

- SNI 03-2847-2002 : Tatacara Perhitungan Struktur Beton


Untuk Bangunan Gedu

- SNI 1726-2002 : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa


Untuk Gedung

Syarat-syarat yang perlu diperhatikan untuk struktur beton :

1) Selimut Beton (SNI 03-2847-2002 pasal 9.7.1)


Untuk beton yang dicor diatas tanah dan selalu
berhubungan dengan tanah : min 75 mm. Sedangkan untuk
beton yang yang tidak berhubungan dengan cuaca atau
tanah :

- Pelat, dinding : D36 atau lebih kecil, selimut beton


min 20mm
- Balok, kolom : selimut beton min 40 mm.

2) Jarak Tulangan (SNI 03-2847-2002 pasal 9.6)

Jarak bersih antar tulangan sejajar dalam lapis yang sama


minimal 25 mm. Pada dinding dan pelat lantai tulangan
lentur utama jaraktulangan maksimal tiga kali tebal pelat
atau dinding, ataupun 500mm.

c. Perencanaan Kolom

Dalam merencanakan kolom, SNI yang digunakan adalah SNI


03-2847 2002 Pasal 23.4.1 mengenai definisi kolom. Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh kolom yang didesain:

1) Gaya aksial terfaktor maksimum yang bekerja pada kolom


melebihi Agfc'/10.
Dimana :
Ag = luas penampang
fc = kuat tekan karakteristik beton
2) Sisi terpendek kolom tidak kurang dari 300 mm.
3) Rasio dimensi penampang tidak kurang dari 0,4

Setelah itu kemudian check konfigurasi penulangan. Dari hasil


desain berdasarkan gaya dalam, tentukan dimensi kolom dan
rencana penulangan. Rasio penulangan g dibatasi tidak
kurang dari 0,01 dan tidak lebih dari 0,06. Sementara itu, SNI
yang digunakan untuk kuat kolom adalah SNI 03-2847-2002
Pasal 23.4.2.2. Kuat kolom Mn harus memenuhi Mc >= 1,2
Mg, dimana :

Mc = jumlah Mn dua kolom yang bertemu di joint.


Mg = jumlah Mn dua balok yang bertemu di joint (termasuk
sumbangan tulangan pelat diselebar efektif pelat).
Mn = momen nominal rencana

d. Desain Shear Reinforcement

Ve tidak perlu lebih besar dari :

Tapi, Ve tidak boleh lebih kecil dari gaya geser terfaktor hasil
analisis, dimana DF adalah faktor distribusi momen di bagian
atas dan bawah kolom yang didesain. Batasan ini
merefleksikan pilosofi kolom kuatbalok lemah, yang membuat
balok lebih lemah dari kolom.

Karena kolom di lantai atas dan lantai bawah mempunyai


kekakuan yang sama, maka :

DFtop = DFbtm = 0,5

Mprb top dan Mprb btm adalah penjumlahan Mpr untuk


masingmasing beam di lantai atas dan lantai bawah di interior
support.

e. Perencanaan Balok

Langkah-langkah desain penulangan :

1) Gaya Aksial Tekan terfaktor.

Gaya aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak


melebihi 0,1 Ag fc'.

2) Bentang Bersih.

Bentang bersih komponen struktur tidak boleh kurang dari


4 kali tinggi efektif elemen struktur.

3) b/d ratio.
Perbandingan lebar terhadap tinggi balok tidak boleh
kurang dari 0,3 .

4) Lebar Balok.
- Tidak boleh kurang dari 250 mm.
- Tidak boleh lebih dari lebar kolom penumpu (diukur
pada bidang tegak lurus terhadap sumbu longitudinal
komponen struktur lentur) ditambah jarak pada tiap sisi
kolom penumpu yang tidak melebihi 3/4 tinggi
komponen struktur lentur.

5) Baja Tulangan Untuk Lentur

a) Baja Tulangan yang dibutuhkan untuk lentur.

Diasumsikan yang terjadi adalah perilaku balok


persegi, dan ada 2 layer tulangan. Sebagai pendekatan
kita boleh mengabaikan tulangan tekan (jika ada).
Dimensi tulangan harus dibatasi sehingga dimensi
kolom paralel terhadap tulangan sekurangkurangnya
20 db.

cek momen nominal

b) Cek As minimum.

tapi tidak boleh kurang dari

Dimana :
bw = lebar balok
d = jarak as tulangan ke tepi beton
faktor reduksi
Mn = momen nominal
Mu = momen ultimit
As = luas tulangan

c) Cek rasio tulangan

Batas tulangan maksimum berdasarkan Pasal 23.3.2


adalah 0,025.

6) Baja untuk Tulangan Geser :


- Gaya geser ultimit rencana, Vu
- Faktor reduksi kekuatan geser, f
- Tegangan leleh tulangan geser, fy
- Kuat geser beton, Vc = ( fc') / 6 b d 10-3
- Tahanan geser beton, f Vc
Vu > fVc perlu tulangan geser
- Tahanan geser sengkang, f Vs = Vu - f Vc
- Kuat geser sengkang, Vs
- Luas tulangan geser sengkang, Av = ns p / 4 P2
Av fy d
- Jarak sengkang yang diperlukan : s= Vs 103
- Jarak sengkang maksimum, smax = d / 2

f. Perencanaan Pelat Lantai

Data yang diperlukan adalah :

- Mutu beton fc

- Mutu baja tulangan fy

Beban yang bekerja :

- Beban Mati

- Beban hidup
Beban rencana terfaktor Qu = (1.2 QD) + (1.6 QL)

Perhitungan Momen :

Panjang bentang plat arah x, Lx

Panjang bentang plat arah y, Ly

Koefisien momen plat untuk : Ly/Lx,

dari tabel didapat nilai Clx,Cly,Ctx,Cty

Momen Plat Akibat Beban Terfaktor :

Momen Lapangan arah x : Mulx = Clx 0.001 Qu Lx2

Momen Lapangan arah y : Muly = Cly0.001 Qu Lx2

Momen tumpuan arah x : Mutx = Ctx 0.001Qu Lx2

Momen tumpuan arah y : Muty = Cty 0.001 Qu Lx2

Penulangan Pelat :

Untuk : fc' 30 MPa, 1


Untuk : fc' > 30 MPa, 1 = 0.85 - 0.05 x ( fc' - 30) / 7
Rasio tulangan pada kondisi balance,
b = b1 x 0.85 x fc'/ fy x 600 / ( 600 + fy )
Faktor tahanan momen maksimum,
max = 0.75 x rb x fy x [ 1 x 0.75 x rb x fy / ( 0.85 x fc') ]

Momen nominal rencana Mn = Mu /


Faktor tahanan momen Rn = Mn x 10-6 / ( b x d2 )
Rn < Rmax
Rasio tulangan minimum min = 0,0025
Rasio tulangan yang diperlukan :
= 0.85 x fc' / fy x [ 1 - [ 1 2 x Rn / ( 0.85 x fc' ) ]
Luas tulangan yang diperlukan,
As = x b x d
g. Perencanaan Dinding Beton

Dinding ruangan pompa dan wet well menggunakan


konstruksi beton bertulang.

1) Penentuan Tebal Dinding

Berdasarkan Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk


Gedung (SNI 03-1728-2002 pasal 16.5(3)), Ketebalan dinding
luar ruang bawah tanah dan dinding pondasi tidak boleh kurang
daripada 190 mm.

2) Pembebanan pada Dinding

Beban yang bekerja pada dinding basement berupa


tekanan tanah + tekanan air + beban merata di permukaan
. Beban tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

3) Analisis Dinding

Momen yang terjadi akibat beban tekanan tanah dihitung


dengan memodelkan struktur dinding basement sebagai
pelat per meter panjang yang menerima beban segitiga
akibat tekanan total (tanah+air+beban merata). Untuk
perhitungan analisa struktur dapat menggunakan software
SAP2000, beban tekanan total (tanah+air+beban merata)
yang berbentuk segitiga tersebut dilimpahkan merata ke
pelat yang dijepit di sisi bawah elemen dinding. Bagian
atas dinding juga terjepit. Struktur dinding dianggap
sebagai elemen shell dengan ketebalan sesuai rencana.

Dari hasil analisis diperoleh besarnya gaya-gaya dalam


dan deformasi struktur sebagai berikut :

- Deformasi Horizontal Terbesar


- Moment arah 1-1 maksimum
- Moment arah 1-1 minimum
- Moment arah 2-2 maksimum
- Moment arah 2-2 minimum
4) Perhitungan Tulangan Dinding

Perhitungan luas tulangan yang dibutuhkan pada dinding


sama dengan perhitungan penulangan pelat lantai.

I.C.7.12.6. Panel dan Komponennya

Panel dan komponen-komponennya harus menggunakan jenis yang


tahan air (water proof). Semua Circuit Breaker, peralatan proteksi,
beban lebih, relai proteksi, dan pengatur waktu (timer) harus ada
pada panel pompa air limbah.

Semua kabinet panel kontrol, panel daya, Circuit Breaker, saklar


pengaman, dan peralatan listrik yang lain, harus dilengkapi atau
ditempeli plat nama (name plate) untuk memudahkan pengenalan.

Gambar II.16. Panel dan Komponennya

I.C.8. PERENCANAAN TEKNIS UNIT PENGOL. AIR LIMBAH

Instalasi pengolahan air limbah yang direncanakan secara teknis setidak-


tidaknya terdiri dari tiga jenis yaitu tahap pengolahan fisik, tahap pengolahan
biologis, dan tahap pengolahan lumpur seperti pada Gambar II.17.
Gambar II.17. Tipikal Unit Pengolahan IPAL

Perencanaan teknis unit pengolahan IPAL dilakukan sesuai dengan tahapan


perencanaan seperti di bawah ini :

I.C.8.1. Tahapan Penyusunan Perencanaan Teknis SPAL-T

Tahapan penyusunan perencanaan teknis SPAL-T meliputi :

1. Tahap Perencanaan Awal (Preliminary Design)


2. Tahap Perencanaan Detail (Detail Engineering Design)

Tahap perencanaan awal merupakan tahap umum perencanaan yang


tujuannya adalah untuk menentukan sistem pengolahan yang akan
dipilih dengan memperhatikan kesesuaiannya terhadap luasan lahan
yang akan digunakan untuk lokasi IPAL. Dengan demikian, pada tahap
selanjutnya, yaitu tahap perencanaan detail, perencana tinggal focus
mendetailkan sistem pengolahan yang sudah dipilih.

Tahap perencanaan awal meliputi:

a. Menetapkan perioda perencanaan (design period) IPAL yang akan


dibangun yang dihitung berdasarkan tahun awal perencaan (yaitu
tahun awal saat IPAL pertama kali beroperasi) sampai mencapai
100% kapasitas desainnya. Perioda perencanaan tiap unit dapat
berbeda, tergantung pada tingkat kesulitan pengembangannya
(misalnya; perioda desain untuk bangunan sipil dan saluran dipilih
lebih lama), tingkat pertumbuhan penduduk, lingkungan dan
sumber dana. Umur ekonomis unit pengolahan (umur bangunan,
peralatan, perpipaan dan lain-lain), anggaran dan sumber dana yang
tersedia, kecepatan perkembangan penduduk dan aktivitasnya,
mudah atau tidaknya perluasan. Perioda perencanaan biasanya
terbagi menjadi tiga, yaitu ; 10, 15 dan 20 tahun.

b. Menetapkan diagram alir proses pengolahan IPAL yang akan


digunakan. Diagram alir proses pengolahan merupakan kombinasi
dari unit operasi dan unit proses. Pemilihan unit operasi dan unit
proses yang digunakan tergantung dari:
- Pengalaman
- Peraturan yang berlaku terhadap metoda pengolahan
- Ketersediaan peralatan pengolahan
- Pemanfaatan terhadap unit-unit yang sudah ada
- Biaya investasi dan Operasional Pemeliharaan (O & M)
- Karakteristik air limbah sebelum dan sesudah pengolahan.

c. Menetapkan kriteria perencanaan (Design Criteria) untuk setiap unit


operasi dan unit proses dalam IPAL yang telah dipilih. Kriteria
desain yang digunakan pada prinsipnya dapat mengacu kepada
literatur perencanaan ataupun ketentuan teknis perencanaan yang
terkait sesuai dengan kaidah teknis yang berlaku.

d. Menetapkan dimensi awal unit IPAL secara umum (p x l x t) dengan


maksud untuk mengkaji kesesuaian luasan unit-unit bangunan
IPAL dengan besarnya lahan yang tersedia. Termasuk dalam tahap
ini adalah menetapkan jumlah unit dengan memperhitungkan
kondisi operasional apabila salah satu unit mengalami kerusakan
atau sedang direhabilitasi.

e. Menetapkan kesetimbangan massa untuk setiap unit IPAL. Hal ini


perlu dilakukan sebagai evaluasi apakah efluen hasil pengolahannya
akan memenuhi standar baku mutu yang berlaku.

f. Menetapkan tata letak IPAL (Plant Layout) untuk mengatur posisi


spasial unit-unit yang ada beserta bangunan utilitas lainnya (gedung
admisnistrasi, gudang, dan lain-lain). Hal ini sebagai gambaran fisik
secara menyeluruh posisi IPAL, walaupun masih bersifat umum dan
sementara. Pertimbangan tata letak menyangkut:
Geometri lokasi IPAL
Topografi lokasi
Kondisi tanah dan pondasi
Lokasi saluran pengumpul maupun penerima efluen air limbah
Akses transportasi
Aksesibilitas untuk pekerja
Reliabilitas dan ekonomi operational
Estetika dan lingkungan
Ketersediaan lahan untuk perluasan bangunan di masa yang
akan datang.

g. Perhitungan hidrolis ini dilakukan untuk menetapkan posisi vertikal


setiap unit IPAL berdasarkan kehilangan tekanan (headloss) dalam
unit-unit IPAL saat beroperasi. Dengan demikian, informasi ini
penting karena perlu diketahui apakah gradien hidrolis yang ada
cukup untuk mengalirkan air limbah dari setiap unit secara gravitasi
sampai ke lokasi pembuangan atau badan air penerima. Disamping
itu digunakan untuk menentukan besarnya tekanan (head) pompa
apabila diperlukan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan: (1)
Ekualisasi pemisahan aliran dari setiap unit, (2) Pengadaan bypass
terhadap pengolahan tahap II untuk menghindari kehilangan
biomassa pada saat aliran puncak, (3) Meminimalisasi jumlah
perubahan arah aliran air limbah dalam saluran.

Gambar profil hidrolis biasanya menggunakan skala horizontal dan


vertikal yang berbeda. Perhitungan profil hidrolis ini adalah untuk
menentukan lokasi ketinggian (elevasi) dari setiap unit IPAL yang
akan dibangun, sehingga pada umumnya penetapan elevasi
dilakukan secara mundur. Dimulai dari elevasi muka air di badan
air penerima sampai ke elevasi pipa pengumpul air limbah.

Sedangkan untuk perencanaan detail teknis diuraikan tersendiri di


bawah ini.

I.C.8.2. Kriteria Pemilihan Lokasi IPAL

Kriteria-kriteria penentu yang menjadi bahan pertimbangan dalam


pemilihan lokasi IPAL terbagi atas dua jenis pertimbangan yaitu
pertimbangan teknis dan non teknis.
I.C.8.2.1. Kriteria Teknis Pemilihan Lokasi IPAL

Teknis pemilihan lokasi IPAL meliputi:

1. Jarak

Jarak minimum antara IPAL dengan pusat kota dan pemukiman


adalah 3 Km.

2. Topografi lahan

a. Kemiringan tanah

Kemiringan tanah yang dinilai lebih baik jika mempunyai


kemiringan 2%.

b. Elevasi tanah

Sistem pendistribusian IPAL dinilai baik jika perumahan


terletak lebih tinggi dari letak IPALnya (elevasi tanah yang
baik apabila sistem distribusinya bisa dialirkan secara
gravitasi), sedangkan sistem pendistribusian IPLT
kebalikannya.

3. Badan air penerima

Yang dimaksud dengan badan air penerima adalah sungai.


Sungai dibagi menjadi beberapa kelas sungai yaitu kelas I hingga
kelas IV. Semakin bagus kualitas sungai semakin tinggi kelasnya,
sehingga apabila ingin membuang air hasil olahan IPAL perlu
memperhatikan kelas sungainya. Jika air hasil olahan IPAL akan
dibuang ke sungai Kelas I, maka efisiensi IPAL perlu
ditingkatkan agar air hasil olahannya mampu memenuhi baku
mutu sungai kelas I. Jadi badan air penerima berperan sebagai
penentu besarnya kualitas effluent yang harus dicapai oleh IPAL.

4. Bahaya banjir

Lokasi dipilih pada lokasi yang bebas akan banjir.

5. Jenis tanah

Pilihan terbaik untuk lokasi IPAL adalah tanah dengan jenis yang
kedap air seperti lempung.
I.C.8.2.2. Kriteria Non Teknis Pemilihan Lokasi IPAL

1. Legalitas lahan

a. Kepemilikan lahan

Merupakan lahan yang tidak bermasalah. Pilihan yang dinilai


lebih baik adalah lahan milik Pemerintah.

b. Kesesuaian RUTR / RTRW

c. Dukungan masyarakat

2. Batas administrasi

Terletak pada batas administrasi kota yang berkepentingan.

3. Tata guna lahan

Pilihan yang terbaik jika merupakan lahan tidak produktif.

I.C.8.3. Pertimbangan Umum dlm Pemil. Altern. Teknologi

Dalam pemilihan teknologi pengolahan air limbah (IPAL) ada beberapa


hal yang harus dipertimbangkan, antara lain sebagai berikut.

1. Kual. & Kuan. Air Limbah Domestik yg akan diolah

Kualitas air limbah domestik berdasarkan pendekatan aktual di


lapangan dikelompokkan pada 3 (tiga) katagori/pengelompokan :

a. Air limbah dengan tingkat pencemaran rendah,


BOD < 300 mg/l.

b. Air limbah dengan tingkat pencemaran sedang,


300 < BOD < 500 mg/l.

c. Air limbah dengan tingkat pencemaran tinggi,


BOD > 500 mg/l.

Kualitas air limbah yang akan diolah harus diukur dari hasil analisa
kualitas melalui uji laboratorium.
Kuantitas air limbah menentukan jumlah beban pencemaran yang
akan diolah. Kuantitas dan kualitas air limbah menentukan desain
waktu detensi di dalam reaktor, volume reaktor, jumlah media,
jumlah volume udara untuk proses aerasi, dan besarnya pompa
untuk resirkulasi.

2. Kemudahan Pengoperasian&Ketersediaan SDM

Masing-masing jenis IPAL memiliki karakteristik pengoperasian


dan tingkat kesulitan pengoperasian yang berbeda, tergantung jenis
limbah yang diolah dan bangunan pengolahan yang digunakan.
Faktor kemudahan pengoperasian dan ketersediaan SDM yang akan
mengoperasikan IPAL tersebut menjadi unsur yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan bangunan pengolah air limbah
karena terkait dengan biaya operasional yang harus ditanggung
pengelola.

3. Jumlah Akumulasi Lumpur

Lumpur yang berasal dari proses pengolahan memerlukan


penanganan khusus. Semakin banyak jumlah lumpur yang timbul
dalam instalasi, semakin membutuhkan penanganan dan unit
khusus yang pada akhirnya menambah biaya operasi.

4. Kebutuhan Lahan

Setiap sistem pengolahan air limbah mempunyai karakteristik laju


pengolahan (flow rate), kualitas, dan kuantitas yang berbeda-beda.
Hal ini dapat mempengaruhi perencanaan waktu detensi dan
efisiensi proses masing-masing bangunan pengolah air limbah yang
akan digunakan. Semakin besar waktu detensi, semakin besar pula
kebutuhan lahan yang digunakan.

5. Biaya Pengoperasian

Biaya pengoperasian biasanya sangat ditentukan oleh kebutuhan


energi (listrik), biaya bahan kimia, perawatan, dan lain-lain dari
masing-masing jenis IPAL.

6. Kualitas Hasil Olahan

Baku mutu atau ambang batas kualitas olahan yang diperkenankan


dibuang ke badan air penerima diatur oleh masing-masing daerah.
Semakin tinggi golongan sungai penerima air olahan, maka semakin
ketat pula ambang batasnya. Semakin ketat nilai ambang batasnya,
maka dituntut efisiensi pengolahan air limbah yang semakin tinggi.

I.C.8.4. Proses Pemilihan Sistem IPAL

Urutan langkah dalam memilih jenis IPAL yang paling sesuai untuk
kondisi setempat biasanya dipertimbangkan dari aspek teknis dan non
teknis sebagaimana berikut :

1. Mengumpulkan data mengenai limbah cair yang akan diolah,


meliputi :
a. Kualitas Limbah Cair
b. Kuantitas Limbah Cair
c. Beban Limbah Cair

2. Memilih sistem penyaluran air limbah (Gravitasi atau sistem


pemompaan) dan teknologi pengolahan IPAL yang akan digunakan
(Fisik, Kimia, dan Biologis ) berdasarkan pertimbangan beberapa
aspek.
Aspek Teknis :
a. Kemudahan Pengoperasian
b. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada
c. Jumlah Lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan
d. Kualitas Effluent

Sementara itu, pertimbangan dari aspek non teknis meliputi :

a. Ketersediaan Lahan
b. Ketersediaan Biaya Konstruksi dan Operasi

Proses tersebut dapat digambarkan dalam Bagan Alir Gambar II.18.


Data Limbah Cair

Kualitas Limbah Cair

Kuantitas Limbah Cair

Beban Limbah Cair

Pilihan Sistem Penyaluran Limbah Pilihan Teknologi IPAL

Aspek Teknis Langkah Pemilihan Aspek Non Teknis

Kemudahan
Pengoperasian Sistem Pengolahan Ketersediaan Lahan
SDM Limbah Cair Terpilih Ketersediaan Biaya
Jumlah Konstruksi &
lumpur Operasi
Biaya Operasi
Kualitas
Effluen

Gambar II.18. Bagan Alir Proses Pemilihan Sistem Pengolahan Air


Limbah (IPAL)
I.C.8.5. Jenis Sistem Pengolahan Air Limbah

Jenis-jenis sistem pengolahan air limbah pada prinsipnya dapat


dikategorikan dalam sistem pengolahan fisik, pengolahan biologis, dan
pengolahan kimiawi seperti tampak pada Gambar II.19.

SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH

SISTEM SISTEM SISTEM


PENGOLAHAN PENGOLAHAN PENGOLAHAN
FISIK BIOLOGIS KIMIAWI

PENGOLAHAN PENGOLAHAN
1. Sumur Pengumpul 1. Netralisasi
AEROBIK ANAEROBIK
2. Saringan Sampah 2. Presipitasi
(Screen) 3. Koagulasi dan
3. Bak Penangkap Pasir 1. Kolam Aerasi 1. Filter Anaerobik Flokulasi
(Grit Chamber) (Aerated Lagoon) (Anaerobic Filter)
4. Bak Pengendap I 2. Kolam Aerasi 2. Upflow Anaerobic
(Primary Sedimentation) Fakultatif Sludge Blanket (UASB)
5. Bak Pengendap II 3. Proses Lumpur Aktif 3. Kolam Anaerobik
(Clarifier) (Activated Sludge (Anaerobic Pond)
Process, ASP) 4. Anaerobic Baffled
4. Extended Aeration Reactor (ABR)
5. Parit Oksidasi
(Oxidation Ditch, OD)
PENGOLAHAN
KOMBINASI

1. Kolam Stabilisasi
2. Rotating Biological
Contactor (RBC)
3. Pengolahan Anoxic
4. Biofilter
5. Bioreaktor Membran
(Membran
Bioreactor, MBR)
6. Moving Bed Biofilm
Reactor (MBBR)

Gambar II.19. Macam- Macam Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL)


Sedangkan tahapan proses dan operasi SPALT, serta kriteria desainnya
dapat dijelaskan dibawah ini.

I.C.8.5.1. Sistem Pengolahan Fisik

Pengolahan fisik hanya menggunakan proses secara fisik sebagai


variabel pertimbangan untuk rekayasa pemisahan dari air dengan
polutan atau zat zat pencemar yang ada di dalam air limbah. Tujuan
pengolahan fisik adalah memisahkan zat yang tidak diperlukan dari
dalam air tanpa menggunakan reaksi kimia dan reaksi biokimia.

Dalam pengolahan air limbah secara fisik, terdapat beberapa


tahapan, yaitu :

1. Menyaring
Tujuannya adalah memisahkan kotoran-kotoran yang berupa zat
padat kasar dan berukuran relative besar yang ada dalam air
limbah. Saringan dapat berupa kawat-kawat, kisi-kisi, kawat
kasar, maupun plat berlubang.

2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses memisahkan zat padat tersuspensi dari
air limbah dengan cara mengendapkannya. Proses pengendapan
terjadi akibat gaya beratnya sendiri (gaya gravitasi). Operasi ini
sering dipakai untuk memisahkan pasir (dalam grit chamber), dan
polutan tersuspendi (dalam bak pengendap I dan bak pengendap
II).

3. Pengapungan (flotasi)
Pengapungan adalah proses memisahkan zat padat tersuspensi
atau dapat berupa cairan dari air limbah dengan cara
menaikkannya ke atas permukaan air limbah akibat berat jenis
yang lebih kecil dari air limbahnya. Pemisahan akan lebih efektif
apabila dilakukan penambahan gelembung-gelembung gas ke
dalam fase cair, dimana gelembung tersebut akan melekat pada
zat padat tersuspensi dan mendorongnya naik ke permukaan.
Bahan yang dapat dipisahkan misalnya minyak dan lemak.

Parameter desain yang utama untuk pengolahan ini adalah kecepatan


mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak
pengendap. Kelebihan proses pengolahan fisik adalah mengurangi
penggunaan energi yang dapat berpengaruh terhadap pengurangan
biaya operasi dan peralatan, mengurangi beban pengolahan, dan
mengurangi resiko rusaknya peralatan. Kelemahan pengolahan fisik
adalah pengolahan ini hanya dapat diterapkan untuk menghilangkan
zat padat tersuspensi, sedangkan pencemar yang masih berupa zat
terlarut tidak dapat diolah. Selain itu, hasil yang akan dicapai sangat
terbatas dan memerlukan waktu yang cukup lama.

Unit pengolahan fisik yang dapat direncanakan adalah :

1. Sumur Pengumpul

Sumur pengumpul merupakan salah satu bangunan pengolahan


pendahuluan dalam perencanaan bangunan pengolahan air
limbah. Sumur pengumpul dilengkapi dengan pompa yang
berfungsi untuk memompakan air limbah ke instalasi pengolahan
air limbah. Fungsi sumur pengumpul ini adalah untuk
menampung air limbah dari saluran air limbah (intercepting sewer)
yang kedalamannya berada di bawah permukaan instalasi
pengolahan air limbah. Sumur pengumpul dapat dilengkapi
dengan bak penangkap lemak (oil and grease) sebelum air limbah
masuk ke dalam sumur untuk menyaring minyak dan lemak yang
mungkin masuk ke dalam sumur. Kriteria desain untuk sumur
pengumpul yang penting adalah waktu detensi. Waktu detensi air
limbah berada dalam sumur tidak boleh lebih dari 10 menit. Hal
ini untuk menghindari terjadinya pengendapan dalam sumur.
Contoh sumur pengumpul terdapat pada Gambar II.20.

Gambar II.20. Sumur Pengumpul

Jenis sumur pengumpul dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Sumur Basah
Menggunakan pompa submersible atau suspended/ motor yang
terpasang di atas level muka air di dalam sumur basah,
sedangkan bagian pompa terendam.

b. Sumur Kering

Menggunakan salah satu dari self-priming/ suction lift centrifugal


pump atau pompa sumur kering/ pompa dipasang dalam
kompartemen yang terpisah dengan air yang diisap.

2. Saringan Sampah (Screen)

Saringan sampah atau screen berfungsi untuk memisahkan zat


padat kasar atau yang berukuran besar (seperti plastik, kertas,
dedaunan, dan lain- lain) dari air limbah. Saringan dilengkapi
dengan kawat kawat, kisi- kisi, maupun plat berlubang untuk
menghalangi padatan yang berukuran besar masuk ke dalam
pengolahan air limbah. Saringan yang biasa digunakan dalam air
limbah memiliki beberapa kriteria. Kriteria saringan sampah pada
aliran air limbah terdapat pada Tabel II.14, sedangkan untuk
gambar saringan sampah terdapat pada Gambar II.21.

Tabel II.14. Persyaratan Teknis Saringan Air Limbah


Pembersihan
Pembersihan
Faktor Desain dengan Alat
Cara Manual
Mekanik
Kecepatan aliran lewat celah (m/dt 0,3 0,6 0,6 1
Ukuran penampang batang
Lebar (mm) 48 8 10
Tebal (mm) 25 50 50 75
Jarak bersih dua batang (mm) 25 75 10 50
Kemiringan thd. Horizontal (derajat) 45 60 75 85
Kehilangan tekanan lewat celah (mm) 150 150
Kehilangan tekanan Max.(cloging)
800 800
(mm)
Sumber: Syed R, Qosim, Waste water teatment plants
Gambar II.21. Skematik Saringan Sampah

3. Bak Penangkap Pasir (Grit chamber)

Sarana ini diperlukan untuk memisahkan kandungan pasir dari


aliran air limbah, sehingga pada tahap berikutnya
bahan/material lain didalam aliran air limbah tersebut akan
diproses dengan pengolahan biologi. Kunci dari pemisahan ini
adalah mengendapkan pasir pada pada kecepatan horizontal, dan
pasir akan mengendap.

Kecepatan aliran dalam Grit chamber diatur sedemikian rupa


sehingga yang diendapkan hanya pasir yang relative mempunyai
spesifik grafiti yang lebih berat dari partikel lain. Tetapi
kecepatan tersebut tidak telalu pelan sehingga bahan-bahan lain
(organik) selain pasir ikut mengendap. Pengaturan kecepatan
tersebut berlaku pada kondisi flow minimum maupun
maksimum.

Maka untuk mengatur kondisi tersebut :

Grit chamber dibagi menjadi dua kompartemen atau lebih,


untuk aliran minimum bekerja hanya satu kompartemen dan
maksimum bekerja keduanya,

Penampang melintang Grit chamber tersebut dibuat mendekati


bentuk parabola untuk mengakomodasi setiap perubahan
debit dengan kecepatan konstant.

Melengkapi Grit chamber dengan pengatur aliran yang disebut


control flume, yang dipasang diujung aliran.
Gambar skematik grit chamber selengkapnya terdapat pada
Gambar II.22, dan kriteria desain untuk grit chamber terdapat pada
Tabel II.15.

Tabel II.15. Faktor Desain untuk Grit chamber


Faktor Rencana Kriteria Keterangan
Jika diperlukan untuk menangkap
Dimensi
25 pasir halus (0,21 mm), gunakan td
Kedalaman, m yang lebih lama.
7,5 20
Panjang, m Lebar disesuaikan juga untuk
2,5 7
Lebar, m peralatan pengeruk pasir mekanik,
1:1 s/d 5:1
Rasio lebar/dalam kalau terlalu lebar dapat
2,5:1 s/d menggunakan buffle pemisah aliran
Rasio panjang/lebar
5:1 untuk mencegah aliran pendek.
Kecepatan Aliran,
0,6 0.8 Di permukaan air
m/dt
Waktu detensi pada
25
aliran puncak, menit
Supply udara
Liter/det.m panjang 5-12 jika menggunakan aerated Grit chamber
tangki
(Sumber: Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah, PU,
2006)
Grit Chamber

Potongan a-b

Potongan c-d

Gambar II.22. Skematik Grit chamber

4. Bak Pengendap I (Primary Sedimentation)

Fungsi utama bak pengendap I adalah mengendapkan partikel


discrete. Pemisahan partikel discrete (partikel yang tidak
mengelompok) dari suspensi melalui pengendapan bebas
(unhindered settling). Selain itu, bak pengendap I juga berfungsi
menurunkan BOD/COD dalam aliran sehingga menurunkan
beban pengolahan biologis pada tahapan pengolahan berikutnya.
Unit ini dapat mengendapkan (50-70)% padatan yang tersuspensi
(suspended solid) dan mengurangu (30-40)% BOD.

Terdapat tiga (3) tipe unit pengendap yang biasa digunakan


yaitu:

Horizontal flow (aliran horizontal) yaitu dalam bentuk persegi


panjang. Contohnya ada pada Gambar II.23.
Gambar II.23. Skematik Bak Persegi Panjang (Horizontal Flow)

Radial flow yaitu bak sirkular, air mengalir dari tengah menuju
pinggir. Gambar penampang bak aliran ini terdapat pada
Gambar II.24.

Gambar II.24. Radial Flow

Upword flow yaitu aliran dari bawah keatas dan biasanya bak
dalam bentuk kerucut menghadap ke atas. Contohnya
terdapat pada Gambar II.25.

Gambar II.25. Upword Flow


Sebaiknya desain dimensi bak pengendap I menggunakan debit
puncak (peak hour flow) jika tujuannya hanya berfungsi untuk
mengedapkan partikel discrete saja dan tidak untuk menurunkan
kadar bahan organik. Artinya menggunakan waktu detensi dalam
bilangan jam saja dan bukan hari. Beberapa kriteria perencanaan
berkenaan dengan bak pengendap I dapat dilihat pada Tabel
II.16.

Tabel II.16. Desain Kriteria untuk masing masing Tipikal Bak


Pengendap
Tipe bak pengendap
Parameter Aliran
Persegi panjang Aliran ke Atas
Radial
Surface
30 45 pada 45 pada
loading 30 pada aliran
aliran aliran
(m3/m2 maksimum
maksimum maksimum
hari)
waktu
2, pada aliran 2, pada aliran 2-3 pada aliran
detensi
maksimum maksimum maksimum
(jam)
P/L = 4:1, dalam Piramid dgn
Dalam 1/6
1,5 m sudut 600
Dimensi s/d 1/10
P/L 2:1 dalam Kerucut. Sudut
diameter
3m 450
Weir over
V-notch weir V-notch weir di
flow rate 300
di sisi luar sisi luar
(m3/m.hari)
Kinerja 50-70%,
40-50%, sludge 3- 65%, sludge 3-
untuk SS > sludge 3-
7% 4%
100 mg/ltr 6,5%
(Sumber: Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah,
PU, 2006)
5. Bak Pengendap II (Clarifier)

Fungsi unit ini adalah tempat terjadinya pemisahan pengendapan


material flocculant (hasil proses flokulasi atau proses sintesa oleh
bakteri) yaitu partikel yang mengelompok oleh gaya saling tarik
menarik (van der waals forces) menjadi menggumpul lebih besar
dan kemudian menjadi lebih berat dan mudah mengendap.

Perhatian khusus harus diberikan terhadap pengendapan floc


dalam bentuk MLSS (mixed liquoer suspended solid) dari proses
activated sludge atau lumpur aktif yang konsentrasinya tinggi
mencapai 5000 mg/l. Clarifier ini merupakan pengendapan
terakhir yang disebut juga final sedimentation.

Untuk desain surface loading (Q/A) digunakan 30 s/40 m3/m2.hari.


Sedangkan untuk desain yang aman harus menggunakan debit
maksimum. Kedalaman bak pengendap dari weir minimal adalah
3 m dengan waktu detensi (td) 2 jam untuk aliran puncak dan jika
perhitungan menggunakan aliran rata-rata maka waktu
detensinya berkisar 4,5 s/d 6 jam. Besarnya beban Weir loading rate
adalah sebesar 124 m3/m.hari. Bentuk bangunan secondary clarifier
terdapat pada Gambar II.26.

Gambar II.26. Bentuk Bangunan Secondary Clarifier


I.C.8.5.2. Pengolahan Biologis

Pengolahan biologis adalah penguraian bahan organik yang


terkandung dalam air limbah oleh jasad renik/bakteri sehingga
menjadi bahan kimia sederhana berupa unsur-unsur dan mineral
yang siap dan aman dibuang ke lingkungan. Tujuan pengolahan air
limbah secara biologis adalah untuk menghilangkan dan
menstabilkan zat-zat pencemar organik terlarut yang dilaksanakan
oleh jasad renik. Jasad renik dapat berupa bakteri, kapang, algae,
protozoa, dan lain lain. Pengolahan limbah secara biologis terutama
memanfaatkan kerja mikroorganisme. Dalam pengolahan ini, polutan
yang degradable (mudah diuraikan) dapat segera dihilangkan. Polutan
tersebut merupakan makanan bagi bakteri, sehingga dalam waktu
yang singkat bakteri akan berkembang biak menghabiskan polutan
yang ada dalam air limbah dan menghasilkan lumpur biologis
sebagai endapan.

Proses penghancuran polutan secara biologi dapat dipercepat dengan


memacu pertumbuhan bakteri. bakteri akan tumbuh dan berkembang
pesat apabila kondisi yang sesuai bagi kehidupan bakteri dapat
terpenuhi. Kondisi yang sesuai antara lain adalah pH air limbah
sekitar 7 dan suhu air limbah sekitar 35oC. Pengolahan air limbah
secara biologi sangat baik, akan tetapi memerlukan waktu yang lama
dan area yang luas.

Pemilihan metode pengolahan yang akan digunakan tergantung


tingkat pencemaran yang harus dihilangkan, besaran beban
pencemaran, beban hidrolis dan standar buang (effluent) yang
diperkenankan. Secara biologis ada 3 prinsip pengolahan biologis
yaitu pengolahan secara aerobik yaitu dengan melibatkan oksigen,
pengolahan secara anaerobik yaitu tanpa melibatkan oksigen, dan
pengolahan anoxic yaitu pengolahan biologis yang menggunakan
oksigen terikat. Secara umum, keuntungan dan kerugian jenis-jenis
pengolahan biologis dapat dijelaskan pada Tabel II.17 hingga Tabel
II.19 berikut ini :
Tabel II.17. Keuntungan dan Kerugian Pengolahan Biologis Aerobik
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
Menggunakan peralatan aerator Biaya pemeliharaan rendah Membutuhkan lahan
mekanik berupa surface aerator Effluent yang dihasilkan yang luas
Kolam Aerasi (Aerated untuk membantu mekanisasi supply baik Membutuhkan energi
1 oksigen larut dalam air Biaya instalasi awal rendah yang besar jika kolam
Lagoon)
Pertumbuhan bakterinya yaitu Tidak menimbulkan bau aerasi dilengkapi dengan
Suspended Growth Sistem aerator

Memerlukan aerator untuk proses Power yang diperlukan Memerlukan lahan yang
pengadukan tapi kebutuhan cukup rendah cukup luas, tapi tidak
tenaganya tidak sebesar kolam aerasi. seluas kolam stabilisasi
Pertumbuhan bakterinya yaitu Perlu melakukan
Suspended Growth Sistem pengurasan lumpur
Pada lapisan atas terjadi proses secara berkala
dekomposisi aerobic dan pada bagian
lapisan bawah kolam terjadi
dekomposisi proses anaerobic
Kolam Aerasi Tipe Konsentrasi solid (30-150) mg/L
2
Fakultatif Waktu detensi (td) yaitu (3-6) hari
Kedalaman kolam (3-5) m
Efisiensi BOD removal sebesar (75-
90)%
Kebutuhan lahan (0,15-0,45)
m2/kapita
Kebutuhan oksigen sebesar (0,75-0,97)
kWh/1000 orang atau (0,75-1,12)
kWh/1000 m3/kolam
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
Pertumbuhan bakterinya yaitu Daya larut oksigen dalam Memerlukan lahan yang
Suspended Growth Sistem dengan reycle air limbah lebih besar luas
lumpur daripada kolam aerasi Proses operasionalnya
ASP conventional jenis alirannya plug Efisiensi proses tinggi rumit (memerlukan
flow Menggunakan mix pengawasan yang cukup
Sesuai untuk pengolahan air limbah mikroorganisme sehingga ketat seperti kondisi
dengan debit kecil untuk polutan lebih mudah diaplikasikan suhu dan bulking control
organic yang sudah terdegradasi Maintenance dapat secara proses)
Biasanya digunakan untuk langsung karena dapat Membutuhan energy
Activated Sludge
3 pengolahan aerobic terlihat secara visual yang besar, sehingga
Process (ASP)
Proses bervariasi termasuk nitrifikasi (warna air limbah) biayanya juga besar
dan kombinasi dengan reaktor Membutuhkan operator
removal nutrient untuk mengatur jumlah
massa mikroba dalam
reaktor
Membutuhkan
penanganan lumpur
lebih lanjut

Proses ini merupakan pengembangan Efisiensi BOD removal Memerlukan tenaga


dari proses lumpur aktif konventional cukup tinggi aerator yang cukup
(ASP) Tidak memerlukan besar
Pertumbuhan bakterinya yaitu pengurasan lumpur pada Biaya O&M besar karena
4 Extended Aeration Suspended Growth Sistem dasar kolam membayar biaya listrik
Proses ini tidak memerlukan bak untuk aerator
pengendap awal
Konsentrasi solid (4000-5000) mg/L
Waktu detensi (td) yaitu (0,7-1) hari
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
Kedalaman kolam (3-5) m
Efisiensi BOD removal sebesar (95-
98)%
Kebutuhan lahan (0,13-0,25)
m2/kapita
Kebutuhan oksigen sebesar (1,49
2,24) kWh/1000 orang atau (1,12-1,87)
kWh/1000 m3/kolam
Biasanya digunakan untuk proses Efisiensi removal organic Membutuhkan lahan
pemurnian air limbah setelah cukup tinggi yang luas
mengalami proses pendahuluan Biaya O&M rendah Konsentrasi TSS pada
Pertumbuhan bakterinya yaitu Menghasilkan lumpur yang effluent masih tergolong
Suspended Growth Sistem lebih sedikit daripada tinggi jika dibandingkan
5 Oxidation Ditch Pada prinsipnya OD adalah extended proses biologis lainnya dengan ASP
aeration yang dikembangkan
berdasarkan saluran sirkular dengan
kedalaman (1-1,5) m
Terdapat rotor di beberap tempat
untuk tujuan aerasi
Tabel II.18. Keuntungan dan Kerugian Pengolahan Biologis Anaerobik
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
Dilengkapi filter media untuk Tahan terhadap shock loading Membutuhkan
tempat berkembangnya koloni Tidak membutuhkan energy pencucian media
bakteri membentuk film (lendir) listrik secara berkala
akibat fermentasi oleh enzim Biaya operasional dan Effluentnya
bakteri terhadap bahan organik perawatan tidak terlalu membutuhkan
yang ada didalam limbah mahal pengolahan tambahan
1 Filter Anaerobik Media yang digunakan bisa dari Efisiensi BOD dan TSS tinggi Efisiensi reduksi
kerikil, bola-bola plastik atau bakteri pathogen dan
tutup botol pelasik dengan nutrient rendah
diameter antara Membutuhkan start up
5 cm s/d 15 cm yang lama
Aliran dapat dilakukan dari atas
atau dari bawah
Membutuhkan pelengkap unit Efisiensi removal organiknya Memerlukan start up
sistem buffer untuk penampungan tinggi yang cukup lama
sementara fluktuasi debit yang Menghasilkan gas yang dapat Memerlukan operator
masuk sebelum didistribusikan ke digunakan sebagai sumber untuk mengatur aliran
tangki UASB energi biogas di dalam reaktor
Upflow Anaerobic UASB biasanya dipakai pada
2
Sludge Blanket (UASB) konsentrasi BOD di atas 1000
mg/l, yang umumnya digunakan
oleh industri dengan beban
organik tinggi. Jika beban organik
rendah akan sulit terbentuk sludge
blanket
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
Kolam ini dibuat dengan Biaya yang dibutuhkan Reduksi bakteri
mengatur kedalaman kolam agar sedikit dari segi operasional pathogen dan nutrient
terjadi proses anaerobic, karna tidak menggunakan rendah
kedalamannya sekitar (2-5) m. energy listrik Effluentnya masih
Organik loading untuk kawasan Efisiensi removal yang cukup membutuhkan
tropis sekitar (300-350) g baik pengolahan tambahan
BOD/m3.hari Membutuhkan pre-
Jika dinding dan dasar pada kolam treatment untuk
Kolam Anaerobik
3 anaerobik tidak menggunakan mencegah terjadinya
(Anaerobic Pond)
pasangan batu, maka kolam clogging
tersebut harus dilapisi tanah
kedap air (tanah liat + pasir 30%)
setebal 30 cm atau diberi lapisan
geomembran untuk menghidari air
dari kolam meresap kedalam
tanah dan beresiko mencemari air
tanah sekitarnya
Pengolahan suspended growth yang Biaya yang dibutuhkan Reduksi bakteri
memanfaatkan sekat (baffle) dalam sedikit dari segi operasional pathogen dan nutrient
pengadukan yang bertujuan agar karna tidak menggunakan rendah
terjadi kontak antara air limbah energy listrik Effluentnya masih
Anaerobic Baffled dengan biomassa Efisiensi removal yang cukup membutuhkan
4
Reactor (ABR) ABR mengolah air limbah dengan baik pengolahan tambahan
Organic Loading Rate (OLR) Membutuhkan pre-
sebesar (1,2-1,5) g COD/L.hari dan treatment untuk
pada temperatur mesophilic (23- mencegah terjadinya
31C) clogging
Tabel II.19. Keuntungan dan Kerugian Pengolahan Biologis Kombinasi
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
Terdiri dari 3 unit kolam, yaitu Effluentnya dapat Memerlukan lahan yang
kolam anaerobic, kolam fakultatif, digunakan untuk keperluan luas
dan kolam maturasi irigasi, kolam ikan Perlu melakukan
Kolam pertama adalah kolam peliharaan, pengurasan lumpur
anaerobic, kemudian kolam Teknologi sederhana, tidak secara berkala
1 Kolam Stabilisasi fakultatif, dan dilanjutkan kolam memerlukan O&M yang
maturasi rumit
Perbedaan ketiga kolam terdapat Membutuhkan biaya sedikit
pada kedalamannya. Kolam
anaerobic (2,5-4) m, kolam fakultatif
(1,5-2) m, dan kolam maturasi 1 m.
Pertumbuhan bakterinya yaitu Kebutuhan lahan yang Biaya capital dan
Attached Growth Sistem sedikit pemasangan RBC lebih
Menggunakan media berupa Tahan terhadap beban kejut mahal daripada
piringan fiber/ HDPE yang berada (shock loading) organis dan ASP/debit/kualitas air
40% di dalam air dan disusun secara hidrolis limbah yang setara
vertical pada as rotor horizontal Peluruhan biomassa lebih Kalau oksigen
Piringan diputar dengan kecepatan aktif terlarutnya rendah dan
Rotating Biological Contactor (3-6) rpm sehingga memberi Kebutuhan energi listrik terdapat sulfide di
2
(RBC) kesempatan secara bergantian lebih rendah dalam air limbahnya,
bagian-bagian dari luas permukaan Kualitas effluent tinggi maka bakteri
piringan menerima oksigen dari Mampu mengolah air pengganggu seperti
udara luar limbah yang mengandung Beggiatoa akan tumbuh
Pemutaran media selain berfungsi senyawa beracun seperti di media RBC
untuk supplai oksigen pada bakteri besi, sianida, selenium, dan Biaya investasi akan
yang melekat pada piringan juga lain-lain lebih mahal apabila
berfungsi untuk membersihkan debit olahannya besar
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
lender yang berlebihan pada
piringan sehingga tidak akan terjadi
clogging
Biasanya digunakan untuk skala
modul (1.000-10.000) jiwa , sehingga
RBC lebih cocok untuk debit kecil
Terdapat 2 bak kontaktor yaitu bak Dapat menurunkan zat Membutuhkan
kontaktor anaerob dan bak organik, ammonia, deterjen, pencucian media secara
kontaktor aerob phospat, TSS dan lain-lain berkala
Proses yang terjadi dalam biofilter Membutuhkan tenaga
ada proses anaero, aerob, anoxic cukup besar untuk
Di dalam bak kontaktor anaerob proses aerasi di bak
terdapat diisi dengan media dari kontaktor aerob
bahan plastic tipe sarang tawon
3 Biofilter Tangki biofilter terbuat dari bahan
kedap air dan tahan korosi
Jumlah bak kontaktor anaerob
terdiri dari dua buah ruangan
Media kontaktor terdiri dari
minimal 3 kompartemen.
Di dalam bak kontaktor aerob diisi
dengan medua dan bahan plastic
tipe sarang tawon sambil diaerasi
Sistem pengolahan yang Tidak memerlukan clarifier Biaya investasi dan
menggunakan membran sehingga dapat menghemat perawatannya tinggi
Bioreaktor Membran
4 Proses pengolahannya hampir sama penggunaan lahan untuk membeli
(Membrane bioreactor, MBR)
dengan ASP, hanya bedanya Pembuangan lumpur dapat membrane
pemisahan solid di MBR dilakukan langsung dari Maintenance harus rutin
No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan
menggunakan membrane dalam reaktor dengan pergantian/
Terdiri dari 1 bak yang berfungsi Kualitas effluent hasil pencucian membran
untuk proses biologis dan filtrasi pengolahan yang tinngi
Kemampuan proses ini sangat sehingga hasil olahannya
tergantung dari modul filter yang dapar digunakan kembali
digunakan
Menggunakan beribu biofilm dari Tidak mengeluarkan biaya Perlu melakukan
polyethylene yang tercampur yang besar penggantian media yang
dalam reaktor yang diaerasi terus- Perawatannya mudah telah jenuh secara rutin
menerus karena tidak perlu
Luas permukaan media besar untuk melakukan pengembalian
tempat bertumbuhnya bakteri lumpur dan mengatur F/M
Moving Bed Biofilm Reactor
5 Pertumbuhan bakterinya yaitu ratio
(MBBR
Attached Growth Sistem Efisiensi pengolahan BOD
Tidak membutuhkan pengembalian dan nitrifikasinya tinggi
lumpur dan tidak perlu mengatur Tidak memerlukan lahan
F/M ratio dalam reaktor yang luas
Cocok untuk permasalahan
nitrifikasi
Selain itu, ciri-ciri beberapa unit pengolahan biologis dapat dilihat
pada Tabel II.20.

Tabel II.20. Ciri- Ciri Bangunan Pengolahan Biologis untuk


Air Limbah
Efisiensi
Beban
No. Type Jenis Proses Pengolahan
Hidraulik/Biologis
(%)
Kolam Aerasi
1 Pengolahan Aerobik 0,1 kg BOD/m3.hari >70
(Aerated Lagoon)
Kolam Aerasi
2 Pengolahan Aerobik 250 m3/m2.hari >90
Fakultatif
Proses Lumpur
Aktif (Activated (0,3-0,6) kg
3 Pengolahan Aerobik 85-95
Sludge Process, BOD/m3.hari
ASP)
(0,1-0,4) kg
4 Extended Aeration Pengolahan Aerobik 75-85
BOD/m3.hari
Parit Oksidasi
0,1 0,6
5 (Oxidation Ditch, Pengolahan Aerobik 90-95
OD)
kg.BOD/m3.hari
Filter Anaerobik Pengolahan
6 ( 4-5) kg COD/m3.hari 70-90
(Anaerobic Filter) Anaerobik
Upflow Anaerobic
Pengolahan 20 m3/m2.hari atau 25 kg
7 Sludge Blanket 70-85
(UASB)
Anaerobik COD/m3.hari
Kolam
Pengolahan (300-350) g
8 Anaerobik 50-70
Anaerobik BOD/m3.hari
(Anaerobic Pond)
Anaerobic Baffled Pengolahan
9 < 3 kg COD/m3.hari 70-95
Reactor (ABR) Anaerobik

Kolam Anaerob = 4
m3/m2.hari atau 0,3-1,2 50 - 85
kg BOD/m3/hari
Pengolahan
Anaerobik,
10 Kolam Stabilisasi Kolam fakultatif =(40-
fakultatif, dan 80 - 95
Maturasi 120) kg BOD/ha.hari

Kolam Maturasi = 0,01


60 - 80
kg/m3.hari
Pengolahan Aerobik
Rotating
dengan
11 Biological 0,02 m3/m2.luas media 95
menggunakan
Contactor (RBC)
beberapa disk
Biofilter Anaerob = (5-
Pengolahan 30) g BOD/m2.hari
12 Biofilter Anaerobik dan 80-90
Aerobik Biofilter Aerob = (5-30)
g BOD/m2.hari
Efisiensi
Beban
No. Type Jenis Proses Pengolahan
Hidraulik/Biologis
(%)
Bioreaktor Pengolahan Aerobik
Membran dengan (0,4-0,7) kg
13 (Membran
98-99
menggunakan BOD/m3.hari
Bioreactor, MBR) membran
Pengolahan Aerobik
Moving Bed
dengan
14 Biofilm Reactor (7,5-25) g/m2.hari 98
menggunakan beribu
(MBBR)
biofilm

Selanjutnya akan dijelaskan lebih detail yaitu sebagai berikut :

1. Pengolahan Aerobik

Pengolahan aerobik adalah pengolahan yang menggunakan


mikroorganisme yang hidup dalam kondisi aerobik atau kondisi
yang memerlukan keberadaan oksigen bebas (O2). Pengolahan
aerobik biasanya digunakan untuk pengolahan limbah dengan
beban organik yang tidak terlalu besar. Pengolahan ini. Contoh
unit pengolahan aerobik yang biasa digunakan adalah aerobic
pond, activated sludge, aerated lagoon, oxidation ditch, dan rotating
biological contactor.

Proses dekomposisi bahan organik dengan sistem aerobik


digambarkan sebagai berikut dibawah ini :
mikroorganisme
C,H,O,N,P,S ...+ O2 CO2, H2O, PO43-, SO42- + sel baru + energi

Keberadaan oksigen terlarut didalam air mutlak diperlukan


untuk proses dekomposisi tersebut. Pada unit proses pengolahan
air limbah secara aerobik, keberadaan optimal oksigen terlarut
direkayasa secara teknologi dengan menggunakan antara lain :
aerator mekanik, diffuser, kontak media yang terbuka terhadap
udara luar dan proses fotosintesis.

Pemilihan unit yang akan dipakai untuk pengolahan ini


tergantung besar beban (biologi dan hidrolis) yang akan diolah
dan tergantung hasil pengolahan yang dikehendaki (ultimate
objective).

2. Pengolahan Anaerobik

Pengolahan anaerobik merupakan suatu proses pengolahan yang


tidak memerlukan oksigen dalam menguraikan bahan pencemar
organiknya. Keberadaan oksigen justru menjadi racun bagi
mikroorganisme anaerobik pengurainya. Pengolahan anaerobik
digunakan untuk mengolah air limbah dengan beban organik
yang tinggi. Pengolahan ini menggunakan bakteri yang hidup
dalam kondisi anaerob yaitu bakteri hidrolisa, bakteri acetogenik,
dan metanogenik. Contoh pengolahan anaerobic yang umum
digunakan adalah septic tank, anaerobic biological reactor (ABR),
inhoff tank, kolam anaerobic, Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB),
dan anaerobic filter. Reaksi kimia pengolahan anaerobik umumnya
sebagai berikut:
Mikroorganisme
C,H,O,N,P,S + NO3-, PO43-, SO42- CO2, CH4, N2, PH3,
H2S + sel baru + energi

Pengolahan secara anaerobik selalu menghasilkan biogas seperti


CO2, dan CH4 yang bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif.
Apabila menggunakan reaktor anaerobik lebih baik terdapat alat
penangkap gasnya, sehingga bisa membantu pengadaan sumber
energi alternatif untuk IPAL tersebut.

3. Pengolahan Kombinasi

Pengolahan kombinasi adalah pengolahan yang


mengkombinasikan antara beberapa proses, baik kombinasi
aerobic dan anaerobic, pengolahan anoxic, maupun kombinasi
dengan menggunakan tambahan membran atau biofilm.

Pengolahan anoxic adalah suatu pengolahan yang kondisinya


sudah tidak terdapat oksigen terlarut lagi (oksigen bebas lagi),
sehingga mikroorganisme yang akan mengolah air limbah perlu
melepaskan oksigen terikat dalam bentuk senyawa nitrat atau
nitrit. Prosesnya lebih dikenal dengan istilah denitrifikasi. Oleh
karena itu, proses ini digolongkan ke dalam pengolahan
kombinasi.

Proses denitrifikasi adalah proses dimana senyawa nitrat dan


nitrit direduksi menjadi gas nitrogen. Denitrifikasi terjadi pada
temperatur rendah yaitu 5oC dan bakteri yang biasanya hidup
adalah bakteri heterotrofik. Reaksi denitrifikasi ditulis sebagai
berikut :

NO3-+ 1.08CH3OH + H+ 0.065C5H7O2N + 0.4N2 + 0.76CO2 +


2.44H2O
Pengolahan dengan cara anoxic digunakan apabila senyawa nitrat
dalam air limbah berlebih, sehingga perlu diubah menjadi bentuk
gas. Berikut ini contoh gambar dengan menggunakan pengolahan
anoxic.

Gambar II.27. Activated Sludge dengan Proses Nitrifikasi (O) dan


Denitrifikasi (A)

I.C.8.5.3. Pengolahan Kimiawi

Pengolahan limbah secara kimiawi dilakukan dengan menambahkan


bahan-bahan kimia ke dalam air limbah untuk mengkondisikan air
limbah yang akan diolah agar dapat diolah oleh mikroorganisme
(bukan sebagai proses pengolahan utama, hal ini dikarenakan biaya
pengolahan yang tinggi). Pengolahan secara kimia biasanya
digunakan untuk netralisasi limbah asam maupun basa, memperbaiki
proses pemisahan lumpur, memisahkan padatan yang tak terlarut,
mengurangi konsentrasi minyak dan lemak, meningkatkan efisiensi
instalasi flotasi dan filtrasi, serta mengoksidasi warna dan racun. Air
limbah yang mengandung zat-zat kimia termasuk logam berat, sangat
tepat bila pengolahan limbah dilakukan secara kimiawi.

1. Netralisasi
Proses ini dilakukan untuk menghilangkan asam atau basa. Pada
umumnya, semua pengolahan air limbah dengan pH yang terlalu
rendah atau tinggi membutuhkan proses netralisasi sebelum
limbah tersebut dibuang ke lingkungan.

2. Presipitasi
Presipitasi adalah pengolahan bahan- bahan terlarut dengan cara
penambahan bahan-bahan kimia yang menyebabkan
terbentuknya gumpalan (flok). Dalam pengolahan air limbah,
presipitasi digunakan untuk menghilangkan logam berat, sulfat,
fluoride, dan garam- garam besi.

3. Koagulasi dan Flokulasi


Proses ini mempunyai peranan yang cukup penting dalam
pengolahan air limbah, sehingga faktor- faktor yang menunjang
dalam proses koagulasi dan flokulasi haruslah diperhatikan.
Pemilihan zat koagulan harus berdasar pertimbangan antara lain
jumlah dan kualitas air yang akan diolah, kekeruhan, metode
penyaringan, serta sistem pembuangan lumpur endapan. Jenis
koagulan antara lain Alum (Aluminium Sulfat), Ferro Sulfat, Poly
Aluminium Chlorida (PAC), dan lain-lain.

Dalam pengolahan air limbah secara kimiawi, waktu dan area yang
diperlukan jauh lebih kecil dibandingkan pengolahan limbah secara
fisik dan biologi. Akan tetapi biaya yang dibutuhkan lebih tinggi
daripada pengolahan secara fisik dan biologis. Oleh karena itu, proses
kimia dalam pengolahan air limbah permukiman tidak digunakan
sebagai proses pengolahan utama.

I.C.8.5.4. Komponen Bangunan Pengolahan Air Limbah Aerobik

1. Kolam Aerasi (Aerated Lagoon)

Kolam aerasi menggunakan peralatan aerator mekanik berupa


surface aerator yang digunakan untuk membantu mekanisasi
supply oksigen larut dalam air. Aerator ini menggunakan propeler
yang setengah terbenam dalam air dengan putarannya memecah
permukaan air agar lebih banyak bagian air yang kontak dengan
udara dan menyerap oksigen bebas dari udara.

Kelebihan kolam aerasi adalah biaya pemeliharaan rendah,


effluent yang dihasilkan baik, biaya instalasi awal rendah, dan
tidak menimbulkan bau. Akan tetapi, kelemahannya adalah
membutuhkan lahan yang luas dan membutuhkan energy yang
besar jika kolam aerasi dilengkapi dengan aerator.

Dinding kolam aerasi terbuat dari beton bertulang, sedangkan


lantai kolam menggunakan geotekstil agar tidak terjadi
kebocoran. Ada beberapa type geotekstil yang dapat digunakan
sebagai penutup dasar kolam.

Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan geotekstil yang akan


dipakai diantaranya:

a. Memiliki berat yang cukup (4 kg/m2) untuk terhindar dari


kemungkinan terangkat (uplift) akibat pelepasan gas karena
tanah mengandung material organik.

b. Memiliki kemampuan untuk menutup kerusakan akibat


penetrasi batuan dengan diameter 5 cm.

c. Memiliki kekuatan yang cukup untuk terhindar dari


kerusakan pada bagian tepinya karena proses pemasangan.

d. Mudah dipasang dan tidak diperlukan tenaga kerja dengan


spesifikasi khusus untuk memasangnya.
Unit ini pada prinsipnya menempatkan aerator yang dapat
mengangkat seluruh endapan tersuspensi dalam aliran sehingga
dianggap terjadi pengadukan lengkap dari seluruh sisi kolam
sebagaimana terjadi pada aerasi di tangki sistem activated
sludge/lumpur aktif. Efisiensi BOD removal cukup tinggi namun
karena aliran keluar membawa juga endapan yang tersuspensi,
dengan demikian efisiensi pengurangan suspended solid pada
efluen sangat rendah.

Sebenarnya kebutuhan energi untuk aerasi hampir sama saja


dengan tipe lainya, hanya karena harus mengangkat seluruh
suspensi, maka diperlukan tenaga aerator yang cukup besar yaitu
2,6 s/d 3,88 kWh per 1000 m3 kolam. Lebih dari 4 kali tenaga yang
diperlukan oleh fakultatif aerated lagoon atau 2 kali tenaga aerator
yang diperlukan extended aeration. Keuntungan tipe ini tidak
memerlukan pengurasan lumpur pada dasar kolam.
Gambar II.28. Skematik Kolam Aerasi

2. Kolam Aerasi Fakulatif

Tipe ini selaras dengan kolam alga pada kolam stabilisasi, hanya
oksigen yang diperlukan disupply melalui aerator dan bukan
melalui proses fotosintesis algae. Sistem ini memberikan cukup
oksigen, namun power input aerator tidak cukup untuk mejaga
seluruh partikel (solid) tetap dalam bentuk suspensi. Jadi sama
dengan kondisi fakultatif pada kolam stabilisasi, yaitu pada
lapisan bagian atas terjadi proses dekomposisi aerobik dan pada
bagian lapisan bawah kolam terjadi proses anaerobik.

Pada prinsipnya unit ini memerlukan power yang cukup rendah,


namun memerlukan lahan yang cukup luas meskipun tidak
seluas lahan untuk kolam stablisasi. Disamping itu lumpur akibat
pengendapan akan berada didasar kolam dan secara periodik
harus dibersihkan. Akumulasi lumpur facultatif aerated lagoon
adalah 30 liter s/d 50 liter per jiwa setiap tahunnya. Gambar
skematik Kolam aerasi fakultatif ada pada Gambar II.29.

Gambar II.29. Skematik Kolam Aerasi Fakultatif


3. Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process)

Lumpur aktif merupakan proses pengolahan secara biologi


aerobik dengan mempertahankan jumlah massa mikroba dalam
suatu reactor dan dalam keadaan tercampur sempurna. Suplai
oksigen mutlak diperlukan, biasanya menggunakan peralatan
mekanis aerator dan blower. Peralatan tersebut selain dibutuhkan
untuk menyuplai oksigen, juga diperlukan untuk melakukan
pengadukan sempurna di dalam reaktor. Perlakukan untuk
memperoleh massa mikroba yang tetap dalam reaktor adalah
dengan melakukan resirkulasi lumpur dan pembuangan lumpur
dalam jumlah tertentu.

Limbah cair yang masuk ke dalam tangki aerasi akan terjadi


pencampuran dengan mikroorganisme. Mikroorganisme ini yang
melakukan penguraian dan menghilangkan kandungan organic
dari limbah secara aerobic. Oksigen yang dibutuhkan untuk
reaksi mikroorganisme tersebut diberikan dengan cara
memasukkan udara ke dalam tangki aerasi dengan blower.
Campuran limbah yang telah diolah kemudian dialirkan ke
clarifier dan di dalam clarifier lumpur akan mengendap dan
supernatannya dikeluarkan sebagai effluent dari proses. Sebagian
besar lumur aktif yang ada di clarifier diresirkulasi ke tangki
aerasi supaya konsentrasi mikroorganisme dalam tangki
aerasinya tetap sama dan sisa lumpur yang ada di buang untuk
dilakukan pengolahan lumpur.

Ada dua jenis activated sludge yaitu tipe konvensional dan tipe
extended aeration. Perbandingan karekteristik kedua jenis tersebut
dapat dilihat pada Tabel II.21. Sedangkan kriteria perencanaan
lumpur aktif terdapat pada Tabel II.22.
Tabel II.21. Perbandingan Sistem Lumpur Aktif dengan
Sistem Aerasi
Waktu
Beban Periode
Jenis detensi MLSS Ratio Re-
Jenis Uraian F/M ratio Aerasi
aliran lumpur Aerator (mg/lt) sirkulasi
(jam)
(jam) (kg/m3.d)
Activated
1500 -
sludge Plug 5-15 0.2-0.4 0.3-0.6 4-8 0.25 0.5
2000
conventional
Extended Oxidation 3000 -
Mix 20-30 0.05 0.15 0.1-0.4 18-36 0.5-2
Aeration ditch 6000
Kolam Inter-
Plug 0.1 250-300 0
Aerasi mitten
(Sumber: Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah, PU,
2006)

Tabel II.22. Kriteria Perencanaan Lumpur Aktif


(Activated Sludge)
Jenis Proses
No Kriteria Satuan Step Modified Extended Contact High Rate
Conventional Pure Oxygen
Aeration Aeration Aeration Stabilization Aeration
1 Beban BOD : MLSS Loading kg/kg.hari 0.2-0.4 0.2-0.4 1.5-3.0 0.03-0.05 0.2-0.6 0.02-0.04 0.2-1.0
Volume Loading kg/.m3.hari 0.3-0.8 0.4-1.4 0.6-2.4 0.15-0.25 0.8-1.4 0.6-2.6 1.6-4.0
2 MLSS mg/L 1500-2000 2000-3000 400-800 3000-6000 3000-6000 3000-6000 6000-8000
3 Umur Lumpur (Sludge Age ) hari 2-4 15-30 4 2-4 8-20
4 Kebutuhan Udara (Qudara/Q air limbah) 3-7 3-7 2-3.5 > 15 > 12 > 15
5 Waktu Aerasi (HRT) jam 6-8 4-6 1.5-3 16-24 5 2-3 1-3
6 Rasio Sirkulasi Lumpur (Qlumpur/Q air limbah) % 20-40 20-30 5-10 50-150 40-100 50-150 25-50
7 Efisiensi Pengolahan % 85-95 90 60-70 75-85 85-90 75-95 85-95
(Sumber: Japan Sewage Work Assosiation)

Variabel perencanaan (desain variabel) yang umum digunakan


dalam pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif (Davis
dan Cornwell, Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah
sebagai berikut:

a. Beban BOD

Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air Iimbah


yang masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor.
Beban BOD dapat dihitung dengan rumus berikut:
Q So
Beban BOD (kg/m 3.hari) =
V
Dimana:
Q = debit air Iimbah yang masuk (m3/hari)
S0 = Konsentrasi BOD di dalam air Iimbah
yangmasuk (kg/m3)
V = Volume reaktor (m3)

b. Mixed-Liqour Suspended Solids (MLSS)

Isi di dalam bak aerasi pada pengolahan air limbah dengan


sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liquor yang
merupakan campuran antara air limbah dengan biomassa
mikroorganisma serta padatan tersuspensi lainnya. MLSS
adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa
material organik dan mineral, termasuk di dalamnya adalah
mikroorganisma. MLVSS ditentukan dengan cara menyaring
lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian
filter dikeringkan pada temperatur 105C, dan berat padatan
dalam contoh ditimbang.

c. Mixed-Iiqour Volatile Suspended Solids (MLVSS)

Porsi material organik pada MLVSS diwakili oleh MLVSS,


yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup
dan mati, dan selnya hancur (Nelson dan Lawrence, 1980).
MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang
telah kering pada 600 - 650C, dan nilainya mendekati 65-75%
dan MLSS.

d. Food - to - Microorganism Ratio

Parameter ini menujukkan jumlah zat organik (BOD) yang


dihilangkan dibagi dengan jumlah massa mikroorganisma di
dalam bak aerasi atau reaktor. Besarnya nilai F/M ratio
umumnya ditunjukkan dalam kilogram BOD per kilogram
MLVSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Natharison, 1986).

F/M dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai


berikut:

QSo S
F/M
MLSS V

dimana:
Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
S0 = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang
masuk ke bak areasi (reaktor) (kg/m3)
S = Konsentrasi BOD di dalam efluent(kg/m3)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (kg/m3)
V = Volume reaktor atau bak aerasi (m3)

e. Hidraulic Retention Time (HRT)

Waktu detensi hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata yang


dibutuhkan oleh larutan influen masuk dalam tangki aerasi
untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik
dengan laju pengenceran (dilution rate, 0) (Sterrittdan Lester,
1988).

I V
HRT
D a
dimana:
V = Volume reaktor atau bak aerasi (m3).
Q = Debit air Iimbah yang masuk ke dalam tangki aerasi
(m3/jam)
D = Laju pengenceran (jam).

f. Kebutuhan Oksigen

Kebutuhan udara untuk aerasi sebesar 62 m3/kg BOD dan


waktu detensi aerator selama (2-5) jam. Kebutuhan dan
transfer oksigen dapat dirumuskan sebagai berikut :

BOD 1 mol sel = 1,42 Konsentrasi Sel

Sementara itu, kebutuhan oksigen teoritis dapat dirumuskan


sebagai berikut :

Lb O2/hari = (total massa BODL) 1,42 (massa organisme


limbah)

Dalam mensuplai kebutuhan oksigen dapat digunakan


beberapa jenis aerator seperti pada Tabel II.23.
Tabel II.23. Karakteristik Peralatan Aerator
Transfer Transfer
Sistem Aerasi Uraian Kelebihan Kekurangan
Efisiensi Rate
Sistem difuser
1.Gelembung Menggunakan
Baik untuk
halus Pipa atau Biaya inisial
Pengadukan
sungkup dan O&P 10 30 1,2 2,0
dan oksigen
keramik yang tinggi
transfer
porous
Baik untuk
2.Gelembung Pengadukan
Menggunakan Biaya inisial
sedang dan biaya 6 15 1,0 1,6
Pipa perforated tinggi
O&P rendah

3.Gelembung Menggunakan Non clogging, Biaya inisial


besar Pipa dengan biaya O&P dan tenaga 4-8 0,6 1,2
orifice rendah listrik tinggi
Sistem mekanikal
Dengan
1. Radial diameter Flexible, Biaya awal
1,2 2,4
flow 2060 Impeller lebar adukan baik tinggi

2. Axial flow Dengan


300-1200 diameter Biaya awal Adukan
rpm 1,2 2,4
Propeller rendah kurang
pendek
Udara & AL Rendah inisial
3. Tubular dihisap dan O & cost, Adukan
defuser 7 10 1,2 1,6
kedalam pipa efisiensi rendah
untuk diaduk transfer tinggi
Tekanan udara Cocok untuk Perlu pompa
4. Jet dan AL bak yang dan 10 25 1,2 2,4
horizontal dalam kompresor
Drum dilapisi
5. Brush Cocok untuk
sikat baja dan Efisiensi
rotor oxidation 1,2 2,4
diputar dengan rendah
ditch
as horizontal
6. Submed
turbin Adukan tinggi Power tinggi 1,0 1,5

a) Kg O2/Kw.jam
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah, Pu, 2006)
g. Produksi Lumpur (Px)

Produksi lumpur per hari (Px)

Px = YobsQ (So S) (103 g/kg)-1

Dimana :

Px = Jumlah bersih buangan activated sludge yang


dihasilkan tiap hari, diukur dalam volatile suspended
solid, (kg/hari)
Yobs = observed yield (g/g)

Y
=
1 K d ( c )

Produksi Lumpur (Px) = [YQ (So S)] [KdVrX]

Dimana :
Y = yield
So = Konsentrasi BOD atau COD influent (mg/L)
S = Konsentrasi BOD atau COD effluent (mg/L)
Kd = Koefisien pada ASP (BOD/hari)
Vr = Volume reactor (m3)
X = Konsentrasi Volatile Suspended Solid (mg/L) atau
(g/m3)

h. Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic Recycle R)

Ratio sirkulasi adalah perbandingan antara jumlah lumpur


yang disirkulasikan ke bak aerasi dengan jumlah air limbah
yang masuk ke dalam bak aerasi. Rumus untuk rasio
resirkulasi adalah :

Qr X
R
Qo X r X

Dimana :
Qr = Debit resirkulasi
Qo = Debit influen
X = Konsentrasi mikroorganisme dalam bioreactor
Xr = Konsentrasi mikroorganisme dalam resirkulasi
i. Umur lumpur Aktif (C)

Parameter ini menunjukkan waktu detensi mikro organisma


dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu
dalam jam, maka waktu detensi sel mikroba dalam bak aerasi
dapat dalam hitungan hari.

Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan


mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :

X V
C =
Qw X w [Q Qw ] X e
dimana:
C = Rata- rata waktu tinggal sel berdasarkan volume tangki
(hari)

X = Konsentrasi Volatile Suspended Solid (mg/L) atau (g/m3)

C Y ( So S ) V
= , dimana : H
H 1 K d C Q

V = Volume reactor (m3)


Qw = Debit lumpur terbuang (m3/hari)
Xw = Konsentrasi volatile suspended solid dalam lumpur terbuang
(g/m3)
Xe = Konsentrasi volatile suspended solid dalam effluent yang
terolah (mg/L) atau (g/m3)

Cara konvensional untuk mengamati kemampuan pengendapan


lumpur adalah dengan menentukan Indeks Volume Sludge
(Sludge Volume Index = SVI). Caranya adalah sebagai berikut :
campuran lumpur dan air Iimbah (mixed liquor) di bak aerasi
dimasukkan dalam silinder kerucut volume 1 liter dan dibiarkan
selama 30 menit. Volume sludge dicatat. SVI menunjukkan
besarnya volume yang ditempati 1 gram lumpur (sludge). SVI
dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagal berikut:

SV 1000
SVI (mL/g) =
MLSS
dimana:
SV = Volume endapan lumpur di dalam silinder
kerucut setelah 30 menit pengendapan (ml).
MLSS = mixed liqour suspended solid (mg/I).

Kelebihan reaktor ini adalah daya larut oksigen dalam air limbah
lebih besar daripada kolam aerasi, efisiensi proses tinggi, sesuai
untuk pengolahan air limbah dengan debit kecil untuk polutan
organik yang sudah terdegradasi. Kekurangan reaktor ini adalah
membutuhkan area yang luas, proses operasionalnya rumit
(memerlukan pengawasan yang cukup ketat seperti kondisi suhu
dan bulking control proses). Selain itu kelemahannya adalah
membutuhkan energi yang besar, membutuhkan operator yang
terampil dan disiplin dalam mengatur jumlah massa mikroba
dalam reaktor dan membutuhkan penanganan lumpur lebih
lanjut.

4. Kolam Aerasi Extended Aeration

Kolam Extended Aeration sebenarnya bukan termasuk kategori


kolam aerasi seperti kolam aerasi lainnya, proses ini merupakan
pengembangan dari proses lumpur aktif konvensional (standar).
Hanya saja khusus untuk Extended Aeration tidak diperlukan bak
pengendap awal.

Di dalam bak aerasi air limbah disuplai oksigen dari blower atau
diffuser sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan
zat organik yang ada di dalam air limbah. Dengan demikian di
dalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang
biomassa dalam jumlah yang besar. Biomassa atau
mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan
yang ada di dalam air limbah.

Unit ini juga membuat endapan tersuspensi dengan adukan


menyeluruh meliputi seluruh bagian kolam. Sebagian lumpur
yang terikut pada aliran outlet dari kolam ini terendapkan,
sebagian lainya dibiarkan terakumulasi didalam kolam atau
sebagian yang diendapkan kemudian dikembalikan kedalam
sistem aerasi untuk mencapai rasio ideal perbandingan makanan
dan mikroorganisme yang disebut F/M ratio.
Gambar II.30. Skema Extended Aeration

Ada 3 sistem yang digunakan yaitu :

a. Menempatkan tangki pengendapan terpisah sesudah kolam

b. Memisahkan bagian dari kolam untuk zona pengendapan


untuk menahan lumpur sebelum effluen dilepas ke badan
air.

c. Melakukan operasi lagoon secara intermitten dengan


membuat dua unit secara pararel. Kedua unit akan beroperasi
secara bergantian, ketika satu unit berhenti, maka akan ada
kesempatan terjadinya pengendapan. Lumpur akan
terakumulasi mencapai konsentrasi solid yang ideal untuk
extended aeration.

Secara umum, perbedaan karakteristik dari ketiga kolam aerasi


terdapat pada Tabel II.24.

Tabel II.24. Perbedaan Karakteristik dari Ketiga Tipe Kolam


Aerasi
Tipe Kolam Aerasi
Kriteria Extended
Fakultatif Flowthrough
Aeration
Konsentrasi solid, mg/l 30 - 150 30 300 4000 - 5000
Td, hari 36 2-5 0.7 -1
Dalam kolam, m 35 35 35
Eff BOD removal % 75 90 70 85 95 98
Tipe Kolam Aerasi
Kriteria Extended
Fakultatif Flowthrough
Aeration
Kebutuhan lahan m2/cap 0.15 0.45 0.10 0.35 0.13 0.25
Kebutuhan oxigen+) 0.6 0.8 0.6 0.8 1.2 1.8
Aeration kWh*
kWh / 1000 org 0.75-0.97 0.75-0.97 1.49-2.24
kWh / 1000 m3/kolam 0.75-1.12 2.61-3.88 1.12-1.87
*) Perhitungan Hourse Power didasarkan bahwa aerator dapat
memberikan 2,28 kgO2/kWh
+) KgO2/Kg BOD removal

5. Oxidation Ditch

Pada prinsipnya sistem oxidation ditch adalah extended aeration


yang semula dikembangkan berdasarkan saluran sirkular
kedalaman 1 s/d 1,5 m yang dibangun dengan pasangan batu.
Reaktor ini biasanya digunakan untuk proses pemurnian air
limbah setelah mengalami proses pendahuluan. Fungsi utamanya
adalah untuk menurunkan konsentrasi BOD, COD, dan nutrient
dalam air limbah. Air diputar mengikuti saluran sirkular yang
cukup panjang untuk tujuan aerasi dengan alat mekanik rotor
seperti sikat baja yang berbentuk silider. Rotor diputar melalui as
(axis) horizontal dipermukaan air. Alat aerasi untuk rotor yang
horizontal disebut juga cage rotor atau mammoth rotor, dan pasveer
ditch (apabila rotornya vertical).

Gambar II.31. Skema Proses Lumpur Aktif Sistem Parit Oksidasi


(Oxidation Ditch)
Kelebihan parit oksidasi adalah kemampuan meremoval organik
dengan biaya operasional dan perawatan rendah. Selain itu,
menghasilkan lumpur yang lebih sedikit daripada proses biologis
lainnya. Kekurangan reaktor ini adalah membutuhkan lahan yang
luas dan konsentrasi TSS pada effluent masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan proses pengolahan activated sludge.

I.C.8.5.5. Komponen Bangunan Pengolahan Air Limbah Anaerobik

1. Filter Anaerobik (Anaerobic Filter)

Unit ini dilengkapi filter media untuk tempat berkembangnya


koloni bakteri membentuk film (lendir) akibat fermentasi oleh
enzim bakteri terhadap bahan organik yang ada didalam limbah.
Film ini akan menebal sehingga menutupi aliran air limbah
dicelah diantara media filter tsb, sehingga perlu pencucian
berkala terhadap media, misalnya dengan metoda back washing.
Media yang digunakan bisa dari kerikil, bola-bola plastik atau
tutup botol pelasik dengan diameter antara
5 cm s/d 15 cm. Aliran dapat dilakukan dari atas atau dari
bawah.

Kelebihan reaktor ini adalah tahan terhadap shock loading, tidak


membutuhkan energy listrik, biaya operasional dan perawatan
tidak terlalu mahal, dan efisiensi BOD dan TSS tinggi. Kelemahan
reaktor ini adalah effluentnya membutuhkan pengolahan
tambahan, efisiensi reduksi bakteri pathogen dan nutrient rendah,
membutuhkan start up yang lama.

Dimensi dihitung berdasarkan :

a. Organik loading yaitu (4- 5) kg COD /m3 x hari.

b. Volume tangki dhitung berdasarkan retention time (1,5 -2)


hari.

c. Jika menggunakan perkiraan kasar dapat dihitung volume


(void + massa) anaerobik filter (0,5 -1)m3/ kapita.
d. Umumnya anaerobik filter digunakan sebagai pengolahan
kedua setelah septik tank jika alternatif peresapan ke tanah
tidak mungkin dilakukan.

2. UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanked)

Unit ini menstimulasi pembentukan selimut lumpur yang


terbentuk di tengah tangki oleh partikel dan mengendapkan
partikel yang dibawa aliran ke atas. Dengan kecepatan aliran naik
ke atas yang perlahan, maka partikel yang semula akan
mengendap akan terbawa ke atas, tetapi aliran juga tidak terlalu
lambat karena akan mengakibatkan terjadi pengendapan didasar.

Jadi pengaturan aliran konstan dalam tangki mutlak diperlukan,


maka dibutuhkan pelengkap unit sistem buffer untuk
penampungan sementara fluktuasi debit yang masuk sebelum
didistribusikan ke tangki UASB.

Disamping itu diperlukan pengaturan input flow yang merata


dalam tanki yang menjamin kecepatan aliran setiap titik aliran
masuk dari dasar tangki. Sebagai pegangan untuk menilai
perencanaan biasanya Hydrolic loading ditetapkan pada 20
m3/m2.hari. Atau dengan kecepatan aliran konstan ke atas adalah
0,83 m/jam. Retention time (6 -8) jam.

Penggunaan UASB ini biasanya dipakai pada konsentrasi BOD di


atas 1000 mg/l, yang umumnya digunakan oleh industri dengan
beban organik tinggi. Jika beban organik rendah akan sukar
terbentuk sludge blanked.
Gambar II.32. Tipikal Unit Pengolahan UASB

3. Kolam Anaerobik (Anaerobic Pond)

Kolam biasanya tanpa penutup, tetapi permukaannya diharapkan


tertutup oleh scum hasil proses fermentasi. Jadi pengaturan
kedalaman kolam sangat diperlukan untuk menjaga kondisi
anaerob yaitu berkisar antara 2 m s/d 5 m. Organik loading untuk
kawasan tropis sekitar (300-350) g BOD/m3.hari. Biasanya waktu
tinggal (1-2) hari. Jika dinding dan dasar pada kolam anaerobik
tidak menggunakan pasangan batu, maka kolam tersebut harus
dilapisi tanah kedap air (tanah liat + pasir 30%) setebal 30 cm atau
diberi lapisan geomembran untuk menghidari air dari kolam
meresap kedalam tanah dan beresiko mencemari air tanah
sekitarnya.

4. ABR (Anaerobic Baffled Reactor)

Anaerobic Baffle Reactor (ABR) merupakan salah satu jenis


pengolahan suspended growth yang memanfaatkan sekat (baffle)
dalam pengadukan yang bertujuan memungkinkan terjadinya
kontak antara air limbah dan biomass. Pengolahan ini adalah
pengolahan yang murah dari segi operasional, sebab tidak
diperlukan penggunaan energi listrik, dan memiliki efisiensi
removal organik yang cukup baik. Akan tetapi, reduksi bakteri
pathogen dan nutrient rendah, effluentnya masih membutuhkan
pengolahan tambahan, dan membutuhkan pre-treatment untuk
mencegah terjadinya clogging.

Menurut McCarty dan Bachmann (1992, dalam Barber dan


Stuckey, 1999), Anaerobic Baffle Reactor (ABR) adalah reaktor yang
menggunakan serangkaian dinding (baffle) untuk membuat air
limbah yang mengandung polutan organik untuk mengalir di
bawah dan ke atas (melalui) dinding dari inlet menuju outlet.
Pada dasarnya, ABR merupakan pengembangan dari reaktor
upflow anaerobic sludge blankets (UASB).

Kriteria desain ABR berdasarkan Sasse (1998) adalah sebagai


berikut:

- Up flow velocity : < 2 m/jam


- Panjang : 50-60% dari ketinggian
- Removal COD : 65-90%
- Removal BOD : 70-95%
- Organic loading : < 3 kg COD/m3.hari
- Hydraulic retention time : > 8 jam

ABR mengolah air limbah dengan Organic Loading Rate (OLR)


sebesar 1,2-1,5 g COD/L.hari dan pada temperatur mesophilic
(23-31C). Gambar ABR terdapat pada Gambar II.33.

Gambar II.33. Skematik Anaerobic baffle Reactor (ABR)


I.C.8.5.6. Komponen Bangunan Pengolahan Air Limbah Kombinasi

1. Kolam Stabilisasi

Pengolahan sistem ini menggunakan teknologi paling sederhana


yaitu proses mengandalkan O2 dari fotosintesa alga. Sedangkan
penguraian bakteri terhadap bahan organik menjadi posfat dan
amoniak diperlukan alga sebagai nutrisinya (fertilizer) untuk
pertumbuhannya.

Kolam stabilisasi terdiri dari tiga unit kolam, yaitu kolam


anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi.

Kolam anerobik yang ditempatkan sebelum kolam fakultatif,


untuk kawasan tropis dapat mencapai pengurangan BOD antara
50 s/d 70 % untuk waktu detensi 1s/d 2 hari dengan kedalaman
kolam antara 2,5 s/d 4 m.

Kolam selanjutnya adalah kolam fakultatif. Kebutuhan lahan


kolam fakultatif yang cukup luas atara 250 s/d 300 kg BOD/ ha
hari. Untuk mencapai kondisi fakultatif di dalam kolam maka
kedalaman kolam berkisar antara 1,5 s/d 2m, sehingga dibagian
permukaan terjadi proses aerobik dan dibagian dasar kolam
terjadi proses anaerobik. Seperti gambaran dibawah ini.

Gambar II.34. Proses Ekologi di dalam Kolam Fakultatif

Disamping itu untuk meningkatkan hasil pengolahan limbah dan


mengurangi bakteri maka setelah kolam fakultatif dilanjukan
dengan kolam maturasi atau pembubuhan disinfektant sebagai
alternatif lainnya. Sesudah kolam ini airnya diperuntukan untuk
pengisi kolam ikan.

Kolam maturasi digunakan untuk mengurangi bakteri fecal


coliform yang mungkin masih ada di effluen dari kolam fakultatif.
Kedalaman kolam 1 m dan waktu detensi 5 s/d 10 hari.

Effluen dari kolam stabilisasi dapat digunakan untuk keperluan


irigasi, untk kolam ikan peliharaan, dan pingisian air tanah
(Ground water recharging). Gambar kombinasi unit pengolahan
kolam stabilisasi terdapat pada Gambar II.35.

Gambar II.35. Skema Kombinasi Unit Pengolahan Kolam


Stabilisasi

2. RBC (Rotating Biological Contactor)

RBC adalah salah satu teknologi pengolahan air limbah yang


mengandung polutan organik biologis dengan sistem biakan
mikroorganisme melekat. Prinsipnya adalah pengolahan zat-zat
organik yang ada pada air limbah dengan mengunakan bakteri
yang melekat pada media. Jika pada trikling filter, sistem ini
menggunakan filter media yang diam sebagai tempat koloni
bakteri berkembang. Air limbah dicurahkan keatas filter media
tersebut secara intermitten untuk mendapatkan kondisi aerob.
Sebagai mana umumnya koloni bakteri tersebut menghasikan
lendir (film) dari proses sintesa. Lendir-lendir ini berkembang
menutupi celah (void) diantar media sehingga terjadi clogging atau
penyumbatan yang akan menghambat aliran. Oleh karena itu
secara periodik perlu adanya pembilasan.

Bertentangan dengan kondisi clogging tersebut maka RBC


menggunakan media berupa piringan fiber/HDPE yang berada
40 % didalam air dan disusun vertikal pada as (axis) rotor
horizontal. Piringan diputar dengan kecepatan (3 s/d 6) rpm yang
memberikan kesempatan secara bergantian bagian-bagian dari
luas permukaan piringan menerima oksegen dari udara luar.
Pemutaran ini selain untuk tujuan supplai oksigen pada bakteri
yang melekat pada piring juga dimaksud membilas otomatis
lendir yang terbentuk berlebihan pada piring. Jadi pada sistem
ini tidak akan terjadi clogging.

Kriteria desain:

a. RBC

1) Beban organik untuk piringan = 20 gr BOD/ m2 luas


piringan.hari.

2) Jarak antara piringan (3-5) cm.

3) Diameter Piringan (1.5- 3)m.

4) Detantion time (td) dalam bak (2 -4) jam.

5) Kedalaman bak piringan tergantung tinggi bagian piringan


yang terbenam dalam air, misal untuk piringan diameter
3m maka kedalam air dalam bak 2m.

6) Kebutuhan listrik untuk rotor: (8-10)


Kw.jam/(orang.Tahun).

7) Produk lumpur: (0,4-0,5) kg / kg BOD removal.


b. Bak pengendap II (Clarifier).

1) Beban hidrolik Permukaan:(16-32) m3/(m2.hari) untuk


debit rata-rata, dan (40 -50) m3/(m2.hari) untuk debit
puncak.

2) Beban solid: (4-6) kg/(m2.jam) utk debi rata-rata dan (8-10)


kg/(m2. jam) untuk debit puncak,

3) Kedalam bak pengendap (3 -4,5) m.

Pengolahan air limbah dengan RBC terdiri dari:

1) Saringan sampah,

2) Bak pengendap pendahuluan.

3) Bak kontak media (piringan)

4) Bak pengendap kedua

5) Peralatan untuk pembubuhan zat desinfektan

6) Bak pengeram lumpur

7) Bak pengering lumpur

Sebagai catatan: sistem ini pada umumnya digunakan untuk


skala modul 1000 s/d 10.000 jiwa.

Gambar II.36. Diagram Alir proses Pengolahan Air Limbah dengan


Sistem RBC
Parameter desain untuk RBC antara lain adalah sebagai berikut.

a. Ratio volume reaktor terhadap luas permukaan media (G),


yakni perbandingan volume reaktor dengan luas permukaan
media.

G = (V/A) x103 (liter/m2)


Dimana
V = volume efektif reaktor (m3) dan
A = luas permukaan media RBC (m2).

b. Beban BOD (BOD Loading)


BOD Loading = (Q x C0) / A (g .BOD/m2.hari)
Dimana:
Q = debit air limbah yang diolah (m3/hani).
Co = Konsentrasi BOD (mg/I).
A = Luas permukaan media RBC (m2).

c. Beban Hidrolik (Hydraulic Loading, HL), yakni jumlah air


limbah yang diolah per satuan luas permukaan media per hari.
HL = (Q /A) x 1000 (liter/m2.hari)

d. Waktu detensi Rata-rata (Average Detention Time, T)


T = (Q / V ) x 24 (Jam)
Dimana
Q = debit air limbah yang diolah (m3/hari).
V = volume efektif reaktor (m3)

Skematik sistem pengolahan air limbah dengan menggunakan


RBC terdapat pada Gambar II.37.
Gambar II.37. Skematik Serial Unit-Unit Pengolahan untuk Sistem RBC

Kelebihan dari RBC adalah kebutuhan lahan yang relatif sempit,


tahan terhadap beban kejut (shock loading) organik dan hidrolis,
peluruhan biomassa lebih aktif, kebutuhan energi listrik rendah,
kualitas effluent tinggi, dan mampu mengolah air limbah yang
mengandung senyawa beracun, besi, sianida, selenium, dan lain-
lain. Kekurangannya adalah biaya kapital dan pemasangan RBC
lebih mahal dari ASP per debit per kualitas air limbah yang
setara, kalau oksigen terlarutnya rendah dan terdapat sulfida di
dalam air limbahnya, maka bakteri pengganggu seperti Beggiatoa
akan tumbuh di media RBC. Selain itu, biaya investasinya akan
menjadi mahal apabila debit air olahannya besar. Oleh sebab itu,
RBC lebih cocok diterapkan pada debit kecil.

3. Pengolahan Anoxic

Pengolahan dengan cara anoxic digunakan apabila senyawa nitrat


dalam air limbah berlebih, sehingga perlu diubah menjadi bentuk
gas. Contoh pengolahan anoxic bisa dilakukan dengan
memodifikasi ASP. Supaya ASP dapat menjadi reaktor anoxic
caranya adalah setelah aerator dinyalakan untuk pengadukan,
kemudian hentikan aerator dan biarkan mikroba mengambil
oksigen yang terikat dalam air limbah. Ketika mikroba
mengambil oksigen terikat inilah terjadi proses anoxic atau lebih
dikenal dengan denitrifikasi.
4. Biofilter

Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke


bak kontaktor anaerob dengan arah aliran dari atas ke bawah, dan
dari bawah ke atas. Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi
dengan media dari bahan plastik tipe sarang tawon/Tangki
biofilter terbuat dari bahan kedap air dan tahan korosi seperti :
fiber glass, pasangan bata, beton, dan bahan kedap lainnya.

Jumlah bak kontaktor anaerob terdiri dari dua buah


ruangan/Media kontaktor terdiri dari minimal 3 kompartemen.
Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan
oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik. Setelah beberapa
hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan
film mikro-organisme. Mikroorganisme inilah yang akan
menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak
pengendap.

Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak


kontaktor aerob. Di dalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan
media dan bahan plastik tipe sarang tawon sambil diaerasi atau
dihembus dengan udara sehingga mikroorganisme yang ada
akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta
tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan
demikian air limbah akan kontak dengan mikroorgainisme yang
tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan
media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi
penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses
nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi
lebih besar. Proses ini sering dinamakan Aerasi Kontak (Contact
Aeration).

Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam


bak ini, lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme
diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi
dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over
flow) dialirkan ke bak klorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor air
limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh
microorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar
setelah proses klorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau
saluran umum.
Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain
dapat menurunkan zat organik (BOD, COD), juga dapat
menurunkan konsentrasi ammonia, deterjen, padatan tersuspensi
(SS), phospat dan lainnya. Gambar Unit Pengolahan Bio-Filter
terdapat pada Gambar II.38.

Gambar II.38. Tipikal Unit Pengolahan Bio-Filter Anaerob-Aerob

Parameter perencanaan bio-filter selengkapnya adalah sebagai


berikut:

a. Bak Pengendap Awal

1) Waktu detensi (Retention Time) rata-rata =(35) jam

2) Beban Permukaan = 20 50 m3/m2.hari (JWWA).

b. Biofilter Anaerob

1) Waktu detensi (Retention Time) rata-rata = 68 jam

2) Tinggi ruang lumpur = 0,5 m

3) Tinggi Bed Media pembiakan mikroba = 0,91,5 m

4) Tinggi air di atas bed media = 20 cm


5) Beban BOD persatuan permukaan media (LA) = 5-30 g
BOD/m2.hari

c. Biofilter Aerob

1) Waktu detensi (Retention Time) rata-rata = 68 jam

2) Tinggi ruang lumpur = 0,5 m

3) Tinggi Bed Media pembiakan mikroba = 1,2 m

4) Tinggi air di atas bed media = 20 cm

5) Beban BOD per satuan permukaan media (LA)= 530 g


BOD/m2.hari

Tabel II.25. Hubungan Inlet BOD dan Beban BOD


Inlet BOD LA
(mg/l) (g BOD/m2.hari)
300 30
200 20
150 15
100 10
50 5
Sumber: EBIE Kunio., Eisei Kougaku Enshu, Morikita
Shuppan kabushiki Kaisha, 1992.

d. Bak Pengendap Akhir

1) Waktu detensi (retention time) rata-rata = 2-5 jam

2) Beban Permukaan (Surface Loading) rata-rata


= 10 m3/m2.hari

3) Beban Permukaan = 20 50 m3/m2.hari

e. Media Pembiakan Mikroba

1) Tipe = SarangTawon (Cross flow)

2) Material = PVC Sheet

3) Ketebalan = 0.15 0.23 mm


4) Luas Kontak Spesifik = 150 226 m2/m3

5) Diameter lubang = 2 cm x 2 cm

6) Warna = hitam atau transparan

7) Berat Spesifik = 30 35 kg/m3

8) Porositas Rongga = 0,98

5. MBR

Membrane bioreactor (MBR) merupakan suatu sistem pengolahan


air limbah yang mengaplikasikan penggunaan membran yang
terendam di dalam bioreaktor. Proses yang terjadi di dalam
bioreaktor mirip dengan lumpur aktif konvensional (conventional
activated sludge, AS), di mana zat organik di dalam air limbah
akan didegradasi secara biologis oleh mikroorganisme aerob
kemudian terjadi pemisahan solid (lumpur). Bedanya, pada MBR
proses pemisahan solid dilakukan menggunakan membran
sementara pada AS pemisahan solid dilakukan secara gravitasi di
dalam tangki pengendap. Perbandingan antara MBR dengan CAS
dapat dilihat pada Gambar II.39.

Gambar II.39. Perbedaan Sistem Proses Konventional dan Membran


Bioreactor (MBR)
Beberapa fitur utama dari MBR antara lain:

a. Tidak memerlukan bak pengendap (clarifier) sehingga dapat


menghemat penggunaan lahan.

b. Konsentrasi MLSS (mixed liquor suspended solids) yang tinggi


dapat memaksimalkan jumlah BOD yang masuk ke dalam
modul MBR untuk diolah sehingga dapat mengurangi waktu
pengolahan.

c. Pembuangan lumpur dapat dilakukan langsung dari dalam


reaktor.

d. Kualitas efluen hasil pengolahan yang tinggi s

e. ehingga air hasil olahannya dapat digunakan kembali (misal


untuk boiler)

Kriteria yang biasa digunakan dalam MBR adalah :

a. SRT = < 30 hari

b. HRT = > 6 jam

c. MLSS = (12-16) kg.m-3

d. BOD5 loading rate = (0,4-0,7) kg.m3/hari

e. Removal Organik =

- BOD = 98-99% - TSS = 99,9%

- NH4+ = 99,2% - COD = 99%


- P = 96,6%

6. Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR)

Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) merupakan proses pengolahan


yang sederhana dan membutuhkan luas lahan yang lebih sedikit
daripada sistem pengolahan air limbah tradisional. Teknologi
MBBR menggunakan beribu biofilm dari polyethylene yang
tercampur di dalam suatu reaktor dengan aerasi terus-menerus.
Media memiliki berat jenis kurang dari 1,0. Luas permukaan
media plastik yang digunakan besar, hal ini digunakan untuk
pertumbuhan bakteri. Biomassa tumbuh di permukaan sebagai
film tipis yang ketebalannya bervariasi antara 50-300 mikron.
Medium atau kasar diffusers gelembung seragam ditempatkan di
bagian bawah reaktor mempertahankan oksigen terlarut ( DO )
konsentrasi > 2,5-3 mg / L untuk menghilangkan BOD . Berikut
ini kriteria desain untuk MBBR, adalah :

a. Anoxic HRT = (0,5-2) jam


b. Aerobic HRT = (1-4) jam
c. Luas permukaan Biofilm Elemen Pembawa = (500-1200)
m2/m3
d. Biomassa per unit luas permukaan = (5-25) g TS/m2
e. BOD SALR = (7,5-25) g/m2hari
f. COD SALR = (15-50) g/m2hari
g. NH4-N SALR = (0,45-1) g/m2hari
Keterangan :
*) Kriteri desain berdasarkan debit rata-rata
**) SALR = Surface Area Loading Rate
Sumber : (Brinkley J, et all, 2007)

Teknologi ini tidak terlalu mengeluarkan biaya yang besar dan


perawatannya juga sangat mudah karena MBBR mampu
memproses secara alamiah merawat bakterinya sendiri pada level
optimum dari biofilm yang produktif. Dalam prosesnya, tidak
membutuhkan pengembalian lumpur dan tidak perlu mengatur
F/M ratio atau tingkat MLSS yang ada dalam reaktor. MBBR
sangat efektif dalam mereduksi BOD, nitrifikasi, dan meremoval
nitrogen.

Proses MBBR mempertahankan volume besar biofilm dalam proses


pengolahan air limbah biologis. Akibatnya, degradasi kontaminan
biodegradable yang berkelanjutan dalam ukuran tangki yang sama.
Tanpa perlu melakukan pengembalian lumpur, proses ini memberikan
peningkatan perlindungan terhadap toxic shock, sementara secara
otomatis menyesuaikan untuk memuat fluktuasi.

Proses MBBR cocok diterapkan untuk permasalahan nitrifikasi


karena prosesnya memungkinkan perkembangbiakan bakteri
nitrifikasi dalam area permukaan dilindungi dari ribuan
potongan plastik , disebut biocarriers atau media. Bakteri
nitrifikasi memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lambat dan
sangat dipengaruhi oleh suhu air. Dalam reaktor MBBR, kondisi
tersebut telah diatur sehingga proses nitrifikasi dapat teratasi
dengan sangat baik. Selain itu, Salah satu tantangan terbesar
dalam mencapai nitrifikasi adalah untuk menetapkan jumlah
yang cukup bakteri nitrifikasi tanpa mencuci mereka keluar dari
sistem. Teknologi MBBR memungkinkan proses biologis untuk
mempertahankan populasi kepadatan tinggi bakteri nitrifikasi
tanpa bergantung pada padatan peningkatan waktu retensi ( SRT)
atau padatan tersuspensi campuran minuman keras ( MLSS).
Bakteri nitrifikasi yang berkelanjutan dalam sel-sel yang
dilindungi dari setiap biocarrier MBBR dalam proses . Berikut ini
skematik dari MBBR.

Gambar II.40. Diagram Alir Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR)


Gambar II.41. Skematik Proses MBBR

I.C.9. TEKNOLOGI PENGOLAHAN LUMPUR

Sludge atau lumpur merupakan bagaian terakhir dari proses pengelolaan air
buangan yang masih perlu diolah agar aman bagi lingkungan. Pada dasarnya
lumpur hasil pengendapandari bak pengendap pertama memiliki kadar air
yang tinggi dengan bagian padat berkisar (0,5-4) %. Alternatif cara pengelolaan
lumpur dapat dilihat pada Gambar II.42.

PEMEKATAN: STABILISASI : PENGERINGAN LUMPUR PEMBUANGAN


- Oksidasi - Filter Vakum
- Stabilisasi dgn - Untuk landfill
- Graviti - Filter Press
- Flotasi kapur - Untuk kompos
- Filter Bed Horizontal
Sludge - Sentrifugasi - Pengeraman - Untuk Pengapuran
- Sentrifugasi
masuk Aerobik
- SDB
- Pengeraman
Anaerobik

Gambar II.42. Alternatif Pengolahan Lumpur

Lumpur hasil pengolahan air limbah skala kecil cukup dengan disalurkan ke
drying bed atau pengering lumpur, kemudian lumpurnya dibuang. Sedangkan
untuk pengolahan air limbah skala besar juga akan menghasilkan lumpur yang
banyak, sehingga perlu dilakukan tambahan unit pengelola lumpur agar
lumpur tidak mencemari lingkungan. Tahapan-Tahapan tambahan yang dapat
digunakan dalam mengolah lumpur agar mendapatkan hasil yang baik dan
efsiensi yang tinggi dijelaskan sebagai berikut :
I.C.9.1. Thickening

Tujuan thickening adalah mengurangi volume lumpur dengan membuang


supernatannya. Supernatan adalah cairan atau fase cair di dalam lumpur
yang akan terpisah dengan fase padatannya. Jika konsentrasi solid dalam
lumpur semula sebesar 2% maka setelah thickening, konsentrasi padatan
dalam lumpur akan bertambah menjadi 5%, sehingga terjadi pengurangan
volume sebesar 100 % - (200/5) % = 60%Proses pengolahan lumpur
dengan cara thickening dibagi lagi menjadi tiga proses, yaitu Gravity,
Flotation, dan Centrifuge.

Gravity thickening biasanya dalam bentuk silinder dengan kedalaman 3.00


meter dengan dasar berbentuk kerucut untuk memudahkan pengurasan
lumpur dengan waktu detensi selama 1 hari. Tujuan penggunaan thickening
adalah mengurangi volume lumpur hingga (30-60)% dan
mengkonsentrasikan solid underflow.

Tabel II.26. menyajikan kriteria perencanaan untuk gravity sludge thickener


yang umum digunakan.

Tabel II.26. Kriteria Perencanaan Gravity Sludge Thickener


Solid
Consentration
Konsen- Hydrolic Loading Efisiensi Over
Asal Lumpur trasi Loading pengenda flow TSS
Rate
Awal (%) Thickened (%) (m3/m2.hr) 2 pan (%) (%)
(kg/m .hr)

Pengendap I 1.0-7.0 5.0-10.0 24-33 90-14.4 85-98 300-1000


Trickling Filter 1.0-4.0 2.0-6.0 2.0-6.0 35-50 80-92 200-1000
Activated sludge 0.2-1.5 2.0-4.0 2.0-6.0 Oct-35 60-85 200-1000
Pengendap I+II 0.5-2.0 4.0-6.0 4.0-10.0 25-80 85-92 300-800
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah PU, 2006)
Gambar II.43. Tipikal Unit Gravity Thickener

Flotation thickener merupakan salah satu metoda mengurangi volume


lumpur dengan cara flotasi. Mekanisme kerja flotation thickener yaitu :
gelembung udara dilarutkan dengan tekanan tinggi,kemudian tekanan
dibebaskan sehingga gelembung udara naik dan menempel pada
gumpalan lumpur. Hal ini menyebabkan lumpur naik ke atas permukaan
bak dan akhirnya lumpur terkonsentrasi dan tersisihkan. Tekanan tipikal
pada reaktor ini sebesar (345-483) kPa atau (3,4-4,8) atm. Contoh gambar
flotation thickener terdapat pada Gambar II.44.

Gambar II.44. Tipikal Unit Flotation Thickener

Metode thickening yang ketiga adalah centrifugation. Centrifugation dibagi


menjadi tiga yaitu solid bowl decanter, basket type, dan nozzle separator.
Centrifugation merupakan percepatan dari proses sedimentasi dengan
bantuan gaya sentrifugal dan berkerja secara kontinyu. Alat ini juga dapat
digunakan pada tahapan dewatering. Contoh gambar solid bowl decanter
terdapat pada Gambar II.45.

Gambar II.45. Tipikal Unit Solid Bowl Decanter

I.C.9.2. Stabilisasi Lumpur dengan Sludge Digester.

Tujuan stabilisasi lumpur adalah mengurangi bakteri pathogen,


mengurangi bau yang menyengat dan mengendalikan pembusukan zat
organik. Stabilisasi ini dapat dilakukan dengan proses kimia, fisika dan
biologi. Umumnya proses biologi banyak digunakan dalam proses
pengeraman secara anaerobik yang disebut anaerobic digester.

Pengaruh temparatur sangat penting dalam mempercepat proses


pengeraman (digesting) yaitu temperatur antara 350C s/d 550C. Pada
kondisi tersebut bakteri thermophilic memegang peranan penting untuk
proses pengeraman. Jadi pemanasan akan meningkatkan laju pengolahan
dalam digester menjadi lebih tinggi. Namun kawasan tropis pada dasarnya
tidak memerlukan pemanasan tambahan.

Dibawah ini terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk sludge
digester yang terdapat pada Tabel I.31. Sedangkan gambar anaerobic sludge
digester terdapat pada Gambar II.46.
Tabel II.27. Desain Kriteria untuk Pengeraman Anaerobik
Parameter Standar Rate High Rate
Lama Pengeraman (SRT), hari 30 60 10 30
Sludge Loading, kg VS/m3.hari 0,64 1,60 2,40 6,41
Kriteria volume
Pengendapan I, m3/capita 0,03 0,04 0,02 0,03
Pengendapan I+II (dari activated sludge),
0,06 0,08 0,02 0,04
m3/kapita
Pengendapan I + II (tricling filter), m3/kapita 0,06 0,14 0,02 0,04
Konsentrasi solid (lumpur kering) yg masuk, % 24 46
Konsentrasi setelah pengeraman 46 46
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah,
PU, 2006)

Gambar II.46. Skematik anaerobic sludge digester.

I.C.9.3. Pengeringan Lumpur (Dewatering)

Sludge dikeringkan untuk memudahkan pembuangannya, terutama dalam


hal transpotasi. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar kelembaban
lumpur. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan alami melalui
evaporasi dengan unit yang disebut sludge drying bed (SDB). Selain itu,
proses pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan
mekanik seperti vaccum filter, filter press, dan belt filter. Berikut ini
penjelasan macam-macam cara untuk mengeringkan lumpur.

1. Vaccum Filter

Komponen-komponen yang terdapat pada vacuum filter adalah :


a. Drum silinder dengan media filter (kain atau anyaman kawat)

b. Pompa vacuum

c. Penampung filtrat

d. Pompa umpan lumpur

Vacuum filter secara skema dapat dilihat pada Gambar II.47.

Gambar II.47. Skematik Vacuum Filter.

Drum yang dilapisi media filter diputar dengan kecepatan tertentu.


Putaran drum akan menghasilkan tiga zona lumpur, yaitu
(i)pembentukan cake, (ii)pengeringan, dan (iii)pembuangan. Lumpur
masuk ke zona (i), di zona ini terjadi penempelan lumpur di
permukaan media filter. Kemudian lumpur ke zona (ii), terjadi
penyerapan air di lumpur oleh pompa vacuum sehingga terjadi
pengeringan. Akhirnya ke zona (iii), di zona (iii) terjadi pelepasan
lumpur kering dari media filter. Satu kali putaran drum melewati
ketiga zona tersebut disebut satu cycle time.

Perancangan vacuum filter menggunakan persamaan:


= (2/)1/2
Dimana :
Y = filter yield
p = perbedaan tekanan vacuum, N/m2
w = berat kering lumpur per satuan volume filtrat, kg/m3
= ratio waktu pembentukan cake terhadap cycle time
= viskositas absolut filtrat, N.det/m2
R = resistensi spesifik dari lumpur kering, det2/kg (Nilai R dapat
ditentukan berdasarkkan percobaan laboratorium menggunakan
vacuum filtration testing apparatus)
= cycle time, det
g = percepatan gravitasi, m/det2

2. Filter Press

Filter press tersusun oleh sejumlah plat filter vertikal yang menempel
pada tangkai horizontal. Contoh gambar filter press terdapat pada
Gambar II.48.

Gambar II.48. Skematik Filter Press.

Kriteria-kriteria desain yang terdapat pada filter press dijelaskan


sebagai berikut :

a. Waktu yang diperlukan untuk mengisi lumpur, menyaring,


hingga mengeluarkan lumpur disebut complete filtration cycle time,
yang diperkirakan (1,5-2,5) jam.

b. Tekanan yang diperlukan untuk filter adalah (690-1700)kPa.

c. Kadar solid dalam lumpur setelah diolah dengan filter press


adalah:
- Lumpur bak sedimentasi I: (45-50) %

- Lumpur bak sedimentasi I dan lumpur aktif segar: (45-50) %

- Lumpur aktif segar: 50 %

- Lumpur dari digester dan lumpur aktif: (45-50) %

3. Belt Filter

Belt filter tersusun oleh dua belt yang ditumpangkan pada roda
berputar seperti yang terlihat pada Gambar II.49.

Gambar II.49. Skematik Belt Filter

Ada tiga zona dalam belt filter, yaitu zona gravitasi, zona peras, dan
zona pelepasan. Lumpur yang diolah menggunakan belt filter akan
menjalani langkah-langkah sebagai berikut :

a. Lumpur yang akan diperas masuk melalui zona gravitasi,


berjalan mengikuti belt dan tertekan oleh dua belt.

b. Di zona peras, lumpur mengalami pemerasan air sehingga air


jatuh melewati belt bawah.

c. Selanjutnya masuk ke zona pelepasan. Lumpur akan melalui


perjalanan zig-zag agar cake dapat dilepaskan dari kedua belt
untuk kemudian dikeluarkan. Kadar solid dalam lumpur setelah
diolah dengan belt pres adalah:

- Lumpur sedimentasi I: (28-44) %

- Lumpur sedimentasi I dan lumpur aktif segar: (20-35)%


- Lumpur sedimentasi I dan trickling filter: (20-40) %

- Lumpur dari digester (anaerob): (26-36) %

- Lumpur dari digester dan lumpur aktif: (12-18) %

4. Sludge Drying Bed

Drying atau sludge drying bed merupakan salah satu metoda dewatering
dengan ukuran kecil hingga medium (maksimum setara dengan 25.000
orang). Pada unit ini, dewatering terjadi karena evaporasi dan drain
(peresapan). Pada musim kemarau, untuk mencapai kadar solid (30-40)
% diperlukan waktu (2-4) minggu. Kriteria sludge drying bed (bak
pengering Lumpur) atau SDB yaitu:

a. Ukuran bak umumnya (8x30) m2

b. Area yang dibutuhkan :

- (0.14 0.28) m2/kapita untuk SDB tanpa penutup atap.

- (0.10-0.20) m2/kapita dengan penutup atap.

c. Sludge loading rate

- (100-300) kg lumpur kering/m2.tahun untuk SDB tanpa


penutup atap.

- (150-400) kg lumpur kering/m2.tahun dengan penutup atap.

d. Sludge Cake terdiri dari (20-40)% padatan.

Satu unit SDB biasanya berukuran berukuran (6-9) meter untuk lebar
dan untuk ukuran panjangnya yaitu (7,5-37,5) meter atau bisa juga
dihitung dengan persamaan :

A = K (0,01 R + 1,0), dimana :

A = luas per kapita, ft2/kapita.


K = faktor yang tergantung pada tipe digestion, yaitu:
- K = 1,0 untuk anaerobic digestion
- K = 1,6 untuk aerobic digestion
R = hujan tahunan, (in).
Dalam satu unit SDB terdiri dari beberapa lapisan, yaitu :

a. Lapisan lumpur , dengan ketebalan (20-30) cm.

b. Lapisan pasir, dengan ketebalan (1525) cm.

c. Lapisan kerikil, dengan ketebalan (15-30) cm.

d. Lapisan drain, letaknya di bawah kerikil untuk menampung


resapan air dari lumpur.

Contoh gambar ukuran lapisan-lapisan yang ada di SDB terdapat


pada Gambar II.50.

Gambar II.50. Kriteria Sludge Drying Bed

Konstruksi Sludge Drying Bed ini dibuat dari beton bertulang untuk
dinding dan lantainya. Elevasi lantai bangunan ini dibuat tidak terlalu
dalam agar air sisa pengeringan lumpur dapat mengalir secara grafitasi
menuju saluran sekitarnya. Karena tidak terlalu dalam, maka gaya
angkat (uplift) yang bekerja pada lantai bangunan dapat diabaikan.
Hal ini menyebabkan tidak terjadi gaya-gaya dan momen pada lantai
dan dinding bangunan. Penulangan yang diperlukan adalah
penulangan praktis untuk mengatasi retak saja. Untuk pelat lantai
yang berada diluar dan berhubungan langsung dengan cuaca, untuk
diameter tulangan lebih kecil dari 16 mm maka jarak maksimum
tulangan adalah 225 mm.

Apabila kondisi tanah dasar tidak baik dan muka air tanah tinggi,
perlu dilakukan perbaikan tanah dasar (stabilisasi) untuk menghindari
penurunan. Sedangkan untuk mengatasi muka air tanah yang tinggi
perlu dipasang sistem drain dibawah bangunan dengan menggunakan
lapisan kerikil dan pipa pvc yang dilubangi. Indikasi perbaikan tanah
dasar/ rawa, lumpur, gambut merpertinbangkan stabilisasi tanah.

I.C.9.4. Disposal Lumpur

Lumpur kering yang disebut juga sludge cake dari hasil pengolahan
lumpur air limbah domestik setelah melalui proses digesting, sebenarnya
sudah merupakan humus, sehingga dapat digunakan untuk conditioning
tanah tandus, dan dapat juga digunakan sebagai landfill (tanah uruk). Jika
dikhawatirkan lumpur mengandung logam berat atau B3, sebaiknya
dijadikan tanah uruk yang diatasnya ditanami tumbuhan yang bukan
untuk konsumsi manusia dan hewan. Tumbuhan tersebut dapat
difungsikan sebagai phytoremediator untuk menyerap B3 dari tanah urug
tersebut dalam jangka panjang.

I.C.10. PERENC. TEKNIS KONSTRUKSI BANGUNAN

1. Persyaratan Lokasi Penempatan & Konstruksi IPAL

a. Konstruksi bangunan harus aman terhadap banjir, air sungai, terhadap


gaya guling, gaya geser, rembesan, gempa dan gaya angkat air (up-lift);

b. Konstruksi bangunan pengambilan direncanakan dengan umur pakai


(lifetime) minimal 25 tahun

c. Bahan/material konstruksi yang digunakan diusahakan menggunakan


material lokal atau disesuaikan dengan kondisi daerah sekitar.

d. Bahan bangunan adalah:

1) Dinding: pasangan batu bata


2) Atap: genteng, beton bertulang
3) Pintu: besi atau kayu
4) Ventilasi: besi atau kayu atau kaca
5) Pondasi: beton bertulang atau batu kali
2. Perencanaan Pondasi

Perencanaan pondasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Pondasi harus cukup kuat menahan beban diatasnya;

b. Bahan pondasi adalah beton sekurang-kurangnya K225

c. Bahan Batukali dengan mortar min. 70kg/cm2

d. Bahan bangunan adalah:

1) Dinding: pasangan batu bata

2) Atap: genteng, beton bertulang

3) Pintu: besi atau kayu

4) Ventilasi: besi atau kayu

5) Pondasi: beton bertulang atau batu kali

6) Lantai keramik, traso dan semen

Berikut beberapa penjelasan mengenai pondasi, yaitu :

a. Pondasi Dangkal

1) Berdasarkan Data Laboratorium

Untuk perhitungan daya dukung pondasi dangkal dapat dihitung


dengan menggunakan persamaan dari Terzaghi sebagai berikut:

a) untuk keadaan general shear failure


- Pondasi menerus
qult = c.Nc + g.D.Nq + 0,5 g.B.Ng
- Pondasi telapak
qult = 1,3 c.Nc + g.D.Nq + 0,4 g.B.Ng
- Pondasi lingkar
qult = 1,3 c.Nc + g.D.Nq + 0,3 g.B.Ng
- Pondasi perseg panjang
qult = (1 + 0,3 B/L)c.Nc + g.O.Nq + 0,5 (1 + 0,2 B/L) + g.B.Ng

b) pondasi local shear failure, dimana dasar pondasi terendam air


atau dibawah pengaruh muka air tanah, maka harus dilakukan
koreksi terhadap rumus-rumus dari Terzaghi tersebut diatas
sebagai berikut:

- Nilai c menjadi c = 2/3 c

- Nilai f menjadi tan f = 2/3 tan f

c) Faktor Keamanan
- Fk = 2, untuk pondasi dangkal dengan beban statis merata
- Fk = 3, untuk pondasi dangkal dengan beban statis normal
- Fk = 4,5 untuk pondasi dangkal dengan beban dinamis

Maka:
qult
Qall =
Fk
dimana:
qall = daya dukung yang diijinkan
qult = daya dukung keseimbangan
B = lebar pondasi
D = kedalaman pondasi
L = panjang pondasi
g = berat isi tanah
c = kohesi
f = sudut perlawanan geser
Nc, Nq dan Ng = faktor daya dukung yang tergantung pada
besarnya sudut perlawanan geser f
Fk = faktor keamanan

2) Berdasarkan Data Lapangan

Untuk perkiraan besarnya daya dukung pondasi dangkal dapat


dihitung berdasarkan nilai konus dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:

= n kg/2

n = 20, untuk kondisi lapisan tanahnya adalah soft clay, sandy clay
dan silty clay
n=40, untuk kondisi lapisan tanahnya adalah sand atau gravels.

Untuk pondasi dangkal dimana dasar pondasi selalu terendam air


dan selalu berada dibawah pengaruh muka air tanah, maka harus
dilakukan dengan faktor keamanan sebesar 0,5 terhadap persamaan
tersebut diatas.

Dimana:
qall = daya dukung yang diijinkan
qc = nilai konus
n = faktor yang tergantung dengan kondisi lapisan tanahnya.

b. Pondasi Dalam

1) Pondasi sumuran

a) Berdasarkan Data Laboraturium:

Untuk perhitungan daya dukung pondasi sumuran yang


diletakkan pada lapisan lempung keras, maka daya dukung
tanah dapat dihitung dengan cara yang sama seperti humus
perhitungan pondasi langsung yaitu sebagai berikut:


=

dimana:
qall = daya dukung yang diijinkan
c = kekuatan geser tanah
Nc = faktor daya dukung
A = luas dasar sumur
Fk = faktor keamanan

b) Berdasarkan Data Lapangan

Besarnya daya dukung tanah untuk pondasi sumuran dapat


dihitung berdasarkan nilai konus dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:


=

dimana:
qall = daya dukung yang diijinkan
qc = nilai konus rata-rata dari dalam 4D diatas ujung sumuran
sampai 4D dibawah ujung sumuran, dimana D adalah
diameter sumuran
A = luas dasar sumuran
Fk = faktor keamanan

2) Pondasi Tiang Pancang

Besar daya dukung untuk pondasi tiang pancang dapat dihitung


berdasarkan data-data lapangan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:


= +
1 2

dimana:
qall = daya dukung tiang yang diijinkan
qc = nilai konus rata-rata dari dalam 4D diatas dimana D ujung
tiang sampai 4D dibawah ujung sumuran adalah diameter
atau dimensi tiang
A = luas penampang tiang
Tf = jumlah hambatan lekat
O = keliling tiang
FK1 = faktor keamanan = 3 5
Fk2 = faktor keamanan = 5 7

Daya dukung kelompok tiang harus dikoreksi dengan factor koreksi


sebagai berikut:

{( 1) + ( 1)}
= 1
90

Maka daya dukung kelompok tiang sebagai berikut:

qkall = daya dukung yang diizinkan kelompok tiang


Eg = effisiensi kelompok tiang
qall = daya dukung yang diizinkan pertiang
m = jumlah tiang kearah panjang
n = jumlah tiang kearah lebar
f = arc tan d/s (deg)
d = diameter
s = jarak antar tiang
N = jumlah tiang

c. Perbaikan Tanah Bawah

Apabila kondisi tanah dasar tidak baik dan muka air tanah tinggi,
perlu dilakukan perbaikan tanah dasar (stabilisasi) untuk menghindari
penurunan. Sedangkan untuk mengatasi muka air tanah yang tinggi
perlu dipasang sistem drain dibawah bangunan dengan menggunakan
lapisan kerikil dan pipa pvc yang dilubangi.

1) Penurunan dan Konsolidasi Tanah

Penambahan beban di atas suatu permukaan tanah dapat


menyebabkan lapisan tanah di bawahnya mengalami pemampatan.
Pemampatan tersebut disebabkan oleh adanya deformasi patikel
tanah, relokasi partikel, keluarnya air atau udara di dalam pori,dan
sebab-sebab lain. Beberapa atau semua faktor tersebut mempunyai
hubungan dengan keadaan tanah yang bersangkutan.

Perhitungan penurunan tanah akibat konsolidasi :


a) Cari parameter tanah yang dibutuhkan dari grafik hasil uji
konsolidasi laboratorium seperti Cc,cr,p, dll
b) Hitung OCR untuk menentukan apakah tanah lempung termasuk
OC atau NC clay.
c) Hitung Sc dengan rumus berikut :

Tanah NC clay :

Tanah OC Clay :
+
Jika a) + maka Sc = log
1+

+
Jika a) + > maka Sc = log + 1+ log
1+

dimana :

OCR = overconsolidation ratio =
= preconsolidation pressure (t/m2)
= effektive overburden pressure (beban karena lapisan di atas
pertengahan clay yang akan dihitung settlementnya (t/m2)

= beban yang ditambahkan pada lapisan tanah tersebut


(timbunan, struktur). (t/m2)
eo = angka pori awal .
cc = indeks kompresi tanah
cr = indeks pengembangan tanah,
H = tebal lapisan tanah lembek yang memampat (m)

2) Koefisien Konsolidasi Vertikal (Cv)

Koefisien konsolidasi vertikal (Cv) menentukan kecepatan pengaliran


air pada arah vertikal dalam tanah. Karena pada umumnya
konsolidasi berlangsung satu arah saja, yaitu arah vertikal, maka
koefisien konsolidasi sangat berpengaruh terhadap kecepatan
konsolidasi yang akan terjadi.

Harga Cv dapat dicari mempergunakan persamaan berikut ini :

2
=

dimana :
Cv = koefisien konsolidasi ( cm2/dtk )
Tv = faktor waktu tergantung dari derajat konsolidasi
t = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai derajat konsolidasi
U% (dtk)
H = tebal tanah (cm)

3) Derajat Konsolidasi

Derajat konsolidasi tanah (U) adalah perbandingan penurunan tanah


pada waktu tertentu dengan penurunan tanah total.

% 2
Untuk U < 60% maka : = ( )
4 100
Untuk U > 60% maka : Tv = 1,781 0,933 log ( 100 U% )

4) Waktu Konsolidasi

Pada tanah yang tidak dikonsolidasi dengan penggunaan PVD,


pengaliran yang terjadi hanyalah pada arah vertikal saja. Perhitungan
lamanya waktu konsolidasi dilapangan dapat mempergunakan
rumus sebagai berikut :

2
=

dimana :
Tv = Faktor waktu, tergantung dari derajat konsolidasi (U)
H = panjang maksimum lintasan drainase (cm)
Cv = koefisien konsolidasi ( cm2/dtk )
t = waktu konsolidasi (dtk)

d.Tekanan Tanah Aktif

Tekanan tanah aktif yang akan terjadi di belakang dinding sebesar

t1 = 1/2 x sub x h2 x Ka.


t2 = 1/2 x t x h1 x Ka.
Data tanah:
H = kedalaman total (m)
t = berat jenis tanah (t/m3)
= sudut geser tanah

Perhitungan nilai Ka :
Ka = tg2 ( 45 /2 )
Dimana :
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
= sudut geser tanah
3. Perencanaan Konstruksi Bangunan Atas

a. Konstruksi Beton Bertulang

- Struktur bangunan pengolahan fisik menggunakan beton


bertulang minimal K225, dengan kuat tekan karakteristik min.225
kg/cm2 untuk benda uji kubus dan 190 kg/cm2 benda uji silender
pada umur 28 hari. SNI 03-1974-1990 (metode pengujian kuat
tekan beton).

- Batasan proporsi campuran rasio air/semen maks.0,5 liter/kg


dengan kadar semen min. 300 kg/m3.

- Pengujian slump test untuk beton tak bertulang 50-75mm dan


beton bertulang 75-100mm. JIS A1101 (method of slump test for
concrete).

- Persyaratan bahan semen, pasir dan air sama dengan ketentuan


dalam pekerjaan beton.

- Baja tulangan yang digunakan dapat menggunakan


U39(3900kg/cm2) atau U24(2400kg/cm2) JIS G 3112 (steel bars for
concrete reinforcement ).

- Selimut beton 3,5 cm untuk beton yang tidak terekspos dan 7,5cm
untuk beton yang terendam/tertanam.

- Bekisting dan perancah yang digunakan mampu menahan beban,


dengan ketebalan playwood min.12mm dan jarak antar tiang
penopang diatur sedemikian rupa.

- Bekisting baru dapat dibuka setelah 2 hari untuk pondasi, 4 hari


dinding, kolom dan balok samping, 7 hari plat dan balok.

- Sambungan beton (Water Stop) dengan tebal 200mm


menggunakan lebar water stop 230mm dan tebal diatas 200mm
dengan lebar 300mm material jenis polyvinyl compound. JIS K6773.

- Untuk pembatas beton menggunakan joint filler (sponge rubber)


dan sealing compound jenis polyurethane based elastic joint filling.
1) Pelat Atap Beton Bertulang

a) Pembebanan
Beban yang bekerja :
- Beban Mati (QD)
Berat sendiri pelat, plafon dan lain-lain
- Beban hidup (QL)
Beban hidup QL = 100 kg/m2 (menurut Peraturan
Muatan Indonesia Pasal 3.2.(2))
Beban rencana terfaktor Qu = 1.2 * QD + 1.6 * QL

b) Perhitungan Momen
Panjang bentang plat arah x, Lx
Panjang bentang plat arah y, Ly
Koefisien momen plat untuk :
dari nilai perbandingan Ly/Lx, didapat nilai Clx,Cly,Ctx,Cty
(tabel PBI71)

MOMEN PLAT AKIBAT BEBAN TERFAKTOR :


Momen Lapangan arah x : Mulx = Clx 0.001 Qu Lx2
Momen Lapangan arah y : Muly = Cly 0.001 Qu Lx2
Momen tumpuan arah x : Mutx = Ctx 0.001 Qu Lx2
Momen tumpuan arah y : Muty = Cty 0.001 Qu Lx2

c) Perhitungan Penulangan
Penulangan Pelat :

b = 1 m lebar pelat

Untuk : fc' 30 MPa, 1 = 0.85


Untuk : fc' > 30 MPa, 1 = 0.85 - 0.05 ( fc' - 30) / 7

Rasio tulangan pada kondisi balance,

b = 1 0.85 fc'/ fy 600 / ( 600 + fy )

Faktor tahanan momen maksimum,

max = 0.75 b fy [ 1 0.75 b fy / ( 0.85 fc') ]

Momen nominal rencana Mn = Mu /

Faktor tahanan momen Rn = Mn 10-6 / ( b d2 )

Rn < Rmax

Rasio tulangan minimum min = 0,0025

Rasio tulangan yang diperlukan :

= 0.85 fc' / fy [ 1 - [ 1 2 Rn / ( 0.85 fc' ) ]

Luas tulangan yang diperlukan,

As = b d

Dimana :

b = lebar pelat

d = jarak as tulangan ke tepi beton

fc = kuat tekan karaktristik beton

fy = tegangan leleh baja

2) Balok Beton Bertulang

Langkah-langkah desain penulangan :

a) Gaya Aksial Tekan terfaktor.

Gaya aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak


melebihi 0,1 Ag fc'.
Dimana :

Ag = luas penampang beton

fc = kuat tekan karakteristik beton

b) Bentang Bersih.

Bentang bersih komponen struktur tidak boleh kurang dari 4


kali tinggi efektif elemen struktur.

c) b/d ratio.

Perbandingan lebar terhadap tinggi balok tidak boleh kurang


dari 0,3 .

d) Lebar Balok.
Tidak boleh kurang dari 250 mm.

e) Tidak boleh lebih dari lebar kolom penumpu (diukur pada


bidang tegak lurus terhadap sumbu longitudinal komponen
struktur lentur) ditambah jarak pada tiap sisi kolom penumpu
yang tidak melebihi 3/4 tinggi komponen struktur lentur.

3).Kolom Beton Bertulang

Dalam merencanakan kolom, SNI yang digunakan adalah SNI 03-


2847 2002 Pasal 23.4.1 mengenai definisi kolom. Persyaratan yang
harus dipenuhi oleh kolom yang didesain:

a) Gaya aksial terfaktor maksimum yang bekerja pada kolom


melebihi Agfc'/10.
b) Sisi terpendek kolom tidak kurang dari 300 mm.
c) Rasio dimensi penampang tidak kurang dari 0,4

Setelah itu kemudian check konfigurasi penulangan. Dari hasil


desain berdasarkan gaya dalam, tentukan dimensi kolom dan
rencana penulangan. Rasio penulangan g dibatasi tidak kurang
dari 0,01 dan tidak lebih dari 0,06. Sementara itu, SNI yang
digunakan untuk kuat kolom adalah SNI 03-2847-2002 Pasal
23.4.2.2. Kuat kolom Mn harus memenuhi Mc >= 1,2 Mg,
dimana :
Mc = jumlah Mn dua kolom yang bertemu di joint.

Mg = jumlah Mn dua balok yang bertemu di joint (termasuk


sumbangan tulangan pelat diselebar efektif pelat).
Mn = momen nominal rencana

4).Dinding Beton Bertulang

a) Penentuan Tebal Dinding

Berdasarkan Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk


Gedung (SNI 03-1728-2002 pasal 16.5(3)), Ketebalan dinding luar
ruang bawah tanah dan dinding pondasi tidak boleh kurang daripada
190 mm.

b) Pembebanan pada Dinding

Beban yang bekerja pada dinding basement berupa tekanan


tanah + tekanan air + beban merata di permukaan . Beban
tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar II.51. Diagram Tekanan Tanah pada Dinding


- Perhitungan Tekanan Tanah

Tekanan tanah aktif yang akan terjadi di belakang dinding


sebesar
.t = 1/2 x n x H2 x Ka.
Data tanah:
H = kedalaman total lantai basement (m)
t = berat jenis tanah (t/m3)
= sudut geser tanah

Perhitungan nilai Ka :
Ka = tg2 ( 45 /2 )
Dimana :
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
= sudut geser tanah

- Perhitungan Tekanan Air

Tegangan yang disebabkan oleh air pori :


= x w x H2

- Perhitungan Tekanan Tanah akibat Beban Merata

Menurut Peraturan Pembebanan untuk Bangunan, beban


untuk lantai parkir diambil sebesar q = 400 kg/m2.

Tegangan yang disebabkan oleh beban merata:

= q x Ka

c) Analisis Dinding

Momen yang terjadi akibat beban tekanan tanah dihitung


dengan memodelkan struktur dinding basement sebagai pelat
per meter panjang yang menerima beban segitiga akibat
tekanan total (tanah+air+beban merata). Untuk perhitungan
analisa struktur dapat menggunakan software SAP2000, beban
tekanan total (tanah+air+beban merata) yang berbentuk
segitiga tersebut dilimpahkan merata ke pelat yang dijepit di
sisi bawah elemen dinding. Bagian atas dinding juga terjepit.
Struktur dinding dianggap sebagai elemen shell dengan
ketebalan sesuai rencana.

Dari hasil analisis diperoleh besarnya gaya-gaya dalam dan


deformasi struktur sebagai berikut :

- Deformasi Horizontal Terbesar


- Moment arah 1-1 maksimum
- Moment arah 1-1 minimum
- Moment arah 2-2 maksimum
- Moment arah 2-2 minimum
d) Perhitungan Tulangan Dinding

Perhitungan luas tulangan yang dibutuhkan pada dinding


sama dengan perhitungan penulangan pelat lantai.

b. Konstruksi Baja
1) Peraturan dan Standar Perencanaan :
a) Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Gedung SNI 03-
1729-2002.
b) Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan
Gedung PPPURG 1987.
c) Tabel Profil Baja.
2) Pembebanan

Beban yang bekerja adalah beban mati (D), beban hidup (L) dan
beban angin

Beban mati : - berat sendiri rangka baja

- berat penutup atap

beban hidup : - berat pekerja (100 kg)

- berat air hujan

Kombinasi pembebanan :

a) 1,4D

b) 1,4D + 1,6L
c) 1,2D + 0,5L + 0,8 Angin Kanan

d) 1,2D + 0,5L 0,8 Angin Kanan

e) 1,2D + 0,5L + 0,8 Angin Kiri

f) 1,2D + 0,5L 0,8 Angin Kiri

3) Perhitungan Struktur

Perhitungan struktur konstruksi baja dapat dilakukan dengan


menggunakan software SAP2000, STADPRO dan software lainnya.

4) Kontrol Kekuatan

a) Analisis Batang Tarik

- Cek kekuatan batang tarik (Strenght)

Tegangan tarik yang terjadi : Pu / An

Tegangan tarik rencana : r = fy

Rasio tegangan = r < 1

dimana :

Pu = gaya tarik

An = luas penampang

fy = tegangan leleh minimum

faktor reduksi kekuatan


= 0.90 untuk komponen struktur tarik

(Tabel 6.4-2 SNI 03-1729-2002)

- Cek kekuatan batang tarik (Stiffness)

Jari-jari inersia batang :

i= I/A

Nilai kelangsingan : = Lk / i

Syarat :

dimana :
I = momen Inersia penampang

A = luas penampang

Lk = panjang batang

b) Analisis batang Tekan

- Cek kekuatan batang tekan (Sternght)

Panjang tekuk batang Lk = k x L

Jari-jari inersia batang :

i= I/A

Kelangsingan batang tekan :

c= (1/) x (Lk/i) x (fy/E)

Faktor tekuk :

= 1,25 x (c)2

dimana :

L = panjang batang

k = faktor panjang efektif batang = 1 (ujung sendi)

I = momen inersia penampang

fy = tegangan leleh minimum

E = modulus elastisitas

Tegangan tarik yang terjadi : Pu / An

Tegangan tarik rencana : r = fy/

Rasio tegangan = r < 1

dimana :

Pu = gaya tarik

An = luas penampang
fy = tegangan leleh minimum

faktor reduksi kekuatan

= 0.90 untuk komponen struktur tarik

(tabel 6.4-2 SNI 03-1729-2002)

- Cek kekuatan batang tekan (Stiffness)

Jari-jari inersia batang :

i= I/A

Nilai kelangsingan : = Lk / i

Syarat : 200

dimana :

I = momen Inersia penampang

A = luas penampang

Lk = panjang batang

c. Konstruksi Pasangan Batu Kali

1) Batu harus keras, tanpa bagian yang tipis atau retak dan dari jenis
yang awet.

2) Batu sebaiknya rata, lancip atau lonjong bentuknya dan dapat


ditempatkan saling mengunci.

3) Batu memiliki ketebalan yang tidak kurang dari 150mm dan lebar
tidak kurang dari 1.5 kali tebalnya dan panjang tidak kurang dari
1.5 kali lebarnya.

4) Batu kali yang dipergunakan adalah batu kali yang sudah


dipecah, keras, tidak porous, bersih dan besarnya antara 15- 20
cm.
5) Tidak diperkenankan menggunakan batu kali bulat atau batu
endapan

6) Pemecahan batu harus dilakukan di luar batas bowplank


bangunan.

7) Persyaratan bahan semen, pasir dan air sama dengan ketentuan


dalam pekerjaan beton.

8) Adukan semen untuk pasangan batu kali harus mempunyai kuat


tekan paling sedikit 70 kg/cm2 pada umur 28 hari .

Analisa stabilitas dinding penahan tanah harus meninjau hal-hal


sebagai berikut :

faktor aman terhadap pengulingan dan penggeseran harus


memenuhi syarat,
tekanan yang terjadi pada tanah dasar pondasi harus tidak boleh
melebihi kapasitas dukung izin,
stabilitas lereng secara keseluruhan harus memenuhi syarat.

Adapun proses dalam perencanaan dinding penahan tanah type


gravitasi (pasangan batu) adalah sebagai berikut :

1). Menentukan dimensi dinding penahan tanah.


2). Menghitung tekanan tanah, dalam hal ini menggunakan teori
Rankine.
dengan :
= sudut gesek dalam tanah (o)
H = tinggi dinding (m)
= berat isi tanah (kN/m3)
Ka = koefisien tekanan tanah aktif
Kp = koefisien tekanan tanah pasif
Pa = tekanan tanah aktif (kN)
Pp = tekanan tanah pasif (kN)

3). Menghitung gaya vertikal dan gaya momen terhadap kaki


depan pondasi. Pada perhitungan ini kan diperoleh berat
dinding W dan jumlah gaya momen Mw dari setiap bagian
dinding dan tanah di atas plat pondasi yang akan dimasukkan
dalam perhitungan stabilitas dinding.

4). Menghitung stabilitas terhadap penggulingan.


Tekanan tanah lateral yang diakibatkan oleh tanah urugan di
belakang dinding penahan cenderung menggulingkan dinding
dengan pusat rotasi pada ujung kaki depan pondasi. Momen
penggulingan ini, dilawan oleh momen akibat berat sendiri
dinding penahan dan momen akibat berat tanah di atas plat
pondasi.

Faktor aman terhadap penggulingan (Fgl) didefinisikan sebagai:

dengan :
Mw =Wbl
Mgl = Pahh1 + PavB
Mw = momen yang melawan pengulingan (kN.m)
Mgl = momen yang mengakibatkan pengulingan (kN.m)

W = berat dinding + berat tanah di atas plat pondasi (kN)


B = lebar kaki dinding penahan (m)
Pah = jumlah gaya-gaya horizontal (kN)
Pav = jumlah gaya-gaya vertikal (kN)

Faktor aman terhadap (Fgl) bergantung pada jenis tanah, yaitu :


Fgl 1,5 untuk tanah dasar berbutir/granular,
Fgl 2 untuk tanah dasar kohesif.

5). Menghitung stabilitas terhadap penggeseran


Gaya-gaya yang mengeser dinding penahan tanah akan ditahan
oleh :
Gesekan antara tanah dan dasar pondasi,
Tekanan tanah pasif bila di depan dinding penahan terdapat t
anah timbunan.
Faktor aman terhadap penggeseran (Fgs) didefinisikan sebagai :

dengan :
Rh = tahanan dinding penahan tanah terhadap
penggeseran (kN)
= cd x B + W x tan b
W = berat total dinding penahan dan tanah di atas plat
pondasi (kN)
h = sudut gesek antara tanah dan dasar pondasi, (1/3 2/3)
Ca = ad x c = adhesi antara tanah dasar dan dinding
C = kohesi tanah dasar (kN/m2)
ad = faktor adhesi
B = lebar pondasi (m)
Ph = jumlah gaya-gaya horizontal (kN)
f = tg b = koefisien gesek antara tanah dasar dan pondasi

6). Menghitung stabilitas terhadap kapasitas dukung tanah


Kapasitas dukung ultimit dihitung dengan menggunakan
persamaan Hansen (1970) untuk beban miring dan eksentris :

dengan :
dc, dq, d = faktor kedalaman
ic, iq, i = faktor kemiringan beban
c = kohesi tanah (kN/m2)
Df = kedalaman pondasi (m)
= berat volume tanah (kN/m3)
B = lebar pondasi dinding penahan tanah (m)
Nc,Nq,N = faktor kapasitas dukung Terzaghi

Faktor aman terhadap keruntuhan kapasitas dukung


didefinisikan sebagai :

Dimana :

F = Faktor keamanan

qu = Kapasitas dukung ultimit

q = Kapasitas dukung ijin


I.C.11. TATA CARA PERHITUNGAN RAB

1. Penyusunan item pekerjaan dilakukan setelah memperhatikan rencana


kerja dan syarat-syarat/Spesifikasi Teknis dan gambar perencanaan teknis
pengembangan SPAL-T. Sedangkan kualitas bahan yang digunakan
mengacu kualitas yang disyaratkan dalam Spesifikasi Teknis dan gambar
perencanaan teknis pengembangan SPAL-T;

2. Rincian satuan pekerjaan dan pelaksanaan perhitungan volume pekerjaan


memperhatikan kemungkinan adanya pekerjaan yang tidak terdapat
dalam spesifikasi teknis dan gambar rencana tetapi diisyaratkan untuk
dilaksanakan;

3. Setelah item pekerjaan dan volume ditetapkan, kemudian metode


pelaksanaan konstruksi harus dipilih yang paling sesuai untuk setiap item
pekerjaan untuk menentukan Harga Satuan item pekerjaan;
4. Analisa Harga Satuan dapat dilakukan setelah metode pelaksanaan
ditetapkan dan basic prise (Harga Satuan bahan dan upah pekerja) serta
harga satuan depresiasi alat berat/sewa alat berat dan bobot per item
ditetapkan;
5. Harga satuan pekerjaan dihitung menurut tata cara survei dan pengkajian
harga satuan dan koefisien dasar bahan, tenaga kerja dan alat mengacu
pada ketentuan yang berlaku;
6. Pengadaan barang atau peralatan impor diperhitungkan sampai tiba di
lokasi pekerjaan;
7. Telah memperhitungkan terhadap metode Clean Construction serta
mempertimbangkan aspek Sosialisasi dan Traffic Management;
8. Rencana Anggaran Biaya merupakan perkalian antara besaran volume per
Item pekerjaan dikalikan dengan harga satuan per item pekerjaan;
9. Rencana Anggaran Biaya total merupakan total harga rencana anggaran
biaya per item pekerjaan ditambah dengan PPN 10% dan hasilnya
dibulatkan.

EE (Engineer Estimate)

1. Disiapkan setelah dilakukan evaluasi terhadap RAB dalam persiapan


proses tender oleh Konsultan Perencana

2. EE dipakai dasar dalam penyusunan OE (Owner Estimate) oleh Panitia


penyelenggara pelelangan
3. Menggunakan harga satuan bahan, upah dan peralatan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Daerah, Kota/Kabupaten berupa SK terakhir

OE (Owner Estimate)

1. OE disusun sebagai dasar untuk melakukan evaluasi terhadap harga


satuan pekerjaan yang akan ditawarkan oleh Kontraktor pada saat
pelelangan

2. OE juga memberikan harga satuan pekerjaan dari Kontraktor merupakan


harga timpang atau bukan

3. OE merupakan reference/acuan dari harga penawaran untuk diputuskan


sebagai pemenang

Вам также может понравиться