Вы находитесь на странице: 1из 3

Kolonialisme dan Lahirnya UUPA

Oleh : Adib Dian Mahmudi1

Sejarah kebijaksanaan agraria (agrarian policies) di Indonesia adalah sejarah kolonial


dan neo kolonial. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai produk hukum nasional agraria merupakan pengganti
hukum kolonial dan feodal untuk menyelenggarakan reforma agraria agar struktur agraria
yang tidak adil dan menindas dapat dirubah, telah gagal dijalankan akibat advonturisme
politik di tahun 1965 yang membawa krisis sosial politik yang kemudian berujung pada
kudeta militer 1966. Pemerintah Orde Baru kemudian mewujudkan produk hukum agraria
neo kolonialisme/neo imperialisme. Dan Reformasi 1998 yang mengakhiri pemerintahan
Rezim Militer Orde Baru, ternyata juga tidak menjalankan UUPA 1960 sekaligus memproduk
hukum agraria neo kolonial/neo liberal.
Kolonialisme segera saja mengakibatkan hilangnya hak petani atas tanahnya dan
perubahan fungsi tanah, dari tanah dalam kerangka hubungan produksi yang feodalistis 2,
berubah menjadi untuk memenuhi kebutuhan komoditas pasar internasional dalam rangka
akumulasi modal dagang yang dikuasai oleh para tuan-tuan tanah (landed capitalist property)
dari negara-negara Barat dan perubahan status petani menjadi buruh tani sebagaimana
hubungan-hubungan produksi yang kapitalistis, hal ini menunjukkan terjadinya peralihan dari
cara produksi komoditi sederhana menjadi cara produksi komoditi kapitalis atau transisi dari
feodalisme ke kapitalisme yang ditandai dengan adanya proses akumulasi primitif, yaitu
sebuah proses sejarah dalam perubahan cara produksi produsen kelas menengah (secara
prinsip petani upahan) menjadi buruh upahan, dan alat produksi serta uang menuju mode
produksi kapitalis, dan kerja mendasar yang didasarkan pada perkembangan kekuatan
produksi dan pertumbuhan relasi komoditi uang.
Bapak kapitalisme, Adam Smith, lewat karyanya The Wealth of Nations, telah
melahirkan Teori Nilai Kerja (theory of labour value), untuk mensistematisir penilaiannya
atas hubungan-hubungan produksi dalam zaman baru kapitalisme, yang ditandai dengan
keberadaan tuan tanah, pekerja, dan kapitalis yang bergerak untuk memperoleh laba tertinggi
dan akumulasi modal.
Pembagian kerja (division of labour) tersebut merupakan pembagian kerja sosial yang
berbeda dengan pembagian kerja industri. Menurut Adam Smith, nilai merupakan produk dari
1 Penulis adalah Sekretaris Jendral Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Dewan Kota Kediri.
2 Maurice Dobb menyebutnya sebagai bentuk-bentuk ekstra ekonomi, yaitu perhambaan/serfdom. Sedangkan
Paul Sweezy menekankan pada pertumbuhan produksi untuk pertukaran/exchange.
kerja sosial, sehingga kerja adalah sumber atau sebab dari nilai. Dengan demikian, komoditi
mendapatkan nilainya karena ia merupakan produk dari kerja sosial. Nilai menurut Adam
Smith dibedakan dalam dua hal, yaitu nilai guna (value in use) dan nilai tukar (value in
exchange). Ukuran riil dari nilai komoditi adalah kuantitas dari kerja yang berada dalam
barang-barang lain yang dapat dipertukarkan di pasar. Maka, ukuran ini hanya dapat
dipergunakan bila kapitalis mempekerjakan tenaga upahan produktif selama masa-masa
berlangsungnya produksi.
Banyak orang kemudian melihat bahwa David Ricardo, lewat karyanya Principles of
Political Economy, yang ditulisnya pada tahun 1817, telah melengkapi teori nilai kerjanya
Adam Smith, salah satunya adalah ketika Adam Smith menganggap teori nilai, yaitu nilai
sebuah komoditi dalam pengertian biaya kerja (cost of labour), sementara David Ricardo
beranggapan bahwa nilai komoditi terdapat kerja manusia berikut bahan-bahan mentah dan
alat-alat kerja.
Kolonialisme sebagai praktek dari imperialisme, adalah upaya mengatasi krisis
kapitalisme internasional akibat dari over produksi dan juga over kapital perebutan monopoli
diantara kelas borjuis-kapitalis serta perjuangan kelas buruh (proletariat) sehingga perlu
mencari jalan keluar dimana pasar baru bisa tercipta, sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang masih bisa dilakukan superintensif eksploitasi sehingga penghisapan terhadap
buruh di Eropa bisa diperlunak dan memberdaya agraria yang hilang akibat peralihan ke
kapitalisme di Eropa dapat dicarikan penggantinya.
Namun, apa yang dilakukan kapitalisme atas sektor agraria di Eropa terjadi juga di
wilayah jajahan (koloni). Karl Marx mengungkapkan dampak dari ekspansi kapitalisme di
pedesaan Eropa adalah memusnahkan petani sebagai benteng dari masyarakat lama dan
menggantikannya dengan pekerja upahan akibat sintesis antara agrikultural dan industri, yang
ini merupakan bentuk lanjut kapitalisme dari merampas pekerja ke merampas tanah. Hal
tersebut menurut Karl Marx disebabkan industri-industri besar sebagai latar belakang akan
merusak sumber asli kekayaan. Dan dampaknya bagi petani adalah transformasi mereka
menjadi serdadu bayaran dan transformasi alat-alat kerja mereka menjadi kapital.
Lalu, bagaimana dengan peranan negara yang dimanifestasikan dalam produk hukum
dalam situasi seperti tersebut? Karl Marx mengatakan, undang-undang itu sendiri menjadi
alat perampasan tanah rakyat (bentuk parlementer dari perampokan), sebagai contoh yang
diambil Karl Marx adalah Undang-Undang Pemagaran Tanah-Tanah Umum.
Belajar dari pengalaman peralihan ke kapitalisme Eropa, maka politik agraria atau
produk hukum agraria Indonesia di masa kolonialisme sesungguhnya diperuntukkan bagi
ekspansi kapitalisme, eksploitasi sumber daya agraria dan perampasan tanah akibat dari
pengkomoditasan tanah serta proletarisasi petani.
Pada awalnya peralihan fungsi-fungsi lahan pertanian rakyat menjadi lahan bagi
komoditas kapitalisme internasional dilakukan dengan sistem sewa. Baru kemudian ketika
kekuasaan pemerintahan kolonial Hindia Belanda terkonsolidir, muncul produk-produk
hukum tentang agraria.
Seperti pada umumnya dalam masyarakat feodal para petani memiliki keterikatan dalam
pemilikan alat-alat produksi dan hubungan-hubungan produksi dengan pihak bangsawan.
Maka, ketika VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie/Perserikatan Maskapai Hindia
Timur) berhasil menjadi kekuatan yang berpengaruh di istana (inner cycle kekuasaan
feodalisme), VOC mempergunakan para bangsawan sebagai kepanjangan dari operasi
ekonomi-politiknya dalam rangka membangun cara produksi kolonial (mode of production
colonial). Hal tersebut (dalam pengamatan seorang Indonesianis, George Mc Turnan Kahin)
dapat terlihat bagaimana para bangsawan menyewakan tanah atau lahan kepada orang Barat
atau orang Cina hingga ribuan desa bahkan setingkat distrik atau regent, sehingga kedudukan
sang penyewa setingkat bupati, akan tetapi hubungan antara petani dan tuan tanah asing
tersebut bukannya antara penyewa dengan yang disewa, akan tetapi bersifat semi feodal yang
akan menundukkan petani dengan kekuatan bersenjata.

Вам также может понравиться