Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Diterjemahkan dari:
Management of tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis: A comprehensive preview
Alok Kumar Sahoo, Rahul Mahajan
Oleh:
Lulut Khoridatur R G99161056
Atika Iffa Syakira G99161021
Yunika Varestri AR G99161106
Oktavera Tri Kurniasih G99161071
Elfrida Rahma Bustami G99161036
Febrian Kantata Jati N G99161036
Pembimbing:
dr. Muh. Eko Irawanto, Sp.KK, FINSDV
ABSTRAK
2
PENDAHULUAN
3
PERUBAHAN EPIDEMIOLOGI DARI DERMATOFITOSIS
PATOGENESIS DERMATOFITOSIS
Genetika dermatofitosis
Semua orang tidak rentan terhadap infeksi jamur, bahkan ketika mereka
memiliki faktor risiko yang serupa. Ada bukti bahwa faktor predisposisi keluarga atau
genetik yang bisa dimediasi oleh gangguan spesifik pada sistem imun yang didapat dan
juga adaptif. Salah satu penyakit jamur pertama yang dianggap memiliki predisposisi
genetik adalah tokelau atau tinea imbrikata. Menurut Jaradat et al., pasien dengan
defensin beta 4 rendah menjadi predisposisi untuk semua dermatofita.
4
menjadi lebih parah, meluas, atau sukar sembuh. Beberapa area tubuh lebih rentan
terhadap perkembangan infeksi dermatofita seperti daerah intertriginosa (web space
dan pangkal paha) dimana terdapat keringat yang berlebih, maserasi, dan pH basa
mendukung pertumbuhan jamur. Setelah inokulasi pada kulit inang, kondisi yang
sesuai akan mendukung infeksi untuk berkembang diikuti dengan penetrasi yang
dimediasi oleh protease, serine-subtilisin, dan fungolysin, yang menyebabkan digesti
jaringan keratin menjadi oligopeptida atau asam amino dan juga bertindak sebagai
rangsang imunogenik yang poten. Selain itu, mannans yang diproduksi oleh T. rubrum
menyebabkan penghambatan limfosit. Gangguan fungsi sel Th17 menyebabkan
penurunan produksi interleukin-17 (IL-17), IL-22 (sitokin kunci dalam memberantas
infeksi jamur mukokutan) menghasilkan infeksi persisten.
Imunologi dermatofitosis
Respon imun terhadap infeksi oleh dermatofita berawal dari mekanisme non
spesifik hingga imunitas humoral dan imunitas seluler. Pandangan yang diterima saat
ini yaitu bahwa respon imunitas seluler bertanggung jawab atas kontrol dermatofitosis.
5
Respons imun adaptif
DIAGNOSIS DERMATOFITOSIS
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk memberikan hasil yang optimal, kuantitas dan kualitas bahan yang
diperiksa sangat penting. Kerokan harus diambil dari margin lesi yang aktif dan dibawa
dalam kertas grafik hitam yang sudah disterilisasi untuk menjaga spesimen tetap kering
sehingga mencegah kontaminasi pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Berikut adalah
berbagai tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis
dermatofitosis.
6
1. Pemeriksaan mikroskopis langsung: Perawatan spesimen kulit dengan 10-20 %
kalium hidroksida (KOH) merupakan cara cepat dan murah untuk membuktikan
adanya infeksi dermatofitosis. Kerokan positif ditandai dengan adanya bentukan
filamen hifa yang refraktil, panjang, halus, bergelombang, bercabang, dan septate
hifa dengan atau tanpa arthrokonidiospora. Hasil negatif palsu terlihat pada 15 %
kasus. Uji fluoresens dengan optik brighteners (diaminostilbene) merupakan
metode yang paling sensitif untuk mendeteksi mikroskopis jamur di sisik kulit,
kuku dan rambut. Zat-zat ini mengikat kitin yang merupakan komponen utama
dinding sel jamur.
2. Kultur dan uji sensitivitas antifungi: Agar Sabouraud dekstrosa (ASD, 4% pepton,
1% glukosa, agar, air) adalah media isolasi yang paling umum digunakan untuk
dermatofitosis dan berfungsi sebagai media dasar dalam deskripsi morfologi.
Perkembangan koloni memerlukan waktu 7-14 hari. ASD yang dimodifikasi
dengan penambahan gentamisin, kloramfenikol dan sikloheksimid lebih selektif
untuk dermatofita dimana khroramfenikol dapat menghambat pertumbuhan
saprofit jamur. Uji media dermatofita merupakan media isolasi alternatif yang
mengandung indikator pH fenol merah. Hal ini diinkubasi pada suhu kamar selama
5-14 hari. Dermatofita memanfaatkan protein yang mengakibatkan meningkatnya
ion amonium dan lingkungan basa yang merubah media dari kuning ke merah
terang.
Uji kelemahan antifungi
i. Metode mikrodilusi : uji mikrodilusi kaldu untuk pengujian kelemahan
antifungi dermatofita sebelumnya telah dikembangkan sebagai modifikasi dari
metode standar klinis dan Standar Laboratorium Institut M38-A2. Konsentrasi
akhir terbinafin dan itrakonazol yang digunakan adalah 0,06-32,0 g/ml dan
untuk flukonazol, 0,13-64,0 ug/ml. Inokulum yang terstandarisasi disiapkan
dengan menghitung microconidia secara mikroskopis. kultur ditanam di ASD
miring selama 7 hari pada suhu 35 C untuk menghasilkan konidia. Normal
salin steril (85 %) ditambahkan ke agar miring, dan kultur secara perlahan
7
diusap dengan lidi kapas untuk mengeluarkan konidia dari hifa. Suspensi
tersebut dipindahkan ke tabung sentrifus steril, dan volume ditambah sampai 5
ml dengan normal salin steril. Suspensi yang dihasilkan dihitung di
hemasitometer dan diencerkan dalam medium RPMI 1640 dengan konsentrasi
yang diinginkan. Plate mikrodilusi diatur sesuai metode dari referensi. Plate
mikrodilusi diinkubasi pada suhu 35 C dan dicek setelah 4 hari inkubasi.
Konsentrasi penghambatan minimum didefinisikan sebagai konsentrasi dimana
pertumbuhan organisme akan dihambat sebesar 80% dibandingkan dengan
pertumbuhan yang di kontrol dengan baik.
ii. Penentuan konsentrasi minimum fungisida (KMF): Untuk penentuan KMF,
100-ml cairan dibuang dan hasil menunjukkan tidak adanya pertumbuhan pada
akhir inkubasi pada plate ASD. Plate diinkubasi pada suhu 30 C selama 7 hari.
KMF didefinisikan sebagai konsentrasi obat terendah di mana tidak terlihat
adanya pertumbuhan jamur atau koloni yang dikembangkan.
3. Identifikasi Dermatofita : hal ini didasarkan pada karakteristik koloni, morfologi
mikroskopis, dan tes fisiologis. Dermatofita dapat dibedakan berdasarkan
morfologi makrokonidia. Beberapa tes fisiologis yang dapat membantu dalam
mengkonfirmasi spesies tertentu. Selain itu, adanya asam amino dan vitamin dapat
membedakan spesies trikhofita dari spesies lain. Kemampuan menghidrolisis urea
dalam membedakan T. mentagrophytes (urease positif) dari T. rubrum (urease
negatif).
Histopatologi
8
Dermoskopi
Rambut koma, yang sedikit melengkung, patah di poros rambut, dan bekas
cukuran rambut digambarkan sebagai penanda dermoskopik pada tinea kapitis. Rambut
yang rusak dan distrofik juga terlihat. Namun, dalam tinea korporis, keterlibatan
rambut vellus seperti yang terlihat pada dermoskopi merupakan indikator terapi
sistemik.
Tes ini tidak hanya membantu dalam diagnosis cepat pada awal infeksi tetapi
juga membantu dalam menentukan resistensi obat, meliputi:
Unipleks PCR untuk deteksi dermatofita langsung dalam sampel klinis : PCR untuk
deteksi langsung dari dermatofita yang tersedia dalam skala kulit dimana uji PCR-
ELISA ini dapat mengidentifikasi banyak spesies dermatofita secara terpisah. Dalam
sebuah penelitian, sensitifitas dan spesifisitas dari tes yang dibandingkan dengan
kultur adalah 80,1% dan 80,6%
Multipleks PCR untuk deteksi jamur pada dermatofita: tes PCR multipleks tersedia
secara komersil yang memungkinkan amplifikasi bersama dari 21 patogen
dermatomikotik dengan deteksi subsekuel DNA yang dilakukan dengan cara
elektroforesis gel agarosa.
9
Reflektansi mikroskop konfokal
Hal Ini memberikan gambaran in vivo dari epidermis dan dermis superfisial
pada resolusi tingkat sel dan dapat digunakan untuk mendeteksi jamur kulit dan
infestasi parasit. Hifa bercabang pada jamur dapat dideteksi melalui patch bersisik
anular eritematosa. Keuntungan dari tes ini yaitu noninfasif dan dari analisis
retrospektif uji ini oleh Friedman et al. sensitifitas menjadi 100%.
Pasien disarankan untuk memakai pakaian longgar yang terbuat dari katun atau
bahan sintetis yang dirancang untuk menjaga kelembaban jauh dari permukaan. Kaos
kaki juga sebaiknya terbuat dari bahan dengan sifat tersebut. Area yang mungkin
terinfeksi harus benar-benar dikeringkan sebelum ditutup dengan pakaian. Pasien juga
disarankan untuk menghindari berjalan tanpa menggunakan alas kaki dan berbagi
pakaian.
10
Manajemen Medis dengan Antifungi
Berbagai agen tradisional tanpa fungsi anti mikroba spesifik masih digunakan,
termasuk salep Whitfield dan cat Castellani (larutan carbol fuchsin). Efektifitas dari
kedua preparat tersebut belum dinilai dengan baik. Tabel 1 merangkum klasifikasi
antifungi yang umum digunakan. Lesi yang meliputi area tubuh yang luas yang gagal
dibersihkan dengan terapi berulang menggunakan agen topikal yang berbeda harus
dipertimbangkan untuk diberikan terapi sistemik. Tidak ada studi komparatif yang pasti
mengenai kombinasi antifungi sistemik dan topikal dibandingkan dengan monoterapi
dengan antifungi sistemik.
Tinea kapitis
Tinea yang mengenai kuku
Tinea yang melibatkan lebih dari satu daerah tubuh secara bersamaan misalnya
tinea kruris dan korporis, atau tinea kruris dan tinea pedis
Tinea korporis dengan lesi yang sangat luas
Tinea pedis dimana ada keterlibatan luas dari telapak kaki, tumit, atau dorsum kaki
atau ketika ada blister yang berulang dan mengganggu
11
Tabel 1. Klasifikasi terapi antifungi berdasar strukturnya
Golongan Antifungi Contoh
Antibiotik
Polien Amfoterisin B, nistatin, natamisin
Heterosiklik benzofuran Griseofulvin
Antimetabolit Lusitosin
Golongan Azol
Imidazol Topikal - klotrimazol, econazol, miconazol, bifonazol,
fenticonazol, oksiconazol, tioconazol, sertaconazol,
berconazol, luliconazol, eberconazol
Sistemik ketoconazol
Triazol Itraconazol, fluconazol (topikal), voriconazol,
posaconazol, isavuconazol, posoconazol, ravuconazol,
pramiconazol, albaconazol
Alilamin Terbinafin, butenafin, naftifin
Echinocandin Caspofungin, anidulafungin, micafungin, aminocandin
Turunan Sordarin GR135402, GM237354
Antagonis Dinding Sel Capsofungin, micafungin
Agen lain Tolnaftat, ciclopiroks, amorolfin, asam undesilenik,
buclosamid, Whitfields ointment, benzoyl peroksida,
zinc pyrithion, selenium sulfit, asam azelaic etc.,
nikkomisin, icofungipen
Terapi Terbaru dan Poten Demcidin, makrokarpal C
Berbagai agen antifungi topikal tersedia untuk pengobatan lokal tinea korporis,
tinea kruris, tinea faciei, dan tinea pedis. Hal ini juga dapat digunakan antifungi oral
sebagai tambahan untuk infeksi yang lebih luas. Sebagian besar penelitian dalam
pengobatan tinea korporis dan kruris telah melihat efektifitas antifungi topikal dengan
sangat sedikit penelitian tentang penggunaan antifungi oral. Sebuah meta-analisis oleh
Rotta et al. mengevaluasi efektifitas pengobatan antifungi yang melibatkan 14
antifungi topikal yang berbeda dan termasuk 65 randomized controlled trials (RCTs),
yang membandingkan antifungi topikal satu sama lain atau dengan plasebo. Efektivitas
dievaluasi dalam bentuk penyembuhan mikologi di akhir pengobatan dan
penyembuhan berkelanjutan. Mereka tidak menemukan perbedaan yang signifikan
12
secara statistik diantara antifungi tentang hasil penyembuhan mikologis pada akhir
pengobatan. Untuk penyembuhan berkelanjutan, butenafine dan terbinafine masing-
masing terbukti lebih unggul dari klotrimazol. Perbandingan berpasangan dari
antifungi topikal untuk hasil penyembuhan jamur menunjukkan butenafin dan
terbinafin masing-masing lebih unggul dari klotrimazol, oksikonazol, dan
sertakonazol; terbinafin lebih unggul dari siklopiroks, dan naftifin lebih unggul dari
oksikonazol.
Demikian pula, review dari cochrane mengenai terapi antifungi topikal untuk
tinea kruris dan tinea korporis menunjukkan bahwa individu yang diberikan terapi
dengan terbinafin dan naftifin terbukti efektif dengan beberapa efek samping.
Antifungi topikal lain seperti terapi dengan golongan azol juga efektif dalam hal
kesembuhan klinis dan mikologi. Tidak ada pedoman standar mengenai kombinasi
terapi steroid topikal dan antifungi. Tidak terdapat bukti yang cukup untuk menilai
secara pasti tingkat kekambuhan pada individu atau kombinasi terapi. Perbedaan antara
antifungi yang berbeda sebagian besar mengenai aplikasi yang lebih sedikit dan durasi
terapi yang lebih pendek dengan beberapa kelas antifungi topikal dibandingkan dengan
yang lain. Antifungi topikal biasanya diberikan sekali atau dua kali sehari selama 2 - 4
minggu seperti yang diilustrasikan pada Tabel 2. Titik akhir terapi adalah resolusi klinis
pada sebagian besar kasus.
Moriarty et al. juga menekankan penggunaan terapi topikal dalam mengobati
tinea korporis, kruris dan pedis. Mereka juga mengemukakan alasan umum kegagalan
terapi, yaitu; ketidakpatuhan dalam pengobatan, infeksi ulang dari kontak dekat,
resistensi obat, misdiagnosis, dan infeksi dengan spesies yang tidak umum. Beberapa
pasien harus dirujuk ke pusat perawatan yang lebih tinggi untuk pengelolaan yang
tepat. Mereka juga menyarankan penggunaan hidrokortison topikal untuk waktu yang
singkat pada lesi yang meradang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
penambahan steroid topikal juga meningkatkan bioavailabilitas antifungi topikal, yaitu
sebagian besar kelompok imidazol, selain mengurangi gejala-gejala dengan lebih baik
dalam tahap inflamasi awal. Meskipun mungkin bermanfaat bagi pasien dengan lesi
13
inflamasi, beberapa praktisi tidak menganjurkannya di negara-negara seperti India
dimana terdapat ketersediaan counter steroid topikal yang kemudian sering
menyebabkan penyalahgunaan oleh pasien yang akhirnya berakhir dengan tinea
inkognito. Steroid mungkin membantu dalam perbaikan awal gejala tetapi penggunaan
yang kronis dapat menyebabkan komplikasi seperti atrofi, telangiectasia yang lebih
menonjol bila lesi muncul pada daerah lipatan. Antifungi topikal dengan aksi anti-
inflamasi poten seperti sertaconazol atau luliconazol dapat menjadi pilihan yang lebih
baik daripada kombinasi antifungi-steroid.
Tinea pedis biasanya diobati dengan krim antifungi topikal selama 4 minggu;
tinea pedis interdigitalis mungkin hanya memerlukan 1 minggu terapi. Berbagai
antifungi topikal efektif terhadap tinea pedis termasuk golongan azol, allilamin,
butenafin, siklopiroks, tolnaftat, dan amorolfin yang dibuktikan dengan temuan meta-
analisis dengan bukti kuat keunggulan agen antifungi topikal dibandingkan plasebo.
Sebuah meta-analisis dari 11 percobaan acak menyimpulkan bahwa pengobatan
dengan terbinafin atau naftifin menghasilkan angka kesembuhan yang sedikit lebih
tinggi dibandingkan pengobatan dengan golongan azol. Nistatin tidak efektif untuk
pengobatan infeksi dermatofita. Naftifin hidroklorida gel juga ditemukan efektif baik
untuk jenis tinea pedis jenis interdigitalis maupun mokkasin.
14
Tabel 2: Ringkasan penggunaan antifungi topikal yang digunakan dalam pengobatan
tinea korporis, kruris dan pedis
Pada akhirnya, penggunaan sistem bahan pencampur khusus dimana obat utama
menempel pada bahan pencampur seperti micelle atau penggunaan bahan pencampur
berbasis lipid berstruktur nano, mikroemulsi, dan sistem vesikular seperti liposom,
niosom, transfersom, ethosom atau vesikel penguat penetrasi menjanjikan karena
membantu dalam bioavailabilitas yang lebih baik sehingga dapat mencapai respon
terapi yang lebih baik. Dewasa ini, gel amfoterisin B berbasis lipid telah menunjukkan
sifat farmakologi dan hasil klinis yang baik sebagai terapi terhadap infeksi fungi
mukokutaneus yang bervariasi termasuk dermatofitosis, tanpa efek samping.
Amfoterisin B yang digabungkan dalam mikroemulsi menunjukkan peningkatan 100
% dalam retensi kulit dengan aktivitas antifungi in vitro yang lebih baik melawan T.
15
rubrum. Satu kekhawatiran yaitu apakah penggunaan amfoterisin topikal dapat
menyebabkan resistensi dalam komunitas, dengan demikian membatasi
penggunaannya untuk infeksi fungi yang lebih invasif. Formulasi mikroemulsi
griseofulvin telah menunjukkan tingkat penyembuhan yang baik untuk dermatofitosis.
Sementara itu, formulasi baru terbinafin yang disebut solusio terbinafin pembentuk
film yang merupakan aplikasi topikal pembentuk film tipis dan memiliki efek fungisid
yang bertahan selama 13 hari setelah pemberian tunggal. Keberhasilan terapi pada tinea
korporis dengan menggunakan kombinasi isokonazol topikal dan diflukotolon (steroid
topikal poten) juga telah dilaporkan.
Terapi antifungi oral pada Tinea korporis, Tinea kruris, dan Tinea pedis
Meninjau bukti penggunaan antifungi oral yang ada
Antifungi sistemik diindikasikan pada kasus yang mengenai daerah yang luas
dan pada pasien yang tidak berhasil dengan terapi topikal. Dari berbagai antifungi
sistemik, terbinafin dan itrakonazol paling sering diresepkan. Griseofulvin dan
flukonazol juga efektif tetapi memerlukan pengobatan jangka panjang. Penelitian-
penelitian RCT mendukung efikasi antifungi sistemik (Tabel 3). Penelitian komparatif
antara itrakonazol 100 mg/hari dengan griseofulvin ultramikro 500 mg/hari untuk tinea
korporis atau tinea kruris menunjukkan hasil klinis dan mikologi yang lebih baik secara
signifikan daripada itrakonazol setelah 2 minggu terapi. Penelitian yang serupa
membandingkan terbinafin dengan griseofulvin (keduanya 500 mg sehari selama 6
minggu) untuk tinea korporis menunjukkan tingkat penyembuhan sekitar 87 % pada
kelompok awal dibandingkan dengan 73 % pada kelompok setelahnya. Penelitian
secara double blind antara itrakonazol (100 mg/hari) dengan griseofulvin (500 mg/hari)
didapatkan hasil itrakonazol lebih superior dalam penyembuhan secara mikologis.
Terapi topikal kurang efektif dibandingkan terapi oral antifungi pada pengobatan
tinea pedis, dan terapi oral umumnya diberikan selama 4-8 minggu. Pada sebuah
tinjauan sistematis dari efikasi antifungi oral, terbinafin ditemukan lebih efektif
daripada griseofulvin, sementara efikasi terbinafin dan itrakonazol hampir sama.
16
Terapi antifungi, kompres Burrow (Aluminium asetat 1% atau Aluminium subasetat
5%) yang diaplikasikan selama 20 menit 2-3 kali/hari dapat membantu jika terdapat
vesikulasi atau maserasi. Dari berbagai tipe tinea pedis, tipe hiperkeratotik adalah yang
paling sulit diterapi karena adanya skuama tebal yang menyebabkan antifungi topikal
tidak efektif dan memerlukan durasi antifungi sistemik yang lebih lama. Penggunaan
agen keratolitik dan antifungi topikal bersama dengan antifungi sistemik telah
ditemukan lebih baik dalam penyembuhan klinis dan mikologi awal dan juga
menurunkan durasi antifungi sistemik sehingga kepatuhan pasien lebih baik. Infeksi
bakteri sekunder diterapi dengan antibiotik oral. Terapi tambahan lain termasuk
penggunaan talk antifungi yang membantu mencegah maserasi dan pencegahan
penggunaan alas kaki oklusif.
Tabel 3: Dosis yang direkomendasikan dari antifungi sistemik yang berbeda pada
dermatofitosis
17
efikasi pada mikosis superfisial. Dewasa ini, posokonazol ditemukan efektif pada
pasien dengan infeksi kuku dan kulit dermatofita ekstensif dengan penyebab mutasi
CARD9.
Selain antifungi yang telah disebutkan diatas, beberapa ekstrak tanaman (herbal
Cina) juga ditemukan efektif melawan infeksi dermatofita pada umumnya. Salah
satunya adalah makrokarpal C, bahan aktif yang diperoleh dari daun segar Eucalyptus
globulus-labill dengan efek antifungi melawan T. mentagrophytes dan T. rubrum.
Demicidin, sebuah peptida antimikroba mempunyai efek antifungi pada konsentrasi
yang normalnya terdapat dalam keringat sehingga memberikan pemahaman akan target
terapi yang lebih baru untuk infeksi dermatofita.
SITUASI KHUSUS
Granuloma Majocchi
18
Tinea Imbrikata Dan Pseudoimbrikata
Tinea imbricata adalah infeksi jamur superfisial kronis pada kulit gundul yang
disebabkan oleh Trichophyton concentricum. Penyakit hasil dari kontak dekat dengan
spora dan filamen dari T. concentricum terutama antara ibu dan anaknya. Hal ini
menjelaskan bahwa faktor genetik, lingkungan, dan imunologi memainkan peranan
penting dalam pengembangan jamur ini infeksi. Cara penurunannya adalah pola
autosomal resesif dengan kasus minoritas dengan autosomal dominan. Kebanyakan
pasien memiliki antibodi spesifik untuk T. concentricum, sehingga menunjukkan
bahwa ada penurunan imunitas selular. Pengaruh diet, kekurangan zat besi, dan
kekurangan gizi telah dikutip sebagai faktor yang terkait. Diagnosis dengan dasar klinis
dan isolasi kultur. Penyakit ini sangat mudah kambuh. Perawatan harus melibatkan
kombinasi topikal dan agen antifungi sistemik karena terapi topikal saja tidak cukup.
Griseofulvin, golongan azol, seperti ketoconazol dan Itraconazol, telah digunakan
selama bertahun-tahun dengan keberhasilan bervariasi. Saat ini, terbinafin merupakan
pilihan terapi terbaik, dalam dosis 250 mg/hari pada orang dewasa. Baru-baru ini, telah
ada laporan lesi seperti tinea imbrikata pada pasien yang menyalahgunakan steroid
topikal. T. mentagrophytes, bukan T. concentricum yang biasanya diisolasi dari lesi ini.
19
infeksi dermatofitac sehingga pengobatan harus disesuaikan secara individual dan
berdasar rasio risiko-manfaat.
Dermatofitosis Kronis
KESIMPULAN
20
luas, pilihan menajdi kurang jelas. Terbinafin (250-500 mg / hari untuk 2-6 minggu)
maupun itrakonazol (100-200 mg / hari selama 2-4 minggu) tampaknya efektif.
Namun, dosis yang tepat dan durasi pemberian yang dapat menghasilkan penyembuhan
mikologis dan mencegah kekambuhan tetap sulit dipahami. Ulasan ini juga menyoroti
kesenjangan penelitian yang besar dalam manajemen dermatofitosis kulit yang perlu
didalami untuk memberikan perawatan yang lebih baik dan efektif untuk pasien. RCT
yang lebih ketat untuk membandingkan kebutuhan berbagai terapi antifungi oral untuk
memberikan ide yang jelas mengenai dosis dan durasi terapi yang tepat.
21