Вы находитесь на странице: 1из 21

REFERENSI ARTIKEL

Penatalaksanaan Tinea Korporis, Tinea Kruris, dan Tinea Pedis : Tinjauan


Komprehensif

Diterjemahkan dari:
Management of tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis: A comprehensive preview
Alok Kumar Sahoo, Rahul Mahajan

Oleh:
Lulut Khoridatur R G99161056
Atika Iffa Syakira G99161021
Yunika Varestri AR G99161106
Oktavera Tri Kurniasih G99161071
Elfrida Rahma Bustami G99161036
Febrian Kantata Jati N G99161036

Pembimbing:
dr. Muh. Eko Irawanto, Sp.KK, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI
2017
Penatalaksanaan Tinea Korporis, Tinea Kruris, dan Tinea Pedis : Tinjauan
Komprehensif
Diterjemahkan dari:
Management of tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis: A comprehensive preview
Alok Kumar Sahoo, Rahul Mahajan

ABSTRAK

Prevalensi infeksi mikotik superfisial di seluruh dunia adalah 20-25% dimana


dermatofita adalah penyebab yang paling umum. Perkembangan terbaru dalam
memahami patofisiologi dermatofitosis telah mengkonfirmasi peran utama dari
imunitas seluler dalam melawan infeksi ini. Oleh karena itu, kurangnya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat dan dengan adanya respon hipersensitivitas tipe cepat
terhadap antigen trikhofitin mengarah pada kronisitas penyakit. Pada dasarnya untuk
menegakkan diagnosis, manifestasi klinis harus dikonfirmasi melalui investigasi
berbasis laboratorium. Beberapa teknik baru seperti polymerase chain reaction (PCR)
dan spektroskopi massa dapat membantu mengidentifikasi strain dermatofita yang
berbeda. Dalam kasus ini, manajemen penatalaksanaan yang melibatkan penggunaan
antifungi topikal pada penyakit-penyakit tertentu, sedangkan terapi oral biasanya
diberikan pada kasus yang lebih parah. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian
infeksi dermatofita kronis yang sulit diobati mengalami peningkatan signifikan.
Namun, karena kurangnya pembaharuan panduan nasional maupun internasional
mengenai penatalaksanaan tinea korporis, kruris, dan pedis, pengobatan dengan
antifungi sistemik sering kali bersifat empiris. Kajian ini bertujuan untuk meninjau
kembali topik penting ini dan merinci kemajuan terkini mengenai patofisiologi dan
penatalaksanaan tinea korporis, tinea kruris, dan tinea pedis sambil menyoroti isu-isu
pada manajemen tertentu.
Kata kunci: Dermatofitosis, infeksi jamur superfisial, tinea korporis, tinea kruris, tinea
pedis

2
PENDAHULUAN

Dermatofita adalah jamur yang menyerang dan berkembang biak di dalam


jaringan keratin (kulit, rambut, dan kuku) yang dapat menyebabkan infeksi.
Berdasarkan genus, dermatofita dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
Trichofita (infeksi pada kulit, rambut, dan kuku), Epidermofita (infeksi pada kulit dan
kuku), dan Microsporum (infeksi pada kulit dan rambut). Berdasarkan cara
penularannya, dermatofita telah diklasifikasikan sebagai antropofilik, zoofilik, dan
geofilik. Sedangkan berdasarkan lokasi yang terinfeksi diklasifikasikan secara klinis
ke dalam tinea kapitis (kepala), tinea fasciei (wajah), tinea barbae (janggut), tinea
korporis (tubuh), tinea manus (tangan), tinea kruris (pangkal paha), tinea pedis (kaki),
dan tinea unguium (kuku). Varian klinis lainnya meliputi tinea imbrikata, tinea
pseudoimbrikata, dan Granuloma Majocchi.

Meskipun prevalensi dermatofitosis kulit mengalami peningkatan di seluruh


dunia, terutama di daerah tropis, penelitian mengenai dermatofitosis sendiri tidak
banyak dilakukan. Faktanya, kita harus kembali sampai hampir dua dekade untuk
menemukan panduan tentang tatalaksana tinea korporis dan kruris (oleh American
Academy of Dermatology), dan yang ada ini sekali pun sudah tidak lagi relevan
sekarang ini. Panduan yang lebih baru yang diterbitkan oleh British Association of
Dermatology dan British Medical Journal telah banyak berfokus pada tinea kapitis dan
tinea unguium dengan sedikit referensi mengenai tinea korporis / kruris. Ulasan terbaru
dari Cochrane tentang penggunaan terapi topikal untuk kasus tinea korporis, kruris,
dan pedis, dan beberapa terapi oral telah membantu menjembatani kesenjangan
pengetahuan yang ada, panduan nasional dan/atau internasional mengenai rekomendasi
penggunaan dosis antifungi sistemik pada kasus tinea korporis / kruris sangat mencolok
karena tidak adanya pembahasan mengenai mereka. Kajian ini bertujuan untuk
meninjau kembali topik penting ini dan akan merinci kemajuan terkini dalam
patofisiologi dan tatalaksana tinea korporis, tinea kruris, dan tinea pedis sambil
menyoroti isu-isu pada manajemen tertentu.

3
PERUBAHAN EPIDEMIOLOGI DARI DERMATOFITOSIS

Dermatofita adalah agen infeksi jamur superfisial yang paling sering


menginfeksi di seluruh dunia dan tersebar luas di negara-negara berkembang, terutama
di negara-negara tropis dan subtropis seperti India, dimana suhu lingkungan dan
kelembaban relatif tinggi. Faktor lain seperti meningkatnya urbanisasi termasuk
penggunaan alas kaki oklusif dan pakaian ketat, telah dikaitkan dengan prevalensi yang
lebih tinggi. Selama beberapa tahun terakhir, studi epidemiologi infeksi dermatofita
dari berbagai daerah di India telah menunjukkan kecenderungan meningkatnya
prevalensi dermatofitosis kulit dengan perubahan spektrum infeksi dan pengisolasian
beberapa spesies yang tidak biasa. Trichophyton rubrum tetap menjadi isolat yang
paling sering pada tinea korporis dan kruris, yang merupakan klinis yang paling umum
ditemui dalam studi dari Chennai dan Rajasthan. Namun, dalam studi dari Lucknow
dan New Delhi, Trichophyton mentagrophytes dan Microsporum audouinii merupakan
isolat yang paling sering. Beberapa penelitian juga menunjukkan isolasi spesies langka
seperti Microsporum gypseum di daerah-daerah nun endemik di dunia.

PATOGENESIS DERMATOFITOSIS
Genetika dermatofitosis

Semua orang tidak rentan terhadap infeksi jamur, bahkan ketika mereka
memiliki faktor risiko yang serupa. Ada bukti bahwa faktor predisposisi keluarga atau
genetik yang bisa dimediasi oleh gangguan spesifik pada sistem imun yang didapat dan
juga adaptif. Salah satu penyakit jamur pertama yang dianggap memiliki predisposisi
genetik adalah tokelau atau tinea imbrikata. Menurut Jaradat et al., pasien dengan
defensin beta 4 rendah menjadi predisposisi untuk semua dermatofita.

Patogenesis infeksi dermatofita melibatkan interaksi kompleks antara pejamu,


agen dan lingkungan. Faktor-faktor yang menjadi predisposisi infeksi tersebut adalah
adanya penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, limfoma, status imunologis
yang lemah, atau sindrom Cushing, usia tua, yang dapat menyebabkan dermatofitosis

4
menjadi lebih parah, meluas, atau sukar sembuh. Beberapa area tubuh lebih rentan
terhadap perkembangan infeksi dermatofita seperti daerah intertriginosa (web space
dan pangkal paha) dimana terdapat keringat yang berlebih, maserasi, dan pH basa
mendukung pertumbuhan jamur. Setelah inokulasi pada kulit inang, kondisi yang
sesuai akan mendukung infeksi untuk berkembang diikuti dengan penetrasi yang
dimediasi oleh protease, serine-subtilisin, dan fungolysin, yang menyebabkan digesti
jaringan keratin menjadi oligopeptida atau asam amino dan juga bertindak sebagai
rangsang imunogenik yang poten. Selain itu, mannans yang diproduksi oleh T. rubrum
menyebabkan penghambatan limfosit. Gangguan fungsi sel Th17 menyebabkan
penurunan produksi interleukin-17 (IL-17), IL-22 (sitokin kunci dalam memberantas
infeksi jamur mukokutan) menghasilkan infeksi persisten.

Imunologi dermatofitosis

Respon imun terhadap infeksi oleh dermatofita berawal dari mekanisme non
spesifik hingga imunitas humoral dan imunitas seluler. Pandangan yang diterima saat
ini yaitu bahwa respon imunitas seluler bertanggung jawab atas kontrol dermatofitosis.

Respon imun bawaan

Dermatofita mengandung dinding sel yang memiliki molekul karbohidrat (-


glukan) yang dikenali oleh mekanisme imun bawaan, seperti dektin-1 dan dektin-2,
yang mengaktifkan Toll-Like Receptor 2 dan 4 (TLR-2 dan TLR-4). Dektin-1
memperkuat produksi tumor necrosis factor- dan IL-17, IL-6, dan IL-10, yang
semuanya merangsang imunitas adaptif. Keratinosit dengan adanya antigen
dermatofita, seperti trikhofita, melepaskan IL-8, yang merupakan senyawa kimia poten
untuk menarik neutofil. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan keterlibatan TLR-2
dan TLR-4 pada dermatofitosis lokal maupun luas akibat T. rubrum. Penurunan
ekspresi TLR-4 di bawah dan atas epidermis akibat dermatofitosis lokal maupun luas
telah ditemukan dibandingkan kontrol. Ekspresi TLR-2 diawetkan pada bagian atas
dan bawah epidermis dari ketiga kelompok.

5
Respons imun adaptif

Imunitas Humoral : Imunitas humoral terhadap dermatofita tidaklah protektif.


Tingginya kadar IgE dan IgG4 spesifik yang terdeteksi pada pasien dengan
dermatofitosis kronis yang bertanggng jawab pada hasil tes IH positif (termediasi
IgE) akibat trikhofita. Sementara itu kadar Ig rendah pada pasien yang positif
hipersensitifitas tipe lambat / Delayed Type Hypersensitivity (HTL). Tes IH kulit
untuk trikhofita dikaitkan dengan adanya serum IgE dan IgG (kebanyakan IgG4)
yang melawan antigen trikhofita, keunggulan respons Th2. Disini IL-4 yang
diproduksi oleh sel T CD4 (sel Th2) menginduksi isotipe antibodi yang beralih
menjadi IgG4 dan IgE.

Imunitas Seluler : Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa resolusi


dermatofitosis dimediasi oleh HTL. Imunitas terhadap patogen dapat diatur oleh
Th1 atau Th2 yang pada akhirnya akan menentukan hasil dari infeksi. Respon
inflamasi akut berkorelasi dengan tes kulit HTL positif untuk trikhofita, dan
perlawanan infeksi kronis dikaitkan dengan IH tinggi dan DTH rendah.

Respons non spesifik

Transferin tak jenuh telah ditemukan sebagai penghambat dermatofita dengan


mengikat hifanya. Teman semakan Pitirosporum membantu lipolisis dan
meningkatkan ketersediaan asam lemak dalam menghambat pertumbuhan jamur.

DIAGNOSIS DERMATOFITOSIS
Pemeriksaan Laboratorium

Untuk memberikan hasil yang optimal, kuantitas dan kualitas bahan yang
diperiksa sangat penting. Kerokan harus diambil dari margin lesi yang aktif dan dibawa
dalam kertas grafik hitam yang sudah disterilisasi untuk menjaga spesimen tetap kering
sehingga mencegah kontaminasi pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Berikut adalah
berbagai tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis
dermatofitosis.

6
1. Pemeriksaan mikroskopis langsung: Perawatan spesimen kulit dengan 10-20 %
kalium hidroksida (KOH) merupakan cara cepat dan murah untuk membuktikan
adanya infeksi dermatofitosis. Kerokan positif ditandai dengan adanya bentukan
filamen hifa yang refraktil, panjang, halus, bergelombang, bercabang, dan septate
hifa dengan atau tanpa arthrokonidiospora. Hasil negatif palsu terlihat pada 15 %
kasus. Uji fluoresens dengan optik brighteners (diaminostilbene) merupakan
metode yang paling sensitif untuk mendeteksi mikroskopis jamur di sisik kulit,
kuku dan rambut. Zat-zat ini mengikat kitin yang merupakan komponen utama
dinding sel jamur.
2. Kultur dan uji sensitivitas antifungi: Agar Sabouraud dekstrosa (ASD, 4% pepton,
1% glukosa, agar, air) adalah media isolasi yang paling umum digunakan untuk
dermatofitosis dan berfungsi sebagai media dasar dalam deskripsi morfologi.
Perkembangan koloni memerlukan waktu 7-14 hari. ASD yang dimodifikasi
dengan penambahan gentamisin, kloramfenikol dan sikloheksimid lebih selektif
untuk dermatofita dimana khroramfenikol dapat menghambat pertumbuhan
saprofit jamur. Uji media dermatofita merupakan media isolasi alternatif yang
mengandung indikator pH fenol merah. Hal ini diinkubasi pada suhu kamar selama
5-14 hari. Dermatofita memanfaatkan protein yang mengakibatkan meningkatnya
ion amonium dan lingkungan basa yang merubah media dari kuning ke merah
terang.
Uji kelemahan antifungi
i. Metode mikrodilusi : uji mikrodilusi kaldu untuk pengujian kelemahan
antifungi dermatofita sebelumnya telah dikembangkan sebagai modifikasi dari
metode standar klinis dan Standar Laboratorium Institut M38-A2. Konsentrasi
akhir terbinafin dan itrakonazol yang digunakan adalah 0,06-32,0 g/ml dan
untuk flukonazol, 0,13-64,0 ug/ml. Inokulum yang terstandarisasi disiapkan
dengan menghitung microconidia secara mikroskopis. kultur ditanam di ASD
miring selama 7 hari pada suhu 35 C untuk menghasilkan konidia. Normal
salin steril (85 %) ditambahkan ke agar miring, dan kultur secara perlahan

7
diusap dengan lidi kapas untuk mengeluarkan konidia dari hifa. Suspensi
tersebut dipindahkan ke tabung sentrifus steril, dan volume ditambah sampai 5
ml dengan normal salin steril. Suspensi yang dihasilkan dihitung di
hemasitometer dan diencerkan dalam medium RPMI 1640 dengan konsentrasi
yang diinginkan. Plate mikrodilusi diatur sesuai metode dari referensi. Plate
mikrodilusi diinkubasi pada suhu 35 C dan dicek setelah 4 hari inkubasi.
Konsentrasi penghambatan minimum didefinisikan sebagai konsentrasi dimana
pertumbuhan organisme akan dihambat sebesar 80% dibandingkan dengan
pertumbuhan yang di kontrol dengan baik.
ii. Penentuan konsentrasi minimum fungisida (KMF): Untuk penentuan KMF,
100-ml cairan dibuang dan hasil menunjukkan tidak adanya pertumbuhan pada
akhir inkubasi pada plate ASD. Plate diinkubasi pada suhu 30 C selama 7 hari.
KMF didefinisikan sebagai konsentrasi obat terendah di mana tidak terlihat
adanya pertumbuhan jamur atau koloni yang dikembangkan.
3. Identifikasi Dermatofita : hal ini didasarkan pada karakteristik koloni, morfologi
mikroskopis, dan tes fisiologis. Dermatofita dapat dibedakan berdasarkan
morfologi makrokonidia. Beberapa tes fisiologis yang dapat membantu dalam
mengkonfirmasi spesies tertentu. Selain itu, adanya asam amino dan vitamin dapat
membedakan spesies trikhofita dari spesies lain. Kemampuan menghidrolisis urea
dalam membedakan T. mentagrophytes (urease positif) dari T. rubrum (urease
negatif).

Histopatologi

Histologi dapat digunakan dalam diagnosis Granuloma Majocchi di mana skala


pemeriksaan KOH pada permukaan kulit mungkin lebih sering negatif. Ketika ada, hifa
dapat berada di stratum korneum pada hematoksilin dan pewarnaan eosin. Pewarnaan
khusus yang paling sering digunakan adalah asam Schiff berkala dan Gomori perak
methanamin yang membantu untuk memperlihatkan hifa.

8
Dermoskopi

Rambut koma, yang sedikit melengkung, patah di poros rambut, dan bekas
cukuran rambut digambarkan sebagai penanda dermoskopik pada tinea kapitis. Rambut
yang rusak dan distrofik juga terlihat. Namun, dalam tinea korporis, keterlibatan
rambut vellus seperti yang terlihat pada dermoskopi merupakan indikator terapi
sistemik.

Polymerase Chain Reaction dan Amplifikasi Nukleat Berdasarkan Urutan Asam

Tes ini tidak hanya membantu dalam diagnosis cepat pada awal infeksi tetapi
juga membantu dalam menentukan resistensi obat, meliputi:
Unipleks PCR untuk deteksi dermatofita langsung dalam sampel klinis : PCR untuk
deteksi langsung dari dermatofita yang tersedia dalam skala kulit dimana uji PCR-
ELISA ini dapat mengidentifikasi banyak spesies dermatofita secara terpisah. Dalam
sebuah penelitian, sensitifitas dan spesifisitas dari tes yang dibandingkan dengan
kultur adalah 80,1% dan 80,6%
Multipleks PCR untuk deteksi jamur pada dermatofita: tes PCR multipleks tersedia
secara komersil yang memungkinkan amplifikasi bersama dari 21 patogen
dermatomikotik dengan deteksi subsekuel DNA yang dilakukan dengan cara
elektroforesis gel agarosa.

Metode molekuler baru : spektrometri massa matrix-assisted laser desorpsi


ionisasi-time

Hal ini didasarkan pada deteksi karakteristik biokimia, produk degradasi


proteolitik yang merupakan hasil dari aktifitas infeksi mikologi atau penyakit menular.
Ini diwakili oleh produk degradasi proteolitik protein asli. Pola peptida sampel yang
terkena, diidentifikasi dengan membandingkan spektrum peptida dari gangguan kulit
yang disimpan dalam basis data yang sudah ada. Prosedur ini sangat hemat waktu,
karena memungkinkan identifikasi simultan hingga 64 strain dermatofita, dalam waktu
24 jam.

9
Reflektansi mikroskop konfokal

Hal Ini memberikan gambaran in vivo dari epidermis dan dermis superfisial
pada resolusi tingkat sel dan dapat digunakan untuk mendeteksi jamur kulit dan
infestasi parasit. Hifa bercabang pada jamur dapat dideteksi melalui patch bersisik
anular eritematosa. Keuntungan dari tes ini yaitu noninfasif dan dari analisis
retrospektif uji ini oleh Friedman et al. sensitifitas menjadi 100%.

Dapat disimpulkan, pemeriksaan ini secara aman dianjurkan dalam diagnosis


klinis infeksi dermatofita kulit harus selalu dilengkapi dengan konfirmasi mikologis.
Sementara metode tradisional seperti demonstrasi langsung dari jamur dengan KOH
meruapakan salah satu pilihan yang cukup sensitif dan murah, metode non-infasif yang
lebih baru seperti dermoskopi memiliki keuntungan kemudahan penggunaan,
kemampuan untuk mendeteksi keterlibatan rambut vellus sehingga mempengaruhi
pilihan pengobatan (topikal dibandingkan sistemik). Kultur jamur dan pengujian
antifungi merupakan pemeriksaan yang memerlukan biaya lebih mahal dan lebih
khusus, tetapi infrastruktur seperti ini dibutuhkan untuk dibangun di sebagian besar
pusat kota, ditinjau dari terjadinya kenaikan prevalensi dermatofitosis nun-responsif di
era ini. Metode lain seperti PCR dan reflektansi mikroskopik konfokal masih
digunakan terutama untuk tujuan penelitian.

TERAPI DERMATOFITOSIS KUTANEUS


Terapi Non Farmakologis

Pasien disarankan untuk memakai pakaian longgar yang terbuat dari katun atau
bahan sintetis yang dirancang untuk menjaga kelembaban jauh dari permukaan. Kaos
kaki juga sebaiknya terbuat dari bahan dengan sifat tersebut. Area yang mungkin
terinfeksi harus benar-benar dikeringkan sebelum ditutup dengan pakaian. Pasien juga
disarankan untuk menghindari berjalan tanpa menggunakan alas kaki dan berbagi
pakaian.

10
Manajemen Medis dengan Antifungi

Berbagai agen tradisional tanpa fungsi anti mikroba spesifik masih digunakan,
termasuk salep Whitfield dan cat Castellani (larutan carbol fuchsin). Efektifitas dari
kedua preparat tersebut belum dinilai dengan baik. Tabel 1 merangkum klasifikasi
antifungi yang umum digunakan. Lesi yang meliputi area tubuh yang luas yang gagal
dibersihkan dengan terapi berulang menggunakan agen topikal yang berbeda harus
dipertimbangkan untuk diberikan terapi sistemik. Tidak ada studi komparatif yang pasti
mengenai kombinasi antifungi sistemik dan topikal dibandingkan dengan monoterapi
dengan antifungi sistemik.

Obat topikal memiliki farmakokinetika lebih baik dibandingkan dengan obat-


obatan sistemik. Oleh karena itu, kombinasi diharapkan memiliki clearence mikologi
yang lebih baik dibandingkan sistemik atau topikal sendiri. Kombinasi harus dari
kelompok yang berbeda untuk cakupan yang luas dan juga mencegah timbulnya
resistensi. Obat yang diberikan untuk durasi yang lebih pendek dengan dosis yang lebih
tinggi memiliki potensi yang lebih kecil untuk berkembangnya resistensi dibandingkan
dengan dosis yang lebih rendah dalam durasi yang lebih lama. Obat dengan bahan
keratofilik dan lipofilik, ketika diberikan pada dosis yang lebih tinggi akan memiliki
efek reservoir dan akan menyebabkan klirens mikologis yang lebih baik.

Indikasi antifungi sistemik pada dermatofitosis

Tinea kapitis
Tinea yang mengenai kuku
Tinea yang melibatkan lebih dari satu daerah tubuh secara bersamaan misalnya
tinea kruris dan korporis, atau tinea kruris dan tinea pedis
Tinea korporis dengan lesi yang sangat luas
Tinea pedis dimana ada keterlibatan luas dari telapak kaki, tumit, atau dorsum kaki
atau ketika ada blister yang berulang dan mengganggu

11
Tabel 1. Klasifikasi terapi antifungi berdasar strukturnya
Golongan Antifungi Contoh
Antibiotik
Polien Amfoterisin B, nistatin, natamisin
Heterosiklik benzofuran Griseofulvin
Antimetabolit Lusitosin
Golongan Azol
Imidazol Topikal - klotrimazol, econazol, miconazol, bifonazol,
fenticonazol, oksiconazol, tioconazol, sertaconazol,
berconazol, luliconazol, eberconazol
Sistemik ketoconazol
Triazol Itraconazol, fluconazol (topikal), voriconazol,
posaconazol, isavuconazol, posoconazol, ravuconazol,
pramiconazol, albaconazol
Alilamin Terbinafin, butenafin, naftifin
Echinocandin Caspofungin, anidulafungin, micafungin, aminocandin
Turunan Sordarin GR135402, GM237354
Antagonis Dinding Sel Capsofungin, micafungin
Agen lain Tolnaftat, ciclopiroks, amorolfin, asam undesilenik,
buclosamid, Whitfields ointment, benzoyl peroksida,
zinc pyrithion, selenium sulfit, asam azelaic etc.,
nikkomisin, icofungipen
Terapi Terbaru dan Poten Demcidin, makrokarpal C

Terapi antifungi topikal untuk tinea kruris, korporis, dan pedis


Review bukti pada penggunaan antifungi topikal yang ada

Berbagai agen antifungi topikal tersedia untuk pengobatan lokal tinea korporis,
tinea kruris, tinea faciei, dan tinea pedis. Hal ini juga dapat digunakan antifungi oral
sebagai tambahan untuk infeksi yang lebih luas. Sebagian besar penelitian dalam
pengobatan tinea korporis dan kruris telah melihat efektifitas antifungi topikal dengan
sangat sedikit penelitian tentang penggunaan antifungi oral. Sebuah meta-analisis oleh
Rotta et al. mengevaluasi efektifitas pengobatan antifungi yang melibatkan 14
antifungi topikal yang berbeda dan termasuk 65 randomized controlled trials (RCTs),
yang membandingkan antifungi topikal satu sama lain atau dengan plasebo. Efektivitas
dievaluasi dalam bentuk penyembuhan mikologi di akhir pengobatan dan
penyembuhan berkelanjutan. Mereka tidak menemukan perbedaan yang signifikan

12
secara statistik diantara antifungi tentang hasil penyembuhan mikologis pada akhir
pengobatan. Untuk penyembuhan berkelanjutan, butenafine dan terbinafine masing-
masing terbukti lebih unggul dari klotrimazol. Perbandingan berpasangan dari
antifungi topikal untuk hasil penyembuhan jamur menunjukkan butenafin dan
terbinafin masing-masing lebih unggul dari klotrimazol, oksikonazol, dan
sertakonazol; terbinafin lebih unggul dari siklopiroks, dan naftifin lebih unggul dari
oksikonazol.
Demikian pula, review dari cochrane mengenai terapi antifungi topikal untuk
tinea kruris dan tinea korporis menunjukkan bahwa individu yang diberikan terapi
dengan terbinafin dan naftifin terbukti efektif dengan beberapa efek samping.
Antifungi topikal lain seperti terapi dengan golongan azol juga efektif dalam hal
kesembuhan klinis dan mikologi. Tidak ada pedoman standar mengenai kombinasi
terapi steroid topikal dan antifungi. Tidak terdapat bukti yang cukup untuk menilai
secara pasti tingkat kekambuhan pada individu atau kombinasi terapi. Perbedaan antara
antifungi yang berbeda sebagian besar mengenai aplikasi yang lebih sedikit dan durasi
terapi yang lebih pendek dengan beberapa kelas antifungi topikal dibandingkan dengan
yang lain. Antifungi topikal biasanya diberikan sekali atau dua kali sehari selama 2 - 4
minggu seperti yang diilustrasikan pada Tabel 2. Titik akhir terapi adalah resolusi klinis
pada sebagian besar kasus.
Moriarty et al. juga menekankan penggunaan terapi topikal dalam mengobati
tinea korporis, kruris dan pedis. Mereka juga mengemukakan alasan umum kegagalan
terapi, yaitu; ketidakpatuhan dalam pengobatan, infeksi ulang dari kontak dekat,
resistensi obat, misdiagnosis, dan infeksi dengan spesies yang tidak umum. Beberapa
pasien harus dirujuk ke pusat perawatan yang lebih tinggi untuk pengelolaan yang
tepat. Mereka juga menyarankan penggunaan hidrokortison topikal untuk waktu yang
singkat pada lesi yang meradang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
penambahan steroid topikal juga meningkatkan bioavailabilitas antifungi topikal, yaitu
sebagian besar kelompok imidazol, selain mengurangi gejala-gejala dengan lebih baik
dalam tahap inflamasi awal. Meskipun mungkin bermanfaat bagi pasien dengan lesi

13
inflamasi, beberapa praktisi tidak menganjurkannya di negara-negara seperti India
dimana terdapat ketersediaan counter steroid topikal yang kemudian sering
menyebabkan penyalahgunaan oleh pasien yang akhirnya berakhir dengan tinea
inkognito. Steroid mungkin membantu dalam perbaikan awal gejala tetapi penggunaan
yang kronis dapat menyebabkan komplikasi seperti atrofi, telangiectasia yang lebih
menonjol bila lesi muncul pada daerah lipatan. Antifungi topikal dengan aksi anti-
inflamasi poten seperti sertaconazol atau luliconazol dapat menjadi pilihan yang lebih
baik daripada kombinasi antifungi-steroid.
Tinea pedis biasanya diobati dengan krim antifungi topikal selama 4 minggu;
tinea pedis interdigitalis mungkin hanya memerlukan 1 minggu terapi. Berbagai
antifungi topikal efektif terhadap tinea pedis termasuk golongan azol, allilamin,
butenafin, siklopiroks, tolnaftat, dan amorolfin yang dibuktikan dengan temuan meta-
analisis dengan bukti kuat keunggulan agen antifungi topikal dibandingkan plasebo.
Sebuah meta-analisis dari 11 percobaan acak menyimpulkan bahwa pengobatan
dengan terbinafin atau naftifin menghasilkan angka kesembuhan yang sedikit lebih
tinggi dibandingkan pengobatan dengan golongan azol. Nistatin tidak efektif untuk
pengobatan infeksi dermatofita. Naftifin hidroklorida gel juga ditemukan efektif baik
untuk jenis tinea pedis jenis interdigitalis maupun mokkasin.

Antifungi topikal yang lebih baru


Luliconazol, antifungi golongan azol yang bekerja secara fungisid melawan
spesies Trichophyton yang mirip atau lebih dari efek terbinafin. Tersedia dalam
formula krim 1 %, efektif dengan penggunaan satu kali sehari selama 1-2 minggu untuk
infeksi dermatofita. Disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) AS sebagai
terapi tinea pedis interdigitalis, tinea kruris, dan tinea korporis, obat ini memiliki profil
keamanan yang baik. Preparat econazol nitrat foam juga menunjukkan efikasi diatas
vehikulum foam untuk tinea pedis. Akan tetapi, obat-obat baru ini lebih mahal sehingga
kemungkinan dapat menyebabkan masalah kepatuhan berobat bagi lingkungan yang
kurang mampu dan menjadi predisposisi perkembangan resistensi.

14
Tabel 2: Ringkasan penggunaan antifungi topikal yang digunakan dalam pengobatan
tinea korporis, kruris dan pedis

Golongan Azol Sediaan Lokasi Frekuensi Durasi penggunaan


penggunaan
Imidazol (%)
Clotrimazol (1) Krim, losion T.korporis/kruris/pedis BD 4-6 minggu
Econazol (1) Krim T.korporis/kruris/pedis OD-BD 4-6 minggu
Miconazol (1) Krim, losion T.korporis/kruris/pedis BD 4-6 minggu
Oxiconazol (2) Krim, losion T.korporis/kruris/pedis OD-BD 4 minggu
Sertaconazol (2) Krim T.korporis/kruris/pedis BD 4 minggu
Luliconazol (1) Krim, losion T.korporis/kruris/pedis OD 2 minggu
Eberconazol (1) Krim T.korporis/kruris/pedis OD 2-4 minggu
Triazol (%)
Efinaconazol (10) Solusion T.pedis OD Hingga 52 minggu
pada tinea
unguinum
Alilamin
Terbinafin Krim, serbuk T. korporis BD 2 minggu
T. kruris BD 2 minggu
T. pedis BD 4 minggu
T. manum BD 4 minggu
Naftifin 1% Krim T.korporis/kruris/pedis OD-BD Gunakan 2 minggu
diluar resolusi
gejala
Butenafin 1% Krim T.korporis/kruris/pedis OD-BD 2-4 minggu
Golongan lain
Amolorfin 0.25% Krim T. korporis BD 4 minggu
Amfotericin B (1 Gel berbasis T. korporis BD 2 minggu
mg) 0.1 % lemak

Pada akhirnya, penggunaan sistem bahan pencampur khusus dimana obat utama
menempel pada bahan pencampur seperti micelle atau penggunaan bahan pencampur
berbasis lipid berstruktur nano, mikroemulsi, dan sistem vesikular seperti liposom,
niosom, transfersom, ethosom atau vesikel penguat penetrasi menjanjikan karena
membantu dalam bioavailabilitas yang lebih baik sehingga dapat mencapai respon
terapi yang lebih baik. Dewasa ini, gel amfoterisin B berbasis lipid telah menunjukkan
sifat farmakologi dan hasil klinis yang baik sebagai terapi terhadap infeksi fungi
mukokutaneus yang bervariasi termasuk dermatofitosis, tanpa efek samping.
Amfoterisin B yang digabungkan dalam mikroemulsi menunjukkan peningkatan 100
% dalam retensi kulit dengan aktivitas antifungi in vitro yang lebih baik melawan T.

15
rubrum. Satu kekhawatiran yaitu apakah penggunaan amfoterisin topikal dapat
menyebabkan resistensi dalam komunitas, dengan demikian membatasi
penggunaannya untuk infeksi fungi yang lebih invasif. Formulasi mikroemulsi
griseofulvin telah menunjukkan tingkat penyembuhan yang baik untuk dermatofitosis.
Sementara itu, formulasi baru terbinafin yang disebut solusio terbinafin pembentuk
film yang merupakan aplikasi topikal pembentuk film tipis dan memiliki efek fungisid
yang bertahan selama 13 hari setelah pemberian tunggal. Keberhasilan terapi pada tinea
korporis dengan menggunakan kombinasi isokonazol topikal dan diflukotolon (steroid
topikal poten) juga telah dilaporkan.

Terapi antifungi oral pada Tinea korporis, Tinea kruris, dan Tinea pedis
Meninjau bukti penggunaan antifungi oral yang ada

Antifungi sistemik diindikasikan pada kasus yang mengenai daerah yang luas
dan pada pasien yang tidak berhasil dengan terapi topikal. Dari berbagai antifungi
sistemik, terbinafin dan itrakonazol paling sering diresepkan. Griseofulvin dan
flukonazol juga efektif tetapi memerlukan pengobatan jangka panjang. Penelitian-
penelitian RCT mendukung efikasi antifungi sistemik (Tabel 3). Penelitian komparatif
antara itrakonazol 100 mg/hari dengan griseofulvin ultramikro 500 mg/hari untuk tinea
korporis atau tinea kruris menunjukkan hasil klinis dan mikologi yang lebih baik secara
signifikan daripada itrakonazol setelah 2 minggu terapi. Penelitian yang serupa
membandingkan terbinafin dengan griseofulvin (keduanya 500 mg sehari selama 6
minggu) untuk tinea korporis menunjukkan tingkat penyembuhan sekitar 87 % pada
kelompok awal dibandingkan dengan 73 % pada kelompok setelahnya. Penelitian
secara double blind antara itrakonazol (100 mg/hari) dengan griseofulvin (500 mg/hari)
didapatkan hasil itrakonazol lebih superior dalam penyembuhan secara mikologis.
Terapi topikal kurang efektif dibandingkan terapi oral antifungi pada pengobatan
tinea pedis, dan terapi oral umumnya diberikan selama 4-8 minggu. Pada sebuah
tinjauan sistematis dari efikasi antifungi oral, terbinafin ditemukan lebih efektif
daripada griseofulvin, sementara efikasi terbinafin dan itrakonazol hampir sama.

16
Terapi antifungi, kompres Burrow (Aluminium asetat 1% atau Aluminium subasetat
5%) yang diaplikasikan selama 20 menit 2-3 kali/hari dapat membantu jika terdapat
vesikulasi atau maserasi. Dari berbagai tipe tinea pedis, tipe hiperkeratotik adalah yang
paling sulit diterapi karena adanya skuama tebal yang menyebabkan antifungi topikal
tidak efektif dan memerlukan durasi antifungi sistemik yang lebih lama. Penggunaan
agen keratolitik dan antifungi topikal bersama dengan antifungi sistemik telah
ditemukan lebih baik dalam penyembuhan klinis dan mikologi awal dan juga
menurunkan durasi antifungi sistemik sehingga kepatuhan pasien lebih baik. Infeksi
bakteri sekunder diterapi dengan antibiotik oral. Terapi tambahan lain termasuk
penggunaan talk antifungi yang membantu mencegah maserasi dan pencegahan
penggunaan alas kaki oklusif.

Tabel 3: Dosis yang direkomendasikan dari antifungi sistemik yang berbeda pada
dermatofitosis

Kondisi Obat Dosis (oral) Durasi


T. Terbinafin 250 mg sekali sehari, 3-6 mg/kgBB/hari 2-3 minggu
korporis/kruris Itraconazol 200 mg/hari 1-2 minggu
Fluconazol 150-300 mg/minggu 3-4 minggu
Gresiofulvin 500 mg/hari (10-20 mg/kgBB/hari) 2-4 minggu
(ukuran mikro) 350-375 mg/hari (5-10 mg/kgBB/hari)
(ukuran ultra-
mikro)
T. pedis Terbinafin 250 mg sekali sehari 1 minggu
(interdigital), 2
minggu (moccasin)
Itraconazol 100-200 mg/hari 2-4 minggu
Fluconazol 150 mg/minggu 4 minggu
Gresiofulvin 750-1000 mg/hari (ukuran mikro) 4-8 minggu
660-750 mg/hari (ukuran ultra-mikro)

Agen antifungi oral yang lebih baru


Literatur terbaru mengenai penggunaan antifungi sistemik untuk pengobatan
tinea kruris dan tinea korporis tidak banyak. Walaupun beberapa antifungi sistemik
baru telah disetujui dalam dua dekade terakhir tetapi kebanyakan digunakan untuk
mikosis sistemik invasif berat yang mengancam jiwa dengan bukti yang kurang untuk

17
efikasi pada mikosis superfisial. Dewasa ini, posokonazol ditemukan efektif pada
pasien dengan infeksi kuku dan kulit dermatofita ekstensif dengan penyebab mutasi
CARD9.

Terapi baru dan potensial

Selain antifungi yang telah disebutkan diatas, beberapa ekstrak tanaman (herbal
Cina) juga ditemukan efektif melawan infeksi dermatofita pada umumnya. Salah
satunya adalah makrokarpal C, bahan aktif yang diperoleh dari daun segar Eucalyptus
globulus-labill dengan efek antifungi melawan T. mentagrophytes dan T. rubrum.
Demicidin, sebuah peptida antimikroba mempunyai efek antifungi pada konsentrasi
yang normalnya terdapat dalam keringat sehingga memberikan pemahaman akan target
terapi yang lebih baru untuk infeksi dermatofita.

SITUASI KHUSUS

Granuloma Majocchi

Granuloma Majocchi adalah dermatofitosis mendalam yang terjadi ketika


terdapat infeksi jamur superfisial yang lama yang menyebabkan penyebaran progresif
ke dalam jaringan subkutan. Penyebab yang paling sering adalah T. rubrum. Kerusakan
mekanis pada kulit yang oleh trauma memungkinkan penetrasi jamur ke dalam
retikular dermis, kehancuran seluler yang dihasilkan dan menurunnya pH dermal
merupakan lingkungan yang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini umumnya
terjadi pada pejamu yang imunokompromis. Aplikasi steroid topikal menyebabkan
imunosupresi lokal dan pengembangan Granuloma Majocchi. Antifungi sistemik
seperti terbinafin dalam dosis 250 mg/hari selama 4-6 minggu, Itrakonazol 200 mg dua
kali sehari selama 1 minggu/bulan selama 2 bulan telah berhasil digunakan. Pengobatan
rejimen dengan Griseofulvin dan Itrakonazol harian dapat juga disarankan.

18
Tinea Imbrikata Dan Pseudoimbrikata

Tinea imbricata adalah infeksi jamur superfisial kronis pada kulit gundul yang
disebabkan oleh Trichophyton concentricum. Penyakit hasil dari kontak dekat dengan
spora dan filamen dari T. concentricum terutama antara ibu dan anaknya. Hal ini
menjelaskan bahwa faktor genetik, lingkungan, dan imunologi memainkan peranan
penting dalam pengembangan jamur ini infeksi. Cara penurunannya adalah pola
autosomal resesif dengan kasus minoritas dengan autosomal dominan. Kebanyakan
pasien memiliki antibodi spesifik untuk T. concentricum, sehingga menunjukkan
bahwa ada penurunan imunitas selular. Pengaruh diet, kekurangan zat besi, dan
kekurangan gizi telah dikutip sebagai faktor yang terkait. Diagnosis dengan dasar klinis
dan isolasi kultur. Penyakit ini sangat mudah kambuh. Perawatan harus melibatkan
kombinasi topikal dan agen antifungi sistemik karena terapi topikal saja tidak cukup.
Griseofulvin, golongan azol, seperti ketoconazol dan Itraconazol, telah digunakan
selama bertahun-tahun dengan keberhasilan bervariasi. Saat ini, terbinafin merupakan
pilihan terapi terbaik, dalam dosis 250 mg/hari pada orang dewasa. Baru-baru ini, telah
ada laporan lesi seperti tinea imbrikata pada pasien yang menyalahgunakan steroid
topikal. T. mentagrophytes, bukan T. concentricum yang biasanya diisolasi dari lesi ini.

Terapi Antifungi pada Imunosupresi dan Kehamilan

Sebuah subkelompok khusus dalam populasi seperti dengan infeksi HIV


biasanya hadir dengan keterlibatan yang lebih luas. Namun, karakteristik morfologi
mungkin hilang karena berkurangnya komponen lesi inflamasi terkait dengan
penekanan imunitas. Pada pasien dengan komorbiditas terkait seperti ginjal, gangguan
hati, dan harus hati-hati dengan resep antifungi sistemik. Terbinafine klirens menurun
secara signifikan pada pasien dengan gangguan ginjal, jadi dosis harus disesuaikan,
atau diberikan obat dari kelompok yang berbeda. Demikian pula, Itraconazole harus
dihindari pada pasien dengan gangguan hati. Terbinafine adalah obat kategori B pada
kehamilan. Namun, tidak ada pedoman yang jelas yang tersedia untuk mengelola

19
infeksi dermatofitac sehingga pengobatan harus disesuaikan secara individual dan
berdasar rasio risiko-manfaat.

Dermatofitosis Kronis

Dermatofitosis kronis juga telah dijelaskan dalam literatur sebagai sindrom T.


rubrum, rubrofitia persisten kronis generalis, tinea korporis generalisata dan infeksi T.
rubrum jenis-kering. Hal ini ditandai oleh keterlibatan setidaknya empat lokasi tubuh
seperti kaki (plantar), tangan (palmar), kuku, serta satu tempat lain dengan
pengecualian dari daerah inguinal dengan identifikasi T. rubrum di mikroskop dan
kultur. Dermatofitosis kronis mengacu ke persisten dermatofitosis yang mengalami
proses kronis dengan episode remisi dan eksaserbasi. Kronisitas dapat
dipertimbangkan dalam hal durasi dan kekambuhan infeksi meskipun ada definisi
standar untuk kronisitas. Munculnya dapat dikaitkan dengan berbagai agen patogen,
pejamu dan faktor farmakologis. Saat ini, tidak ada pedoman pada manajemen
dermatofitosis kronis, meskipun ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa
resistensi antifungi jarang terjadi pada tinea kapitis, data tersebut masih kurang untuk
tinea kruris dan korporis. Ini juga harus dilihat sehubungan dengan skenario klinis yang
saat ini berlaku di India di mana ada peingkatan tren nonresponsive dermatofitosis
kulit. Studi yang lebih rinci pada patogenesis dan pengelolaan dermatofitosi
kronis/berulang di luar lingkup naskah ini.

KESIMPULAN

Pengobatan dermatofitosis kulit menjadi semakin sulit, dan dokter spesialis


kulit telah dipaksa untuk berpikir melampaui kebijaksanaan konvensional untuk
melawan ancaman ini. Meskipun ada bukti yang cukup untuk menunjukkan
kemanjuran topikal antifungi pada penyakit yang terbatas, namun, kekurangan data
tentang frekuensi kambuh pada monoterapi topikal yang telah dihentikan. Di antara
berbagai pilihan, terbinafin topikal selama 4 minggu tampaknya menjadi terapi pilihan
untuk penyakit yang terbatas (tinea korporis / kruris / pedis). Untuk penyakit yang lebih

20
luas, pilihan menajdi kurang jelas. Terbinafin (250-500 mg / hari untuk 2-6 minggu)
maupun itrakonazol (100-200 mg / hari selama 2-4 minggu) tampaknya efektif.
Namun, dosis yang tepat dan durasi pemberian yang dapat menghasilkan penyembuhan
mikologis dan mencegah kekambuhan tetap sulit dipahami. Ulasan ini juga menyoroti
kesenjangan penelitian yang besar dalam manajemen dermatofitosis kulit yang perlu
didalami untuk memberikan perawatan yang lebih baik dan efektif untuk pasien. RCT
yang lebih ketat untuk membandingkan kebutuhan berbagai terapi antifungi oral untuk
memberikan ide yang jelas mengenai dosis dan durasi terapi yang tepat.

21

Вам также может понравиться