Вы находитесь на странице: 1из 9

KONSEP GADAI SYARIAH (AR-RAHN) DALAM

PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM DAN


FIQH MUAMALAH
http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/konsep-gadai-syariah-ar-rahn-dalam-
perspektif-ekonomi-islam-dan-fiqh-muamalah/

Posted: 24/01/2011 by muhamad mujahidin in Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah


Tag:ekonomi syariah, fiqh muamalah, gadai, gadai syariah, pegadaian, pegadaian syariah, rahn
0

I. LATAR BELKANG MASALAH

Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang asing lagi. Bahkan lembaga ini
menjadi sangat populer dikalangan masyarakat (khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran
tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga
mereka menjelang bulan syawal.

Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai jaminan
atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara dikampung dengan kerinduan
yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk
oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan
selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab tersebut.

Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan
motto mengatasi masalah tanpa masalah-nya, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan
dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam
prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada syariat
islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini
dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana
pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat
waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi
dua kali lipat dari kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut
serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan
salah satu pihak.

Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak
dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan uintuk membayar,maka di sinilah
masalah letak permasalahan itu muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah
dikemukakan di atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk
menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas
ketidak syarian atas praktek pegadaian saat ini.

II. POKOK-POKOK PERMASALAHAN


Dengan melihat latar belakang di atas maka yang akan menjadi pokok-poko permasalahan yang
akan dibahas dalamn esai ini adalah

1. Apa definisi dari gadai menurut konvensional dan syariat Islam?

2. apa yang menjadi dasar hukum gadai konvensional dan syariah?

3. Bagaimana pandangan syariat Islam terhadap gadai?

III. ANALISIS

A. Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah

1. Pengertian Gadai Konvensional

Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut
diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang
lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah
diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi
kewajibannya pada saat jatuh tempo.

Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang
atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan
barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat
jatuh tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di
Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan
berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.[1]
2. Pengertian Gadai Syariah

Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-
dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[2] Sedangkan
definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam
pandangan syara untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh
atau sebagaian utang dari benda itu.[3]

Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas
suatu manfaat barang yang diagunkan.[4] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan
rahn sebagai harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat,
ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan suatu barang sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagiannya. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad
yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang
apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[5]

Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat
Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn
sebagai: menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat
dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar. Sedangkan menurut Ahmad Baraja,
rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan
bisnis, jual beli mitra.[6]

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu
benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang
berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. [7]

Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang
dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai
jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[8]

B. Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah

1. Landasan Hukum Gadai Konvensional

Pada awalnya lembaga pegadaian pertamakali didirikan pada tanggal 1 April 1901. Tetapi seiring
dengan perkembangan zaman, pegadaian beberapakali berubah status mulai sebagai Perusahaan
Jawatan (1901), Perusahaan di bawah IBW (1928),Perusahaan Negara (1960),dan kembali ke
perusahan jawatan 1969. baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April
1990, sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai Perusahaan
Umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep. Keuangan RI. hingga
sekarang.Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa sifat usaha
pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan isi pasal 7,dijabarkan:(1)
Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui
penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan masyarakat dari gadai
gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.[9]

2. Landasan Hukum Gadai Syariah

Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada
al-Quran (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.[10]

Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[11]
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi
yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad
rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai
(marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni
harga, dan sifat akad rahn.[12] Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang
dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima
gadai (marhun) atau yang mewakilinya.[13]

Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan
akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn. Sedangkan mengenai
saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Quran dan al-Sunah serta ijma ulama tidak
menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk
menggunakan akad rahn.

Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab Maliki
beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam
jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan
tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada
harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak
boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang
berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang
diartikan mereka sebagai salam.[14]

Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn
dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada
perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.

Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada
murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar
benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan
kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal
pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat
berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak
yang menggadai.

C. Solusi Mekanisme Operasional Pegadaian dengan Penerapan berdasarkan Prinsip


Syariah

Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh merupakan suatu hal yang
ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal ( pemerintah) tidak bisa memperoleh
pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga
pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga ( memungut bunga
dari pinjman pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan
tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan
bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.
Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut bersifat kecil, namun jika uang
yang dipinjamkan tersebut sangat besar jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi
nasabah.Persoalan ini cukup kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat
tidak adil. Karena pihak penerima gadai yang saat ini bestatus lembaga pegadaian, akan merasa
dirugikan jika dalam operasional usahanya tidak mendapay keuntungan yang akan menunjang
kegiatan usahanya. Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga
setiap 15 harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.

Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima gadai. Selain itu hal yang menjadi
sangat pokok dalam persoalan ini adalah penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas
dilarang oleh syara.Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa
dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap eksis dalam
menjalankan mottonya mengatasi masalah tanpa masalah.

1. Kategori Barang Gadai

Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang
dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dab tak bergerak, sehingga
barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat:

(1) Merupakan benda bernilai menurut hukum syara

(2) Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi

(3) Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.

2. Pemeliharaan Barang Gadai

Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan barang gadai. Ulama Syafiiah dan
Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai
karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama
Hanafiah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima
gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam
kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut
menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka oleh maka biaya pemeliharaan jatuh pada murtahin.

Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin
maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan.
Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin
kepada murtahin. Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).
[15]Resiko Atas Kerusakan Menurut para ulama Syafiiah dan Hanabilah berpendapat bahwa
murtahin tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan
ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga
barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai
barang tersebut rusak.

Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau Pelunasan Hutang GadaiApabila
sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin
boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus
utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan
dikembalikan kepada rahin.Prosedur Pelelangan GadaiJika ada persyaratan akan menjual barang
gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:[16]

(1) Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin

(2) Dapat memeperpanjang tenggang waktu pemabayaran

(3) Kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain
dengan izin rahin

(4) Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan
kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.

3. Pembentukan Laba Pegadaian

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari
segi kaca mata syariah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga
pegadaian tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini
diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan
terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:

(1) Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn

(2) Melakukan transaksi gadai dengan akad Bai al Muqoyyadah

(3) Melakukan Akad al Mudharabah.

(4) Melakukan dengan akad Qardhul Hasan

Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna mengeliminir praktek riba dalam pegadaian
konvensional. Danjuga sebagai solusi atas persoalan yang terdapat dalampegadaian saat sekarang
ini, sehingga diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai
lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.[17]

III. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan sekaligus penutup esai ini adalah:

1. Pengertian gadai menurut konvensional adalah gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh
orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang
sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu
melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.sedangkan gadai menurut syariat adalah menjadikan
suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara untuk kepercayaan suatu
utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.

2. yang menjadi dasar hukum gadai konvensional adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun
1969 pasal 6 dan pasal 7, sedangkan dasar hukum gadai syariah adalah al-Quran (2): 283 yang
menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah
Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai
jaminan.

3. Dalam pandangan Islam bahwa pegadaian diperbolehkan oleh syariat. Dan tentunya harus
sesuai dengan yang digariskan dalamAl-Quran dan As-Sunnah. Seterusnya, bukan tidak
mungkin bahwa segala sesuatu yang bersifat konvensional yang ternyata banyak menyimpan
persoalan dapat dijawab dengan menerapkan prinsip-prinsip syariah. Bunga bukanlah satu-
satunya jalan yang tepat untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi dengan memberdayakan akad-
akad syariah pendapatan atau laba pun dapat diperoleh dan tentunya hasil yang didapatkan pun
bersih dan halal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Ghafur Ansori,. Gadai Sariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2005.

2. Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Bandung : CV. Diponegoro, 2003.

3. Ghufran Sofiyanah, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN


Anggota IKAPI, 2005.

4. Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini,
1991.

5. Imam alama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.

6. Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tisah (CD).


7. Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.

8. Muhammad Syafii Antonio, Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam
Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, 1997.

9. Prof. DR. H. Racmat Syafeei, M.A.. Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia,
2001.

10. Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Saeed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo,
translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985.

11. Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat, 1999.

12. Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.

[1] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat, 1999. hal.
132

[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hal. 187.

[3] Ibid., hal 187.

[4] Imam alama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999, hal. 347.

[5] Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996, hal.1480.

[6]Muhammad Sholikul Hadi. Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.

[7] Dr. Muhammad Firdaus NH, dkk. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta :
RENAISAN Anggota IKAPI, 2005.

[8]Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press Anggota IKAPI, 2005.

[9] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat, 1999. hal.
156

[10] Al-Quran surat al-Baqarah, ayat 283 yang dapat diartikan sebagai berikut: Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
[11] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tisah (CD).

[12] Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini,
1991, hal. 351.

[13] Sayyid Sabiq, op.cit., hal, 188.

[14] Ibn Rusdy, op.cit., hal, 351.

[15] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.17

[16] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.85

[17] Muhammad Syafii Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam
Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI.

Вам также может понравиться