Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mangrove (Bakau) adalah jenis pohon yang tumbuh di daerah perairan dangkal dan
daerah intertidal yaitu daerah batas antara darat dan laut dimana pengaruh pasang surut masih
terjadi. Zona intertidal adalah zona littoral yang secara reguler terkena pasang surut air laut,
tingginya adalah dari pasang tertinggi hingga pasang terendah. Didalam wilayah intertidal
terbentuk banyak tebing-tebing, cerukan, dan gua, yang merupakan habitat yang sangat
mengakomodasi organisme sedimenter. Morfologi di zona intertidal ini mencakup tebing
berbatu, pantai pasir, dan tanah basah / wetlands. Hutan mangrove atau disebut juga hutan bakau
adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan
dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat dimana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari
gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan
lumpur yang dibawa dari hulu.

Mangrove berkembang di habitat dengan ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Bengen
(2001), sebagai berikut :
1. Tumbuh pada daerah intertidal yang tanahnya berlumpur atau berpasir.
2. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang
berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur.
3. Terkena gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Pada aiir payau dengan salinitas
2-22 ppm atau asin dengan salinitas mencapai 33 ppm.

Lingkungan salin terutama menyebabkan dua bentuk cekaman (stress) pada tumbuhan,
yaitu cekaman osmotik (osmotic stress) dan cekaman keracunan (toxicity stress), (Jacoby, 1999).
Poljakoff-Mayber dan Lerner (1999) menyatakan bahwa selain menyebabkan kedua hal di atas,
juga akan mengalami cekaman sedikit oksigen (low oxygen pressure strees). Cekaman oksigen
yang dialami akar tumbuhan mangrove terjadi karena tanahnya secara periodik digenangi oleh
pasang air laut. Selain kondisi lingkungan tersebut, sebagian besar hutan mangrove tumbuh baik
di daerah tropis yang memiliki radiasi sinar matahari dan suhu yang umumnya tinggi. Sehingga
tumbuhan mangrove juga mengalami cekaman radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.

1
Pada dasarnya berbagai kondisi lingkungan ekstrim yang meliputi lingkungan salin,
tanah jenuh air, kurangnya oksigen dan radiasi sinar matahari serta suhu yang tinggi akan
menyebabkan terganggunya metabolisme tumbuhan, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
rendahnya produktivitas atau laju pertumbuhan tumbuhan mangrove. Namun, hutan mangrove
dapat tumbuh baik pada kondisi tersebut karena mampu beradaptasi dengan berbagai cara.
Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup,
seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi
fisiologis seperti mekanisme vivipary (Kalesaran, 2011).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja komposisi organisme yang ada pada ekosistem mangrove?
2. Bagaimanakah cara adaptasi anatomi, morfologi dan fisiologis tumbuhan mangrove
pada lingkungan yang ekstrim?
3. Bagaimanakah cara adaptasi morfologi, fisiologi, dan tingkah laku organisme kelas
Bivalvia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui komposisi organisme yang ada pada ekosistem mangrove.
2. Untuk mengetahui cara adaptasi anatomi, morfologi dan fisiologis tumbuhan mangrove
pada lingkungan yang ekstrim.
3. Untuk mengetahui cara adaptasi morfologi, fisiologi, dan tingkah laku organisme kelas
Bivalvia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Komposisi Organisme pada Ekosistem Mangrove

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan
habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah
perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan
nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total
nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada
bagian arah daratan (Kusmana, 2002).

Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta
mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena
mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan
mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur
biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini
memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya
terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).

Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik
menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:

Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;

Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang
pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada
Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;

Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada
Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.

Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

3
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:

Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat
pasang pertama;

Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;

Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya
berkadar garam (bersalinitas) payau (2 22 /oo) hingga asin.

Vegetasi Hutan Mangrove

Soerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan batasan hutan mangrove
sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang
dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia,
Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus,
Scyphyphora dan Nypa. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi.
Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih
kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove
Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu,
9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.

Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni:

1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan
kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara
dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk
adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai
mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.

4
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni,
sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh :
Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon,
Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan
lain-lain.

Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari
pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan
ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa
berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks
(beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa
faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :

1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan
salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan
terhadap anakan.

2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air
dan drainase

3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam
serta pasokan dan aliran air tawar.

4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti
Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.

5. Pasokan dan aliran air tawar

5
Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi mangrove, yaitu :

Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur horizontal
formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia sp),
diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Rhizophora apiculata, selanjutnya
komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora
Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di
belakang komunitas campuran yang terakhir.

Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara
dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran
Rhizophora Bruguiera dan diakhiri komunitas murni N. fructicans.

Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan dari pada air laut, dan
berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak
berasosiasi dengan komunitas daratan.

Jenis-jenis mangrove memiliki tuntutan dan siklus hidup yang berbeda, sehingga
komposisi mangrove juga berbeda dari suatu tempat ke tempat lai. Hal ini disebabkan karena
keberadaan komunitas hutan mangrove sangat bergantung pada faktor-faktor ekologisnya.
Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove
di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4
zonasi yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api Prepat (Avicennia Sonneratia)

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak
lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam
agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat
(Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora spp).

6
Avicennia sp

2. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek
(dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa tempat dijumpai
berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp )

Rhizophora mucronata.

3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan
berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang
(Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

7
Bruguiera parviflora Bruguiera sp

Bruguiera cylindrica

4. Zona Nipah (Nypa fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air
dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang
dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada
umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya.

Nypa fruticans

8
Fauna Aquatik Penghuni Hutan Mangrove

Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung, memijah dan
pembesaran bagi berbagai jenis binatang air seperti ikan dan udang. Hutan mangrove juga
menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis binatang darat, seperti burung air dan kalong.
Bahkan banyak burung pengembara yang datang dari daratan atau daerah lainnya yang
memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat persinggahan dan mencari makan.

Selain itu sebagai tempat hidup bagi satwa-satwa yang dilindungi. Jenis ikan yang
memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagi tempat berlindung adalah ikan kakap putih
(Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil sp.), udang windu (Panaeus
monodon), udang putih (P. Merguensis atau P. indicus), udang galah atau udang satang
(Macrobrachium rosenbergii), dan kepiting (Scylla serrata). Kondisi perairan yang tenang serta
terlindung dengan berbagai macam tumbuhan dan bahan makanan menyebabkan perairan hutan
mangrove menjadi tempat yang sangat baik untuk berkembang biak bagi berbagai satwa.

Lates calcarifer Chanos chanos

Mugil sp.

9
Terkait dengan sifat fauna yang pada umumnya sangat dinamis, maka batasan zonasi
yang terjadi pada fauna penghuni mangrove kurang begitu jelas. Penyebaran fauna penghuni
hutan mangrove memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran secara vertikal dan secara
horisontal. Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh jenis fauna yang hidupnya
menempel atau melekat pada akar, cabang maupun batang pohon mangrove, misalnya jenis
Liftorina scabra, Nerita albicilla, Menetaria annulus dan Melongena galeodes (Budiman dan
Darnaedi, 1984; Soemodihardjo, 1977).

Nerita albicilla Menetaria annulus

Sedangkan penyebaran secara horizontal biasanya ditemukan pada jenis fauna yang hidup
pada substrat, baik itu yang tergolong infauna, yaitu fauna yang hidup dalam lubang atau dalam
substrat, maupun yang tergolong epifauna, yaitu fauna yang hidup bebas di atas substrat.
Distribusi fauna secara horisontal pada areal hutan mangrove yang sangat luas, biasanya
memperlihatkan pola permintakatan jenis fauna yang dominan dan sejajar dengan garis pantai.
Permintakatan yang terjadi di daerah ini sangat erat kaitannya dengan perubahan sifat ekologi
yang sangat ekstrim yang terjadi dari laut ke darat. Kartawinata dan Soemodihardjo (1977)
menyatakan bahwa permintakatan fauna hanya terlihat pada hutan mangrove sangat luas, tetapi
tidak terlihat pada hutan mangrove yang ketebalannya sangat rendah.

Secara ekologis, jenis moluska penghuni mangrove memiliki peranan yang besar dalam
kaitannya dengan rantai makanan di kawasan mangrove, karena disamping sebagai pemangsa
detritus, moluska juga berperan dalam merobek atau memperkecil serasah yang baru jatuh.
Perilaku moluska jenis Telebraria palustris dan beberapa moluska lainnya dalam memecah atau
menghancurkan serasah mangrove untuk dimakan, namun disisi lain sangat besar artinya dalam

10
mempercepat proses dekomposisi serasah yang dilakukan mikrorganime akan lebih cepat.
Disamping membantu dalam proses dekomposisi, beberapa fauna kepiting juga membantu
dalam penyebaran seedling dengan cara menarik propagul kedalam lubang tempat
persembunyiannya ataupun pada tempat yang berair. Aktifitas kepiting ini dampaknya sangat
baik dalam kaitannya dengan distribusi dan kontribusi pertumbuhan dari seedling mangrove dari
jenis Rhizophora sp, Bruguiera sp. dan Ceriops sp., terutama pada daerah yang sudah atau mulai
terjadi konversi hutan mangrove.

Dari fauna Gastropoda penghuni mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat luas
adalah Littorina scabra, Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium patalum. Sedangkan jenis
yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang sangat ekstrim adalah
Littorina scabra, Crassostrea cacullata dan Enigmonia aenigmatica (Budiman dan Darnaedi,
1984). Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak Gastropoda penghuni hutan mangrove
tersebut beberapa diantaranya dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi masyarakat sekitar
mangrove, antara lain adalah jenis Terebralia palustris dan Telescopium telescopium. Sedangkan
kelas Bivalvia yang dikonsumsi masyarakat adalah jenis Polymesoda coaxans, Anadara
antiquata dan Ostrea cucullata.

Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem hutan mangrove umumnya didominasi
oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat dikategorikan sebagai golongan infauna, sedangkan
beberapa jenis udang (Macrura) yang ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian besar
hanya sebagai penghuni sementara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai tempat
menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun utama fauna Crustacea hutan
mangrove (Soemodihardjo, 1977; Budiman dkk., 1977).

11
Brachyura

Jenis Thalassina anomala merupakan jenis udang lumpur sebagai penghuni setia hutan
mangrove, karena udang ini hidup dengan cara membuat lubang dan mencari makan hanya
disekitar sarang tersebut.

Thalassina anomala

Sedangkan pada hutan mangrove bersubstrat lumpur agak pejal, umumnya didominasi
Uca dusumeri. Jenis lain yang muncul pada substrat tersebut adalah Uca lactea, U. vocans, U.
signatus dan U. consobrinus. Diantara kepiting mangrove yang mempunyai nilai ekonomis dan
dikonsumsi masyarakat adalah Scylla serrata, S. olivacea, Portunus pelagicus, Epixanthus
dentatus dan Labnanium politum.

Scylla serrate

B. Adaptasi Tumbuhan pada Ekosistem Mangrove

12
Adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk
bertahan hidup. Organisme yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup, sedangkan yang
tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis. Spesies mangrove
berhasil tumbuh di lingkungan air laut karena memiliki beberapa bentuk adaptasi khas. Adaptasi ini
umumnya terkait dengan upaya untuk bertahan dalam kondisi salin, bertahan dalam tanah lumpur
anaerob dan tidak stabil, radiasi matahari, suhu yang tinggi serta untuk perkembangbiakan.

1. Adaptasi Terhadap Salinitas


Ada tiga mekanisme yang dilakukan oleh tumbuhan mangrove untuk bertahan
terhadap kelebihan garam dari lingkungannya yaitu :

a. Mensekresi garam (salt-secretors).


Jenis mangrove ini menyerap air dengan kadar salinitas tinggi kemudian
mengeluarkan atau mensekresikan garam tersebut keluar dari pohon. Secara khusus
pohon mangrove yang dapat mensekresikan garam memiliki salt glands di daun yang
memungkinkan untuk mensekresi cairan Na+ dan Cl-. Beberapa contoh mangrove yang
dapat mensekresikan garam adalah : Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia,
Acanthus dan Laguncularia.

13
Gambar 1. Salt Gland/Kelenjar pengeluaran garam pada daun mangrove
Berikut ini adalah beberapa gambar struktur anatomi daun tumbuhan mangrove yang
memiliki kelenjar garam :

Gambar 2. Kelenjar Garam

Pada gambar menunjukkan bahwa gambar (a) penampang melintang kelenjar garam
pada daun Limonium Gmelini . Secara relatif kelenjar terdiri dari 16 sel kelenjar, di
mana pada simplas kontak via 4 sel pengumpul dengan sel mesofil mengandung
kloroplas. Sel-sel kelenjar di permukaan daun tertutup oleh lapisan lilin (terlihat
berwarna hitam) dan hanya terbuka pada tempat khusus, yaitu pori (p). Gambar (b)
diagram melintang dari rambut kandung kemih (bladder hair) pada daun Atriplex
spongiosa. (c,d) Aegiceras corniculatum, (e,f) Acanthus Ilicifolius, dan (g,h) Avicennia
marina (Tomlinson, 1986)

b. Tidak dapat mensekresi garam (salt-excluders).


Jenis mangrove ini menyerap air dengan menggunakan akarnya tetapi tidak
mengikutsertakan garam dalam penyerapan tersebut. Mekanisme ini dapat terjadi karena

14
mangrove jenis ini memiliki ultra filter di akarnya sehingga air dapat diserap dan garam
dapat dicegah masuk ke dalam jaringan. Beberapa contoh mangrove yang dapat
melakukan mekanisme ini adalah: Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia,
Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegialitis, Acrostichum, Lumnitzera,
Hibiscus, Eugenia.

c. Mengakumulasi garam (accumulators)


Mangrove memiliki mekanisme untuk mengakumulasi garam di dalam jaringannya.
Jaringan yang dapat mengakumulasi cairan garam terdapat di akar, kulit pohon dan daun
yang tua. Daun yang dapat mengakumulasi garam adalah daun yang sukulen yaitu
memiliki jaringan yang banyak mengandung air dan kelebihan garam dikeluarkan
melalui jaringan metabolik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa daun yang jatuh
dari pohon diduga merupakan suatu mekanisme untuk mengeluarkan kelebihan garam
dari pohon yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Garam yang
terdapat di dalam pohon mangrove dapat mempengaruhi enzim metabolik dan proses
fotosintesis, respirasi dan sintesa protein.

Konsentrasi garam yang tinggi tersebut dapat menghambat ribulose difosfat


karboksilase suatu enzim dalam proses karboksilase. Beberapa jenis mangrove yang
memiliki mekanisme dapat mengakumulasi garam adalah : Xylocarpus, Excoecaria,
Osbornia, Ceriops, Bruguiera.

2. Adaptasi Terhadap Kondisi Anaerob


Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut,
asin dan kekurangan oksigen. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka beberapa
tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus yaitu pneumatofora (akar napas). Akar di
atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak
lubang-lubang kecil di kulit kayu sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem
akar di bawah tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di tanah
lumpur yang lembut.

Pneumatofora (akar napas) adalah akar tegak yang dapat merupakan alat tambahan
dari atas batang atau pemanjangan sistem akar di bawah tanah. Akar ini, sebagian atau
seluruhnya, tergenang dan terpapar setiap hari, sesuai dengan pola aliran pasang surut.

15
Pada saat terpapar, akar dapat menyerap oksigen. Lumpur mangrove bersifat anaerob
(miskin oksigen) dan tidak stabil. Tumbuhan mangrove dapat memiliki bentuk akar yang
berbeda untuk beradaptasi dengan kondisi ini. Akar horizontal yang menyebar luas, dimana
pneumatofora tumbuh vertikal ke atas merupakan jangkar untuk mengait pada lumpur yang
labil. Sistem perakaran di bawah tanah dapat lebih besar dibandingkan sistem perakaran di
atas tanah. Terdapat 4 (empat) tipe pneumatofora, yaitu:

a. Akar penyangga
Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal batang
untuk menyangga batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan
menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat ke atas hingga tidak lagi
menyentuh tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal
yang luas untuk mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu
aerasi pada saat laut surut.

Gambar 3. Akar penyangga pada Rhizophora

b. Akar pasak
Pada Avicennia dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar
horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau
pasak dan umumnya hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada Sonneratia tumbuh
lebih lambat namun dapat membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan setinggi
50 cm. Pada ekosistem alami mangrove di teluk Botany, Sidney masih dapat dijumpai
pohon Avicennia marina yang memiliki pneumatofora setinggi lebih dari 28 m,
meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar 4 m.

16
Gambar 4. Akar pasak pada Avicennia
c. Akar lutut
Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan
tanah, dan secara teratur tumbuh vertikal ke atas kemudian kembali tumbuh ke bawah,
sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk.Setiap akar horizontal dapat membentuk
rangkaian lutut dengan jarak teratur secara berulang-ulang. Bagian di atas tanah (lutut)
membantu aerasi dan karena tersebar sangat luas dapat menjadi tempat bertahan di
lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera membentuk akar lutut kecil yang bentuknya
merupakan kombinasi antar akar lutut dan akar pasak.

Gambar 5. Akar lutut pada Bruguiera

d. Akar papan
Pada Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas,
sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk mulai dari
pangkal batang. Akar ini juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak dan
bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal memudahkan aerasi dan tersebarnya akar
secara luas membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil.

17
Gambar 6. Akar papan pada Xylocarpus granatum
Struktur Anatomi Pneumatophora
Menurut Purnobasuki (2013), pada penampang lintang pneumatophora secara jelas
menunjukkan bahwa struktur dari ruang udara tersusun dari sel-sel yang
berdiferensiasi membentuk struktur memanjang dan berlekuk (sel lengan) dan sel-sel
membulat (sel silinder). Secara terintegrasi sel lengan dan sel silinder membentuk
semua ruang-ruang udara yang terbentuk dalam korteks pneumatophore. Intensitas
warna pada sel lengan tampak lebih gelap dibandingkan sel silinder. Secara umum
dari gambar terlihat kumpulan ruang udara pada pneumatophore Sonneratia alba
menyerupai bentuk jaringan spons atau broad lacunose cortex.

Gambar 7. Jaringan korteks dewasa pneumatophore Sonneratia alba yang telah dipenuhi
ruang udara (aerenchyma). Penyusun masing-masing ruang udara terdiri dari sel lengan
(bentuk memanjang dan berlekuk, intensitas warna lebih gelap) dan sel silinder (bentuk
bulat dan tidak terwarnai)

18
3. Adaptasi Terhadap Sinar Matahari dan Suhu Udara Tinggi
Hampir semua jenis mangrove, daun-daunnya mempunyai sejumlah kenampakan
anatomi yang membatasi hilangnya uap air. Hal ini mencakup kutikula yang tebal, lapisan
lilin, dan stomata yang tersembunyi, yang semuanya terdapat pada permukaan abaksial
pada beberapa jenis mangrove, seperti Sonneratia sp., Osbornia sp., Lumnitzera sp., dan
laguncularia sp. (Macnae, 1986 dalam Sukardjo, 1996). Anatomi daun mangrove tersebut
merupakan adaptasi terhadap kondisi lingkungan mangrove yang memiliki radiasi sinar
matahari dan suhu udara tinggi,
Keunikan daun mangrove sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang biasanya
mempunyai radiasi sinar matahari yang tinggi terlihat pada daun-daun yang posisinya
terbuka pada tajuk teratas secara tajam condong, kadang-kadang posisinya mendekati
vertikal, sedangkan daun yang ternaungi yang berada jauh di antara tajuk, cenderung
posisinya horizontal. Akibatnya radiasi sinar matahari terseleksi sepanjang permukaan
fotosintetik luas, sementara pemasukan panas perunit luas daun dan suhu menjadi
berkurang (Onrizal, 2005)
Lingkungan tempat tumbuh mangrove yang memiliki radiasi sinar matahari dan suhu
udara yang umumnya tinggi mendorong laju transpirasi yang tinggi pula, namun pada
kenyataannya mangrove memiliki laju traspirasi yang rendah yang disebabkan oleh
adaptasi anatomi daunnya. Berdasarkan hasil pengukuran Scholander et al. (1962) dalam
Tomlinson (1986) diketahui bahwa laju transpirasi vegetasi mangrove, yakni sebesar 1,5
7,5 mg/dm2/mnt secara nyata lebih rendah dibandingkan laju transpitasi vegetasi daratan,
yakni sebesar 10 55 mm/dm 2/mnt (Onrizal, 2005).

C. Adaptasi Organisme Kelas Bivalvia pada Ekosistem Mangrove


Adaptasi yang dilakukan oleh kerang di daerah mangrove seperti Polymesoda erosa,
P.coaxans dan jenis lainnya biasanya meliputi adaptasi morfologi, fisilogi, dan tingkah laku.
Sebagai contoh, Polymesoda coaxans seperti halnya hewan dari kelas Bivalvia lainnya
mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena memiliki kemampuan untuk mencegah
kehilangan air. Kerang akan menutup rapat cangkangnya yang kedap air, sehingga air tidak
keluar dari tubuhnya (Muslih, 2008). Kerang ini juga mempunyai kemampuan untuk

19
membenamkan diri ke dalam substrat sebagai upaya mengindarkan diri dari predator dan untuk
mencari tempat yang lebih lembab.

Menurut Nybakken et al (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis kerang, seperti Donax sp.
dan Mytilus edulis, mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena mempunyai
kemampuan untuk mencegah kehilangan air dengan cara membenamkan diri. P. coaxans yang
hidup pada tempat terbuka memiliki ukuran lebar dan tebal cangkang yang lebih besar
dibandingkan dengan P. coaxans yang hidup pada tempat tertutup, dari hal tersebut dapat
diasumsikan semakin besar dan tebal ukuran cangkang maka kemungkinan untuk dimangsa
predatornya rendah.

1. Adaptasi terhadap suhu


Temperatur perairan merupakan salah satu faktor abiotik yang mempunyai peranan
penting dalam kehidupan dan pertumbuhan, sebab temperatur berperan langsung dalam
aktivitas dan proses metabolisme bivalvia (Manzi dan Castagna, 1989; Bayne, 1976).
Ironisnya temperatur berbanding terbalik dengan kelarutan oksigen dalam air, padahal
meningkatnya temperatur akan meningkatkan aktivitas metabolisme dan konsekuensinya
akan meningkatkan kebutuhan oksigen. Proses perubahan temperatur juga berpengaruh
terhadap proses fisika dan kimia badan air. Temperatur juga sangat berperan dalam
mengendalikan kondisi ekosistem perairan.

Menurut Suprapto (2011) reaksi dari perubahan tingkat metabolisme bivalvia ini
menyebabkan respirasi meningkat dan energi yang dikeluarkan turut meningkat. Bivalvia
akan meningkatkan filtrasi atau konsumsi makannya untuk mengimbangi energi yang
hilang dan untuk mengantisipasi keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari
perubahan temperatur yang ekstrim. Jadi angka kecepatan filtrasi ikut dipengaruhi pula
oleh kondisi temperatur lingkungannya. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa
temperatur dalam batasan normal tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap laju
filtrasi. Pada temperatur rendah, misalnya 5C bivalvia memiliki laju filtrasi 1,64 l/jam,
sementara pada temperatur tinggi (28C) laju filtrasinya sebesar 5,82 l/jam. Pada akhirnya
peningkatan temperatur menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme air yang selanjutnya akan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.

2. Adaptasi saat kekurangan oksigen keadaan anaerobiosis

20
Anaerobiosis sering terjadi saat suasana pasang surut yang akan mengakibatkan naik
turunnya permukaan laut. Pada waktu surut, kelompok bivalvia tertentu akan terekspos ke
udara terbuka dan harus menyesuaikan diri karena tidak adanya makanan maupun
oksigen. Menurut Suprapto (2011) jika dalam kondisi ini maka akan memaksa bivalvia
menyediakan energinya dengan mengoksidasi secara enzimatis persediaan makanan yang
berupa jaringan tubuhnya. Proses perombakan jaringan akan diawali dengan membakar
karbohidrat, lemak, dan diakhiri dengan protein. Dengan demikian, bivalvia masih bisa
bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu dan apabila bivalvia telah mengoksidasi
protein, maka periode ini sudah ada pada tahapan yang berbahaya, karena dapat
menyebabkan mortalitas atau kematian.

Kondisi anaerobiosis dapat juga terangsang oleh adanya fluktuasi ekstrim temperatur,
salinitas, serta ketersediaan oksigen. Pada kerang Polymesoda cozxans dan bivalvia
lainnya aktifitas yang akan dilakukan adalah dengan menutup cangkang agar tidak terjadi
dehidrasi. Hal ini setara dengan pernyataan Suprapto (2011) dimana pada kondisi ini
kedua cangkangnya akan menutup rapat-rapat sehingga metabolisme didalam
menyediakan energi dilaksanakan dengan kondisi anaerob, karena insang (branchie) tidak
berfungsi sehingga oksigen tidak dapat masuk ke dalam tubuh. Dalam suasana
anaerobiosis, tingkat metabolisme akan menurun drastis. Demikian juga tingkat proses
penyediaan energi, seperti pencernaan, penyerapan makanan, aktivitas otot, serta
pertumbuhan. Dengan kondisi ini dapat pula terjadi suatu proses yang disebut konservasi
energi.

Menurut Bayne et al. (1976) untuk perubahan temperatur yang sangat ekstrim,
menyebabkan terjadinya metabolisme anaerobik secara cepat. Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya mortalitas masif, karena akibat produk sampingan dari
metabolisme anaerobik akan terbentuk senyawa genotoxic yang akan menyebabkan
terjadinya kerusakan kromosom, terutama pada sel-sel insang.

21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ekosistem mangrove merupakan
ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna serta menyediakan keanekaragaman
hayati (biodiversity), sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan
sistem kehidupan di sekitarnya. flora mangrove dibagi menjadi tiga kelompok, yakni : Flora
mangrove mayor, Flora mangrove minor dan Asosiasi mangrove. Dan pada umumnya
mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan
menjadi 4 zonasi yaitu Zona Api-api Prepat (Avicennia Sonneratia), Zona Bakau
(Rhizophora), Zona Tanjang (Bruguiera), Zona Nipah (Nypa fruticans).
Fauna Aquatik Penghuni Hutan Mangrove memanfaatkan hutan mangrove sebagai
tempat mencari makan, berlindung, memijah dan pembesaran bagi berbagai jenis binatang
air seperti ikan dan udang. Jenis ikan yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagi
tempat berlindung adalah ikan kakap putih (Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos),
belanak (Mugil sp.), udang windu (Panaeus monodon), udang putih (P. Merguensis atau P.
indicus), udang galah atau udang satang (Macrobrachium rosenbergii), dan kepiting (Scylla
serrata).
Organisme yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup, sedangkan yang tidak
mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis. Spesies mangrove
berhasil tumbuh di lingkungan air laut karena memiliki beberapa bentuk adaptasi khas.
Adaptasi ini umumnya terkait dengan upaya untuk bertahan dalam kondisi salin, bertahan
dalam tanah lumpur anaerob dan tidak stabil, radiasi matahari, suhu yang tinggi serta
untuk perkembangbiakan.

22

Вам также может понравиться