Вы находитесь на странице: 1из 2

Keraifan lokal merupakan kebudayaan yang tertanam dalam masyarakat yang secara turun-

temurun diturunkan oleh nenek moyang kita. Namun dengan semakin berkembangnya zaman
yang semakin maju, nilai- nilai tersebut sudah hampir habis digerus oleh arus modernisasi. Hal
itu disebabkan karena banyaknya orang yang beranggapan bahwa nilai kebudayaan yang
didapatkannya atau yang berada dalam masyarakat, dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan
zaman. Mereka yang beranggapan jika masih mempertahankan nilai budaya, mereka dianggap
sebagai orang primitive yang tidak mau menerima kemajuan teknologi. Namun hal itu, tidak
semua orang melupakan nilai yang telah diajarkan oleh leluhur, masih asa sebagian orang yang
mempertahankanya. Nilai kearifan local Sunda terutamanya, masih ada wilayah-wilayah tertentu
misalnya: di daerah Baduy, Sukabumi, kampung Naga,

Nilai kearifan lokal yang terdapat dalam perilaku masyarakat , baik itu perilaku psikologis,
sosial-budaya maupun perilaku berbahasa, merupakan nilai-nilai karakter bangsa.

nilai moral bangsa berkaitan dengan catur tunggal moral kemanusiaan (MM), yakni (1) Pengkuh
agamana (spiritual quotient), yang mengacu kepada moral manusia terhadap Tuhan (MMT); (2)
Luhung elmuna (intellectual quotient), yang mengacu kepada moral manusia terhadap alam
(MMA) dan moral manusia terhadap waktu (MMW); (3) Jembar budayana (emotional
quotient), yang mengacu kepada moral manusia terhadap pribadi (MMP) dan moral manusia
terhadap manusia lainnya (MMM); serta (4) Rancage gawena (actional quotient), yang mengacu
kepada moral manusia dalam mengejar kepuasan lahir dan batin (MMLB) (Suryalaga, 2003:75-
77).

Pada umumnya Tingkah laku orang sunda dapat tercermin dan dapat diamati melalui ritual yang
akan menimbulkan rangsangan terciptanya mitos. Dari mitos tersebut bisa muncul agama. Ketika
ritual dianggap mudah untuk dilakukan dan dapat membuahkan sebuah hasil maka mitos tidak
diperlukan. Sebaliknya jika kurang maka dituntut keyakinan yang lebih kompleks yang hanya
dapat disimpulkan melalui mitos. Banyak mitos yang muncul di lingkungan kehidupan
masyarakat Sunda. Salah satu di antarnya berkait dengan masalah ruang dan waktu. Mitos ruang
diwujudkan dalam kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas
tertentu dikuasai oleh makhluk halus sehingga dianggap angker atau sanget, dan karenanya harus
diberi sesaji (sasajen) agar penunggu tempat-tempat itu tidak mengganggu mereka. Yang
dimaksud batas di sini bisa berbentuk sungai, pekarangan rumah bagian depan dengan jalan,
pesawahan dengan selokan, tempat air masuk (huluwotan), dan lereng bukit (Saringendyanti,
2009: 178). masyarakat Sunda pun mengenal mitos waktu. Waktuwaktu (palintangan) adalah
waktu yang dianggap buruk sehingga tabu untuk melaksanakan suatu ritual atau pekerjaan-
pekerjaan yang amat penting seperti bertani dan melakukan perjalanan. Pertabuan itu didasari
oleh perhitungan dawuh.

Tatakrama berlaku bagi semua orang tanpa mengenal batas usia. Tatakrama diajarkan mulai dari
lingkungan keluarga, sejak seseorang masih kanak-kanak. Sejak kecil, anak-anak dididik untuk
bersikap handap asor, yakni sikap rendah hati, sopan, tidak sombong. Kebalikan dari sikap
handap asor adalah sikap adab lanyap, yakni sikap yang kelihatan sopan, namun di dalamnya
terkandung sikap sombong dan takabur

Вам также может понравиться