Вы находитесь на странице: 1из 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, banyak

kebutuhan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani mereka.

Seiring dengan perkembangan jaman semakin banyak dan timbul kebutuhan baru yang

harus dipenuhi, salah satunya merupakan kegiatan rekreasi.


Kebutuhan akan muncul sehubungan dengan kehidupan sehari-hari setiap

manusia dan tidak lepas dari kegiatan rutin yang dijalani manusia baik di dalam rumah

maupun ditempat lain. Rutinitas yang dilakukan oleh manusia akan menimbulkan

kejenuhan sehingga manusia akan mencari kegiatan lain untuk menghilangkan kejenuhan

mereka, sehingga manusia dapat melakukan rutinitas kembali setelah melakukan rekreasi.
Kebutuhan akan rekreasi dapat dilakukan manusia dimana saja, baik didalam

ruangan maupun diluar ruangan. Kegiatan yang umum dilakukan untuk melakukan

rekreasi adalah pariwisata, olahraga, permainan dan hobi. Dengan melakukan kegiatan

rekreasi maka akan diperbaharui kondisi fisik dan jiwa dari hal-hal yang disebabkan oleh

kejenuhan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari. Bagi orang Indonesia banyak yang

mengartikan rekreasi adalah kegiatan mengunjungi dan menikmati fasilitas yang ada

dalam tempat wisata, baik wisata alam, wisata keluarga maupun wisata wahana

permainan.
Menurut etimologi kata pariwisata diidentikkan dengan kata travel dalam

bahasa Inggris yang diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkalikali dari satu

tempat ke tempat lain. Atas dasar itu pula dengan melihat situasi dan kondisi saat ini

pariwisata dapat diartikan sebagai suatu perjalanan terencana yang dilakukan secara
individu atau kelompok dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan untuk

mendapatkan kepuasan dan kesenangan.1


Pariwisata merupakan hal yang sangat diperlukan oleh seseorang, dengan

kepadatan penduduk di Indonesia dan kondisi geografis negara Indonesia akan

menyebabkan banyaknya tuntutan seseorang dalam pengadaan tempat pariwisata, maka

pemerintah harus menyediakan sarana dan fasilitas dalam penunjang kegiatan pariwisata

di Indonesia. Dengan hal tersebut akan menyebabkan pariwisata menjadi suatu hal yang

penting bagi suatu negara. Dengan banyaknya objek pariwisata maka suatu daerah akan

memperoleh pemasukan dari setiap pendapatan di objek pariwisata. Pariwisata

mempunyai peranan penting untuk mendorong kegiatan ekonomi, meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat.


Indonesia adalah negara yang memiliki potensi dalam hal kepariwisataan di

dunia. Keaneragaman flora dan fauna yang tersebar di wilayah Indonesia, keaneragaman

seni dan budaya, peninggalan sejarah, keindahan alam dan pantai adalah ciri khas

pariwisata Indonesia dan menjadikan wisatawan lokal maupun asing akan menjadikan

Indonesia sebagai tujuan wisata. Dengan banyaknya potensi yang terdapat di Indonesia

akan menimbulkan keuntungan bagi negara dikemudian hari. Untuk hal tersebut, maka

perkembangan pariwisata di Indonesia harus menciptakan inovasi baru untuk

meningkatkan daya saing dengan negara lain. Maka dibutuhkan perkembangan dalam

pemenuhan fasilitas yang harus ada dalam suatu objek wisata, dalam hal tersebut maka

banyak pihak yang harus turun tangan demi pemenuhan segala fasilitas di objek wisata,

1 https://tourismeconomic.wordpress.com/2012/10/29/wisata-pariwisata-wisatawan-

kepariwisataan-unsur-unsur-pariwisata/
diantaranya adalah fasilitas yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan

pemerintah daerah.
Perkembangan tempat rekreasi tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan

prasarana di dalam objek wisata tersebut. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap suatu

objek wisata karena keterpenuhan sarana dan prasarana dalam menunjang kepuasan dan

kenyamanan wisatawan. Sehubungan dengan hal tersebut pemenuhan sarana dan

prasarana di dalam suatu objek wisata haruslah memenuhi standar yang telah ditetapkan

peraturan yang telah ditetapkan, karena hal ini akan berdampak terhadap kenyamanan

dan keselamatan wisatawan. Apabila sarana dan prasarana tidak memenuhi standarisasi

dikhawatirkan akan terjdai hal-hal yang tidak di inginkan dikemudian hari. Upaya yang

dapat dilakukan oleh pengelola objek wisata adalah pengawasan dan juga

mengasuransikan wisatawan untuk mengurangi resiko yang dapat merugikan konsumen.


Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pariwisata dirasakan masih

rendah. Terkadang konsumen hanya dijadikan sebagai objek bisnis pelaku usaha tanpa

memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, padahal pemenuhan hak-hak

dalam rangka menjamin perlindungan konsumen sangatlah penting. Karena posisi

konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum.2


Di Indonesia, perlindungan konsumen diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pembentukan undang-undang ini dimaksudkan

agar mampu meningkatkan harkat dan martabat konsumen sehingga dapat meningkatkan

kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang

bertanggungjawab.

2 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Hlm. 13
Banyaknya objek wisata yang ada di Indonesia mengakibatkan lemahnya

pengawasan terhadap ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang serta memenuhi

standar yang di tetapkan undang undang, hal tersebut menunjukan bahwa perlindungan

konsumen dalam hal kepariwisataan sangat rendah. Padahal di dalam Pasal 4 butir a

UUPK telah diatur sejumlah hak konsumen, dimana konsumen berhak atas kenyamanan,

keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Maka dari itu

pengelola objek wisata berkewajiban memberikan rasa aman, nyaman dan keselamatan

konsumen. Sehubungan dengan hal itu, hak-hak konsumen jasa wisata juga diatur dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. Dalam Pasal 20 disebutkan

bahwa wisatawan memiliki hak untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai daya

tarik wisata, pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar, pelindungan hukum dan

keamanan, pelayanan kesehatan, perlindungan hak pribadi dan perlindungan asuransi

untuk kegiatan pariwisata beresiko tinggi.


Tidak sedikit pengelolaan objek wisata dilakukan oleh badan terkait yang ditunjuk

dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah, karena dirasa bidang pariwisata jika terus

dikembangkan akan sangat bermanfaat bagi daerah dengan menambah devisa dari suatu

daerah. Pengelolaan dari objek pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga

merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi wisatawan dari hal-hal

yang tidak diinginkan, seperti halnya kabupaten Purworejo yang mengeluarkan Peraturan

Daerah Kabupaten Purworejo No. 6 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Retribusi Daya

Tarik Wisata, dimana dalam Pasal 9 disebutkan bahwa dalam rangka memberikan

perlindungan keselamatan kepada wisatawan, terhadap kegiatan wisata yang berisiko

tinggi di lokasi yang ditetapkan sebagai Daya Tarik Wisata, pengelola Daya Tarik Wisata

memberikan perlindungan asuransi.


Dari uraian di atas, penulis tertarik mengangkat permasalahan perlindungan

terhadap wisatawan dalam objek wisata tersebut dalam penulisan ini yang berjudul

IMPLEMENTASI ASURANSI KECELAKAAN DIRI PADA PENGELOLA

OBJEK WISATA DI KABUPATEN PURWOREJO.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dengan apa yang telah diuraikan diatas, ada beberapa pokok

permasalahan yang akan dibahas dan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut :
1. Bagaimana bentuk perlindungan bagi pengunjung tempat rekreasi di kabupaten

Purworejo ditinjau dari UU No. 10 Tahun 2009?


2. Bagaimana upaya dan kendala Dinas Pariwisata kabupaten Purworejo dalam

penerapan asuransi kecelakaan diri pada objek wisata?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Perumusan tujuan penulisan merupakan pencerminan arah dan penjabaran

strategi terhadap masalah yang muncul dalam penulisan, sekaligus agar penulisan

hukum yang sedang dibuat tidak menyimpang dari tujuan semula. Kemudian

dirumuskan tujuan dari penulisan hukum ini, yaitu sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan konsumen bagi pengunjung tempat

rekreasi ditinjau dari UU No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan.


2. Untuk mengetahui upaya dan kendala Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo

dalam penerapan asuransi di objek wisata.

2. Manfaat Penelitian
1. Bagi Akademis
Untuk mengetahui sejauhmana perlindungan hukum bagi pengunjung tempat

rekreasi yang diberikan oleh UU No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan.


2. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat terhadap

adanya asuransi kecelakaan diri di dalam objek pariwisata.


D. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan hukum ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah (Skripsi) Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Penulisan

hukum ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab terdapat keterkaitan

antara satu dengan lainnya. Adapun gambaran mengenai penulisan hukum ini akan

diuraikan dalam sistematika sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan
Dalam bab satu ini akan dibahas mengenai latar belakang pemilihan judul

penulisan mengenai penelitian hukum ini, kemudian dilanjutkan perumusan masalah

yang muncul, tujuan dilakukannya penelitian hukum, manfaat dari penelitian, serta

sistematika penulisan.

E. Bab II. Tinjauan Pustaka


Dalam bab dua ini akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang didalamnya

terdapat 2 (dua) sub bab, yaitu sub bab pertama berisi tinjauan umum hukum

perlindungan konsumen. Dan sub bab kedua berisi tinjauan umum kepariwisataan.
F. Bab III. Metode Penelitian
Dalam bab ini penulis akan menguraikan cara-cara penyusunan penulisan hukum

secara jelas dan sistematis, berdasarkan pada metode pendekatan yang digunakan,

spesifikasi penelitian, penentuan lokasi penelitian, teknik penentuan sampel (jika ada),

teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan.


G. Bab IV. Hasil Penelitian
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan hasil dari penelitian dan pembahasan

mengenai bagaimana penerapan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan

bagaimana pendekatan dan kendala yang dilakukan Dinas Pariwisata kabupaten

Purworejo dalam penerapan Asuransi objek wisata.


H. Bab V. Penutup
Dalam bab ini akan ditarik simpulan dari hasil penelitian yang dilakukan serta

memberikan saran-saran yang berkaitan dengan pembahasan yang merupakan kristalisasi

dari semua bab yang sudah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen


Perlindungan Konsumen merupakan bentuk perlindungan hukum yang

diberikan kepada konsumen dalam memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan

timbulnya kerugian dalam penggunaan barang dan/atau jasa. Dalam pasal 1 ayat(1)

UUPK dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.


Sedangkan hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen adalah

peraturan yang mengatur dan memberikan perlindungan kepada konsumen dalam

rangka pemenuhan kebutuhan konsumen. Dengan demikian hukum perlindungan

konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen dan hak dan kewajiban produsen

serta cara pemenuhan dan perlindungan terhadap hak dan kewajiban tersebut.

Terbukti bahwa semua norma perlindungan konsumen dalam Undang-Undang

perlindungan konsumen memiliki sanksi pidana. Singkatnya, bahwa segala upaya

yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap

tindakan preventif, akan tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang
perlindungan yang diberikan kepada konsumen. Maka pengaturan perlindungan

konsumen dilakukan dengan :


1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum.


2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh

pelaku usaha.
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha usaha yang

menipu dan menyesatkan.


5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan

konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya. 3


2. Asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen
Asas-asas dalam perlindungan konsumen yang terdapat dalam pasal 2 undang-

undang perlindungan konsumen ini menunjukan pemerintah ingin memberikan

kenyamanan dan keamanan bagi masyrakat yang sebelumnya hak-hak nya kurang di

perhatikan oleh pelaku usaha. asas-asas yang telah diatur dalam UUPK adalah
1. Asas manfaat
Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini

menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen

tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak lain atau

sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak,

produsen dan konsumen apa yang menjadi haknya. Dengan demikian diharapkan

bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat

bagi seluruh lapisan masyrakat dan kehidupan bangsa.

2. Asas keadilan.

3 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, (Kencana : Jakarta) Halaman 22-23


Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal

dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk

memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. asas ini

menghendki bahwa melalui pengaturaan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil dan melalui perolehan

hak dan penunaian kewajiban secara seimbang, karena itu undang-undang

mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.


3. Asas Keseimbangan.
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, pemerintah, dalam arti materiil, asas ini menghendaki

agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang

seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.

Kepentingan ketiganya harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan

kewajibannya masing-masing.tidak ada salah satu pihak yang mendapatkan

perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai

komponen bangsa dan Negara.


4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan

kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan

atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan

hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi

atau dipakainya.dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam

ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu undang-undang

ini membebankan sejumlah kewajiban kepada produsen dalam memproduksi dan

mengedarkan produknya.
5. Asas Kepastian Hukum.
Dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maaupun konsumen mentaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum, artinya aturan-aturan tentang

hak dan kewajiban konsumen terkandung di dalam undang-undang ini harus

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak

memperoleh keadilan, oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin

terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya.4


Pemerintah mengeluarkan UUPK yang disertai dengan asas-asas menunjukan

bahwa dibelakangnya pasti akan ada tujuan yang ingin dicapai,tujuan tersebut

tertuang dalam pasal 3 UUPK :


1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari

ekses negative pemakaian barang dan atau jasa.


3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen.


4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian

hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.


5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha menegenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha

produki barang dan atau jasa, kesehatan kenyamanan, keamananan, dan

keselamatan konsumen.

4 Janus Sidabolok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, ( PT Citra Aditya Bakti :

Bandung ) Halaman 32-33


B. Tinjauan Umum Tentang Para Pihak Dalam Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Pengertian konsumen sebenarnya sudah tertera di dalam 3 peraturan

perundang-undang an dengan pengertian yang berbeda-beda ini menunjukan

pengertian konsumen sangat luas karena setiap undang-undang memiliki pengertian

yang berbeda beda.

1. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri-sendiri, keluarga orang lain maupun

makhluk hidup lainnya dan tidak untuk di perdagangkan. 5

2. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang atau jasa, baik untuk

kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain.

3. Istilah konsumen yang ketiga ini sering dijumpai dalam KUHPer yaitu konsumen

sering diartikan dengan Pembeli (koper).

Ketiga pengertian konsumen diatas yang mengistilahkan konsumen ada

perbedaan pada subjeknya dimana dalam UUPK adalah setiap orang dan dalam UU

Nomor 5 tahun 1999 menggunakan kata setiap pemakai. Disini UUPK ingin

mempersempit makna dari konsumen, berarti kalau menggunakan setiap orang maka

yang disebut konsumen adalah individu atau perorangan jadi badan hukum atau

kelompok konsumen bukan merupakan konsumen. Sedangkan dalam UU Nomor 5

tahun 1999, menggunakan kata setiap pemakai jadi kata orang tidak digunakan berarti

5
yang dinamakan konsumen adalah setiap orang atau individu dan juga badan usaha. 6

Dalam undang-undang tersebut makna dari konsumen itu sendiri di perluas ini

bertujuan untuk penggolongan konsumen yang dirugikan atasa penggunaan barang

atau jasa dalam suatu produk tertentu dari pelaku usaha.

Makna kata pemakai dalam kedua UU tersebut menekankan konsumen adalah

konsumen terakhir.7 Ini berarti yang diartikan konsumen adalah tidak selalu harus

memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang atau

jasa, ini berarti dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu

kontraktual. Seperti pihak ketiga penerima barang jasa pengiriman barang, disini pihak

ketiga tidak membayar ongkos apapun yang membayar adalah pihak pengirim tetapi

ketiga ada kerugian seperti barang rusak pada saat barang dikirim atau barang hilang

walaupun pihak ketiga tidak membayar apapun tetapi pihak ketiga termasuk

konsumen.

Konsumen dalam UUPK termasuk dalam konsumen terakhir. Pengertiaan

konsumen ini sependapat dengan pakar masalah konsumen belanda Hondius. Hondius

mengatakan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa
8
dalam hukum perlindungan konsumen adanya perbedaan pengertian konsumen antara

konsumen komersial, konsumen Antara, dan konsumen akhir.

6 IbidHalaman 6

7 IbidHalaman 7

8 N.H.T. Siahaan, Op Cit, Halaman 25


Konsumen memang tidak hanya sekedar pembeli(buyer atau koper) tetapi

semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Jadi yang terpenting dalam transaksi konsumen berupa peralihan barang dan/atau jasa,

termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Az. Nasution, SH juga mengemukakan beberapa batasan mengenai konsumen,

yaitu:9

1. konsumen adalah setiap orang yang mendapatka barang dan/atau jasa yang

digunakan untuk tujuan tersebut.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk

digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk

diperdagangkan(tujuan komersial)

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan

barang dan/jasa, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau

rumahtangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali(non komersial).

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Dalam pengertian hukum, pada umumnya yang disebut dengan hak adalah

kepentingan yang dilindungi hokum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan

seseorang atau individu atau sekelompok orang yang diharapkan agar dapat terpenuhi.

Sedangkan kewajiban adalah sebuah beban yang bersifat kontraktual.

9 Az, Nasution, 2006,Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta:Diadit

Media,hlm. 21.
Hak-hak dan kewajiban konsumen sebenarnya sudah diatur dalam UUPK yaitu

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 4 yang mengatur tentang hak konsumen

dan pasal 5 mengatur tentang kewajiban konsumen, John F Kennedy mengatakan 4

hak konsumen yang telah diakui oleh internasional, yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan keamanan ( the right to safety)

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan atau

jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini, intervensi,

tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan

keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula, pengaturan dan regulasi

perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku

produsen yang nantinya dapat merugikan dan membahayakan keselamatan

konsumen.

2. Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed )

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogative konsumen apakah ia

akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan atau jasa. Oleh karena itu,

tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat

pendidikan yang patut, dan pengahsilan yang memadai,maka hak ini tidak akan

banyak artinya. Apalagi meningkatkan teknik penggunan pasar, terutama lewat

iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor

diluar konsumen.

3. Hak untuk memilih (the right to choose)


Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari

sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya, setiap keterangan mengenai suatu

barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan

selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung

maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati

bersama agar tidak meyesatkan konsumen.

4. Hak untuk didengar ( the right to he heard)


Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus

diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut

didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumenjuga

harus didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengkonsumsi barang

dan atau jasa yang dipasarkan produsen.10


Hak-hak diatas adalah hak-hak yang diakui secara internasional, sedangkan ada

hak yang khusus mengatur tentang konsumen yaitu pasal 4 UU No 8 tahun 1999

tentang hak konsumen:


1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan atau jasa.


2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan atau jasa.


4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang

digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut.


6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

10 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Kencana : Jakarta ), Halaman 47 - 48.


7. Hak untuk diperlakukan atau dilayanai secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan, kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian, apabila

barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peratura perundang-undangan lainya.
Kewajiban konsumen yang telah diatur dalam pasal 5 undang-undang Nomor 8

tahun 1999 tentang pelindungan konsumen adalah :


1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanaan dan keselamatan.


2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

3. Pengertian Pelaku Usaha

Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa

Inggris, producer yang artinya adalah penghasil.11 Produsen sering diartikan sebagai

pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk

didalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer professional, yaitu setiap

orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa sehingga sampai ke

tangan konsumen. Dengan demikian produsen tidak hanya diartikan sebagai

pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait

dengan penyampaian/peredaran produk hingga ke tangan konsumen.12

11 N.H.T. Siahaan,2005,Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab

Produk, Jakarta: Panta Rei, hlm. 28.


Istilah pelaku usaha sering juga disebut sebagai produsen tetapi dalam UUPK

pasal 1 ayat 3 menggunakan kata pelaku usaha bukan produsen, ini menunjukan

bahwasannya UUPK ingin memberikan arti yang luas pada pelaku usaha tidak hanya

pelaku usaha yang berbadan hukum melainkan pemilik perusahaan yang kecil-kecil

yang belum berbadan hukum bisa dikategorikan sebagai pelaku usaha. Adapun bunyi

pasal 1 butir 3 UUPK adalah sebagai berikut :

pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

terbentuk badan maupun bukan badan hukum yang dididrikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara republic Indonesia, baik sendiri

maupun berama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai

bidang ekonomi .

Pelaku usaha juga sering disama artikan dengan pengusaha yang menghasilkan

barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir,

leveransir, dan pengecer professional, yaitu setiap orang atau badan yang ikut serta

dalam penyediaan barang dan atau jasa hingga sampai ketangan konsumen. Sifat

professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban dari

produsen.

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

12 Janus Sidabalok, 2010, Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung Citra: Aditya

Bakti, hlm. 16.


Pelaku usaha juga mempunyai hak dan kewajiban layaknya konsumen. Hak

dari konsumen itu sendiri diatur dalam pasal 6 Undang-undang nomor 8 tahun 1999

tentang perlindungan konsumen :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan tindakan konsumen yang

beritikad baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum

sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti scara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

5. Hak-hak yang daitur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelaku usaha juga mempunyai kewajiban yang diatur dalam pasal 7 Undang-

undang nomor 8 tahun 1999 :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Meberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan atau jasa serta memberi penjelasaan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen seacara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.
4. Menjamin mutu barangg dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan

berasarkan ketentuan standart mutu barang dan atau jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang

dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang

dibuat dan atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan ataujasa

yangdiperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pengantiaan apabial barang dan atu jasa

yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Tinjauan Umum Tentang Asuransi

1. Pengertian Asuransi

Perasuransian adalah istilah hukum(legal term) yang dipakai dalam perundang-

undangan dan perusahaan asuransi. Istilah perasuransian berasal dari kataasuransi di

beri imbuhan per-an, maka muncul istilah hokum perasuransian, yang berarti segala

usaha yang bersangkutan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan asuransi ada 2 jenis,

yaitu :

1. Usaha di bidang asuransi(insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha

asuransi disebut perusahaan asuransi(insurance company).


2. Usaha dibidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang

asuransi(complementary insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha

penunjang usaha perasuransian disebut perusahaan penunjang usaha

perasuransian(complementary insurance company).13

Definisi asuransi/pertanggungan menurut ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang adalah: pertanggungan adalah perjanjian dengan mana

penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi, untuk

memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan

keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat suatu evenement atau

peristiwa yang belum pasti.

2. Fungsi Asuransi

Dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari, setiap orang menghadapi suatu

resiko, yakni suatu kerugian mengenai diri dan harta bendanya. Yang disebut resiko itu

adalah kewajiban menanggung atau memikul kerugian sebagai akibat suatu peristiwa

diluar kesalahannya, yang menimpa benda yang menjadi miliknya. Jenis dari resiko

misalnya kebakaran, pencurian, perampokan, karamnya kapal, tubrukan kapal dan

lain-lain. Resiko tersebut disebabkan oleh peristiwa yang tidak dapat dipastikan lebih

dulu tentang kapan akan terjadi. Untuk menghindari hal yang tidak di inginkan

tersebut, maka diusahakan agar resiko tersebut di alihkan kepada orang atau

perusahaan yang bersedia mengambil alih resiko yang demikian itu. Perusahaan yang

menanggung resiko tersebut adalah perusahaan pertanggungan. Perusahaan


13 Rinitami Njatrijani, 2010, buku ajar hukum asuransi(UNDIP maju dengan mutu:Semarang),

Halaman 6.
pertanggungan dalam hal ini menjadi penanggung sedangkan pemilik benda itu

disebut tertanggung.

Jadi tujuan pertanggungan adalah untuk mengalihkan resiko tertanggung

kepada penanggung, yang berarti bahwa penanggung berkewajiban untuk mengganti

kerugian tertanggung bila terjadi hal yang tidak di inginkan. Sebagai kontra

prestasinya tertanggung harus membayar uang premi kepada penanggung sesuai

dengan yang sudah diperjanjikan.

Fungsi asuransi secara umum adalah sebagai sarana pengalihan kemungkinan

resiko kepada satu atau beberapa penanggung yang bersifat insurable. Disamping

sebagai pengendalian suatu resiko, asuransi juga memiliki 2 fungsi14, yaitu:

1. Fungsi Primer

a. Pengalihan Resiko Sebagai sarana atau mekanisme pengalihan kemungkinan

resiko / kerugian (chance of loss) dari tertanggung sebagai Original Risk

Bearer kepada satu atau beberapa penanggung (a risk transfer mechanism).

b. Penghimpun Dana Sebagai penghimpun dana dari masyarakat (pemegang

polis) yang akan dibayarkan kepada mereka yang mengalami musibah, dana

yang dihimpun tersebut berupa premi atau biaya ber- asuransi yang dibayar

oleh tertanggung kepada penanggung.

c. Premi Seimbang Untuk mengatur sedemikian rupa sehingga pembayaran

premi yang dilakukan oleh masing masing tertanggung adalah seimbang dan

14 http://www.fungsiklopedia.com/fungsi-asuransi/
wajar dibandingkan dengan resiko yang dialihkannya kepada penanggung

(equitable premium).

2. Fungsi Sekunder

a. Export Terselubung Sebagai penjualan terselubung komoditas atau barang-

barang tak nyata keluar negeri.

b. Perangsang Pertumbuhan Ekonomi untuk merangsang pertumbuhan usaha,

mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memiliki manfaat sosial dan

sebagai tabungan

3. Jenis-Jenis Asuransi

Sebagai salah satu lembaga keuangan non bank, asuransi dikenal sebagai

alternatif investasi yang cukup baik dan meminimalisir risiko atas kejadian tak

terduga. Definisi asuransi menurut web Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah

perjanjian antara penyedia jasa layanan asuransi sebagai penanggung dan masyarakat

yang memegang polis dan dikenal sebagai tertanggung yang yang diwajibkan untuk

membayar sejumlah premi dalam rangka memberikan penggantian atas risiko

kerugian, kerusakan, kematian, dan kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang

mungkin terjadi atas peristiwa yang tak terduga.

Asuransi sendiri dikenal dalam berbagai jenis atau macam dan dikelompokkan

sesuai dengan fokus dan resiko. Fokus dan resiko inilah yang menentukan ukuran

keseragaman dalam resiko yang ditanggung sesuai jenis kebijakan. Hal ini akan

digunakan perusahaan asuransi untuk mengantisipasi potensi kerugian serta

menetapkan tingkat premi yang ditawarkan sesuai dengan jenis asuransi masing-
masing. Pembagian menurut sarjana di Indonesia(antara lain: prof. Dr. Sri Rejeki

Hartono, S.H) menyebutkan pembagian asuransi, yaitu:

1. Asuransi Bersifat Komersiil

Diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta.

a. Asuransi kerugian(umum)

- Asuransi pengangkutan laut(marine insurance)

- Asuransi kebakaran(fire insurance)

- Asuransi kredit(credit insurance)

- Asuransi varia(varia insurance)

b. Asuransi sejumlah uang(asuransi jiwa)

- Asuransi hari tua

- Asuransi beasiswa

- Asuransi dwiguna

2. Asuransi Bersifat Sosial

Asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah

a. Asuransi kecelakaan penumpang

b. Asuransi korban lalu lintas

c. Asuransi kesehatan pegawai negeri

d. Asuransi social tenaga kerja, dsb.


4. Perjanjian Asuransi

Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena

itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian

asuransi. Disamping itu karena pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar

dari perjanjian.

Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain sebagai

berikut:

a. Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih

b. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang satu (yang

berpiutang/kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. Sedangkan pihak

yang lain (yang berhubungan/debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan

bertanggung jawab atas suatu prestasi15.

Dari bahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian pada

dasarnya akan meliputi hal-hal berikut16:

a. Perjanjian selalu menciptakan akibat hukum

b. Perjanjian menunjukan adanya kemampuan atau kewenangan menurut hukum.

15 Sri Redjeki Hartono. 2001. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Sinar Grafika.

Jakarta. Hlm. 82

16 Ibid, Hlm. 83
c. Perjanjian mempunyai atau berisikan suatu tujuan, bahwa pihak yang satu akan

memperoleh dari pihak yang lain suatu prestasi yang mungkin memberikan

sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

d. Dalam setiap perjanjian, kreditur berhak atas prestasi dari debitur yang dengan

sukarela akan memenuhinya.

e. Bahwa dalam setiap perjanjian debitur wajib dan bertanggung jawab melakukan

prestasinya sesuai dengan isi perjanjian.

Kelima unsur termaksud di atas pada hakikatnya selalu terkandung pada setiap

jenis perjanjian termasuk perjanjian asuransi. Jadi pada perjanjian asuransi di samping

harus mengandung kelima unsur pokok termaksud, mengandung pula unsur-unsur

yang lain yang menunjukkan ciri-ciri dalam karakteristiknya. Ciri-ciri inilah yang

nantinya membedakannya dengan jenis perjanjian pada umumnya dan perjanjian-

perjanjian lain.

Perjanjian asuransi dalam bahasa Belanda adalah verzekering atau assurantie.

Istilah pertanggungan ini umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum

perguruan tinggi hukum di Indonesia. Asuransi sendiri berasal dari kata serapan kata

assurantie (Belanda), assurance (Inggris) banyak dipakai, baik dalam kegiatan bisnis

maupun pendidikan hukum di perguruan tinggi hukum sebagai sinonim. Kedua istilah

tersebut dipakai dalam undang-undang perasuransian dan juga buku-buku hukum

perasuransian.

Menurut ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD),

pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada


tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya

karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang

mungkin dideritanya akibat suatu evenemen.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992

Tentang Usaha Perasuransian asuransi adalah asuransi atau pertanggungan antara 2

(dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada

tertanggung dengan memberikan premi asuransi untuk memberikan penggantian

kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang

diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan

diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak akan pasti, atau untuk

memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya

seseorang yang dipertanggungkan.

Seperti tersebut di atas, pertanggungan adalah suatu perjanjian timbale balik,

artinya suatu perjanjian dalam mana masing-masing pihak mempunyai kewajiban yang

senilai. Pertanggngan adalah juga Perjanjian Pengalihan Risiko dengan mana

penanggung mengambil alih risiko tertanggung, dan sebagai kontra prestasi

tertanggung wajib membayar uang premi kepada penanggung. Risiko itu berwujud

beban kerugian atau benda terhadap pertanggungan bahaya yang akan muncul.

Asuransi sebagai sebuah perjanjian pertanggungan yang mengikat antara pihak

penanggung dan tertanggung. Penanggung dalam perjanjian pertanggungan dengan

sadar mengambil alih risiko dari pihak lain. Penerimaan risiko disini diikuti dengan

janji bahwa tertanggung akan memberikan ganti rugi karena kerusakan atau risiko lain

yang mungkin timbul dan diderita oleh tertanggung.


Sifat-sifat pertanggungan atau asuransi yang terkandung dalam Pasal 246

KUHD adalah17:

a. Bahwa pertanggungan itu pada dasarnya adalah suatu perjanjian penggantian

kerugian. Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena

pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang

dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (prinsip indemnitas). Azas atau

prinsip indemniteit yang digasikan atau ditarik kepada dua ketentuan pokok, yaitu:

1. Bahwa tertanggung harus mempunyai kepentingan atas peristiwa tidak tertentu

itu dengan pengertian bahwa sebagai akibat dari peristiwa itu ia menderita

kerugian.

2. Bahwa pertanggungan itu tidak boleh menjurus pada pemberian ganti rugi

yang lebih besar daripada kerugian yang diderita. (Pasal 253 KUHD)

b. Bahwa pertanggungan itu adalah suatu perjanjian bersyarat, artinya bahwa

kewajiban yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan itu terjadi. Jadi

pelaksanaan kewajiban mengganti rugi ditanggungkan pada satu syarat.

c. Perjanjian adalah perjanjian timbal balik, artinya bahwa kewajiban penanggung

mengganti rugi dihadapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi

walaupun dengan pengertian bahwa kewajiban membayar premi tidak bersyaratan

atau tidak digantungkan pada satu syarat.

17 Emmy Pangaribuan. 1983. Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya. Liberty.

Yogyakarta. Hlm78
d. Bahwa kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa tidak tertentu

atas mana diadakan pertanggungan. Harus terdapat hubungan sebab dan akibat

antara peristiwa dan kerugian.

Dengan demikian penanggung memberikan suatu proteksi terhadap

kemungkinan kerugian ekonomi yang diderita oleh tertanggung. Peralihan risiko

kepada penanggung dari tertanggung harus diikuti dengan suatu pembayaran sejumlah

uang tertentu kepada penanggung yang disebut dengan premi.

D. Tinjauan Umum Kepariwisataan

1. Pengertian Pariwisata

Istilah pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari suku kata

pari berarti berkeliling atau bersama, dan suku kata wisata berarti perjalanan. Jadi

secara pengertiannya pariwisata berarti perjalanan keliling dari suatu tempat ke tempat

lain.

Kepariwisataan adalah merupakan kegiatan jasa yang memanfaatkan kekayaan

alam dan lingkungan hidup yang khas, seperti : hasil budaya, peninggalan sejarah,

pemandangan alam yang indah dan iklim yang nyaman. Perjalanan wisata adalah

perjalanan keliling yang memakan waktu lebih dari tiga hari, yang dilakukan sendiri

maupun di atur oleh Biro Perjalanan Umum dengan acara meninjau beberapa kota atau

tempat baik di dalam maupun di luar negeri.


Dari pengertian pariwisata tersebut diatas, maka dapat diambil pengertian

tentang wisatawan, yaitu setiap orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk

berkunjung ketempat lain dengan menikmati perjalanan dan kunjungannya.

2. Asas Pariwisata

Dalam perundang-undangan pariwisata disebutkan secara jelas tentang asas-

asas kepariwisataan yang berlaku di Indonesia, yaitu:

a. Manfaat

b. Kekeluargaan

c. Adil dan merata

d. Keseimbangan

e. Kemandirian

f. Kelestarian

g. Partisipatif

h. Berkelanjutan

i. Demokratis

j. Kesetaraan dan

k. Kesatuan

3. Fungsi Pariwisata
Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan intelektual

setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan

Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

a. Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu obyek

dan daya tarik wisata;

b. Memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa;

c. Memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja.

d. Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat.

e. Mendorong pendayagunaan produksi nasional.

4. Pengaturan Hukum Kepariwisataan

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Bab I

Pasal 1, dinyatakan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan

rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang

dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Berdasarkan penjelasan di atas, pada

dasarnya wisata mengandung unsur yaitu :

1. Kegiatan perjalanan

2. Dilakukan secara sukarela

3. Bersifat sementara
4. Perjalanan itu seluruhnya atau sebagian bertujuan untuk menikmati obyek dan

daya tarik wisata.

Sedangkan pengertian daya tarik wisata menurut Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2009 yaitu segala suatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang

berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang

menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisata.

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan terjemahan dari kata yang ada dalam bahasa Inggris, yaitu

research. Kata research berasal dari re (kembali) dan to search (mencari). Research berarti

mencari kembali. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian pada dasarnya

merupakan suatu upaya pencarian.18Pencarian yang dimaksudkan dalam penulisan ini

dapat dipahami sebagai salah satu upaya untuk memecahkan masalah atau problematika

yang ada, sehingga dibutuhkan suatu penelitian. Pendapat Muhammad Idrus bahwa

penelitian merupakan cara-cara ilmiah untuk memecahkan masalah, sehingga didapatkan

kebenaran yang sifatnya kebenaran ilmiah.19


Penelitian pada dasarnya bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis dan konsisten. Dalam kaitannya dengan ilmu hokum, penelitian
18 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, (Sinar Graika: Jakarta), Halaman 1.

19 Muhammad Idrus, 2007Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif, (UIIPress: Yogyakarta) Halaman 13.


hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan

pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum

yang dianalisis dengan kaidah tertentu. Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terkait faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.20


Tanpa adanya suatu metodologi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh seseorang

tidak mungkin akan mampu untuk menemukan, menganalisis, serta merumuskan suatu

masalah atau problematika tertentu untuk dapat mengungkapkan suatu kebenaran, karena

didalam metodologi pada dasarnya adalah memberikan pedoman tentang bagaimana

seseorang mempelajari, menganalisis dan mengungkapkan permasalahan yang sedang

dihadapi. Untuk mendapatkan teknik atau cara yang didasarkan pada akal dan logika

berdasarkan sistem berpikir yang ilmiah dalam mempelajari suatu permasalahan hukum,

kemudian menganalisanya untuk dapat memecahkan permasalahan tersebut maka

dibutuhkannya suatu Metode Penelitian HukumYaitu :

A. METODE PENDEKATAN

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris. Metode

yuridis empiris digunakan karena penelitian ini akan berusaha mencari dan menemukan

implementasi hukum yang berlaku di Indonesia.


Metode pendekatan yuridis empiris dilakukan dari meneliti data sekunder yang

diperoleh melalui studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan objek dan masalah yang diteliti. Untuk selanjutnya dilakukan

penelitian data primer melalui wawancara dengan mencari data di lapangan, dengan
20 Soerjono Soekanto dalam Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar

Grafika, halaman 18.


melakukan analisa terhadap data hasil wawancara pada Dinas Pariwisata kabupaten

Purworejo.

B. SPESIFIKASI PENELITIAN

Spesifikasi penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat

deskriptif, yaitu penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek pada

saat sekarang berdasarkan fakta yang Nampak


.

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Untuk memeperoleh data yang akurat dan objektif, dalam maka dalam penelitian ini

dilakukan dua cara pengumpulan data yaitu data primer dan data sekunder.21

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.

Dalam penelitian data yang diperoleh langsung dari lapangan pengumpulan data

primer pada penelitian ini dilakukan melalalui wawancara (interview)22 adalah

situasi dimana pewawancara mengajukan beberapa pertanyaan kepada responden

dengan cara beratatap muka. Wawancara dilakukan pada Dinas Pariwisata

kabupaten Purworejo. Dari sini akan diteliti mengenai penerapan Peraturan

21Soerjono Soekanto dan Siti Mamudji, 1983, Penelitian Normatife, ( Rajawali Press : Jakarta),

Halaman 35

22Amiruddin & Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT RajaGrafindo

Persada : Jakarta) Halaman 82


Daerah No. 6 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Retribusi Daya Tarik Wisata

oleh Dinas Pariwisata kabupaten Purworejo.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu mempelajari

literatur karangan para ahli hukum dan peraturan per undang-undangan yang

berhubungan dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Adapun data sekunder

dalam penelitian ini adalah :

a. Bahan hukum primer

Adapun bahan hukum yang digunakan:

1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

2. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan.

3. Undang_undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian

4. Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo No. 6 Tahun 2009 tentang

Pengelolaan dan Retribusi Daya Tarik Wisata.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan-bahan hukum

primer dan dapat membantu menganalisi dan membuat bahan hukum

primer. Misalnya: kepustakaan yang berhubungan dengan perlindungan

konsumen, bahan-bahan karya para sarjana.


Data-data yang diperoleh tersebut selanjutnya merupakan landasan

teori dalam melakukan analisis data serta pembahasan masalah data

sekunder. Ini diperlukan untuk lebih melengkapi data primer yang

diperoleh melalui penelitian lapangan.

D. METODE ANALISIS DATA

Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

analisis normative kualitatif. Yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara

sistematis, untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan

masalah yang akan dibahas. Metode kualitatif digunakan karena data yang diperoleh

adalah data deskriptif yaitu apa yang telah diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang

utuh.dengan menganalisi data yang telah terkumpul tersebut kemudian diuraikan dan

dihubungkan Antara data yang satu dengan data yang lainnya secara sistematis untuk

selanjutnya data tersebut disususn dan disajikan dalam bentuk penulisan hukum, dalam

metode kualitatif tidak perlu diperhitungkan data dari kemampuannya mewakili

keadaan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Вам также может понравиться