Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat
pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaru diukur
berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku
triwulan IV-2015 mencapai Rp 11.540,8 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp
45,2 (Badan Pusat Statistik. 2016. www.bps.go.id. diakses pada tanggal 28
Februari 2016). Angka tersebut cenderung rendah untuk dapat disebut sebagai
negara maju, pada triwulan terakhir, Indonesia masih menjadi salah satu Negara
berkembang. Status Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang tengah
berkembang, tentunya berdampak pada pemerintah yang termotivasi untuk
melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan yang sedang giat
dilaksankan antara lain dari sektor perekonomian, sosial, budaya, keamanan,
pertahanan, pendidikan, hingga politik.
Pembangunan nasional dibidang perekonomian yang maju dapat
diindikasikan dari bergeraknya perekonomian masyarakat dan dunia usaha. Salah
satu faktor yang menunjang dalam pembangunan dibidang perekonomian adalah
sektor jasa keuangan. Sektor jasa keuangan sendiri terdiri dari berbagai lembaga
keuangan yang merupakan suatu perusahaan yang usahanya bergerak dibidang
jasa keuangan. Artinya kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini akan selalu
berkaitan dengan bidang keuangan, yang terdiri dari penghimpunan dana,
menyalurkan, dan/atau jasa keuangan lainnya (Kasmir, 1998:2).
Kegiatan sektor jasa keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 yang selanjutnya disebut UU OJK, dalam pasal 4 meliputi kegiatan jasa
keuangan di bidang perbankan, pasar modal dan IKNB (Industri Keuangan Non
Bank). Pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perbankan. Pengertian pasar modal yaitu sebagai suatu kegiatan yang

1
2

bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik


yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang
mengenai pasar modal. Terakhir yang dimaksud dengan IKNB (Industri
Keuangan Non Bank) adalah kegiatan jasa keuangan yang disediakan oleh
lembaga keuangan selain bank yang mencakup Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, Lembaga Penjaminan, Pegadaian, Perusahaan Perasuransian, dan
lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial, pensiun, dan
kesejahteraan yang bersifat wajib, serta industri keuangan non bank lainnya.
Kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah lembaga di sektor jasa keuangan
tersebut banyak menimbulkan permasalahan, yang meliputi tindakan moral
hazard (risiko moril), belum optimalnya perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan mendorong diperlukannya
pembentukan lembaga di sektor jasa keuangan yang terintegrasi (Zulkarnain
Sitompul, 2012:3).
Tentunya dalam rangka pengintegrasian tersebut di perlukan adanya suatu
lembaga yang mengawasi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
mengamanatkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-
undang, hal ini yang menjadikan dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut Pasal 4 UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil serta
mampu melindungi konsumen dan masyarakat, sesuai dengan tujuan tersebut.
OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional,
yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing nasional.
Pasal 4 UU OJK juga menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan
melakukan tugas pengaturan dan pengawasan secara terpadu, independen, dan
akuntabel terhadap:
3

1. Kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan;


2. Kegiatan jasa keuangan di bidang pasar modal; dan
3. Kegiatan jasa keuangan di bidang IKNB (Industri Keuangan Non Bank)
Indonesia memiliki lembaga keuangan yang merupakan salah satu lembaga
keuangan di Industri Keuangan Non Bank yang memiliki peranan penting
terhadap usaha-usaha masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan yang
bersifat mikro. Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Keuangan Mikro yang
selanjutnya disebut LKM (Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga
Keuangan Mikro).
Banyaknya jenis Lembaga Keuangan Mikro yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa LKM sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha
kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan
perbankan, khususnya bank umum, akan tetapi pengaturan dari aspek hukumnya
belumlah jelas (Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro).
LKM yang berkembang di Indonesia belum seluruhnya didukung dengan
ketentuan hukum dan sistem pengawasan atau pembinaan yang memadai.
Pengaturan dan pengawasan LKM yang berkembang di Indonesia saat ini
dilakukan oleh beberapa institusi yang berbeda. Beberapa LKM belum
mempunyai suatu pengaturan yang jelas. Dengan demikian perlu disusun suatu
pengaturan yang mencakup seluruh jenis LKM yang ada saat ini (Aditya
Pramudia, 2013:4).
Berdasarkan latar belakang di atas Pemerintah mengesahkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Pembentukan LKM
dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (1) dan Ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 33
Ayat (1) UUDNRI 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 Ayat (4)UUDNRI
1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
4

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pembentukan LKM


pada prinsipnya ditujukan sebagai upaya untuk memberikan dorongan
pembiayaan bagi usaha mikro.
LKM diharapkan dapat berperan sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha
Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh
kesempatan utama, dukungan, perlindungan, dan pengembangan seluas-luasnya
sebagai wujud keberpihakkan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat,
tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara (Naskah
Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ini
antara lain memuat ketentuan umum, asas, tujuan, bentuk hukum, pendirian,
permodalan, kepemilikan, perizinan, kegiatan usaha, cakupan wilayah usaha,
penjaminan simpanan dan pinjaman, kepengurusan, pertukaran informasi,
penggabungan, peleburan, pembubaran, pembinaan, kerja sama, pengawasan,
sanksi administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup
(Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro).
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro menyebutkan beberapa kegiatan usaha LKM antara lain kegiatan usaha
LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik
melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha mikro kepada anggota dan
masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha. Kegiatan usaha tersebut merupakan pelayanan jasa yang
diberikan oleh LKM kepada pengguna jasa LKM, sehingga dari kegiatan tersebut
tidak menutup kemungkinan adanya risiko kerugian yang didapatkan pengguna
jasa LKM. Oleh sebab itu pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro, OJK berwenang memberikan perlindungan
dengan melakukan tindakan pencegahan kerugian penyimpan dan masyarakat
yang meliputi:
1. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik dan
kegiatan usaha LKM;
5

2. Meminta LKM untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut


.berpotensi merugikan masyarakat; dan
3. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Isi dari ketentuan pada Pasal 25 di atas dirasa belum dapat mengakomodasi
perlindungan hukum terhadap risiko kerugian yang akan dialami pengguna jasa
LKM terhadap kegiatan pengguna jasa LKM secara terperinci, sehingga OJK juga
mengeluarkan beberapa peraturan terkait perlindungan bagi konsumen atau
pengguna jasa sektor jasa keuangan antara lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Menurut Pasal 1 Angka 2 POJK tersebut memuat aturan-aturan untuk melindungi
konsumen, namun yang dimaksud konsumen dalam peraturan tersebut adalah
pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang
tersedia di sektor jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di
pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun,
berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Dalam
peraturan OJK ini tidak menyebutkan bahwa pengguna jasa LKM sebagai salah
satu konsumen sektor jasa keuangan yang dilindungi.
Pasal 1 Angka 1 POJK tersebut juga menjelaskan terkait pengertian pelaku
jasa keuangan antara lain bank umum, perusahaan efek, penasihat investasi, bank
kustodian, dana pensiun, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, lembaga
pembiayaan, perusahaan gadai, dan perusahaan penjaminan, baik yang
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah,
namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam pasal tersebut tidak
menyebutkan keberadaan LKM sebagai salah satu lembaga di sektor jasa
keuangan yang di awasi oleh OJK.
Dapat disimpulkan bahwa Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro, belum dapat mengakomodasi perlindungan
terhadap pengguna jasa LKM yang mengalami risiko kerugian. Sama halnya
dengan POJK tersebut dalam Pasal 1 Angka 1 dan 2 belum menyertakan baik
pengguna jasa LKM sebagai salah satu konsumen di sektor jasa keuangan yang
6

perlu dilindungi dan LKM sendiri sebagai produsen atau lembaga di sektor jasa
keuangan yang perlu diawasi oleh OJK.
Selain alasan tersebut di atas adapun kelemahan lainnya antara lain terkait
syarat-syarat pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen oleh OJK
tidak memungkinkan bagi LKM yang kegiatan usahanya dalam lingkup kecil
(mikro) serta tidak ditentukannya ruang lingkup kerugian yang dialami oleh
pengguna jasa LKM yang terkait (Kaffi Wanatul Mawa. 2015.
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1223. diakses
pada tanggal 15 November 2015).
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, terdapat permasalahan terkait
norma-norma yang mengatur tentang pentingya pengguna jasa LKM untuk
dilindungi terhadap risiko kerugian yang dialami dan kekosongan hukum terkait
mekanisme perlindungan hukum pengguna jasa LKM terhadap risiko kerugian
sehingga penulis tertarik mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut
di atas untuk mengetahui secara mendalam mengenai perlindungan hukum bagi
pengguna jasa keuangan terutama LKM atas kerugian yang diterima melalui
penulisan hukum yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM PENGGUNA
JASA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO TERHADAP RISIKO KERUGIAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, disusunlah suatu
rumusan masalah oleh penulis untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam
penelitian hukum ini, maka permasalahan yang akan dikaji yaitu:
1. Mengapa pengguna jasa Lembaga Keuangan Mikro perlu dilindungi?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi pengguna jasa Lembaga Keuangan
Mikro terhadap risiko kerugian?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi pengguna
jasa LKM; dan
7

b. Mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi pengguna jasa LKM


terhadap risiko kerugian.
2. Tujuan Subjektif
a. Memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar Strata (satu)
dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta; dan
b. Menambah ilmu pengetahuan serta pengaplikasiannya dibidang hukum
perdata melalui pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek
lapangan hukum yang sangat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Nilai sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang diambil dari
adanya penelitian tersebut. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Manfaat yang penulis
harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum serta
memberikan suatu pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya yang
diperoleh dari perkuliahan dengan praktek di lapangan dalam bidang
Hukum Perdata khususnya tentang perlindungan hukum terhadap
pengguna jasa Lembaga Keuangan Mikro;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan
literatur tambahan dimasa yang ajakn datang bagi penelitian-penelitian
lain yang objek kajiannya sama dengan apa yang penulis teliti; dan
c. Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemecahan-pemecahan atas
permasalahan yang dikaji.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memberikan jawaban atas
permasalahan-permasalahan dibidang perlindungan hukum pengguna
jasa lembaga keuangan mikro;
8

b. Diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan


penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam
masyarakat;
c. Bagi OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
pengawasan sektor jasa keuangan, hasil penelitian ini dapat dipakai
sebagai masukan agar nantinya terwujud aturan yang dapat
mengakomodasi adanya perlindungan hukum pengguna jasa sektor jasa
keuangan, khusunya LKM.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi
yaitu adalah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa
perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan
(act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum)
atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2013:47). Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan hukum ini dijelaskan dalam beberapa poin
sebagaiman berikut ini:
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk
dalam kategori penelitian hukum normatif, karena ilmu hukum merupakan
studi tentang hukum, ilmu hukum tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu
sosial yang bidang kajiannya merupakan kebenaran empiris (Peter Mahmud
Marzuki, 2013:44). Penelitian hukum normatif pada intinya merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Penulis ingin menemukan hasil terkait pentingnya perlindungan
hukum bagi pengguna jasa LKM dan juga perlindungan hukum terhadap
risiko kerugian yang dialami oleh pengguna jasa LKM.
2. Sifat Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki ilmu hukum bukan termasuk ke dalam ilmu
hukum deskriptif, melainkan ilmu yang bersifat preskriptif. Oleh karena
itulah penelitian hukum, baik yang dilakukan oleh praktisi maupun para
9

scholars (sarjana atau cendekiawan), tidak dimulai dengan hipotesis


(2013:59). Dalam penelitian ini akan dibahas lebih khusus mengenai
pentingnya perlindungan hukum bagi pengguna jasa LKM dan perlindungan
pengguna jasa jika mengalami risiko kerugian.
3. Pendekatan Penelitian
Terkait dengan penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan
undang-undang (statue approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum
yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2013:133), serta pendekatan
konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, sehingga penulis akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-
konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang
diteliti oleh penulis (Peter Mahmud Marzuki, 2013:135-136).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis data adalah sekunder dan sumber bahan hukum dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang, dan putusan hakim.
Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari semua publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku tes, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2013:181).
a. Bahan Hukum Primer
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992;
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
10

5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
6) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan;
8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro;
9) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional;
10) Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bungan
Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah
Usaha Lembaga Keuangan Mikro;
11) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;dan
12) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.05/2015 tentang
perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Keuangan Mikro.
13) Naskah Akademik Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
14) Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.
b. Bahan Hukum Sekunder
1.) Buku-buku ilmiah dibidang hukum;
2.) Kamus-kamus hukum;
3.) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana; dan
4.) Jurnal-jurnal bahan hukum.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam
penulisan hukum ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan (library
research). Teknik pengumpulan bahan hukum ini dengan cara membaca,
mengkaji dan memberi catatan dari buku, peraturan perundang-undangan,
11

tulisan, dan publikasi ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang menjadi
obyek penelitian, yakni tentang perlindungan hukum pengguna jasa LKM.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah semua bahan hukum berhasil dikumpulkan dan diidentifikasi,
selanjutnya dilakukan analisis terhadap bahan hukum. Dalam melakukan
analisis ini peneliti menggunakan cara teknik analisis kualitatif, yaitu dengan
meneliti, menganalisis dan mendeskripsikan bahan hukum yang bukan
merupakan kumpulan angka-angka, sehingga dapat diambil suatu
kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum yang disusun oleh penulis sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Pada bab ini penulis menguraikan beberapa sub bab sebagai berikut:
A. Latar Belakang Masalah;
B. Perumusan Masalah;
C. Tujuan Penelitian;
D. Manfaat Penelitian;
E. Metode Penelitian; dan
F. Sistematika Penelitian.
BAB II: Tinjauan Pustaka
Pada bab ini penulis menguraikan beberapa kerangka teori dan kerangka
pemikiran yang menjadi pijakan dalam menjawab permasalahan dari penulisan
hukum ini yaitu:
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum;
2. Tinjauan tantang Pengguna Jasa;
3. Tinjauan tentang Lembaga Keuangan; dan
4. Tinjauan tentang Risiko Kerugian.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran akan dituangkan dalam sebuah bagan yang
menghubungkan antar latar belakang, permasalahan dan kajian teori
12

sehingga menghasilkan kesimpulan yang menjadi jawaban dari


permasalahan yang diajukan dalam penulisan hukum ini.
BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini penulis akan memaparkan mengenai hasil penelitian dengan
menganalisis yang akan menghasilkan suatu pembalasan seperti pokok
permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu mengenai pentingnya perlindungan
hukum bagi pengguna jasa LKM. Selain itu, dibahas pula tentang perlindungan
hukum jika pengguna jasa LKM mengalami risiko kerugian.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini penulis mengemukakan simpulan dari hasil penelitian dan
pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya serta memberikan saran
terkait dengan permasalahan yang diteliti dalam penulisan hukum (skripsi).
Daftar Pustaka

Вам также может понравиться