Вы находитесь на странице: 1из 13

DERMATITIS HERPETIFORMIS

1. Definisi
Dermatitis Herpetiformis adalah penyakit yang ditandai dengan gatal yang
terus menerus, kronis, dan terdapat erupsi papulovesicular yang biasanya
penyebarannya simetris pada permukaan otot-otot ekstensor. Dermatitis
Herpetiformis terdapat pada penderita dengan berbagai usia, mulai dari
anak-anak, akan tetapi yang paling banyak terjadi adalah pada usia decade
kedua, ketiga, dan keempat. Kebanyakan penderita mempunyai hubungan
dengan sensitifitas gluten enteropati yang biasanya tidak menunjukkan
gejala.

2. Frekuensi
Amerika Serikat
Satu-satunya penelitian dari AS menunjukkan prevalensi 11.2 kasus per
100.000 populasi.
Internasional
Prevalensi dilaporkan 10 kasus per 100.000 populasi.

Mortalitas/Morbiditas
Pasien DH di-follow up (total 152) dari tanggal diagnosis sampai akhir
1989 untuk mengetahui mortalitas dan dari tahun 1971 atau dari tanggal
diagnosis sampai tahun 1986 untuk mengetahui insiden kanker. Kematian
terjadi pada 38 pasien yang berusia di bawah 85 tahun, sedikit lebih
rendah dari yang diduga berdasarkan angka populasi umum nasional.
Insiden kanker sangat meningkat. Kanker usus halus menyebabkan 1
kematia, dan lymphoma menyebabkan 1 kematian. Penelitian pada
populasi berusia 30 tahun terhadap 1147 pasien CD dan DH di Finlandia
juga menunjukkan prognosis keseluruhan yang baik pada pasien DH.
Angka kejadian total dari keganasan sebanding dengan populasi umum
baik pada CD maupun DH, namun peningkatan insiden lymphoma non-
Hodgkin tercatat pada pasien DH dan CD dengan ratio insiden standar 3.2
dan 6.0, berturut-turut. Mortalitas keseluruhan sebenarnya menurun pada
pasien DH jika dibandingkan dengan populasi umum.
Lesi DH sangatlah gatal. Morbiditas disebabkan oleh bekas luka,
ketidaknyamanan, dan insomnia karena gatal. Infeksi sekunder dapat juga
berkembang, dan membutuhkan terapi antibiotik.

Ras
DH terjadi lebih sering pada individu keturunan Eropa utara dan jarang
pada orang Asia dan keturunan Afrika. DH paling sering terjadi di Irlandia
dan Swedia. Hal ini mungkin berhubungan dengan gabungan HL dari DH
dan CD termasuk DQA1*0501 dan B1*-02, yang mengkode heterodimer
HLA-DQ2.

Jenis Kelamin
Penelitian AS menunjukkan ratio laki-laki:perempuan sebesar 1.44:1,
namun penelitian internasional menunjukkan ratio laki-laki:perempuan
sebesar 2:1. Pada salah satu penelitian terhadap pasien dengan GSE, 16%
laki-laki dan 9% wanita menderita DH.

Usia
Biasanya, onset DH terjadi pada dekade kedua atau keempat;
bagaimanapun juga, orang berusia berapapun dapat mengalami DH.

3. Etiologi
DH diduga sebagai manifestasi CD yang asimtomatis atau ringan.
Predisposisi genetik timbulnya sensitivitas gluten mendasari penyakit.
Gluten adalah protein dari rumput-rumputan jenis Triticeae, yang
meliputi barley, gandum hitam, dan gandum. Beras dan oat (sejenis
gandum) berasal dari spesies berbeda dan umumnya dapat ditolerir
dengan baik. Kepatuhan dalam menjalani diet bebas gluten akan
menormalkan perubahan mukosa usus halus dan mengendalikan
manifestasi kutaneus DH pada kebanyakan pasien.

GSE tidak menimbulkan gejala pada sebagian besar pasien. Kurang


dari 10% menunjukkan gejala kembung, diare atau malabsorpsi.
Bagaimanapun juga, lebih dari 90% pasien menunjukkan abnormalitas
melalui pemeriksaan endoskopik. Dua pertiga terdeteksi mengalami
atropi villus melalui spesimen biopsi usus. Sepertiga lainnya
menunjukkan peningkatan jumlah limfosit intraepitelial dan
peningkatan jumlah limfosit intraepitelial reseptor sel T gamma/delta,
atau keduanya.

Peran penting yang berkaitan dengan GSE dalam pathogenesis


DH dikonfirmasikan dengan fakta bahwa diteruskannya diet
gluten pada pasien DH akan menyebabkan kembalinya
penyakit kulit yang khas ini.

Steatorrhea ringan atau tanda lain dari malabsorpsi ringan (e.g.


absorpsi D-xylose yang berubah, defisiensi besi atau folat)
dapat terjadi pada 20-30% pasien DH.

Pasien DH yang tidak menunjukkan penyakit GI dapat saja


mendapatkan DH dari asupan gluten yang meningkat, yang
sering disebut sebagai GSE laten.

Kompleks imun sirkulasi IgA timbul pada 25-35% pasien DH,


meskipun hubungannya dengan beratnya penyakit belum diketahui.
Kompleks imun ini juga ditemukan pada pasien dengan GSE dan
diyakini berhubungan dengan penyakit intestinal.

Antibodi IgA terhadap gliadin (bagian dari protein gandum),


retikulum, dan endomycium otot halus juga ditemukan pada
pasien DH yang mengalami GSE.
Antibodi endomysial IgA sangat spesifik pada sensitivitas
gluten dan ditemukan pada 80% pasien DH dan lebih dari 95%
pasien CD. Adanya antibodi antiendomysial IgA berhubungan
dengan perluasan penyakit intestinal; bagaimanapun juga,
beberapa pasien DH tidak memiliki antibodi antiendomysial,
bahkan selama episode penyakit kulit aktif.

Kriteria standar diagnosis DH adalah ditemukannya deposit


granuler IgA pada kulit yang tampak normal.

Pasien dengan pemphigoid bulosa, pemphigoid sikatrik,


Henoch-Schonlein purpura, dan penyakit hati alkoholik dapat
juga memiliki deposit IgA pada kulit mereka yang normal;
bagaimanapun juga, pola deposit IgA nya berbeda dari yang
terlihat pada pasien DH.

Pada pasien DH, 10-15% keluarga dekat mereka juga mendapatkan


DH atau CD. Penelitian HLA menyimpulkan adanya predisposisi
genetik pada DH. Pasien DH mengalami peningkatan ekspresi
haplotype HLA-A1, HLA-B8, HLA-DR3, dan HLA-DQ2. Hal ini
identik dengan HLA yang ditemukan pada pasien DH dengan GSE.
Kebanyakan orang dengan haplotype HLA tersebut tidak menderita
DH atau GSE. Hubungan HLA dan DH adalah sebagai berikut:

o Untuk HLA-B8, hubungan dengan DH adalah 58-87%, versus 20-


30% pada pasien kontrol.

o Untuk HLA-DR3, hubungan dengan DH adalah 90-95%, versus


23% pada pasien kontrol.

o Untuk HLA-DQ2, hubungan dengan DH adalah 95-100%, versus


40% pada pasien kontrol.
Hubungan yang lain termasuk berikut ini:

o Kondisi yang berhubungan dengan enterophaty gluten, atrofi


gaster, gastric hypochlorida, dan anemia perniciosa.

o Penyakit autoimun yang berhubungan termasuk dermatomyositis,


diabetes mellitus tipe 1, myasthenia gravis, rheumatoid arthritis,
abdnormalitas Sjogren. Abnormalitas thyroid tampak pada 50%
pasien DH dan termasuk hipotiroidisme, hipertiroidisme, nodul
tiroid, dan kanker tiroid.

o Kondisi neoplastik yang berhubungan termasuk lymphoma GI dan


lymphoma non-Hodgkin; pasien memiliki resiko yan lebih tinggi
untuk mendapatkan kanker tersebut. Diet bebas gluten dapat
menurunkan insiden lymphoma karena DH.

o CD biasanya melibatkan penyebaran intestinal yang lebih berat.


CD dikaitkan dengan abnormalitas genetik, termasuk Down
syndrome, Turner syndrome, dan William syndrome. Penyakit hati,
kelainan neurologis, dan penyakit kulin lain dapat juga meningkat
pada CD, kemungkinan berkaitan dengan regio HLA umum pada
kromosom 6 atau reaktivitas silang molekul imun.

o Manipulasi pada gaster (operasi) dapat mencetuskan DH

o Beberapa zat kimia dikaitkan dengan timbulnya DH, termasuk


potassium iodida dan cairan pembersih.

o Laporan kasus menunjukkan DH yang dicetuskan oleh pengobatan


dengan leuprolide asetat.

4. Patofisiologi
DH adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh deposisi IgA di papiler
dermis, yang mencetuskan serangkaian proses immunologis, menyebabkan
pelepasan neutrofil dan aktivasi komplemen. Terdapat hipotesis bahwa DH
adalah hasil dari respon immunologis terhadap rangsangan kronis pada
mukosa usus oleh diet gluten yang menyebabkan aktivasi sel endothelial
kutaneus dan sel radang sirkulasi, termasuk neutrofil.

Predisposisi genetik yang mendasari timbulnya DH telah dipertunjukkan.


Baik DH maupun celiac disease (CD) menunjukkan peningkatan ekspresi
haplotype HLA-A1, HLA-B8, HLA-DR3, dan HLA-DQ2. Faktor
lingkungan juga penting: kembar monozigot mungkin memiliki DH, CD
dan/atau GSE dengan gejala yang bervariasi.

Bukti penyakit ini menetapkan bahwa epidermal transglutaminase 3


(TGase3), suatu enzim sitosolik yang terlibat dalam pembentukan
membran selama diferensiasi keratinosit, merupakan autoantigen DH.
Secara teoritis, DH disebabkan oleh deposisi kompleks imun sirkulasi
yang mengandung IgA dan TGase3 pada kulit. Di samping itu, telah
dipertunjukkan bahwa serum pasien DH mengandung autoantibodi IgA
anti-Tgase afinitas tinggi. TGase kulit dan usus sama-sama sangat
homolog, dan serum dari pasien GSE, dengan atau tanpa penyakit kulit,
mengandung antibodi IgA terhadap tipe kulit dan usus. Target autoantigen
dari TGase3 belum dipertunjukkan pada papiler dermis yang normal,
diduga hal tersebut merupakan bagian dari kompleks sirkulasi yang
terdeposit di papiler dermis, dan bukan berasal dari papiler dermis.

Teori mengenai DH adalah bahwa predisposisi genetik untuk sensitifitas


gluten, disertai diet tinggi gluten, menyebabkan pembentukan antobodi
IgA terhadap kompleks gluten-TGase. Reaksi silang antibodi ini dengan
TGase3, dan deposit IgA/kompleks TGase3 dalam papiler dermis
menyebabkan lesi DH. Deposit IgA ini dapat menghilang setelah
menghindari diet gluten untuk waktu yang lama (sampai 10 tahun).
Deposit IgA kutaneus pada DH telah terbukti berfungsi in vitro sebagai
ligand untuk migrasi dan pengikatan neutrofil. Meskipun deposisi IgA
sangat penting dalam penyakit ini, penigkatan serum IgA tidaklah penting
dalam pathogenesis; faktanya, terdapat laporan kasus DH pada pasien
dengan defisiensi IgA parsial. Jika penyakit ini aktif, maka neutrofil
sirkulasi memiliki kadar CD11b yang lebih tinggi dan memiliki
peningkatan kemampuan dalam mengikat IgA. Pada faktanya, penemuan
histologik khas dari DH adalah akumulasi neutrofil pada dermoepidermal
junction, seringkali berada pada ujung papiler zona membran dasar.

Kolagenase dan stromelysin 1 mungkin dihasilkan di keratinosit basal oleh


sitokin yang dilepaskan dari neutrofil atau kontak dengan keratin dari
matriks membran dasar yang rusak. Stremolysin 1 mungkin saja berperan
dalam pembentukan vesikula.

Salah satu penelitian menemukan kadar ekspresi E-selectin mRNA pada


kulit yang tampak normal dari pasien DH ternyata 1271 kali lebih besar
daripada kontrol. Di samping itu, penelitian yang sama mengamati
peningkatan E-selectin soluble, antibodi transglutaminase antijaringan
IgA, tumor nekrosis faktor-alpha, dan kadar serum interleukin 8 pada
pasien DH, memberikan bukti lebih lanjut mengenai aktivasi sel
endothelial dan respon radang sistemik sebagai bagian dari mekanisme
pathogenik penyakit. Trauma lokal ringan dapat juga mencetuskan
pelepasan sitokin dan menarik neutrofil yang diaktifkan secara parsial,
yang sesuai dengan lokasi khas lesi DH yaitu pada area yang sering
mengalami trauma, seperti lutut dan siku.

Deposit C3 dapat juga hadir dalam pola yang sama pada dermoepidermal
junction. Kompleks pengikatan membran, C5-C9, juga telah diidentifikasi
pada kulit yang berdekatan dengan lesi, meskipun mungkin tidak aktif dan
tidak berperan dalam terjadinya lisis sel.
Faktor hormonal dapat juga memainkan peran dalam pathogenesis DH,
dan 2 laporan terbaru menunjukkan DH dicetuskan oleh pengobatan
dengan leuprolide acetate, suatu analo hormon pelepas gonadotropin.
Androgen memiliki efek supresif terhadap aktivitas imun, termasuk
menurunkan autoimunitas, dan keadaan defisien androgen dapat saja
berpotensi menyebabkan eksaserbasi DH.

Apoptosis mungkin berperan dalam pathogenesis perubahan epidermal


pada DH, dan penelitian terbaru menunjukkan peningkatan angka
apoptotik dalam kompartemen epidermal pada DH. Protein Bcl-2 dan Bax
meningkat pada kompartemen perivaskular dermal dan protein Fas
menunjukkan pewarnaan epidermal pada lesi DH.

Kebanyakan pasien DH memiliki bukti histologik terhadap enterophaty,


bahkan jika tidak ditemukan gejala malabsorpsi. Pada salah satu penelitian
terbaru, semua pasien DH menunjukkan peningkatan permeabilitas
intestinal (yang diukur dengan ratio laktulose/manitol) dan penambahan
reseptor zonulin, suatu regulator pada junction yang kuat. Jadi,
peningkatan ekspresi zonulin dapat saja terlibat dalam pathogenesis
enteropathy pada pasien DH.

5. Gambaran Klinis
Riwayat Penyakit
Pasien biasanya tampak lesu, dan menunjukkan erupsi yang gatal pada
tangan, lutut, dan bokong. Vesikula kecil dapat terlihat. Mereka juga
mengalami perburukan penyakit jika mengkonsumsi diet tinggi gluten.
Banyak yang tidak mengeluhkan gejala GI kecuali jika ditanya.

Fisik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan distribusi erupsi.
Kulit yang bewarna sampai menjadi papula ekskoriasi eritemoatosa
atau papula dengan vesikula herpetiformis (i.e kecil, berkelompok)
yang terdistribusi simetris pada permukaan ekstensor, termasuk siku,
lutut, bokong, dan pundak.

Gambar 1. Dermatitis herpetformis pada daerah siku

Gambar 2. Dermatitis herpetiformis pada daerah lutut

Gambar 3. Dermatitis herpetiformis di daerah abdomen

Gambar 4. Dermatitis herpetiformis di daerah bokong


Jarang terjadi pada kepala posterior dan wajah. Lesi jarang ditemukan
pada mukosa mulut, namun laki-laki lebih sering mendapatkan lesi di
membran mulut dan genital dibandingkan perempuan. Vaskulitis
purpura digitalis dapat terjadi. Papula eritematosa dan papula seperti
urtikaria tidak terlalu sering terjadi; bula jarang terjadi.

Erupsi yang terjadi sangat gatal, pasien seringkali datang dengan erosi
dan krusta jika tidak ditemukannya vesikula, yang ruptur karena
eksoriasi.

Gejala khas meliputi nyeri seperti terbakar, perih, dan gatal hebat.
Terakadang, jik ada, pasien tidak mempunyai keluhan sama sekali,
meskipun tingkat gatal yang dirasakan bervariasi.

DH adalah penyakit seumur hidup, meskipun eksaserbasi dan remisi


lazim terjadi.

6. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil biopsi kulit. Bagaimanapun juga,
uji lain tetap harus dilakukan bergantung pada timbulnya gejala yang
berhubungan dengan sindrom yang muncul. Serum marker, seperti
antibodi endomysial IgA negatif pada 10-30 pasien dengan DH. Banyak
argumen mengenai uji transglutaminase jaringan dalam menegakkan
diagnosis, namun nilai positif dari immunoadsorbent assay dapat
ditemukan pada banyak penyakit autoimun yang disebabkan oleh kotoran
dan reaktifitas-silang.

Diagnosis ditegakkan setelah meninjau penemuan ciri khas penyakit pada


spesimen biopsi kulit. Sample biopsi harus diambil dari tepi lesi untuk
pewarnaan hematoxylin dan eosin dan dari kulit normal yang dekat dengan
lesi untuk pewarnaan immunofluresens.
Immunofluoresens langsung pada kulit dengan lesi seringkali memberikan
hasil negatif palsu. Respon imun yang hebat akan menurunkan antibodi
IgA pada tempat lesi. Oleh karena itu, spesimen biopsi untuk pemeriksaan
immunofluoresens langsung harus diambil dari kulit yang tampak normal.

7. Gambaran Histologik
Spesimen biopsi dari kulit berlesi menunjukkan neutrofil pada papilla
dermal, dengan deposisi fibril, fragmen neutrofil, dan edema. Eosinofil
dapat juga ditemukan. Bentuk mikroabses papiler terbentuk dan
berkembang menjadi vakuolisasi subepidermal dan pembentukan vesikel.
Vesikel terbentuk di lamina lucida, bagian paling lemah pada
dermoepidermal junction, yang dikarenakan oleh enzim lisosom neutrofil.

Diagnosis banding histologik dari lesi kulit dini meliputi lupus


eritematosus bulosa, pemphigoid bulosa, epidermolisis bulosa acquisita,
dan penyakit yang berhubungan dengan IgA. Diagnosis banding histologik
dari lesi kulit yang lambat meliputi erupsi obat alergik, pemphigoid
bulosa, eritema multiformis, dan herpes gestasionis.

Deposit IgA granular di papilla dermal pada kulit perilesi yang diamati
dengan immunofluoresens langsung merupakan kriteria diagnosis standar.
Inflamasi pada kulit berlesi akan menurunkan immunoreactant. Karena
deposit tersebut ditemukan pada kulit yang tampak normal, maka praktik
standarnya adalah mengambil spesimen biopsi dari kulit perilesi yang
normal untuk pewarnaan immunofluoresens langsung.

Gambar 6. tampak deposit IgA granular di papilla dermal


8. Pengobatan
Pengendalian terhadap penyakit kulit dapat dilakukan dengan obat-obatan,
menghindari diet gluten, atau keduanya.
Diet bebas gluten sangat sulit dilakukan; namun bagaimanapun,
membatasi asupan produk gandum, barley, atau gandum hitam dapat
mengurangi gejala yang timbul.

Dapsone (diaminodiphenyl sulfone) dan sulfapyridine merupakan obat


utama dalam penatalaksanaan DH.

o Sebelum immunofluoresen langsung tersedia dengan mudah,


peningkatan pesat setelah terapi dapsone merupakan kriteria
diagnostik utama untuk penyakit. Namun bagaimanapun,
banyak penyakit memberikan respon terhadap dapsone.
Dapsone telah tersedia di sebagian besar apotek dan merupakan
pilihan obat pertama.

o Untuk pasien yang tidak dapat mentolerir dapsone, khususnya


yang memberikan respon hemolisis, maka sulfapyridine dapat
menjadi obat pengganti.

o Mekanisme efek terapetik dapsone pada DH masih belum jelas.


Hal ini mungkin berhubungan dengan penghambatan migrasi
neutrofil sehingga menurunkan respon radang.

o Dapat terjadi kemajuan yang dramatis; perbaikan gejala pada


lesi kulit seringkali dimulai dalam hitungan jam. Tidak ada lesi
baru yang terbentuk sampai 2 hari setelah satu dosis dapsone;
namun bagaimanapun, dapsone tidak memperbaiki patologi
mukosal GI.

Obat yang kurang efektif terhadap DH meliputi kolkisin, siklosporin,


azatiofrin, dan prednisone. Sinar UV dapat meringankan sedikit gejala.
Siklosporin harus digunakan dengan peringatan untuk pasien dengan
DH karena berpotensi menyebabkan peningkatan resiko terjadinya
limfoma intestinal.

Obat anti radang non-steroid dapat meng-eksaserbasi DH; namun


bagaimanapun juga, ibuprofen terbilang cukup aman.

Iodida dapat menimbulkan atau meng-eksaserbasi DH.

Konsultasi
Pertimbangkan konsultasi dengan ahli gasteroenterologi untuk evaluasi
dan rekomendasi menurut GSW.

Konsultasi dengan ahli gizi sesuai dengan keinginan pasien, apakah ia


ingin memodifikasi diet untuk menghindari gluten atau ia ingin
menjalankan pola diet dasar.

Вам также может понравиться