Вы находитесь на странице: 1из 61

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
III.1 TUBERKULOSIS
III.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberkulosis complex. 1
III.1.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di
dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 penduduk. 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3
juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup
tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. 1
Table 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 20021

Jumlah kasus Kasus per 100 Kematian akibat


(Ribu) 000 penduduk TB (termasuk
kematian TB pada
penderita HIV)
Pembagian Semua Sputum Semua Sputum Jumlah Per 100
daerah WHO kasus positif kasus positif (Ribu) 000
(%) (%) penduduk
Afrika 2354 1000 350 149 556 83
(26)
Amerika 370 (4) 165 43 19 53 6
Mediteranian 622 (7) 279 124 55 143 28
timur
Eropa 472 (5) 211 54 24 73 8
Asia 2890 1294 182 81 625 39
Tenggara (33)
Pasifik Barat 2090 939 122 55 373 22
(24)
Global 8797 2887 141 63 1823 29
(100)

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB


setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan
usia. 1
Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009 adalah :
Insidens kasus : 9,4 juta (8,9 9,9 juta),
Prevalens kasus : 14 juta (12 16 juta),
Kasus meninggal (HIV -): 1,3 juta (1,2 1,5 juta),
Kasus meninggal (HIV +) : 0,38 juta (0,32 0,45 juta) 2
Gambar 5. Insidensi penyakit TB 2

III.1.3 Etiologi
Tuberkulosis di sebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Adapun jenisnya, di
antaranya adalah Mycobacterium tuberculosis (reservoar manusia),
Mycobacterium bovis (reservoar manusia dan ternak), Mycobacterium africanum
(reservoar manusia dan kera).8

Morfologi dan Struktur Bakteri


Mycobacterium tuberkulosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3
0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberkulosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberkulosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam,
yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat
warna tersebut dengan larutan asam alkohol.1, 3
Gambar 6. M.tuberculosis 9
III.1.4 Patogenesis

A. Tuberkulosis primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di


jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut,
yang dikenal sebagai epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang
adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau Meninggal. Semua
kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer. 1, 3

B. Tuberkulosis post primer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah


tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberkulosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena
dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.

Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti


akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:

- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas

- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.


Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped). 1, 3
III.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi Tuberkulosis dibagi menjadi dua, TB Paru dan TB ekstra paru


A. TUBERKULOSIS PARU

TB Paru dibagi atas : 1, 3

1. Tuberkulosis paru BTA (+)


- Sekurang-kurangnya 2 dai 3 pesimen dahak menunjukan hasil BTA
positif
- Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukan gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukan BTA positif dan
biakan positif

2. Tuberkulosis BTA (-)


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negative,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukan tuberkulosis
aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negative dan
biakan M. tuberkulosis positif.

Berdasarkan tipe pasien


a) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b) Kasus kambuh (relaps)


Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi
gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis

c) Kasus defaulted atau drop out


Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan
tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d) Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.

e) Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.

f) Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi.

B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh


lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,
saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif
atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat
dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan
konsisten dengan TB ekstraparu aktif. 1

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori, yaitu : 3


Kategori I, di tujukan terhadap :
o Kasus baru dengan BTA positif
o Kasus baru dengan bentuk TB berat

Kategori II, ditujukan terhadap :


Kasus kambuh
Kasus gagal dengan BTA positif

Kategori III, ditujukan terhadap :


Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas
Kasus TB ekstra paru selain dari kategori I

Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik

III.1.6 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan


fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya. 1, 3

Gejala Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) 1, 3

1. Gejala respiratori
- Batuk lebih dari 2 minggu/batuk darah
Batuk terjadi karea adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan
untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif. Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah
karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
- Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
- Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radng sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
2. Gejala sistemik
Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, kadang dapat
mencapai 40-41oC. Demam hilang timbul, sehingga pasien tidak
pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringanya
infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan


struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) ,
serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,


tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess. 1, 3

1
Gambar 10. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior

Pemeriksaan Bakteriologi

a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS)
- Sewaktu /spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi (keesokan harinya)
- Sewaktu/spot (saat mengantarkan dahak pagi)
Atau tiap pagi 3 hari berturut-turut.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan.

Pemeriksaan Mikroskopis
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya u
untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
bila 3 kali negatif BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberkulosis and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++

Pemeriksaan Biakan kuman


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional, dengan
cara :
Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan mendeteksi M.
tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). 1

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Luluh paru (destroyed Lung ) :
o Gambaran radiologi menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru.
Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut.
o Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti
proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti.
Lesi luas. Bila proses lebih luas dari lesi minimal. 1, 3

Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 1

Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didaptkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit
masih dibawah normal, LED mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Led mulai turun
3
kea rah normal lagi.
Uji tuberculin
Tuberkulin merupakan protein kuman Tuberkulosis yang bersifat antigenic
kuat. Jika disuntikan secara intrakutan akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi
suntikan. Indurasi terjadi karena vasodilatasi local, edem, endapan fibrin dan
meningkatkan sel radang lain di daerah suntikan. Tes ini banyak dipakai dalam
menegakkan diagnosis TBC terutama pada anak-anak (balita).8
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.

Cara mantoux
Dengan menyuntikan 0,1 ml PPD RT-23 2 TU atau PPS 5 TU intrakutan
di bagian volar lengan bawah, lalu setelah 48-72 jam dilakukan pembacaan. Dasar
tes tuberculin adalah reaksi alergi tipe lambat (hipersensitivitas tipe IV). Makin
besar pengaruh antibody humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. 3, 8

Hasil tes Mantoux :


- Indurasi D = 0-5 mm, tes mantoux negative, golongan NO sensitivity
(peran antibody humoral paling menonjol),
- Indurasi D = 6-9 mm, tes mantoux meragukan, golongan low grade
sensitivity,
- Indurasi D = 10-15 mm, tes mantoux positif, golongan normal sensitivity,
- Indurasi D >= 15 mm, tes mantoux positif kyat, golongan hypersensitivity
dengan antibodi seluler paling menonjol.3,8

Uji Tuberkulin positif dijumpai pada :


Infeksi TB alamiah, infeksi TB tanpa sakit, dan sakit TB atau pasca terapi
TB,
Imunisasi BCG (Infeksi TB buatan),
Infeksi Mycobacterium atipik.3,8
Tes Tuberkulin negatif pada 3 kemungkinan sebagai berikut :
Tidak ada infeksi TBC,
Dalam masa inkubasi infeksi TBC,
Anergi (keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan sehingga
tubuh tidak memberikan reaksi walaupun sebenarnya sudah terinfeksi
TB).3,8

Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 1

Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan
dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).
Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. 1

Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS),
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya,
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis,
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.8

Diagnosis TB ekstra paru.


Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan
alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi,
foto toraks dan lain-lain. 1
Gambar 11. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa 1
III.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.2

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
A. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan,
B. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO),
C. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.2

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat,
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu,
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.2

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama,
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.2

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau,
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau,
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru,
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari
waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila
ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi.1,2,3

TB Paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan
obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5
bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1
RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih
lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak
dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).1,2,3

TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif),
seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal
selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi
a) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB),
b) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan
hasil yang optimal,
c) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru.1,2,3

TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan
OAT dilanjutkan sesuai jadwal,
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik
tidak aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran
radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori
II maka pengobatan kategori II diulang dari awal,
Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori
II maka pengobatan kategori II diulang dari awal,
Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan
klinik dan radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama.
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur
resistensi) terhadap OAT.1,2,3

TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif
dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat
lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid,
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup,
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan,
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru,
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus.1,2,3

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.2
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal
yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB
(multidrug resistant tuberkulosis). Pengembangan strategi DOTS
untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer
pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel.2

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:


1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep
minimal,
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja,
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan
yang benar dan standar,
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit,
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi.2,8

Tabel 2. Jenis dan Dosis OAT 1,2,3


Dosis yang dianjurkan Dosis (mg) / BB (kg)
Harian Intermitten < 40 40-60 > 60
Obat Dosis Dosis
(mg/kgBB/Hr) (mg/kgBB/Hr)
(mg/kgBB maksi
/Hari) mum
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-58 15 15 1000 Sesu 750 1000
ai
BB

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 2

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu
RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1 2

Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah


Pengobatan Pengobatan hari /
kali
menelan
obat
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
@300mg @450mg @500mg @250mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif,
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif,
c. Pasien TB ekstra paru.2

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 2

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


tiap hari 3 kali seminggu
Berat Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) +
E(275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 37 kg
2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin inj.
38 54 kg
3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55 70 kg
4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg + 4 tab Etambutol
Streptomisin inj.

71 kg
1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

Tabel 6. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 2 2

Tahap Lama Dosis per hari / kali Strepto Jumlah


Isonia Rifamp Pirazi Etambu
Pengob Pengobat Etambu misin hari /
zid isin namid tol
atan an tol injeksi kali
@300 @450m @500 @250m
@400m menela
mg g mg g
g n obat
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0.75gr 56
Intensif
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)
Tahap
Lanjuta
n 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis
3x
seming
gu)
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh,
b. Pasien gagal,
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan,
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus,
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).2

Tabel 7. Dosis KDT untuk sisipan 2

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk sisipan 2

Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah


Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan
mg obat

Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau
masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang
mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang
mampu menanganinya.2

Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukan selama pengobatan.1,2
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.1,2

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada
syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra). 1,2
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat
atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB
pada keadaan khusus. 1,2

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang,
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare,
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan. 1,2

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :


a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus,
b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang,
c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. 1,2

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme
obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar
dimengerti dan tidak perlu khawatir. 1,2

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout,
hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan
asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan
reaksi kulit yang lain. 1,2

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30
mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi. 1,2

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan denganckeseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan
dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan
tuli). 1,2

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul


tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.
Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin. 1,2

Tabel 9. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya 1,2


Efek samping Minor Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum
sakit perut tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan Isoniazid Beri vitamin B6 1x100
rasa terbakar di kaki mg/hari
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
Seni diberi apa-apa

Tabel 10. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya 1,2

Efek Samping Mayor Kemungkinan Penyebab Tatalaksana


Hentikan Pengobatan
Gatal dan Kemerahan pada Semua Jenis OAT Beri antihistamin, dan
kulit evaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan Keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik / Hepatitis imbas obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan
hepatoprotektor

Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug-induced lakukan uji fungsi hati
preicteric
hepatitis)
Gangguan Penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan Rifampisin
syok dan purpura
Pengobatan Suportif / Simptomatik
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan. 1,2

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya),
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam,
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain. 1,2
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus),
b. Keadaan umum buruk,
c. Pneumotoraks,
d. Empiema,
e. Efusi pleura masif / bilateral,
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura). 1,2
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier,
b. Meningitis TB,
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan
klinis dan indikasi rawat. 1,2

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.2
Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan,
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit,
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik. 1,2

Evaluasi bakteriologik
(0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak,
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :
a. Sebelum pengobatan dimulai,
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif),
c. Pada akhir pengobatan,
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

Evaluasi radiologik
(0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan,
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan),
Pada akhir pengobatan.

Evaluasi efek samping secara klinik


Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap,
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan
gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid,
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila
ada keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan),
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi
efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya
dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
Evalusi keteraturan berobat
1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya,
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Evaluasi pasien yang telah sembuh,
3. Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto
toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila
ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. 1,2

Kriteria Sembuh
a. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat,
b. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
c. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif. 1,2ii

III.1.8 Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura 1

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi, antara lain :
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,
Poncets arthopathy
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas SOPT (Sindrom obstruksi
pasca tuberkulosis), kerusakan parenkim berat fibrosis paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa
(ARDS) sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB. 3

III.1.9 Pencegahan
Usaha preventif terhadap tuberkulosis :
1. Vaksinasi BCG
Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah
dilakukan pada anak-anak selama ini hanya memberikan daya
proteksi sebagian saja, 0-80%. Tetapi BCG masih tetap dipakai
karena dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat
(meningitis, tb milier, dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainya. 3

2. Kemoprofilaksis
Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah
dan efek samping sedikit. Obat alternatif lain adalah Rifampisin.
Beberapa peneliti pada I DAT (International Union Against
Tuberkulosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH selama 1
tahun dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan
yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai
penurunan 90%. 3

Lama profilaksis yang optimal belum diketahui, tetapi


banyak peneliti menganjurkan waktu 6-12 bulan.pada negara-
negara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya diberikan
terhadap semua pasien HIV positif dan pasien yang mendapat
terapi imunosupresi. 3

III.2 DIABETES MELITUS

III.2.1 Definisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.

III.2.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam
gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konsep tentang:

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan


hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan
sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-
2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet (gambar-1)

Gambar-1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2

(Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New


Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-
795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:


Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur
ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple
di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin,
dan tiazolidindion.

4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.

5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat


melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amylin.

7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-
2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen
dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden
dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita
DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.

III.2.3 Klasifikasi
III. Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2

III.2.4 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard
NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,
riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi
umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai
sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140 mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus Tipe -2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM (B) yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] 23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas. Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun (E), kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun (E).

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas


pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis
DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil
pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel-6 di bawah ini.

III.2.5 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas


hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi


nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis,
stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus
segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia


dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

a. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu


dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan
bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik
(B). Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan
materi edukasi tingkat lanjutan.

b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir


sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.

Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat

o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan


energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.

o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.

o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang


diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa,
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).
o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori,
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Komposisi yang dianjurkan:
o lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.4
o lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
o selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlemak dan susu fullcream.
Konsumsi kolesterol dianjurkan 200 mg/hari.

Protein

Kebutuhan protein sebesar 10 20% total asupan energi.


Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama
dengan orang sehat yaitu <2300 mg perhari(B).
Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual(B).
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin,
soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan,
buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai
sumber bahan makanan.
Pemanis Alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis
berkalori dan pemanis tak berkalori.
Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol.

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena


dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanaN
seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, neotame.

Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang


dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.
Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal
adalah sebagai berikut:

Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus


Broca yang dimodifikasi:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160
cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

BB Normal: BB ideal 10 %
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).


Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB(kg)/TB(m2)

Klasifikasi IMT*

o BB Kurang <18,5

o BB Normal 18,5-22,9

o BB Lebih 23,0

a) Dengan risiko 23,0-24,9


b) Obes I 25,0-29,9
c) Obes II 30
*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific
Perspective:Redefining Obesity and its Treatment.

c. Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan


DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani
sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur
sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total
150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut

d. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan


makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:

a) Pemacu Sekresi Insulin(Insulin Secretagogue)


Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek
samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien
dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal
hati, dan ginjal).

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.
b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa
di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung
[NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu
reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC
III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.

c) Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:


Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak
digunakan pada keadaan: GFR30ml/min/1,73 m2, gangguan faal
hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat
golongan ini adalah Acarbose.

Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1
untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.

Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter
dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1
dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :

HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik


Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis Hiperglikemia
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)


Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (Premixed insulin)
Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel
10.
Efek samping terapi insulin

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia


Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian
komplikasi akut DM
Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
Dasar pemikiran terapi insulin:

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi


prandial. Terapi insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi
insulin yang fisiologis
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi
insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan
terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang
atau panjang)

Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat


dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran
terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan
HbA1c belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa
darah prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk
mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid acting) yang disuntikan 5-10 menit sebelum makan atau insulin
kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum
makan.
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat
antihiperglikemia oral untuk menurunkan glukosa darah prandial
seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek
(golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari
lumen usus (acarbose), atau metformin (golongan biguanid)
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.

b) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan


baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-
beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk
golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan
Lixisenatide.

Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di


Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis
awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu
minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis
bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg
tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan
diberikan sekali sehari secara subkutan.

3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama
dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau
kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun
insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam
obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi
tiga obat anti-hiperglikemia oral. (lihat bagan 2 tentang algoritma
pengelolaan DMT2)

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan


pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan
sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan
mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin
dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar
glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun
sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.
Penjelasan untuk algoritme Pengelolaan DM Tipe-2
1. Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan. Pilihan obat
tetap harus mempertimbangkan tentang keamanan, efektifitas, penerimaan
pasien, ketersediaan dan harga (tabel-11). Dengan demikian pemilihan harus
didasarkan pada kebutuhan/kepentingan penyandang DM secara
perseorangan (individualisasi).

2. Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C <7.5% maka pengobatan non


farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi HbA1C 3
bulan, bila HbA1C tidak mencapa target < 7% maka dilanjutkan dengan
monoterapi oral.

3. Untuk penderita DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%-<9.0% diberikan


modifikasi gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Dalam memilih obat
perlu dipertimbangkan keamanan (hipoglikemi, pengaruh terhadap jantung),
efektivitas, , ketersediaan, toleransi pasien dan harga. Dalam algoritme
disebutkan obat monoterapi dikelompokkan menjadi
a. Obat dengan efek samping minimal atau keuntungan lebih banyak:
Metformin
Alfa glukosidase inhibitor
Dipeptidil Peptidase 4- inhibitor
Agonis Glucagon Like Peptide-1

b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati


Sulfonilurea
Glinid
Tiazolidinedione
Sodium Glucose coTransporter 2 inhibitors (SGLT-2 i)
4. Bila obat monoterapi tidak bisa mencapai target HbA1C<7% dalam waktu 3
bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang terdiri
dari obat yang diberikan pada lini pertama di tambah dengan obat lain yang
mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.

5. Bila HbA1C sejak awal 9% maka bisa langsung diberikan kombinasi 2


macam obat seperti tersebut diatas.
6. Bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali, maka
diberikan kombinasi 3 macam obat dengan pilihan sebagai berikut:
a. Metformin + SU + TZD atau

+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal

b. Metformin + TZD + SU atau


+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal

c. Metformin + DPP-4 i + SU atau


+ TZD atau
+ SGLT-2 i atau
+ Insulin basal
d. Metformin + SGLT-2 i + SU atau
+ TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ Insulin basal
e. Metformin + GLP-1 RA + SU atau
+ TZD atau
+ Insulin basal
f. Metformin + Insulin basal + TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA
7. Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka
langkah berikutnya adalah pengobatan Insulin basal plus/bolus atau premix

8. Bila penderita datang dalam keadaan awal HbA1C 10.0% atau Glukosa
darah sewaktu 300 mg/dl dengan gejala metabolik, maka pengobatan
langsung dengan
a metformin + insulin basal insulin prandial atau
b metformin + insulin basal + GLP-1 RA

Вам также может понравиться

  • Preskas
    Preskas
    Документ43 страницы
    Preskas
    fala buba
    Оценок пока нет
  • Dokter Kecil SDN 01
    Dokter Kecil SDN 01
    Документ43 страницы
    Dokter Kecil SDN 01
    syahira shamsa
    Оценок пока нет
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Документ3 страницы
    Bab Iv
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Bab Ii Pendahuluan
    Bab Ii Pendahuluan
    Документ10 страниц
    Bab Ii Pendahuluan
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Документ4 страницы
    Bab Iii
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Presus
    Presus
    Документ25 страниц
    Presus
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Tugas Mandiri Luthfi Khairul 1610221080 Revisi
    Tugas Mandiri Luthfi Khairul 1610221080 Revisi
    Документ62 страницы
    Tugas Mandiri Luthfi Khairul 1610221080 Revisi
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Naskah BPH - DMS
    Naskah BPH - DMS
    Документ7 страниц
    Naskah BPH - DMS
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • PENDAHULUAN
    PENDAHULUAN
    Документ2 страницы
    PENDAHULUAN
    fala buba
    Оценок пока нет
  • Biokim Annisa Oni
    Biokim Annisa Oni
    Документ13 страниц
    Biokim Annisa Oni
    Tebe
    Оценок пока нет
  • Leiomioma Fix
    Leiomioma Fix
    Документ29 страниц
    Leiomioma Fix
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • KDK
    KDK
    Документ15 страниц
    KDK
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Sosialisasi CRP TKT 2 Dan Abstrak
    Sosialisasi CRP TKT 2 Dan Abstrak
    Документ8 страниц
    Sosialisasi CRP TKT 2 Dan Abstrak
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Near Drowning
    Near Drowning
    Документ43 страницы
    Near Drowning
    Nurul Adibah
    Оценок пока нет
  • Ims Pkbi
    Ims Pkbi
    Документ21 страница
    Ims Pkbi
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Lapsus Upi
    Lapsus Upi
    Документ30 страниц
    Lapsus Upi
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Lapsus Plasenta2
    Lapsus Plasenta2
    Документ24 страницы
    Lapsus Plasenta2
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • VCT
    VCT
    Документ14 страниц
    VCT
    Yanna Rizkia
    Оценок пока нет
  • Cover, Daf Is
    Cover, Daf Is
    Документ2 страницы
    Cover, Daf Is
    bella
    Оценок пока нет
  • Laporan Investgasi Wabah DBD
    Laporan Investgasi Wabah DBD
    Документ33 страницы
    Laporan Investgasi Wabah DBD
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Cover CA Sevix
    Cover CA Sevix
    Документ4 страницы
    Cover CA Sevix
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Jurnal Reading
    Jurnal Reading
    Документ2 страницы
    Jurnal Reading
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • KDK Bronkopneumonia Edit
    KDK Bronkopneumonia Edit
    Документ49 страниц
    KDK Bronkopneumonia Edit
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Lapsus Plasenta2
    Lapsus Plasenta2
    Документ45 страниц
    Lapsus Plasenta2
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Modul 2 - Pencegahan Penularan HIV - DR Lukman
    Modul 2 - Pencegahan Penularan HIV - DR Lukman
    Документ22 страницы
    Modul 2 - Pencegahan Penularan HIV - DR Lukman
    Adhimas santon
    Оценок пока нет
  • Hasil Survey SMD MMD
    Hasil Survey SMD MMD
    Документ25 страниц
    Hasil Survey SMD MMD
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • KDK Anak
    KDK Anak
    Документ42 страницы
    KDK Anak
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Fisiologi Sistem Pernapasan
    Fisiologi Sistem Pernapasan
    Документ39 страниц
    Fisiologi Sistem Pernapasan
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • Hasil Survey RT 006
    Hasil Survey RT 006
    Документ26 страниц
    Hasil Survey RT 006
    luthfikhairul
    Оценок пока нет
  • REFERAT
    REFERAT
    Документ15 страниц
    REFERAT
    luthfikhairul
    Оценок пока нет