Вы находитесь на странице: 1из 44

1.

2.

3. DIAGNOSIS KOMUNITAS

POSISI DIAGNOSIS KOMUNITAS DALAM STANDAR KOMPETENSI DOKTER


INDONESIA
Diagnosis Komunitas dikembangkan untuk mendukung area kompetensi dokter khususnya
area ke-7 yaitu tentang Pengelolaan Masalah Kesehatan. Pada penjabaran area kompetensi ke-
7 ini disebutkan bahwa dokter mampu mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun
masyarakat secara komprehensif, holistik, terpadu dan berkesinambungan dalam konteks
pelayanan kesehatan primer. Diagnosis komunitas disebutkan dengan tegas dalam penjelasannya
yaitu dokter mampu menginterpretasi data kesehatan masyarakat dalam rangka mengidentifikasi
dan merumuskan diagnosis komunitas. Selain itu diagnosis komunitas juga merupakan
implementasi dari ketrampilan yang harus dilaksanakan secara mandiri (Kompetensi 4A).
Ketrampilan tersebut antara lain:
1. Memperlihatkan kemampuan pemeriksaan medis di komunitas
2. Memperlihatkan kemampuan penelitian yang berkaitan dengan lingkungan

DEFINISI DAN CAKUPAN


Definisi komunitas
Komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki paling tidak ada satu
kesamaan sifat yang berlaku untuk semua anggota komunitas bersangkutan. Kesamaan sifat ini
bisa berupa kesamaan wilayah misalnya komunitas Jakarta; kesamaan pekerjaan misalnya
komunitas guru; kesamaan suku misalnya komunitas Betawi; kesamaan kondisi perumahan
misalnya komunitas perumnas; dan sebagainya. Komunitas dapat juga didefiniskan sebagai
sebagian dari anggota masyarakat yang lebih besar, serta memiliki kesamaan sifat atau minat.
Sebagai contoh adalah sebagian dari masyarakat Jakarta yang memiliki minat yang sama
terhadap cabang olahraga sepakbola dan menjadi fans Persija, yakni komunitas Jakmania.

Adanya kesamaan sifat dari semua anggota komunitas ini telah membantu keterkaitan di antara
mereka satu sama lain. Keterkaitan antara bagian komunitas atau subsistem dari suatu
komunitaslah yang dapat mendorong agar komunitas bersangkutan berfungsi secara baik. Hal ini
pula yang mampu diberdayakan dalam aspek kesehatan sehingga seluruh komunitas mampu
bersama-sama menggunakan potensi yang ada didalamnya untuk menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatannya.

Definisi diagnosis komunitas


Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan adanya suatu masalah dengan cara
pengumpulan data di masyarakat lapangan. Menurut definisi WHO, diagnosis komunitas adalah
penjelasan secara kuantitatif dan kualitatif mengenai kondisi kesehatan di komunitas serta faktor
faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatannya. Diagnosis komunitas ini mengidentifikasi
masalah kemudian mengarahkan suatu intervensi perbaikan sehingga menghasilkan suatu
rencana kerja yang konkrit. Keterampilan melakukan diagnosis komunitas merupakan
keterampilan yang harus dikuasai oleh dokter untuk menerapkan pelayanan kedokteran secara
holistik dan komprehensif dengan pendekatan keluarga dan okupasi terhadap pasien. Dalam
penerapannya, penggunaan diagnosis komunitas dalam suatu program kesehatan adalah sebagai
berikut :
- untuk berperan sebagai referensi data kesehatan dalam suatu wilayah
- untuk menyediakan gambaran secara keseluruhan mengenai masalah kesehatan pada
komunitas lokal dan penduduknya
- untuk merekomendasikan intervensi yang akan dijadikan prioritas dan solusi pemecahan
masalah yang mampu laksana
- untuk mengindikasi alokasi sumber daya dan mengarahkan rencana kerja di masa depan
- untuk menciptakan peluang dari kolaborasi inter sektoral dan keterlibatan media
- untuk pembentukan dasar indikator keberhasilan dari evaluasi program kerja kesehatan.

Oleh karena itu diagnosis komunitas harus disadari bukan sebagai suatu kegiatan yang berdiri
sendiri namun merupakan bagian dari suatu proses dinamis yang mengarah kepada kegiatan
promosi kesehatan dan perbaikan permasalahan kesehatan di dalam komunitas. Diagnosis
komunitas merupakan awal dari siklus pemecahan masalah untuk digunakan sebagai dasar
pengenalan masalah di komunitas, sehingga dilanjutkan dengan suatu perencanaan intervensi,
pelaksanaan intervensi serta evaluasi bagaimana intervensi tersebut berhasil dilakukan di
komunitas.

Oleh karena itu diagnosis komunitas TIDAK hanya berhenti pada identifikasi (diagnosis)
masalah, tetapi juga mencakup solusi (treatment) untuk mengatasi masalah berdasarkan sumber-
sumber yang ada. Untuk lebih menjelaskan diagnosis komunitas, dibawah ini dijelaskan
perbedaan antara Kedokteran komunitas (Community Medicine) dengan Kedokteran rumah sakit
dan perbedaan antara Diagnosis Komunitas dengan diagnosis klinis

Tabel 1. Perbedaan antara Kedokteran komunitas dan Kedokteran Rumah Sakit


Karakteristik Kedokteran Komunitas Kedokteran Rumah Sakit
Area pelayanan Populasi di area kerja Pasien yang datang ke fasilitas
kesehatan
Strategi Aktif dan pasif Pasif, menunggu pasien datang
operasional
Organisasi Terdiri atas puskesmas, pustu, Terdiri atas hubungan yang tidak
posyandu mengikat antara pelayanan primer,
sekunder dan tersier
Bentuk Komprehensif (health promotion, Hanya kuratif
pelayanan specific protection, early diagnosis
dan prompt treatment, disability-
limitation, rehabilitation
Koordinasi Ada koordinasi dengan departemen Tidak ada hubungan
Intersektoral kesehatan dan jajarannya
Partisipasi Mengikut sertakan masyarakat Partisipasi terbatas
masyarakat dalam program kesehatan
Analisis cost- Memberikan high cost- benefit rasio Memberikan poor cost- benefit
benefit melalui minimum-expenditure dan rasio melalui maximum-
maximum-result expenditure dan minimum-result

(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2. Jaypee Brothers
Medical Publisher, 2010)
Tabel 2. Perbedaan antara Diagnosis komunitas dan Diagnosis Klinis
N Diagnosis Klinis Diagnosis Komunitas
o
1 Dilakukan oleh dokter Dilakukan oleh dokter atau
epidemiologis
2 Fokus perhatian : pasien Fokus perhatian : komunitas /
masyarakat
3 Fokus perhatian : hanya Fokus perhatian : orang sakit
orang sakit dan sehat
4 Dilakukan dengan Dilakukan dengan cara
memeriksa pasien survey
5 Diagnosis didapat Diagnosis didasarkan atas
berdasarkan keluhan dan Riwayat Alamiah Perjalanan
simtom Penyakit ( Natural history of
disease)
6 Memerlukan pemeriksaan Memerlukan penelitian
laboratorium epidemiologi
7 Dokter menentukan Dokter/epidemiologis
pengobatan merencanakan plan of action
8 Pengobatan pasien menjadi Pencegahan dan Promosi
tujuan utama menjadi tujuan utama
9 Diikiuti dengan follow up Diikuti dengan program
kasus evaluasi
10 Dokter tertarik Dokter/epidemiologis tertarik
menggunakan teknologi dengan nilai2 statistik
tinggi

(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2. Jaypee Brothers
Medical Publisher, 2010)
Sama seperti halnya melakukan diagnosis terhadap pasien, maka pelaksanaan diagnosis
komunitas dilakukan dengan mengikuti kaidah kaidah tertentu, agar data (diagnosis) yang
diperoleh dapat dipercaya. Dalam melaksanakan diagnosis komunitas, perlu disadari bahwa yang
menjadi sasaran adalah komunitas (yang terdiri dari sejumlah orang) sehingga sangat ditunjang
oleh pengetahuan epidemiologi, statistik, manajemen dan ilmu ilmu sosial lainnya.

TUJUAN KOMPETENSI DIAGNOSIS KOMUNITAS


Tujuan utama dari penguatan kompetensi diagnosis komunitas adalah dokter mampu
mengidentifikasi masalah kesehatan di komunitas dan membuat solusi pemecahannya. Secara
khusus, tujuannya adalah dokter mampu :
- mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat
- mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
- menganalisis permasalahan kesehatan dan mengajukan solusi pemecahannya
- menjelaskan struktur organisasi fasilitas kesehatan tingkat primer
- berkomunikasi secara baik dengan masyarakat
- membuat usulan pemecahan terhadap masalah kesehatan

MANFAAT DIAGNOSIS KOMUNITAS


Setelah mendapatkan diagnosis komunitas, maka manfaat yang bisa didapatkan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi kesehatan dari komunitas bersangkutan saat ini
Pertanyaan ini menekankan pada keadaan tingkat kesehatan sebenarnya yang saat ini sedang
dihadapi oleh komunitas bersangkutan. Indikator kesehatan masyarakat yang dikumpulkan
dalam proses diagnosis komunitas akan memberikan gambaran mengenai permasalahan
kesehatan apa saja yang sedang dihadapi oleh anggota komunitas. Mengingat cukup banyak
masalah kesehatan masyarakat yang dapat terjaring dalam tahap ini, maka perlu ditetapkan
permasalahan kesehatan yang bersifat prioritas serta memerlukan penanganan segera.

2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan komunitas ini bisa ditingkatkan


Pada tahap ini team penilai harus menetapkan harapan mengenai sejauh mana upaya
perbaikan kondisi kesehatan ini ingin diperbaiki. Memang sesuai kesepakatan internasional
tentunya kita ingin mencapai tingkat yang ditetapkan oleh target (misalnya MDG). Namun
harus diingat bahwa target tersebut masih sangat jauh sehingga besar kemungkinan belum
dapat dicapai dalam waktu singkat. Penetapan ini harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan yang dimiliki oleh komunitas bersangkutan.

3. Untuk mengetahui bagaimana caranya untuk meningkatkan kondisi kesehatan komunitas


Setelah team menetapkan tingkat kesehatan masyarakat yang ingin dicapai dalam upaya
peningkatan kondisi komunitas bersangkutan, maka perlu dikembangkan beberapa pilihan
cara untuk mencapai harapan tersebut. Pilihan-pilihan ini sudah barang tentu mempunyai
konsekuensi mengenai sumber daya yang diperlukan, sehingga team harus memilih cara solusi
yang paling efektif dan paling efisien dalam pencapaian target yang telah ditetapkan.

LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN DIAGNOSIS KOMUNITAS


Langkah langkah untuk melakukan diagnosis komunitas tidaklah sesederhana seperti melakukan
diagnosis pada seorang pasien, karena yang akan menjadi sasaran adalah suatu komunitas yang
terdiri atas sekelompok penduduk yang mempunyai karakteristik yang (kurang lebih) sama dan
tinggal di area yang tertentu. Selain itu, hasil dari diagnosis komunitas tidak selalu berbentuk
penyakit, tetapi bisa masalah-masalah non medis yang menyebabkan suatu penyakit. Ini
disebabkan karena masalah kesehatan dalam komunitas merupakan akibat dari berbagai
determinan sesuai dengan teori Blum yang menyatakan ada
4 determinan yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik (urutan sesuai dengan
kontribusi terhadap masalah kesehatan).

Langkah-langkah penerapan diagnosis komunitas adalah secara bertahap yaitu:


1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
2. Menentukan instrument pengumpulan data
3. Pengumpulan data dari masyarakat
4. Menganalisis dan menyimpulkan data
5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi.

Langkah 1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan


Pada fase awal pertemuan pendahuluan harus ditentukan tim pelaksana yang berperan mengelola
dan mengkoordinasikan diagnosis komunitas. Tim ini harus mengidentifikasi dana dan sumber
daya yang tersedia untuk menentukan batasan dari diagnosis komunitas. Beberapa cakupan yang
umum untuk dipelajari dalam diagnosis komunitas adalah status kesehatan, gaya hidup, kondisi
tempat tinggal, kondisi sosial ekonomi, infrastruktur sosial dan fisik, tidak berimbangnya
fasilitasi dan akses kesehatan (inequality), termasuk mengenai pelayanan kesehatan masyarakat
dan kebijakan yang sudah ada.

Menurut epidemiologi, penentuan masalah (medis dan non medis) di komunitas harus memakai
indikator yang merepresentasikan permasalahan komunitas/ masyarakat. Berikut adalah indikator
status kesehatan yang biasa dipakai untuk menggambarkan masalah kesehatan di komunitas:
1. Angka Kematian (Mortality rate): AKK, AKI, AKB, Angka Kematian akibat penyakit
tertentu, dll
2. Angka Kesakitan (Morbidity rate): Insiden, prevalen (menyangkut berbagai penyakit)
3. Angka Ke-cacatan (Disability rate): Angka absensi, dll

Selain indikator diatas terdapat indikator lain yang sering dipergunakan misalnya :
1. Indikator jangkauan pelayanan kesehatan, misalnya cakupan ibu hamil yang mendapat
pelayanan ANC.
2. Rasio petugas kesehatan-penduduk, misalnya rasio dokter : penduduk
3. Indikator kesehatan lingkungan, misalnya persentase penduduk yang mendapat air bersih
4. Indikator sosio-demografi (komposisi/struktur/distribusi, income per capita, angka buta
huruf, dll)

Bila kita mau mengetahui masalah kesehatan suatu komunitas, maka jalan yang paling baik
adalah melakukan survey yang mengumpulkan data-data sesuai indikator diatas. Kegiatan ini
akan memakan waktu lama dan biaya yang banyak. Oleh karena itu sebagai pendekatan awal ada
cara lain yang dapat digunakan yaitu dengan menganalisis laporan penyakit/kematian yang ada
disuatu wilayah. Data ini bisa diperoleh dari hasil penelitian kesehatan atau laporan tahunan
puskesmas (harap diingat bahwa tidak semua orang yang sakit datang ke puskesmas). Pola
penyakit di suatu area biasanya akan selalu sama dalam kurun waktu tertentu, kecuali bila ada
kejadian luar biasa. Dalam situasi ini maka penyakit yang akan menjadi area diagnosis
komunitas dalam pelatihan modul komunitas, tidak selalu harus yang paling banyak ditemukan.
Dalam keadaan tertentu, masalah kesehatan dapat pula ditanyakan kepada orang orang yang
dianggap mempunyai pengetahuan dalam hal ini, misalnya pimpinan puskesmas, kepala daerah
(camat, lurah) atau orang orang yang bergerak dalam bidang kesehatan (guru, kader). Untuk
mendapatkan informasi dari orang orang ini, maka dapat dipergunakan metoda NGT atau Delphi
tehnik.

Bila sudah ditemukan area masalah, maka juga perlu mengetahui berbagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya masalah tersebut. Konsep terjadinya penyakit menurut Blum dapat
dipakai untuk membuat kerangka konsep yang menjelaskan mengapa penyakit tersebut terjadi.
Ini akan membantu menentukan data apa yang akan dikumpulkan dari masyarakat agar
mendapatkan masalah yang utama dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengatasi masalah
tersebut.

Langkah 2. Menentukan instrument pengumpulan data


Tergantung data apa yang akan dikumpulkan, maka diperlukan metode pengumpulan data
(instrumen) yang sesuai. Data dapat dikumpulkan melalui observasi (menggunakan cek lis),
wawancara (dengan kuesioner), pemeriksaan (TB, BB, pemeriksaan lab) atau menggunakan data
sekunder dari rekam medis. Bila menggunakan kuesioner, maka kuesioner tersebut haruslah
diuji-coba untuk mengetahui apakah kuesioner itu baik (valid dan reliabilitas) serta mengetahui
realitas pelaksanaan sebenarnya (lama wawancara, situasi lapangan, dll). Untuk menguji
kuesioner sebaiknya dicobakan pada 30 responden.

Langkah 3. Pengumpulan data dari masyarakat


Pada tahap ketiga yaitu pengumpulan data dan analisis, sebaiknya dilakukan dengan kombinasi
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, latar belakang wilayah yang dibahas harus
dipelajari melalui data statistik dan hasil sensus populasi, misalnya besarnya populasi, struktur
jenis kelamin dan usia masyarakat, pelayanan kesehatan perorangan dan masyakarat, pelayanan
sosial, pendidikan, perumahan, keamanan publik dan transportasi. Untuk mengumpulkan data
dari komunitas, hal yang dapat dilakukan adalah melakukan survey, menggunakan kuisioner
mandiri (self administered questionnaire), kemudian wawancara atau fokus grup diskusi atau
acara dengan telepon.

Untuk memastikan reliabilitas datanya, sebaiknya institusi yang sudah berpengalaman seperti
institusi pendidikan, dilibatkan dalam diagnosis komunitas. Penentuan sampel harus
direncanakan secara hati-hati, sehingga jumlah sampelnya mampu mewakili kondisi lokal
komunitas yang dikaji, sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang valid.

Agar data yang dikumpulkan merepresentasikan gambaran masyarakat, maka perlu ditentukan
sasaran penduduk yang akan menjadi responden, berapa jumlahnya serta lokasinya tinggalnya.
Sebaiknya penentuan sasaran berdasarkan probability sampling, kecuali bila terpaksa dapat
dilakukan non probability sampling. Hal ini juga berlaku bila responden diambil dari rekam
medis atau pengunjung puskesmas.

Strategi menemui responden di lapangan memerlukan persiapan khusus, yaitu mendapatkan ijin
dari kepala daerah setempat. Dalam hal ini, sebaiknya mahasiswa meminta kepala puskesmas
membuat surat kepada kepala daerah setempat menjelaskan bahwa Puskesmasnya akan
melakukan pengumpulan data. Ini dilakukan, agar masalah ijin pengumpulan data menjadi
mudah dan memang kegiatan ini merupakan kegiatan untuk menunjang puskesmas. Selain itu,
bila diperlukan, pimpinan puskesmas dapat dimintakan bantuannya untuk memfasilitasi agar ada
petugas/kader yang membantu mengantar mahasiswa mengumpulkan data (misalnya kader atau
pegawa puskesmas). Bila data berasal dari rekam medik, maka mahasiswa dapat meminta
bantuan pimpinan puskesmas memfasilitasi agar petugas terkait memahami apa yang akan
dilakukan mahasiswa dalam rangka diagnosis komunitas, dan mahasiswa juga harus menjaga
agar rekam medik kembali tersusun seperti semula dan tidak ada yang hilang, termasuk menjaga
kerahasiaan data pasien. Semua kuesioner (data) yang didapat haruslah diperiksa kelengkapan
serta kebenarnya, sebelum dianalisis.

Rencana mendapatkan data harus dibuat seperti proposal penelitian sederhana yang terdiri
atas :
a. Latar belakang
b. Tujuan
c. Metoda
d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)
e. Instrumen yang dipakai (observasi, kuesioner atau pemeriksaan)
f. Batasan operasional data yang diambil
Langkah 4. Menganalisis dan menyimpulkan data
Tahap keempat adalah penentuan kesimpulan diagnosis komunitas yang dihasilkan dari
pengolahan dan interpretasi analisis data yang ada. Hasil diagnosis sebaiknya terdiri atas tiga
aspek yaitu :
- Status kesehatan di komunitas
- Determinan dari masalah kesehatan di komunitas
- Potensi dari pengembangan kondisi kesehatan di komunitas dan area yang lebih luas

Beberapa hal umum yang menjadi sifat hasil analisis data diagnosis komunitas adalah:
- Informasi statistik lebih baik ditampilkan dalam bentuk rate atau rasio untuk perbandingan
- Tren atau proyeksi sangat berguna untuk memonitor perubahan sepanjang waktu yang
diamati serta perencanaan ke depan
- Data wilayah atau distrik lokal dapat dibandingkan dengan distrik yang lain atau ke
seluruh populasi
- Tampilan hasil dalam bentuk skematis atau gambar dapat digunakan untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mudah dan cepat

Langkah 5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi


Tahap terakhir adalah presentasi atau diseminasi hasil diagnosis komunitas. Tahap ini
menunjukkan bahwa diagnosis komunitas tidak pernah menjadi akhir dari program kerja.
Diagnosis komunitas harus dilanjutkan dengan usaha untuk mengkomunikasikannya sehingga
memastikan prioritas tindak lanjut yang harus segera diambil. Target pihak-pihak yang harus
dilibatkan dalam mengetahui hasil diagnosis komunitas adalah para perumus kebijakan,
profesional kesehatan serta tokoh tokoh masyarakat di dalam komunitas. Umumnya hasil dari
diagnosis komunitas dapat di diseminasi melalui berbagai forum yaitu misalnya presentasi pada
pertemuan dewan kesehatan masyarakat atau tokoh masyarakat dan forum khusus organisasi
swadaya masyarakat, dalam rilis media massa atau satu seminar khusus mengenai promosi
kesehatan.
Penerapan langkah diagnosis komunitas dapat dijabarkan secara skematis seperti gambar berikut,
yang menekankan perlunya kombinasi dari penggunaan data sekunder serta pendekatan
kuantitatif dan kualitatif dalam memetakan permasalahan kesehatan di komunitas.

TAHAPAN KERJA DIAGNOSIS KOMUNITAS


Tahapan kerjanya adalah:
1. Menentukan area masalah yang dihadapi puskesmas. Area masalah yang dimaksud bisa
diambil dari program program yang dilaksanakan di puskesmas. Untuk itu ada beberapa
sumber untuk menentukan area yaitu melihat data jangkauan pelayanan atau pencapaian
program serta menanyakan kepada pimpinan puskesmas yang dianggap sebagai informan
kunci
2. Menentukan masalah yang spesifik yang ada di area tersebut. Cara menentukannya adalah
dengan menanyakan kepada dokter puskesmas atau penanggung jawab program yang
bersangkutan
3. Membuat proposal sederhana untuk merumuskan langkah langkah metode diagnosis
komunitas mencakup sasaran, sampel, instrumen yang dipakai dan batasan operasional data
yang akan diambil
4. Persiapan pengumpulan data di lapangan atau dari pengunjung puskesmas
5. Menganalisis data secara deskriptif dengan menggunakan program analisis. Dalam
diagnosis komunitas ini uji statistik inferens tidak penting untuk dilakukan
6. Membuat laporan untuk diseminasi ke pimpinan dan pengelola program terkait di
puskesmas

LAPORAN DIAGNOSA KOMUNITAS


I. Pendahuluan
A. Latar belakang
B. Analisa Situasi (kondisi sosiodemografis, fakta-fakta yang ada, data sekunder)
C. Permasalahan permasalahan yang ditemukan
D. Penetapan prioritas masalah (FGD/ NGT/ USG/ MCUA, dll)
E. Membuat alat ukur untuk mengambil data primer (questioner, check list, dll)

II. Landasan Teori


Teori yang terkait dengan masalah yang telah ditetapkan menjadi prioritas

III. Analisa Data Primer


Menganalisa data primer yang telah didapat, sebagai dasar dalam menentukan akar
penyebab masalah

IV. Penentuan akar penyebab permasalahan


Menggunakan fishbone atau problem tree

V. Penetapan prioritas penyebab permasalah


Menetapkan satu penyebab masalah yang paling urgent untuk diselesaikan dan
membawa daya ungkit yang besar ( FGD/ NGT/ USG/ MCUA, dll)

VI. Pemecahan penyebab masalah dan alternatifnya


Menetapkan beberapa solusi untuk mengatasi /menyelesaikan penyebab masalah

VII. Rencana kegiatan jangka pendek


Menyusun langkah-langkah konkrit dari solusi yang telah disepakati untuk dilakukan
pada tahap promosi kesehatan (dalam bentuk table)
a. Rencana kegiatan
b. Tujuan kegiatan
c. Tempat/lokasi kegiatan
d. Waktu
e. Sasaran
f. Target
g. Metode yang digunakan
h. Indikator keberhasilan
i. Metode evaluasi
j. Penanggung jawab kegiatan
k. Anggaran yang dibutuhkan

VIII. Rencana kegiatan jangka panjang


Menyusun langkah-langkah yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan (dalam
bentuk table)
a. Rencana kegiatan
b. Tujuan kegiatan
c. Tempat/lokasi kegiatan
d. Waktu
e. Sasaran
f. Target
g. Metode yang digunakan
h. Indikator keberhasilan
i. Metode evaluasi
j. Penanggung jawab kegiatan
k. Anggaran yang dibutuhkan

IX. Daftar Pustaka

Komponen Diagnosis Komunitas Pada Puskesmas Pahandut

A. Demografi dan angka statistik penduduk

1. Data Puskesmas

a. Geografi
- 1 Km dari Ibukota, 40 Km dari Provinsi
- Ketinggian 7100 dari Permukaan Laut
- Kategori Kecamatan Urban
- Luas wilayah 25,71 Km2
- Terdiri 4 Kelurahan dan 11 desa

2. Data Penduduk

a. Data Kepadatan Penduduk

- Tahun 2014 jumlah = 55.008

- Kepala Keluarga= 11.412

-Jumlah laki laki sebanyak 19.872 jiwa

- Jumlah perempuan sebanyak 19.025 jiwa

- Penduduk saat ini : 57.261

- Jumlah laki laki : 30.100

- Jumlah perempuan : 27.161

b. Pekerjaan

- Pekerjaan:

- Petani/Perkebunan/Peternakan = 24,35%,
- Jasa = 12,22%

- PNS/TNI/Polri = 13,09%

- Pedagang = 14,84%

c. Kesehatan

- Sarana air bersih 90,42%

- Jamban keluarga 92,10%

- Rumah sehat 82,70%

- Tempat penampungan sampah 53,76%

- Tempat pengelolaan makanan 84,2%

B. Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat, dukun)


b. Sarana Prasarana

Puskesmas Induk = 1 buah.


Puskesmas Pembantu = 3 buah
Posyandu = 38 buah
Poskesdes = 4 buah
Puskesmas Keliling = 1 buah
Polindes = 7 buah
Bidan dan dokter praktek swasta untuk pelayanan ada
Rumah Sakit Bersalin = 1 buah
Badan Pusat Statistik = 2 buah
Desa/Kelurahan Siaga = 15 buah

c. Tenaga Kerja

- Dokter Umum = 4 Orang

- Dokter Gigi = 1 Orang

- D3 Perawat Gigi = 2 Orang

- D3 Perawat = 12 Orang

- Analis Kesehatan 3 Orang

- Apoteker = 1 Orang

- D3 Kebidanan = 17 Orang
- Kesmas = 3 Orang

- Tata Usaha = 5 Orang

- Asisten apoteker = 2 Orang

- D3 Sanitarian = 3 Orang

- Psikolog Anak = 1 Orang

Visi

- Pelayanan kesehatan yang berkesinambungan menuju masyarakat sehat dan mandiri

Misi

- Memberikan pelayanan sesuai dengan standar mutu pelayanan kesehatan

- Memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara berkesinambungan.

Strategi

- Meningkatkan pelayanan kesehatan (kuratif dan rehabilitatif) di puskesmas induk

- Meningkatkan pelayanan promotif dan preventif dalam bentuk klinik sehat

- Meningkatkan pelayanan kesehatan (kuratif dan rehabilitative) di puskesmas pembantu


dan puskesmas keliling

- Memperkuat jaringan komunikasi dan koodinasi dengan stake holder.

- Memperkuat jaringan peran serta masyarakat di bidang kesehatan

C. Pola penyakit:
o Penyebab utama dari gangguan kesehatan
- Jarang melakukan aktivitas pembersihan tingkat RT Saluran pembuangan air
limbah rumah tangga menjadi tidak lancar dan barang barang bekas menjadi
tempat jentik nyamuk.

o Jenis penyakit yang paling banyak


No Permasalahan Jumlah Pencapaian
Kesehatan

1 Demam Berdarah Dengue 25 3,41%


2 Diare 548 74,76%

3 Gizi 160 21,82%

o Masalah kesehatan khusus


o Sarana kesehatan yang ada sesuai data diatas.

4. PRIORITAS MASALAH BERDASARKAN HANLON KUANTITATIF

Tujuan :

Identifikasi faktor-faktor yang dapat diiukutsertakan dalam proses


penentuan masalah

Mengelompokkan faktor-faktor yang ada dan memberi bobot terhadap


kelompok faktor tersebut

Memungkinkan anggota untuk mengubah faktor dan nilai sesuai


kebutuhannya.

Terdapat 4 kriteria :

Kelompok A : Besarnya masalah (Magnitude)

Kelompok B : Keseriusan masalah (Emergency/Seriousness)

Kelompok C : Efektivitas (Causability)

Kelompok D : PEARL faktor


Kriteria A (Besarnya Masalah)
Anggota kelompok merumuskan faktor apa saja yang digunakan untuk menentukan
besarnya masalah, misalnya (1) Besarnya persentasi/ prevalensi penduduk yang
menderita langsung karena penyakit tersebut (2) Besarnya pengeluaran biaya yang
diperlukan perorang rata-rata untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut.

Menurut data pada pemicu, DBD mencapai 3,41% , diare mencapai 74,76%, dan
balita kurang gizi mencapai 21,82%. Dari data ini langsung dapat diklasifikasikan
nilai 0-10 berdasarkan tabel Hanlon Kuantitatif sebelumnya.
Penilaian terhadap pengeluaran ini didasarkan pada kemungkinan biaya pengobatan
perorang ke puskesmas sekitar Rp 10.000,- sampai dengan Rp 15.000,- . Kali ini
diambil yang paling kecil adalah Rp 10.000,- dan dikalikan dengan total seluruh
penderita yang masing-masing mengalami masalah kesehatan. Dari data pada
pemicu, didapatkan DBD sebanyak 25 orang, diare sebanyak 548 orang, dan balita
gizi kurang sebanyak 8 orang.

Kriteria B (Keseriusan Masalah)


Langkah ini berbeda dengan langkah pertama dimana banyak menggunakan data
kuantitatif untuk menentukan nilai. Menentukan tingkat kegawatan lebih bersifat
subjektif. Pada langkah ini kelompok menentukan tingkat kegawatan misalnya
dengan melihat faktor-faktor berikut ini: (a) Tingkat urgensinya (b) Tingkat
keganasan/keparahannya. Berdasarkan 3 faktor ini anggota menentukan nilai dengan
skala 0-10.
Urgensi : sifat alami dari kedaruratan masalah; tren insidensi, tingkat kematian, atau
faktor risiko; kepentingan relatif terhadap masayarakat; akses terkini kepada
pelayanan yang diperlukan.
Tingkat keparahan : tingkat daya tahan hidup, rata-rata usia kematian,
kecacatan/disabilitas, angka kematian prematur relatif.

Tingkat urgensi di sini dinilai dari kegawatdaruratan masalah apakah harus cepat
ditangani atau tidak. Pada kasus DBD dengan tanda bahaya terdapat salah satu gejala
muntah berkepanjangan, hal ini dapat membuat penderita mengalami syok
hipovolemik (kekurangan cairan) sehingga harus segera ditangani dengan
penggantian cairan. Sama halnya dengan DBD, diare yang memiliki gejala khas yaitu
frekuensi BAB dengan konsentrasi cair lebih dari 3x sehari, rasa haus, turgor kulit
lambat dapat membuat penderita mengalami syok hipovolemik sehingga harus segera
diatasi dengan penggantian cairan. Baik DBD dan diare dapat diberikan oralit sesuai
tingkat keparahan atau infus intravena. Pada kasus balita kurang gizi dapat ditangani
dengan pemberian makanan gizi seimbang dengan tinggi kalori dan vitamin
Untuk tingkat keparahan dinilai dari Tabel Pola Kematian Semua Umur dari
Riskesdas tahun 2007 dalam Buletin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI :
Kriteria C (Efektivitas Intervensi)

Dalam kriteria C, dinilai dari bagaimana tingkat penanganan masalah kesehatan yang
ada. Baik DBD, diare, ataupun balita gizi kurang dirasakan cukup dapat dilakukan
intervensi.

Kriteria D (PEARL)
Propriety. Apakah program intervensi tepat mengatasi masalah yang ada.
Ekonomis. Apakah yang ditimbulkan dampak ekonomi dari masalah kesehatan.
Apakah masalah ekonomi berdampak jika masalah tidak ditangani.
Acceptability. Akankan masyarakat dapat menerima program yang diberikan..? atau
apakah masyarakat menginginkan/membutuhkan..?
Resources. Apakah sumber daya tersedia atau potensial tersedia untuk pelaksanaan
program
Legality. Apakah aktivitas program dapat diimplementasi sesuai ketentuan hukum
atau peraturan yang berlaku.
Pemberian skor 0-1 (0=tidak, 1=ya)

Untuk aspek propriety, intervensi untuk ketiga masalah dapat dilakukan seperti
pemberian oralit gratis bagi gejala DBD dan diare serta pemberian PMT-P
( Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan) bagi balita kurang gizi.
Untuk aspek ekonomis, dengan berhasilnya intervensi yang diberikan maka akan
sangat membantu penderita dan keluarga dalam bidang ekonomi sehingga tidak perlu
mengeluarkan biaya lagi untuk penanganan.
Untuk aspek Acceptability, terlihat dari tingkat masalah yang mencapai 50% berarti
masyarakat sangat terganggu dengan penyakit yang dialami dan sangat memerlukan
intervensi penanganan.
Untuk aspek resources, tenaga kesehatan yang ada di puskesmas ada banyak, seperti
dokter umum, analis kesehatan, apoteker, dll sehingga dinilai potensial dalam
pelaksanaan intervensi.
Untuk aspek legality, seluruh permasalahan memiliki keterangan hukum masing-
masing
Perhitungan HANLON KUANTITATIF

1.

2.
KESIMPULAN
Berdasarkan perhitungan data dengan 2 rumus Hanlon Kuantitatif di atas, didapatkan
prioritas masalah kesehatan di Puskesmas Pahandut adalah sebagai berikut :
PRIORITAS 1
DIARE
PRIORITAS 2
BALITA KURANG GIZI
PRIORITAS 3
DEMAM BERDARAH DENGUE

5.

6.. Analisis SWOT

Untuk tetap bertahan menghadapi dinamika keadaan, sebuah organisasi harus dapat
dengan tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan dapat dicapai dengan adanya
perubahan. Namun yang perlu diingat adalah, perubahan itu tidak selalu baik, artinya perubahan
juga bisa menghancurkan. Oleh karena itu, untuk menghindari perubahan yang bersifat
menghancurkan dan mendapatkan sebuah perubahan yang menuju perbaikan, maka dibutuhkan
sebuah metode analisa kondisi sebuah organisasi sehingga didapatkan data analisis valid yang
dapat dimanfaatkan untuk merencanakan sebuah pengembangan organisasi. Metode tersebut
adalah metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat). Perubahan yang
baik adalah perubahan yang terjadi dengan teratur. Jika proses perubahan yang teratur
dirangkum, maka akan muncul sebuah skema sebagai berikut:

Dari
skema tersebut tampak bahwa analisa SWOT memang dibutuhkan dalam sebuah proses
pengambilan keputusan dalam menangani berbagai permasalahan maupun dalam pengembangan
organisasi. SWOT pertama kali dikenalkan oleh Albert Humphrey pada tahun 1960-1970an di
Universitas Stanford yang kini metode ini menyebar luas dan digunakan dalam organisasi-
organisasi diseluruh belahan dunia. Penggunaan SWOT tidak terbatas pada organisasi mahasiswa
saja, namun juga mulai dari analisa diri sendiri, pengadaan sebuah kegiatan, bahkan sampai
instansi yang berorientasi laba bisa menggunakan metode ini. Dalam sebuah organisasi
kemahasiswaan, SWOT bermanfaat mulai dari menganalisa struktur organisasi sampai menilai
kelayakan sebuah program kerja. Misalnya, saat ketua organisasi ingin menentukan apakah
diperlukan sebuah departemen atau divisi dalam organisasinya, dia bisa melakukan SWOT.
Begitu juga dalam menetapkan program kerja, arah dan kebijakannya juga ditentukan oleh
analisa SWOT sehingga dalam menentukan target kedepannya memiliki dasar yang kuat dan
berbasis kebutuhan yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk

merumuskan strategi instansi. Analisa ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antara

unsur-unsur internal, terhadap unsur-unsur eksternal yaitu :

1. Kekuatan (strength)

Kekuatan yang dimaksud adalah suatu keunggulan dalam sumber daya, ketrampilan dan

kemampuan lainnya yang relative terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani

oleh instansi. Misalnya dalam hal teknologi yang dimiliki dan fasilitas yang dimiliki.

2. Kelemahan (weakness)

Kelemahan yang dimaksud juga bisa berupa sumber daya,ketrampilan dan

kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja efektifsuatu instansi. Contohnya,

tingkat ketrampilan karyawan dan kecilnya biaya promosi.


3. Peluang (opportunity)

Peluang merupakan situasi utama yang menguntungkan dalam lingkungan instansi,

misalnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang

relatif tinggi.

4. Ancaman (treats)

Ancaman adalah situasi utama yang tidak menguntungkan dalam lingkungan suatu

instansi. Sebagai contoh yaitu pesatnya persaingan penyedia jasa layanan kesehatan.

teknis analisis yang digunakan untuk mengetahui potret Puskesmas beserta kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancamannya adalah menggunakan matrik SWOT, sehingga dapat diketahui
langkah-langkah untuk menetapkan strategi pemecahan masalah dengan memanfaatkan kekuatan
dan peluang guna mengatasi kelemahan dan ancaman yang terjadi. Tahap-tahap tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Identifikasi faktor internal dan eksternal

Identifikasi ini diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemajuan
atau perkembangan suatu instansi

a. Faktor Internal

Faktor Internal adalah faktor yang dimiliki oleh puskemas yang meliputi faktor kekuatan dan
kelemahan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu instansi

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan puskesmas yang meliputi
faktor peluang dan ancaman.
1
18

2. Analisis dengan matrik SWOT

Lingkungan mikro instansi merupakan unsur internal dari instansi yang

terdiri dari manajerial instansi, kualitas, finansal instansi, kemampuan SDM

dan teknologi yang digunakan. Lingkungan makro terdiri dari masyarakat

sekitar, peraturan pemerintah, faktor budaya, sosial, ekonomi, dan faktor alam

sekitar. Analisis dengan matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas

bagaimana peluang dan ancaman sebagai faktor eksternal dapat disesuaikan

dengan kekuatan dan peluang sebagai internal

yang dimiliki instansi. Matrik ini tergambar sebagai berikut :

Tabel 2.1

Matriks SWOT
Internal Strengths (S) Weakness (W)

Eksternal faktor kekuatan faktor kelemahan

internal internal

Opportunities Strategi SO Strategi WO

(O) Ciptakan strategi Ciptakan strategi

yang menggunakan yang meminimalkan

faktor peluang kekuatan untuk kelemahan untuk

Eksternal memanfaatkan memanfaatkan

peluang. peluang
Treats (T) Strategi ST Strategi WT

Tentukan 5 10 Ciptakan strategi Ciptakan strategi

faktor ancaman yang menggunakan yang meminimalkan

eksternal kekuatan untuk kelemahan untuk

mengatasi menghindari

ancaman ancaman

Sumber : Kotler (2009)

Setelah melihat dari tabel tersebut, maka terdapat empat alternatif bagi instansi untuk

melakukan strategi pemasaran produknya. Alternatif-alternatif strategi pemasaran tersebut

antaralain :

a. Strategi SO (Strength-Opportunity)

Strategi ini menggunakan kekuatan internal instansi untuk memanfaatkan peluang

eksternal. Strategi SO berusaha dicapai dengan menerapkan strategi ST, WO, dan WT.

Apabila instansi mempunyai kelemahan utama pasti instansi akan berusaha menjadikan

kelemahan tersebut menjadi kekuatan. Jika instansi menghadapi ancaman utama, instansi

akan berusaha menghindari ancaman jika berkonsentrasi pada peluang yang ada.

b. Strategi WO (Weakness-Opportunity)

Strategi ini bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal instansi dengan

memanfaatkan peluang eksternal yang ada. Salah satu alternatif strategi WO adalah

dengan instansi melakukan perekrutan dan pelatihan staf dengan kemampuan dan

kualifikasi yang dibutuhkan.

c. Strategi ST (Strength-Treats)
Strategi ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan instansi untuk menghindari

ancaman jika keadaan memungkinkan atau meminimumkan ancaman eksternal yang

dihadapi. Ancaman eksternal ini tidak selalu harus dihadapi sendiri oleh instansi tersebut,

bergantung pada masalah ancaman yang dihadapi, seperti halnya faktor perekonomian,

peraturan pemerintah, gejala alam, dan lain sebagainya.

d. Strategi WT (Weakness-Treats)

Posisi ini sangat menyulitkan instansi , akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi

instansi untuk mengatasi posisi yang menyulitkan ini. Instansi harus memperkecil

kelemahan atau jika memungkinkan instansi akan menghilangkan kelemahan internal

serta menghindari ancaman eksternal yang ada guna pencapaian tujuan instansi.

7. Perbedaan diagnostik komunitas dan diagnostik klinis

1. Kedokteran klinis

Kedokteran klinis merupakan cabang sains kedokteran yang mempelajari dan


mempraktikkan berbagai pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk memulihkan kesehatan
dengan cara mencegah dan mengobati penyakit pada individu pasien. Klien seorang dokter/
klinisi adalah individu manusia yang sedang mengalami masalah kesehatan. Dalam praktik
klinis, dokter melakukan penilaian pasien dalam rangka untuk mendiagnosis, mengobati, dan
mencegah penyakit, dengan melakukan pertimbangan dan keputusan klinis (clinical
judgment). Hubungan dokter-pasien dimulai dengan interaksi dokter-pasien, melalukan
wawancara (anamnesis) untukmenemukan riwayat keluhan (symptoms) pasien, melakukan
pemeriksaan riwayat medis dalam rekam medis, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik klasik
kedokteran, meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi.

Dalam pemeriksaan fisik, dokter mencari tanda-tanda (sign) penyakit. Dengan berbagai
pemeriksaan klinis tersebut dokter bisa membuat diagnosis banding (differential diagnosis),
yaitu sejumlah kecil diagnosis masalah pasien yang paling mungkin. Untuk menentukan
diagnosis yang paling benar, seorang dokter mungkin perlu meminta pemeriksaan diagnostik
tambahan, misalnya tes darah atau prosedur diaagnostik penunjang lainnya yang memang
benar-benar perlu.Akhirnya dokter dapat menentukan diagnosis dan memberikan terapi yang
tepat, sesuai dengan diagnosis masalah pasien. Selama interaksi, dokter memberikan
informasi kepada pasien tentang semua fakta yang relevan yang ditemukan dari pemeriksaan.
Pemberian informasi kepada pasien penting, untuk memelihara hubungan baik dokter-pasien
dan membangun kepercayaan (trust)di antara mereka.Dalam hubungan dokter-pasien dan
pengambilan keputusan klinis, para dokter dituntut untuk senantiasa menggunakan prinsip-
prinsip bioetika.

Kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) merupakan gerakan kontemporer


dalam praktik kedokteran yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas pelayanan dokter,
sehingga setiap keputusan klinis yang diambil dapat memaksimalkan manfaat dan
meminimalkan kerugian bagi pasien. Tiga pilar utama kedokteran berbasis bukti mencakup:
(1) penggunaan secara sadar bukti-bukti ilmiah terbaik dan terbaru,
(2) penggunaan keahlian klinis (clinical expertise), dan
(3) memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi pasien.

Penerapan kedokteran berbasis bukti dan bioetika akan meningkatkan kualitas


pelayanan dokter, meningkatkan manfaat bagi pasien meminimalkan kerugian bagi pasien
(misalnya, malpraktik), dan meningkatkan keselamatan pasien. Gerakan kedokteran berbasis
bukti difasilitasi oleh perkembangan pesat sains dan teknologi informasi, yang
memungkinkan penyebaran (diseminasi) bukti-bukti ilmiah terbaik untuk digunakan oleh
para dokter.

2. Kedokteran komunitas

Kedokteran komunitas (community medicine) adalah cabang kedokteran yang


memusatkan perhatian kepada kesehatan anggota-anggota komunitas, dengan menekankan
diagnosis dini penyakit, memperhatikan faktor-faktor yang membahayakan (hazard)
kesehatan yang berasal dari lingkungan dan pekerjaan, serta pencegahan penyakit pada
komunitas Kedokteran komunitas memberikan perhatian tidak hanya kepada anggota
komunitas yang sakit tetapi juga anggota komunitas yang sehat. Sebab tujuan utama
kedokteran komunitas adalah mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan anggota-
anggota komunitas. Karena menekankan upaya pencegahan penyakit, maka kedokteran
komunitas kadang-kadang disebut juga kedokteran pencegahan (preventive medicine).
Kedokteran komunitas memberikan pelayanan komprehensif dari preventif, promotif, kuratif
hingga rehabilitatif. Fokus perhatian kedokteran komunitas adalah masalah kesehatan dan
penyakit yang terjadi pada komunitas di mana individu tersebut tinggal, bekerja, atau
bersekolah. Implikasinya, kedokteran komunitas memberikan prioritas perhatian kepada
penyakit-penyakit yang menunjukkan angka kejadian yang tinggi pada populasi, yang disebut
public health importance.

Untuk itu seorang dokter yang berorientasi kedokteran komunitas diharapkan memiliki
kemampuan untuk menghitung frekuensi penyakit dan angka kejadian penyakit pada
populasi, mendiagnosis masalah penyakit pada populasi (community diagnosis),
membandingkan distribusi penyakit pada populasi-populasi, lalu menarik kesimpulan tentang
penyebab perbedaan distribusi penyakit pada populasi, dan mengambil langkah-langkah yang
tepat untuk mencegah penyakit, melindungi, memulihkan, dan meningkatkan kesehatan
populasi. Selanjutnya, dalam memandang kausa masalah kesehatan pada pasien maupun
komunitas, kedokteran komunitas mengakui kausa penyakit yang terletak pada level populasi
dan lingkungan. Artinya, dokter komunitas tidak hanya memperhatikan faktor-faktor
penyebab yang terletak pada level individu, tetapi juga determinan lainnya pada level
keluarga, komunitas dan lingkungan dimana pasien tersebut tinggal, bekerja, ataupun
bersekolah.Perspektif populasi memusatkan perhatian kepada kausa-kausa kontekstual yang
melatari penyakit, yakni determinan lingkungan, sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang
menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi penyakit antar populasi.

Kedokteran klinis memusatkan perhatian kepada pelayanan kesehatan individu sakit,


yaitu pasien. Kedokteran klinis mempelajari kesehatan dan penyakit pada individu.
Kedokteran klinis menggunakan perspektif biomedis dalam memandang kausa penyakit.
Kausa penyakit biasanya dilihat dengan model kausasi tunggal dengan menggunakan Teori
Kuman (Germ Theory), bahwa kausa penyakit adalah kuman (misalnya, kausa tuberkulosis
adalah Mycobacterium tuberculosis; kausa sifilis adalah Treponema pallidum, dan
sebagainya).Di pihak lain, kedokteran komunitas menggunakan perspektif biomedis dan
populasi dalam memandang kausa penyakit dan masalah kesehatan. Kedokteran komunitas
menggunakan model kausasi majemuk (multikausal) dalam menjelaskan terjadinya penyakit,
baik pada individu maupun komunitas. Kejadian penyakit pada individu merupakan akibat
tidak hanya dari kausa proksimal atau kausa langsung (seperti agen infeksi, toksin, gen, dan
perilaku) tetapi juga kausa distal (faktor lingkungan,sosial, ekonomi, kultural, dan politik).
Sebagai contoh, terjadinya kasus tuberkulosis klinis tidak hanya ditentukan oleh infeksi
mycobacterium tuberkulosis tetapi juga sejumlah faktor lain di tingkat individu maupun
populasi.

Dokter sebagai klinisi memberikan pelayanan kuratif, mengembalikan keadaan sakit


pasien kepada keadaan sehat. Dokter komunitas memberikan pelayanan kesehatan
komprehensif, tidak hanya memberikan pelayanan kuratif dasar tetapi juga upaya pencegahan
primer, sekunder, dan tersier. Tingkat upaya pencegahan penyakit, terdiri atas primer,
sekunder, tersier, merupakan konsep epidemiologi, merujuk kepada upaya pencegahan yang
bisa dilakukan pada berbagai fase dalam kontinum perjalanan penyakit yang disebut Riwayat
Alamiah Penyakit (Natural History of Disease).
Pelayanan kesehatan dapat dilakukan pada level individu (upaya kesehatan
perorangan/ UKP) maupun level populasi (upaya kesehatan masyarakat, UKM). Upaya
pencegahan primer mencakup promosi kesehatan (misalnya, pendidikan kesehatan,
pemberian makanan tambahan dan mikronutrien) dan perlindungan spesifik (misalnya,
imunisasi untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,
penggunaan helm dan kacamata pengaman oleh pekerja untuk mencegah cedera, pengabutan
untuk membunuh Aedes aegypti sebagai vektor Demam Berdarah Dengue). Upaya
pencegahan sekunder meliputi deteksi dini penyakit (misalnya, skrining hapusan Pap untuk
kanker leher rahim, pemeriksaan tekanan darah untuk mendeteksi hipertensi) dan pengobatan
segera. Upaya pencegahan tersier meliputi rehabilitasi, pemulihan fungsi dan anatomi,
pembatasan kecacatan, pencegahan komplikasi dan rekurensi, dan pencegahan kematian dini
(misalnya, pemberian aspirin pasca infark myokard akut untuk mencegah rekurensi dan
kematian, fisioterapi dan rehabilitasi pasien pasca stroke untuk mengembalikan semaksimal
mungkin fungsi kognitif, afektif dan psikomotor).

Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan diantara pendekatan kedokteran klinis


dan kedokteran komunitas dalam penegakan diagnosis masalah kesehatan. Seorang klinisi
akan memeriksa pasien serta harus mampu menentukan kondisi patologis berdasarkan gejala
dan tanda yang ada agar dapat menegakkan diagnosis penyakit dan memilih cara tepat untuk
pengobatannya.

Pada kedokteran komunitas, keterampilan epidemiologi (mempelajari tentang frekwensi dan


distribusi penyakit serta faktor determinan yang mempengaruhinya dikalangan manusia)
sangat diperlukan untuk dapat memeriksa seluruh masyarakat dan memilih indikator yang
sesuai untuk menjelaskan masalah kesehatan dikomunitas; kemudian menetapkan diagnosis
komunitas serta menetapkan intervensi yang paling efektif untuk dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.

8.

Bagaimana langkah menentukan masalah dan prioritas permasalahan dengan metode


selain hanlon ?

8.1Langkah menentukan masalah

8.1.1 Penentuan prioritas masalah dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif

8.1.2 Penentuan prioritas masalah kesehatan adalah suatu proses yang dilakukan oleh
sekelompok orang dengan menggunakan metode tertentu untuk menentukan urutan
masalah dari yang paling penting sampai yang kurang penting

8.1.3 Dalam menetapkan prioritas masalah ada beberapa

8.1.4 Pertimbangan yang harus diperhatikan, yakni:

8.1.4.1 Besarnya masalah yang terjadi

8.1.4.2 Pertimbangan politik

8.1.4.3 Persepsi masyarakat

8.1.4.4 Bisa tidaknya masalah tersebut diselesaikan


8.1.5 Cara pemilihan prioritas masalah banyak macamnya. Secara sederhana
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

8.1.5.1 Scoring Technique (Metode Penskoran) Pada cara ini pemilihan


prioritas dilakukan dengan memberikan score (nilai) untuk berbagai parameter tertentu yang
telah ditetapkan. Parameter yang dimaksud adalah:

1. Prevalensi penyakit (prevalence) atau besarnya masalah

2. Kenaikan atau meningkatnya prevalensi (rate of increase)

3. Keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut (degree of unmeet need )

4. Keuntungan sosial yang diperoleh bila masalah tersebut diatasi (social benefit)

5. Teknologi yang tersedia dalam mengatasi masalah (technical feasibility)

6. Sumber daya yang tersedia yang dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah (resources
availibility)

8.1.5.1.1 Metode Bryant Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi

1. Prevalence: Besarnya masalah yang dihadapi

2. Seriousness: Pengaruh buruk yang diakibatkan oleh suatu masalah dalam masyarakat dan
dilihat dari besarnya angka kesakitan dan angka kematian akibat masalah kesehatan tersebut

3. Manageability: Kemampuan untuk mengelola dan berkaitan dengan sumber daya

4. Community concern: Sikap dan perasaan masyarakat terhadap masalah kesehatan tersebut

5. Parameter diletakkan pada baris dan masalah-masalah yang ingin dicari prioritasnya
diletakkan pada kolom. Kisaran skor yang diberikan adalah satu sampai lima yang ditulis dari
arah kiri ke kanan untuk tiap masalah. Kemudian dengan penjumlahan dari arah atas ke
bawah untuk masing-masing masalah dihitung nilai skor akhirnya. Masalah dengan nilai
tertinggi dapat dijadikan sebagai prioritas masalah. Tetapi metode ini juga memiliki
kelemahan, yaitu hasil yang didapat dari setiap masalah terlalu berdekatan sehingga sulit
untuk menentukan prioritas masalah yang akan diambil.

8.1.5.1.2 Metode matematika PAHO (Pan American Health Organization)


Disebut juga cara ekonometrik. Dalam metode ini parameter diletakkan pada kolom dan
dipergunakan kriteria untuk penilaian masalah yang akan dijadikan sebagai prioritas masalah.
Kriteria yang dipakai ialah:

1. Magnitude: Berapa banyak penduduk yang terkena masalah

2. Severity: Besarnya kerugian yang timbul yang ditunjukan dengan case fatality rae masing-
masing

3. Vulnerability: Menunjukan sejauh mana masalah tersebut


4.Community and political concern : Menunjunkan sejauh mana masalah tersebut menjadi
concern atau kegusaran masyarakat dan para politisi

5. Affordability: Menunjukan ada tidaknya dana yang tersedia Parameter diletakkan pada
baris atas dan masalah-masalah yang ingin dicari prioritasnya diletakkan pada kolom.
Pengisian dilakukan dari satu parameter ke parameter lain. Hasilnya didapat dari perkalian
parameter tersebut.

8.1.5.1.3 MCUA Pada metode ini parameter diletakkan pada baris dan harus
ada kesepakatan mengenai kriteria dan bobot yang akan digunakan. Metode ini memakai lima
kriteria untuk penilaian masalah tetapi masing-masing kriteria diberikan bobot penilaian dan
dikalikan dengan penilaian masalah yang ada. Cara untuk menentukan bobot dari masing-
masing kriteria dengan diskusi, argumentasi, dan justifikasi. Kriteria yang dipakai :

1 Emergency: Kegawatan menimbulkan kesakitan atau kematian

2 Greetes member : Menimpa orang banyak, insiden/prevalensi

3 Expanding scope: Mempunyai ruang lingkup besar di luar kesehatan

4 Feasibility: Kemungkinan dapat/tidaknya dilakukan

5 Policy: Kebijakan pemerintah daerah /nasional

8.1.5.2Teknik non-skoring Bila tidak tersedia data, maka cara menetapkan


prioritas masalah yang lazim digunakan adalah dengan teknik non-skoring.

8.1.5.2.1 Metode delbeq Menetapkan prioritas masalah menggunakan teknik ini


adalah melalui diskusi kelompik namun pesertadiskusi terdiri dari para peserta yang tidak
sama keahliannya, maka sebelumnya dijelaskan dahulu sehingga mereka mempunyai persepsi
yang sama terhadap masalah-masalah yang akan dibahas. Hasil diskusi ini adalah prioritas
masalah yang disepakati bersama. Caranya :

1. Peringkat masalah ditentukan oleh sekelompok ahli yang berjumlah antara 8 sampai 8
orang

2. Mula-mula dituliskan pada white board masalah apa yang akan ditentukan peringkat
prioritasnya

3. Kemudian masing-masing orang tersebut menuliskan peringkat urutan prioritas untuk


setiap masalah yang akan ditentukan prioritasnya

4. Penulisan tersebut dilakukan secara tertutup

5. Kemudian kertas dari masing-masing orang dikumpulkan dan hasilnya dituliskan di


belakang setiap masalah

6. Nilai peringat untuk setiap masalah dijumlahkan, jumlah paling kecil berarti mendapat
peringkat tinggi (prioritas tinggi).
Kelemahan:

1. Menentukan siapa yang seharusnya ikut dalam menentukan peringkat prioritas tersebut

2. Penentuan peringkat bisa sangat subyektif

3. Cara ini lebih bertujuan mencapai konsensus dari interest yang berbeda dan tidak untuk
menentukan prioritas atas dasar fakta

8.1.5.2.2 Metode Delphi Masalah-masalah didiskusikan oleh sekelompok orang yang


mempunyai keahlian yang sama. Melalui diskusi tersebut akan menghasilkan prioritas
masalah yang disepakati bersama. Pemilihan prioritas masalah dilakukan melalui pertemuan
khusus. Setiap peserta yang sama keahliannya dimintakan untuk mengemukakan beberapa
masalah pokok, masalah yang paling banyak dikemukakan adalah prioritas masalah yang
dicari. Caranya: 1. Identifikasi masalah yang hendak/ perlu diselesaikan

2. Membuat kuesioner dan menetapkan peserta/para ahli yang dianggap mengetahui dan
menguasai permasalahan

3. Kuesioner dikirim kepada para ahli, kemudian menerima kembali jawaban kuesioner yang
berisikan ide dan alternatif solusi penyelesaian masalah

4. Pembentukan tim khusus untuk merangkum seluruh respon yang muncul dan mengirim
kembali hasil rangkuman kepada partisipan

5. Partisipan menelaah ulang hasil rangkuman, menetapkan skala prioritas/ memeringkat


alternatif solusi yang dianggap terbaik dan mengembalikan kepada pemimpin
kelompok/pembuatan keputusan

9. PENGARUH VISI & MISI STRATEGI TERHADAP PELAYANAN MASYARAKAT


Pelayanan Kesehatan di Indonesia telah mempunyai visi, misi dan strategi yang
jelas. Visi, misi dan strategi tersebut sejalan dan bersama program kesehatan lainnya mengisi
pembangunan kesehatan dalam kerangka paradigma sehat menujuvisi Indonesia sehat.
Visi pelayanan kesehatan mengindikasikan tentang terwujudnya masyarakat Indonesia
baru yang berbudaya sehat. Visi tersebut adalah benar-benar visioner, menunjukkan arah,
harapan yang berbau impian, tetapi bukannya tidak mungkin untuk dicapai. Visi tersebut
menunjukkan dinamika atau gerak maju dari suasana lama (ingin diperbaiki) ke suasana baru
(ingin dicapai). Visi tersebut juga menunjukkan bahwa bidang pelayanan kesehatan adalah
aspek budaya (kultur) yang menjanjikan perubahan dari dalam diri manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, misi pelayanan kesehatan yaitu menjelaskan
tentang apa yang harus dan perlu dilakukan oleh pelayanan kesehatan dalam mencapai
visinya. Misi pelayanan kesehatan juga berfokus pada upaya dan kegiatan yang perlu
dilakukan. Dari misi tersebut jelas bahwa berbagai kegiatan harus dilakukan serempak.
Selanjutnya, strategi pelayanan Kesehatanmenunjukkan bagaimana cara menjalankan
misi dalam rangka mencapai visi. Strategi pelayanan kesehatan menunjukkan ketiga strata
masyarakat yang perlu digarap. Strata primer adalah masyarakat langsung perlu digerakkan
peran aktifnya melalui upaya gerakan atau pemberdayaan masyarakat. Strata sekunder adalah
para pembuat opini di masyarakat, perlu dibina atau diajak bersama untuk menumbuhkan
norma perilaku atau budaya baru agar diteladani masyarakat. Ini dilakukan melalui media
massa, media tradisonal, adat atau media apa saja sesuai dengan keadaan, masalah dan
potensi setempat. Sedangkan strata tersier adalah para pembuat keputusan dan penentu
kebijakan yang perlu dilakukan advokasi, melalui berbagai cara pendekatan sesuai keadaan,
masalah serta potensi yang ada. Ini dilakukan agar kebijakan berwawasan sehat sehingga
memberikan dampak positif bagi kesehatan.
Dengan visi, misi dan strategi seperti ini,pelayanan Kesehatan juga jelas akan
melangkah dengan mantapnya di masa depan. Namun visi, misi dan strategi tersebut juga
harus dapat dioperasionalkan secara lebih nyata di lapangan, sesuai keadaan, masalah dan
potensi setempat. Oleh karena itu, perawat membuat makalah ini dengan tema Visi, Misi dan
Strategi Pelayanan Kesehatan.

VISI PELAYANAN KESEHATAN


Visi adalah impian, cita-cita atau harapan yang ingin dicapai oleh suatu kegiatan atau
program. Pelayanan kesehatan sebagai lembaga atau institusi atau suatu program yang
seyogianya mempunyai visi dan misi yang jelas. Sebab dengan visi dan misi tersebut institusi
atau program mempunyai arah dan tujuan yang akan dicapai. Oleh sebab itu, visi pelayanan
kesehatan (khususnya Indonesia) tidak terlepas dari visi pembangunan kesehatan di
Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan RI No. 36 Tahun 2009,
yakni: Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan
sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat di Indonesia harus mengambil bagian
dalam mewujudkan visi pembangunan kesehatan di Indonesia tersebut. Sehingga pelayanan
kesehatan dapat dirumuskan : Masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.
Adapun visi pelayanan kesehatan anatara lain :
1. Mau (willigness) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
2. Mampu (ability) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
3. Memelihara kesehatan, berarti mau dan mampu mencegah penyakit, melindungi diri
dari gangguan-gangguan kesehatan.
4. Meningkatkan kesehatan, berarti mau dan mampu meningkatkan kesehatannya.
Kesehatan perlu ditingkatkan karena derajat kesehatan baik individu, kelompok atau
masyarakat itu bersifat dinamis tidak statis.

MISI PELAYANAN KESEHATAN


Untuk mewujudkan visi pelayanan kesehatan yakni masyarakat mau dan mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatannya diperlukan upaya-upaya. Upaya-upaya untuk
mewujudkan visi ini disebut misi pelayanan kesehatan yaitu apa yang harus dilakukan untuk
mencapai visi.
Menurut (Ottawa Charter, 1984) secara umum misi pelayanan kesehatan ini ada 3 hal
antara lain :
1. Advokat (Advocate)
Kegiatan advokat ini dilakukan terhadap para pengambil keputusan dari berbagai
tingkat dan sektor terkait dengan kesehatan. Tujuan kegiatan ini adalah meyakinkan para
pejabat pembuat keputusan atau penentu kebijakan bahwa program kesehatan yang akan
dijalankan tersebut penting. Oleh sebab itu, perlu dukungan kebijakan atau keputusan dari
pejabat tersebut.

2. Menjembatani (Mediate)
Pelayanan kesehatan juga mempunyai misi mediator atau menjembatani antara sektor
kesehatan dengan sektor yang lain sebagai mitra. Dengan kata lain pelayanan kesehatan
merupakan perekat kemitran di bidang pelayanan kesehatan. Kemitraan adalah sangat penting
sebab tanpa kemitraan niscaya sektor kesehatan tidak mampu menangani masalah-masalah
kesehatan yang begitu kompleks dan luas.
3. Memampukan (Enable)
Sesuai dengan visi pelayanan kesehatan mau dan mampu memelihara serta
meningkatkan kesehatannya, pelayanan kesehatan mempunyai misi utama untuk
memampukan masyarakat. Hal ini berarti baik secara langsung atau melalui tokoh-tokoh
masyarakat, pelayanan kesehatan harus memberikan keterampilan-keterampilan kepada
masyarakat agar mereka mandiri di bidang kesehatan. Telah kita sadari bersama bahwa
kesehatan dipengaruhi banyak faktor luar kesehatan seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan
sebagainya. Oleh sebab itu, dalam rangka memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan,
maka keterampilan di bidang ekonomi (pertanian, peternakan, perkebunan), pendidikan dan
sosial lainnya perlu dikembangkan melalui pelayanan kesehatan ini.

STRATEGI PELAYANAN KESEHATAN


Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan, diperlukan suatu strategi yang baik. Strategi
adalah cara yang digunakan untuk mencapai apa yang diinginkan dalam pelayanan kesehatan
sebagai penunjang program-program kesehatan yang lainnya seperti pemberantasan penyakit
menular, sanitasi lingkungan, status gizi masyarakat, pelayanan kesehatan dan lain
sebagainya. Strategi ini diperlukan dalam mewujudkan visi dan misi dari pelayanan
kesehatan.
Berdasarkan rumusan WHO (1994), strategi pelayanan kesehatan secara global terdiri
dari 3 hal yaitu :
1. Advokasi (Advocacy)
Advokasi yaitu kegiatan memberikan bantuan kepada masyarakat dengan membuat
keputusan dan penentu kebijakan dalam bidang kesehatan maupun sektor lain di luar
kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat (Mubarak dan Nurul, 2009).
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain agar membantu atau
mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks pelayanan kesehatan, advokasi
adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di berbagai sektor
dan tingkat sehingga para pejabat tersebut mau mendukung program kesehatan yang kita
inginkan. Dukungan dari para pejabat pembuat keputusan dapat berupa kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan dalm bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, surat
instruksi dan sebagainya.
Kegiatan advokasi ini ada bermacam-macam bentuk, baik secara formal atau informal.
Secara formal misalnya, penyajian atau presentasi dan seminar tentang issu atau usulan
program yang ingin diharapkan dukungan dari pejabat terkait. Kegiatan advokasi secara
informal, misalnya mengunjungi pejabat yang relevan dengan program yang diusulkan, untuk
secara informal minta dukungan, baik dalam bentuk kebijakan, dana atau fasilitas lain. Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa advokasi adalah para pejabat baik eksekutif dan
legislatif diberbagai tingkat dan sektor yang terkait dengan masalah kesehatan.
2. Dukungan Sosial (Social Support)
Pelayanan kesehatan akan mudah dilakukan jika mendapat dukungan dari berbagai
elemen yang ada di masyarakat. Dukungan dari masyarakat antara lain berasal dari unsur
informal (tokoh agama dan tokoh adat) yang mempunyai pengaruh di masyarakat serta unsur
formal seperti petugas kesehatan dan pejabat pemerintah.
Tujuan utamanya agar para tokoh masyarakat sebagai jembatan antara sektor kesehatan
sebagai pelaksana program kesehatan dengan masarakat (penerima program) kesehatan.
Dengan kegiatan mencari dukungan sosial melalui tokoh masyarakat pada dasarnya adalah
mensosialisasikan program-program kesehatan agar masyarakat menerima dan mau
berpartisipasi terhadap program tersebut.
Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat dikatakan sebagai upaya membina suasana yang
kondusif terhadap kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial ini anatara lian : pelatihan-
pelatihan tokoh masyarakat, seminar, lokakarya, bimbingan kepada tokoh masyarakat dan
sebagainya. Dengan demikian sasaran utama dukungan sosial atau bina suasana adalah para
tokoh masyarakat di berbagai tingkat.
3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
Pemberdayaan adalah strategi pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat
secara langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (visi pelayanan kesehatan).
Bentuk kegiatan pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan anatara lain :
penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk
misalnya koperasi, pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga
(income generating skill). Dengan meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga akan
berdampak terhadap kemampuan dalam pemeliharaan kesehatan contohnya, terbentuknya
dana sehat, terbentuknya pos obat desa, berdirinya polindes dan sebagainya. Kegiatan-
kegiatan semacam ini di masyarakat sering disebut gerakan masyarakat untuk kesehatan. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sasaran pemberdayaan masyarakat adalah
masyarakat itu sendiri.
Konferensi internasional pelayanan kesehatan di Ottawa Canada pada tahun 1986
menghasilkan Piagam Ottawa (Ottawa Charter). Dalam Piagam Ottawa tersebut dirumuskan
pula strategi baru pelayanan kesehatan yang mencakup 5 butir, yakni :
1. Kebijakan Berwawasan Kebijakan (Healthy Public Policy)
Adalah suatu strategi pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada para penentu atau
pembuat kebijakan agar mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik yang mendukung
atau menguntungkan kesehatan. Dengan kata lain, agar kebijakan dalam bentuk peraturan,
perundangan, surat-surat keputusan dan sebagainya, selalu berwawasan atau berorientasi
kepada kesehatan publik. Misalnya, ada peraturan atau undang-undang yang mengatur
adanya analisis dampak lingkungan untuk mendirikan pabrik, perusahaan rumah sakit dan
sebagainya. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik harus memperhatikan
dampaknya terhadap lingkungan kesehatan masyarakat.
2. Lingkungan yang Mendukung (Supporting Environment)
Hendaknya setiap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat harus memperhatikan
dampak pada lingkungan sekitar agar mempermudah pelayanan kesehatan. Lingkungan yang
dimaksud di sini bukan saja lingkungan fisik, tetapi lingkungan non-fisik yang kondusif
terhadap kesehatan masyarakat.
Strategi ini ditujukan kepada para pengelola tempat umum termasuk pemerintah kota,
agar mereka menyediakan sarana-prasarana atau fasilitas yang mendukung terciptanya
perilaku sehat bagi masyarakat atau sekurang-kurangnya pengunjung tempat-tempat umum
tersebut. Lingkungan yang mendukung bagi kesehatan tempat-tempat umum antara lain :
tersedianya tempat sampah, buang air besar atau kecil, air bersih, ruangan bagi perokok dan
non perokok serta lain sebagainya. Jadi, para pengelola tempat-tampat umum seperti pasar,
terminal, stasiun kereta api, bandara, pelabuhan, mall harus menyediakan sarana-sarana untuk
mendukung perilaku sehat bagi pengunjungnya. (Soekidjo Notoatmodjo, 2010).
3. Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Helath Service)
Sudah menjadi pemahaman masyarakat pada umumnya, bahwa dalam pelayanan
kesehatan itu ada provider dan customer. Penyelenggara (penyedia) pelayanan kesehatan
adalah pemerintah, sedangkan swasta dan masyarakat adalah pemakai atau pengguna
pelayanan kesehatan. Pemahaman semacam ini harus diubah dan dioreintasikan bahwa
masyarakat bukan hanya sekedar pengguna atau penerima pelayanan kesehatan, tetapi
sekaligus sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan baik pemerintah ataupun swasta harus
melibatkan, bahkan memberdayakan masyarakat agar mereka juga dapat berperan bukan
hanya sebagai penerima pelayanan kesehatan tetapi sekaligus sebagai penyelenggra
kesehatan masyarakat. Dalam mereorientasikan pelayanan kesehatan ini peran pelayanan
kesehatan sangatlah penting.
4. Keterampilan Individu (Personnel Skill)
Diharapkan tiap-tiap individu yang berada di masyarakat mempunyai pengetahuan dan
kemampuan yang baik dalam memelihara kesehatannya, mengenai penyebab penyakit,
mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya dan mampu mencari pengobatan yang layak
jika mereka atau anak-anak mereka sedang sakit.
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat yang terdiri dari individu, keluarga dan
kelompok-kelompok. Jadi, kesehatan masyarakat akan terwujud apabila kesehatan individu,
keluarga serta kelompok dapat terwujud. Strategi untuk mewujudkan keterampilan individu
(personnel skill) dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah sangat penting.
Langkah awal dari peningkatan keterampilan dalam memelhara dan meningkatkan kesehatan
mereka ini adalah memberikan pemahaman-pemahaman kepada anggota masyarakat tentang
cara-cara memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengenal penyakit, mencari
pengobatan ke fasilitas kesehatan profesional, meningkatkan kesehatan dan sebagainya.
Metode dan tekhnik pemberian pemahaman ini lebih bersifat individual daripada massa.
5. Gerakan Masyarakat (Community Action)
Untuk mendukung perwujudan masyarakat yang mau, mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatannya seperti tersebut dalam visi pelayanan kesehatan ini, maka di
dalam masyarakat itu sendiri harus ada gerakan atau kegiatan-kegiatan untuk kesehatan. Oleh
sebab itu, pelayanan kesehatan harus mendorong serta memacu kegiatan-kegiatan di
masyarakat dalam mewujudkan kesehatan mereka. Tanpa adanya kegiatan masyarakat di
bidang kesehatan, niscaya terwujud perilaku yang kondusif untuk kesehatan atau masyarakat
yang mau dan mampu memelihara serta meningkatkan kesehatan mereka.

PERMASALAHAN STRATEGI PELAYANAN KESEHATAN


Untuk mewujudkan perubahan ke arah perilaku hidup sehat di masyarakat tidak mudah
begitu saja diwujudkan. Fakta membuktikan dari pengalaman negara maju dan berkembang
banyak faktor yang menghambat dan salah satu faktor terbesar yang dirasakan adalah
kurangnya faktor pendukung berupa sarana dan prasarana di masyarakat untuk berperilaku
hidup sehat. Walaupun kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang sanitasi lingkungan,
pentingnya gizi yang baik, manfaat imunisasi, pelayanan kesehatan, perumahan sehat,
ventilasi rumah, pencahayaan yang baik dan lain sebagainya sudah cukup baik, tetapi apabila
tidak didukung oleh fasilitas yaitu tersedianya jamban sehat, air bersih, makanan yang
bergizi, fasilitas imunisasi, adanya pelayanan kesehatan, kemudahan memperoeh rumah yang
layak, maka rasanya sangat sulit bagi masyarakat untuk dapat mewujudkan perilaku hidup
sehat sebagaimana yang diharapkan tersebut.
Dalam pelayanan kesehatan terdapat visi, misi dan strategi yang diperlukan agar
terselenggaranya pelayanan kesehatan baik dan adanya peningkatan kesehatan di masyarakat.
Adapun visi pelayanan kesehatan yaitu mau dan mampu memelihara serta meningkatkan
kesehatan, memelihara kesehatan, meningkatkan kesehatan. Misi pelayanan kesehatan antara
lain sebagai advokat, menjembatani dan memampukan. Sedangkan strategi dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan diantaranya advokasi, dukungan sosial juga pemberdayaan
masyarakat. Pelaksanaan strategi pelayanan tidak semuanya berjalan dengan baik karena
masih banyak masalah yang menghambat salah satu faktor terbesar yang dirasakan adalah
kurangnya faktor pendukung berupa sarana dan prasarana di masyarakat untuk berperilaku
hidup sehat.

10. Bagaimana edukasi (promotif dan preventif) terhadap perilaku dan kebiasaan
masyarakat di wilayah kerja puskesmas?

Dalam KEPMENKES RI No. 128 Tahun 2004 dinyatakan bahwa ada tiga fungsi
puskesmas yang sejalan dengan fokus pembangunan kesehatan yaitu: sebagai pusat
pembangunan wilayah berwawasan kesehatan; pusat pemberdayaan masyarakat; pusat
pelayanan kesehatan strata pertama meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan
kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat
pribadi (private goods), sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat bersifat publik (public
goods).
Pelayanan kesehatan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan bagi puskesmas
tertentu ditambah dengan rawat inap. Sementara pelayanan kesehatan masyarakat tersebut
antara lain adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan,
perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa
masyarakat serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya (KEPMENKES RI No. 128
Tahun 2004).
Salah satu sub-sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) ialah sub-sistem
upaya kesehatan. Pelaksanaan SKN ditekankan pada peningkatan perilaku dan kemandirian
masyarakat, profesionalisme sumber daya manusia kesehatan, serta upaya promotif dan
preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Upaya pelayanan kesehatan
diselenggarakan dengan terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perorangan
dan upaya kesehatan masyarakat.
Upaya kesehatan perorangan yang dilakukan oleh puskesmas mencakup pelayanan
yang komprehensif yakni promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan promotif
dan preventif sebagaimana dalam PERPRES No. 12 Tahun 2013 Pasal 21 tentang Jaminan
Kesehatan meliputi pemberian pelayanan penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar,
keluarga berencana, dan skrining kesehatan.
Sementara bentuk-bentuk upaya kesehatan masyarakat, yaitu menggerakkan
masyarakat agar melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS); penurunan gizi buruk
masyarakat dan penanggulangan Kurang Kalori Protein (KKP); penurunan Angka Kematian
Ibu, Angka Kematian Bayi, dan Angka Kematian Balita; pemberantasan TBC, Polio, Tetanus,
Campak, Hepatitis; pemberantasan Demam berdarah, Malaria, Diare dan pengendalian
HIV/AIDS; menjamin akses air bersih, akses obat, essensial, alat kontrasepsi, pasar sehat,
kali bersih, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Edukasi Pada Pemicu
1. Upaya Kesehatan Perorangan (pelayanan promotif dan preventif), yaitu :
Memberikan pelayanan penyuluhan kesehatan perorangan,
imunisasi dasar,
keluarga berencana, dan
skrining kesehatan.

2. Upaya kesehatan masyarakat, yaitu :


menggerakkan masyarakat agar melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS),
Pemberantasan Demam berdarah,
Pemberantasan Diare,
Penurunan gizi buruk masyarakat (terutama pada balita),

Edukasi pada keluarga penderita sangatlah penting untuk pencegahan terjadinya DBD
Menguras dan menyikat tempattempat penampungan air, seperti bak mandi atau wc,
seminggu sekali
Menutup rapat- rapat penampungan air, seperti gentong air.
Mengubur atau menyingkirkan barang- barang bekas yang dapat menampung air
hujan.
Mengganti air bak mandi, vas bunga atau tempat-tempat lainnya yang sejenis
seminggu sekali.

Edukasi pada keluarga penderita sangatlah penting untuk pencegahan terjadinya diare yang
berulang.
Pemberian ASI
Perbaikan makanan pendamping ASI
Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan minum
Cuci tangan
Penggunaan jamban
Pembuangan tinja bayi yang aman
Imunisasi campak

Edukasi pada masyarakat mengenai gizi seimbang sangatlah penting.


Makanlah sumber karbohidrat steengah dari kebutuhan energi.
Batasi konsumsi lemak dan minyak.
Makanlah makanan sumber zat besi.
Berikan ASI sampai bayi usia 6 bulan.
Biasakan sarapan.
Minum air bersih dan aman.
Hindari minum-minuman berakohol
DAFTAR PUSTAKA

1. Suryakantha AH. Community medicine with recent advances. Jaypee Brothers,


Medical Publishers; 2010. 904 p.
2. Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia [online]. 2012 [disitasi 5 Mei 2014]; Diunduh dari:
http://www.pkfi.net/file/download/Perkonsil%20No%2011% 20Th%202012%20Ttg
%20Standar%20Kompetensi%20Dokter%20Indonesia%20%202012.pdf
3. World Health Organization. City health profiles: how to report on health in your city.
ICP/HSIT/94/01 PB 02. Available at: www.euro.who.int/ document/wa38094ci.pdf
4. Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the development of city health
profiles. EUR/ICP/HCIT 94 01/PB03. Available at:
www.euro.who.int/document/WA95096GA.pdf
5. Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for sustainable disaster preparedness.
Journal of Natural Disaster Science. 2006;28(1):2533.
6. Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis and health action: a manual
for tropical and rural areas. Macmillan; 1979. 208 p.
7. Budiningsih S. Panduan pelaksanaan keterampilan kedokteran komunitas di FKUI:
modul ilmu kedokteran komunitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2013.
8. Udinus Repository. Prioritas Masalah. Kuliah 5. Universitas Dian Nuswantoro:
Semarang.
9. Azhari, Achmad Rizki. 2015. Tahap Penentuan Prioritas Masalah Metode Hanlon &
Tahap Analisis Akar Penyebab Masalah Fish Bone. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Diponegoro: Semarang.
10. Symond, Denas. 2013. Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan dan Prioritas Jenis
Intervensi Kegiatan Dalam Pelayanan Kesehatan Di Suatu Wilayah. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Universitas Andalas.
11. Buletin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2011. Situasi DIARE di
Indonesa. Triwulan II. Buletin Epidemiologi. 2010. Demam Berdarah Dengue.
Volume 2. Pusat Data dan Surveilans Kementerian Kesehatan RI.
12. Teknis Analisis Dan Pemecahan Masalah. Latihan Kepemimpinan Organisasi Anggota
UKSU ITB 2009
13. Nugroho,amin.Analisis Swot Pada Rsud Saras Husada Purworejo. Program Studi
Pemasaran Diploma Iii. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta. 2015
14. Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2. Jaypee Brothers
Medical Publisher, 2010
15. Mubarak, Wahid Iqbal dan Nurul Chayatin.(2009).Ilmu Kesehatan Masyarakat : Teori
dan Aplikasi.Salemba Medika : Jakarta.
16. Notoatmodjo, Soekidjo.(2010).Pelayanan Kesehatan Teori dan Aplikasi.Rineka
Cipta : Jakarta.
17. Kemetrian Kesehatan RI. Menuju Masyarakat Sehat Yang Mndiri dan Berkeadilan
(Kinerja Dua Tahun). Kementrian Kesehatan RI. 2011

Вам также может понравиться