Вы находитесь на странице: 1из 13

Abstrak- Keberadaan manusia saat ini hampir seperti sudah tidak dapat dipisahkan

dengan konteks dunia perkotaan. Sayangnya, urbanisasi terhadap lingkungan


perkotaan seringkali dijadikan tersangka yang bertanggung jawab atas permasalahan-
permasalahan baik sosial maupun lingkungan yang terjadi. Terdapat kemungkinan
bahwa efek-efek yang merusak tersebut terjadi akibat adanya hubungan yang tidak
harmonis antara budaya bekerja masyarakat perkotaan tersebut dengan lingkungan
alam di sekitarnya. Inilah yang mendasari mengapa masyarakat perkotaan tetap
membutuhkan kedekatan yang harmonis terhadap lingkungan alami yang
menyehatkan. Salah satu solusi pemenuhan kebutuhan ini tidak lain adalah taman kota.
Taman kota sebetulnya merupakan sebuah ruang terbuka yang dapat
mengintegrasikan antara lingkungan, masyarakat, dan kesehatan di lingkungan
perkotaan dengan mempromosikan sebuah pendekatan ekologis terhadap kesehatan
dan kesejahteraan manusia yang didasari pada kontak dengan alam. Selain itu, taman
kota juga bermanfaat secara lingkungan, estetis, rekreasi, psikologis, sosial, serta
ekonomis bagi masyarakat perkotaan. Namun idealisme mengenai konsep awal
pembentukan taman kota ini tampaknya sudah semakin kurang disadari oleh
masyarakat perkotaan masa kini. Untuk itu diperlukan adanya suatu pemahaman
kembali mengenai peran penting taman kota yang diperuntukkan bagi seluruh
komponen masyarakat kota. Pemahaman kembali ini, yang terwujud dalam konsep
reposisi taman kota, tidak saja hanya sebatas wacana komunikasi saja, melainkan juga
melalui pendidikan lingkungan serta pemfasilitasan melalui perancangan taman kota
tersebut. Di dalam proses reposisi taman kota juga diperlukan adanya penyesuaian
terhadap konteks nilai-nilai lokal budaya masyarakat perkotaan setempat, sehingga
nantinya dapat menghasilkan perancangan taman kota yang optimal. Kesemua proses
ini pada akhirnya diharapkan dapat menjadikan taman kota sebagai ruang publik yang
dapat membentuk budaya sehat kolektif bagi masyarakat perkotaan di Indonesia.
Kata kunci: taman kota, masyarakat perkotaan, budaya sehat kolektif, nilai-nilai lokal.

I. PENDAHULUAN
Hubungan keterkaitan antara manusia dengan kota seperti sudah tidak bisa lagi
dipisahkan saat ini. Keberadaan manusia hampir selalu menyatu dengan konteks dunia
perkotaan. Sejak tahun 2007, sudah lebih dari 50% populasi manusia di dunia yang
tinggal di wilayah perkotaan. Hal ini tentu telah menjadi peristiwa yang cukup penting
dalam peradaban manusia mengingat wilayah angka prosentase populasi tersebut
hanyalah sebesar 2% pada periode awal abad ke 19; serta meningkat menjadi 14%
pada awal periode awal abad ke 20 dan 30% sejak periode tahun 1950. Wilayah
perkotaan, yang hanya memiliki luas 3% dari permukaan bumi namun menampung
lebih dari separuh populasi dunia, telah menjelma menjadi pusat dari transformasi
budaya sosial, mesin pertumbuhan ekonomi, serta tempat terciptanya inovasi dan
pengetahuan (Wu, 2009). Satu hal yang telah menjadi budaya manusia yang universal
saat ini, yaitu manusia rela berbondong-bondong untuk tinggal dan bekerja di wilayah
perkotaan demi mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik.
Jika kita melihat sejarah peradaban manusia, dapat dikatakan bahwa kejadian di atas
disebabkan oleh fenomena industrialisasi. Industrialisasi seperti telah menjadi pusat
dari segala kegiatan manusia; dimana industrialisasi ini telah menciptakan pergeseran
budaya yang sebelumnya adalah agraris, sehingga menyebabkan pergeseran dari
pertanian ke industri dan dari perdesaan ke kota. Proses industrialisasi ini kerap kali
praktis merupakan inti dari economic development, bahkan pembangunan atau
perkembangan perekonomian sering diidentikan dengan industrialisasi (Rahardjo dalam
Priyadi, 2008); sedangkan urbanisasi adalah salah satu bagian dari proses
industrialisasi yang tak dapat dihindarkan (Todaro dan Jerry dalam Priyadi, 2008).
Dibalik segala lika-liku fenomena industrialisasi tersebut, urbanisasi terhadap
lingkungan perkotaan ekspansi spasial secara padat dari lingkungan terbangun oleh
manusia dan segala kegiatan sosio-ekonomi mereka telah seringkali dijadikan
tersangka yang bertanggung jawab atas permasalahan-permasalahan baik sosial
maupun lingkungan yang terjadi akibat dari proses budaya yang baru tersebut (Wu,
2009). Menurut Dasclu (2007) di dalam jurnalnya menuliskan bahwa budaya bekerja
yang terjadi di dalam lingkup konteks perkotaan ini sudah banyak membawa efek-efek
yang merusak kehidupan perkotaaan itu sendiri; diantaranya adalah terjadinya area
urban yang terpolusi yang dikenal dengan nama megapolis, area terbangun maupun
area alami yang mengalami degradasi, destrukturalisasi sosial, banyaknya penyakit fisik
ataupun psikis (stres) yang dialami, rasisme dan agresivitas yang berlebihan,
keserakahan dan kemiskinan, serta banyak hal lainnya.
Terdapat kemungkinan bahwa efek-efek yang merusak tersebut terjadi akibat adanya
hubungan yang tidak harmonis antara budaya bekerja masyarakat perkotaan tersebut
dengan lingkungan alam di sekitarnya. Seperti yang diungkap oleh Byrne dan Wolch
(2009) tentang beberapa ahli lingkungan yang telah menyadari bahwa setiap
permasalahan perkotaaan, terutama permasalahan sosial, mempunyai akar
permasalahan yang terkait dengan lingkungan (konteks ekologis). Kehidupan
masyarakat perkotaan akan lebih berkualitas, lebih sehat, lebih bermoral, lebih berjiwa
sosial, lebih bijaksana, serta lebih pintar apabila dihadapkan dengan lingkungan sekitar
yang tepat dan serasi; hal yang bertolak belakang apabila kehidupan tersebut
dihadapkan dengan lingkungan yang kurang serasi, dimana besar kemungkinan akan
mengundang gaya hidup melankolia dan korup yang berlebihan (Byrne dan Wolch,
2009). Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Fromm (dalam Priyadi, 2008) yang
melihat dampak kapitalisme yang umum terjadi di perkotaan menimbulkan keadaan
masyarakat tidak sehat, karena ada kecenderungan masyarakat selalu minta lebih
banyak lagi (acquisitive society).
II. TAMAN KOTA SEBAGAI SOLUSI BUDAYA PERKOTAAN YANG TIDAK
SEHAT
Latar belakang inilah yang mendasari mengapa masyarakat perkotaan tetap
membutuhkan kedekatan yang harmonis terhadap alam lingkungan alami yang
dianggap menyehatkan. Kebutuhan yang dapat dikatakan bersifat ekologis ini telah
menjadi salah satu kebutuhan yang umum terutama bagi masyarakat perkotaan
modern saat ini kebutuhan manusia sebagai bagian dari alam, untuk dekat dengan
alam, berada pada suatu ruang yang beratapkan langit (Nasution, 2003). Kemunculan
fenomena kebutuhan ekologis ini seakan sudah menjadi bagian dari kebudayaan baru
sebuah kota modern. Semakin tinggi tingkat urbanisasi yang terjadi, akan semakin
tinggi pula tingkat kebutuhan ekologis masyarakat kota tersebut kebutuhan untuk
dapat berekreasi di ruang terbuka hijau yang dianggap menyehatkan serta dapat
mengurangi beban stres pekerjaan sehari-hari mereka (Casagrande, 2001). Kebutuhan
ekologis ini menyebabkan peran dari arsitektur lanskap perkotaan menjadi sangat
penting terhadap budaya masyarakatnya dimana arsitektur lanskap diharapkan dapat
membawa atau memasukkan budaya perkotaan sebagai bagian yang harmonis dan
sinergis terhadap alam. Sehingga pada akhirnya, kualitas lanskap perkotaan ini dapat
memiliki kemampuan untuk memperbaiki, melindungi, serta merehabilitasi ruang-ruang
perkotaan; yang dapat membuat hubungan antara komponen-komponen perkotaan
dengan ruang di sekitarnya menjadi lebih baik; dan yang dapat memberi kehidupan
serta makna yang baru terhadap ruang-ruang terbangun yang berjiwa kosong
(Dasclu, 2007).
Contoh tipologi yang paling umum dari infrastruktur lanskap yang dikaitkan dengan
pemenuhan kebutuhan ekologis ini tidak lain adalah taman kota (urban park). Pada
awal konsep mengenai taman kota (yang bersifat publik) ini diperkenalkan, tipologi ini
dirancang sebagai tempat pelarian warga kota dari kehidupan bekerjanya sehari-hari
dimana tempat ini memiliki kualitas estetis dalam mensimulasikan sebuah lingkungan
yang terdapat pada area rural dimana suasana daerah rural yang dikelilingi oleh
lingkungan alami yang masih asri tersebut diyakini dapat memberikan kesan
romantisme serta dipercaya dapat memberikan efek pembangkit ataupun penyehat bagi
jiwa manusia (Low dkk., 2005). Manfaat taman sebagai pemberi efek yang
menyehatkan juga diungkapkan lebih lanjut oleh Rohde dan Kendle (dalam Maller,
2009) yang menyatakan bahwa ketika taman kota dirancang untuk pertama kali pada
abad ke 19 di Amerika, pemerintah kota saat itu percaya akan keuntungan-keuntungan
kesehatan yang ditimbulkan dari adanya ruang terbuka hijau dimana manfaat dari
taman kota tersebut diantaranya adalah dapat mengurangi penyakit, kriminal, dan
kegelisahan sosial; di samping menyediakan paru-paru hijau kota dan area rekreasi.
Taman kota merupakan bagian penting dari jaringan ekosistem kompleks perkotaan
yang memberikan servis ekosistem secara signifikan yang didefinisikan sebagai
manfaat yang berasal dari fungsi ekosistem ruang terbuka hijau itu sendiri bagi
manusia, baik langsung ataupun tidak langsung. Sebagai contoh, taman kota dapat
menyerap emisi karbon dioksida dan menghasilkan oksigen, memperbaiki kualitas
udara dan air, mengatur iklim mikro, mengurangi kebisingan, melindungi tanah dan air,
mempertahankan keanekaragaman hayati, serta memiliki nilai rekreasi, budaya, dan
sosial. Dapat dikatakan dengan lebih sederhana, taman kota bermanfaat secara
lingkungan, estetis, rekreasi, psikologis, sosial, dan juga ekonomis (Loures dkk., 2007).
Ini mungkin yang mendasari Frederick Law Olmsted, salah satu perancang lanskap
yang pertama kali merancang taman kota, untuk dapat percaya akan kualitas restoratif
dari alam dan bahwa taman kota dapat meningkatkan kesehatan, kemampuan, serta
harapan akan umur hidup yang panjang masyarakat perkotaan (Lewis dalam Maller,
2009).
III. PERMASALAHAN YANG MUNCUL PADA TAMAN KOTA
Di era modern sayangnya, idealisme-idealisme mengenai taman kota tersebut
tampaknya sudah semakin kurang disadari oleh masyarakat perkotaan masa kini. Hal
ini disebabkan kurangnya pendidikan masyarakat kota mengenai pentingnya
keberadaan taman kota. Peluang penanaman idealisme ini juga akhirnya menjadi kecil
dengan makin padatnya lingkungan perkotaan. Terkadang, terutama untuk kasus
negara berkembang termasuk Indonesia, pesoalan urbanisasi menjadi semakin
kompleks dengan terjadinya gejala urbanisasi berlebih (overurbanisasi) dan urbanisasi
semu (pseudo-urbanization); dimana tingkat urbanisasi yang terjadi terlalu tinggi di atas
tingkat industrialisasi yang dicapai oleh evolusi suatu masyarakat (Nasikun dalam
Priyadi, 2008). Di negara barat sendiri pun, taman kota di era modern seperti sudah
kehilangan hubungannya dengan konsep taman kota yang dulu pertama kali dicetuskan
dimana penekanan taman kota pada saat sekarang lebih hanya disadari sebagai
tempat untuk bersenang-senang di waktu luang, tanpa menyadari adanya fungsi
ekologis serta efek menyehatkan dari taman tersebut (Rohde dan Kendle dalam Maller,
2009). Pada akhirnya, perancangan taman kota terkesan monoton dan hasil jiplakan
tanpa usaha yang berkelanjutan dari taman-taman kota sebelumnya.
Pengguna dari taman kota tentu memiliki karakter yang berbeda baik itu dari konteks
tempat lokasi, budaya, maupun waktu. Sebagai contoh, kita dapat melihat perbedaan
antara budaya barat dengan timur. Pada konteks budaya barat, taman kota dirancang
bagi aktivitas penggunanya lebih kepada hal-hal yang bertema bersenang dan
berolahraga di waktu luang (Hariyono,2010). Sehingga dapat dikatakan taman kota
pada budaya barat, dimana konsep taman kota ini pertama kali berasal, lebih
menekankan pada aktivitas pengguna yang individualis atau berkelompok dalam jumlah
yang sangat sedikit. Ini mungkin akan sangat mudah terlihat dari komponen sederhana
dari taman kota tersebut, yakni seperti bangku taman. Bangku taman per area
penempatannya pada konsep taman kota bergaya barat akan lebih cenderung hanya
dapat menampung sebagian kecil jumlah manusia pendekatan ini memang cocok
untuk jenis aktivitas yang dilakukan seorang diri,berpasangan, atau berkelompok kecil;
seperti merenung (kontemplasi), mengobrol dalam suasana yang tenang, bersantai
menikmati sore hari, berjalan-jalan dengan binatang peliharaan, atau berolahraga
(jogging atau bersepeda). Sedangkan pada budaya timur, seperti di Indonesia
khususnya, kebiasaan bersenang-senang yang bersifat individualis mungkin akan
sangat jarang ditemukan. Bagi masyarakat timur pada umumnya, kebiasaan untuk
memanfaatkan waktu luang adalah dengan berkumpul dalam tema kebersamaan
dengan keluarga atau kerabat yang seringkali melibatkan jumlah yang cukup besar
(Hariyono, 2010). Hal inilah yang menyebabkan konsep alun-alun atau ruang terbuka
komunal akan lebih cocok diterapkan walaupun konsep tersebut sebenarnya sudah
berbeda tipologi dengan taman kota.
Taman kota merupakan suatu konsep yang relatif baru bagi budaya timur yang
dikenalkan oleh bangsa barat ketika terjadinya kolonisasi. Saat kolonisasi tersebut,
bangsa barat membangun taman pada kota koloninya dengan tujuan menciptakan
suasana taman kota seperti di negara asal mereka. Taman ini pada mulanya memang
tidak diperuntukan bagi publik masyarakat kota, melainkan bagi kalangan-kalangan
atas tertentu. Di Indonesia, beberapa contoh dari taman tersebut dapat kita temui pada
kota-kota besar yang pernah menjadi koloni dari Belanda; seperti di Jakarta yang
diantaranya adalah Waterloo Plein (Taman Banteng) dan Boorgermeester
Bisschopplein (Taman Suropati); serta di Bandung yang diantaranya adalah Ijzerman
Park (Taman Ganesha), Pieters Park (Taman Merdeka), Molukken Park (Taman
Maluku), dan Insulinde Park (Taman Nusantara). Ketika taman-taman tersebut
dibangun, konsep taman kota yang menyehatkan serta menaungi aktivitas
penggunanya memang masih dapat dikatakan relevan, mengingat hampir sebagian
besar penggunanya saat itu adalah orang-orang barat (Belanda) atau setidaknya orang-
orang berpendidikan barat (west-educated). Situasi ini akan menjadi bermasalah ketika
taman-taman kota tersebut mengalami pergantian tipikal pengguna yang memiliki
budaya yang bertolak belakang serta dalam periode waktu yang berbeda.
Yang terjadi ketika taman kota dengan rasa barat ini digunakan oleh masyarakat biasa
berbudaya timur adalah apa yang dinamakan sebagai pengkotak-kotakan. Pengkotak-
kotakan komunitas pengguna taman ini terjadi melalui beberapa tahapan mekanisme.
Pertama, pengguna belum atau tidak mengetahui makna dari masing-masing fasilitas
yang terdapat pada taman tersebut dan memang mereka belum terbiasa serta belum
mendapatkan pendidikan atau pengetahuan mengenai taman kota bergaya barat.
Kedua, mereka kemudian memaksakan kebiasaan-kebiasaan beraktivitas yang berasal
dari budaya mereka pada taman tersebut ada yang merasa bermasalah dan ada juga
yang tidak merasa bermasalah. Pada akhirnya, mereka yang merasa bermasalah
dengan penyesuaian terhadap taman kota bergaya barat tersebut akan meninggalkan
taman tersebut dan tidak akan mengunjunginya kembali dan mereka pun kembali
pada pola dan gaya hidup perkotaan yang polutif dan tidak sehat. Sedangkan bagi
mereka yang tidak merasa bermasalah dengan proses penyesuaian tersebut, mereka
akan melakukan hal-hal yang menurut mereka juga tidak merupakan masalah; seperti
merusak tanaman (walaupun dalam skala yang kecil), membuang sampah
sembarangan (karena mengangap akan ada pihak yang membersihkannya),
menjadikan taman sebagai tempat tinggal dan tempat melakukan kegiatan ekonomi
yang tidak berijin (karena menganggap itu hal yang diperbolehkan di suatu tempat
publik), dan hal-hal yang tidak bertanggung jawab lainnya.
Keadaan-keadaan di atas menyebabkan taman kota menjadi hanya dapat dinikmati
oleh beberapa kalangan saja. Inilah yang dikhawatirkan oleh Solecki dan Welch (dalam
Maller, 2009) yang mengungkapkan bahwa jika tidak dikelola dan digunakan dengan
semestinya, taman kota hanya akan menjadi sebuah dinding hijau yang memisahkan
komunitas (yang sebenarnya terdiri dari berbagai karakteristik etnik dan sosial-
ekonomi), daripada menjadi sebuah tempat komunitas tersebut untuk dapat saling
berinteraksi. Taman kota yang bermasalah seperti ini juga akan rentan terhadap
terjadinya perebutan kepentingan di taman tersebut;baik oleh pemerintah, beberapa
kelompok masyarakat, maupun oleh swasta yang semua pihak merasa berhak dan
menganggap dapat mengubah ruang publik tersebut menjadi sesuatu yang lebih
berguna. Kekhawatiran ini juga diungkapkan oleh Fandeli dkk. (dalam Hariyono, 2010)
yang menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan ruang terbuka hijau nantinya akan
semakin berkurang; dikarenakan terjadinya perebutan kawasan taman kota baik antara
sektor publik dan privat, maupun antara masyarakat strata menengah bawah dan
masyarakat strata atas.
Permasalahan taman kota bergaya barat yang tidak sesuai dengan konteks budaya
timur ini memang tidak selalu terjadi di negara-negara berbudaya timur. Namun di
Indonesia, melalui konteks kota Bandung, terdapat contoh kasus melalui kutipan artikel
berikut ini dimana permasalahan tersebut muncul yang mungkin tidak disadari oleh
warga kota Bandung itu sendiri.

Kota Bandung memiliki 604 taman; dimana sebanyak 240 taman kota publik menjadi
tanggung jawab dinas pertamanan kota tersebut, dan sisanya yang merupakan taman
semi-privat dan privat menjadi tanggung jawab masyarakat atau pengelola perumahan
(Arief Prasetya, Sekretaris Dinas Pertamanan Kota Bandung, dalam Harian Kompas 27
Agustus 2009). Jumlah ini dapat dikatakan relatif sangat banyak dan cukup untuk
menyegarkan sebuah kota yang luasnya hanya 16.729 hektar. Namun terdapat hal
yang mengkhawatirkan pada taman kota di kota Bandung ini, yaitu taman kota yang
dipagari. Hal tersebut mungkin dapat dipahami sebagai usaha proteksi agar taman
tetap asri -dikarenakan banyaknya warga kota Bandung yang tidak atau kurang peduli
terhadap lingkungan serta berpikir bahwa menjaga lingkungan adalah bukan tugas
mereka.
Taman kota di Bandung yang dipagari salah satunya adalah Taman Cilaki taman yang
kini sudah berganti nama menjadi Taman Lansia (terletak di dekat Gedung Sate dan
Gedung Museum Geologi Bandung). Pada Taman Cilaki ini, sebenarnya terdapat cukup
banyak acara bertema peduli lingkungan atau pendidikan lingkungan yang
dilaksanakan; seperti yang dilakukan oleh YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains
dan Bioteknologi), KONUS (Konservasi Alam Nusantara), dan BICONS (Bird
Conservations). Dengan kegiatan seperti ini, taman kota dapat menjadi sebuah ruang
publik yang sangat menyenangkan.
Pada periode tahun 2000-2006, pemagaran yang terjadi di Taman Cilaki adalah hanya
setinggi batas lutut saja dengan menggunakan kawat. Pemagaran tersebut bertujuan
untuk membedakan antara areal untuk tanaman dengan areal untuk sirkulasi pejalan.
Ini dimaklumi dikarenakan pada Taman Cilaki tersebut juga terdapat fasilitas wisata
berkuda untuk anak-anak sehingga pagar berfungsi agar kuda tidak masuk ke dalam
areal tanaman. Namun memasuki tahun 2006, di Taman Cilaki sudah terdapat pagar
dengan ketinggian setinggi orang dewasa. Untuk akses ke dalam taman tersebut,
terdapat dua pintu masuk kecil yang terletak di kedua ujung taman. Keadaan ini
memberikan kesan bahwa taman kota menjadi begitu eksklusif -terbatas dan seolah
bukan menjadi ruang terbuka lagi. Taman kota menjadi ruang tertutup yang membatasi
akses warga kota untuk beraktivitas di waktu senggang.
Pada satu sisi yang positif, pemagaran taman kota dapat dipandang sebagai usaha
penjagaan keasrian dari taman kota. Tetapi pada satu sisi lainnya, sangat disayangkan
jika taman kota menjadi terkesan angkuh, terbatas, dan tidak publik. Akses yang
terbatas tersebut pada akhirnya akan membuat warga kota menjadi semakin
individualis. Ruang bertegur sapa dan ruang berkomunikasi sesama warga menjadi
hilang karena taman kota yang dibatasi.
(Iden Wildesyah, Pagar Taman Kota, dalam rubrik Kompasiana Green tanggal 14 Mei
2010)
Melalui artikel di atas, dapat terlihat bahwa terdapat konflik antara pengguna taman
kota beserta kebiasaannya dengan rancangan taman kota itu sendiri. Pengguna umum,
dalam hal ini adalah masyarakat kota Bandung, mungkin merasa bahwa memasuki
areal tanaman bukanlah suatu masalah yang besar, walaupun kerusakan tanaman
akan dapat terjadi. Namun bagi pihak yang mengelola taman tersebut, kebiasaan dari
pengguna itu dinilai tidak menghargai dan dapat membahayakan keasrian dari taman
yang nantinya dapat merusak nilai estetis maupun ekologis dari taman kota tersebut;
sehingga akhirnya dikeluarkan keputusan untuk memagari taman secara bertahap.
Satu hal yang pasti, di luar permasalahan yang terjadi saat ini, konflik ini tentu belum
terjadi ketika Taman Cilaki tersebut dibangun pertama kali oleh Belanda pihak
pengkolonisasi saat itu. Mencari pihak yang harus mengalah dalam konflik ini tidaklah
merupakan perkara yang mudah dan memang tidak perlu untuk dicari. Yang diperlukan
adalah adanya suatu pemahaman kembali mengenai peran penting taman kota yang
diperuntukkan bagi seluruh komponen masyarakat kota; baik itu masyarakat umum,
pemerintah, maupun swasta. Pemahaman kembali ini, yang dapat dikatakan juga
sebagai reposisi taman kota, tidak saja hanya sebatas wacana komunikasi saja,
melainkan juga melalui pendidikan lingkungan serta pemfasilitasan melalui
perancangan taman kota tersebut (Maller, 2009).
IV. REPOSISI TAMAN KOTA DENGAN MEMANFAATKAN NILAI BUDAYA
LOKAL
Dalam melakukan reposisi taman kota di Indonesia, pertama-tama diperlukan adanya
pemahaman kembali oleh seluruh komponen masyarakat perkotaan mengenai peran
penting taman tersebut di dalam memelihara, menjaga, serta meningkatkan kesehatan
masyarakat perkotaan beserta lingkungannya (Maller, 2009). Sudah tentu di dalam
proses reposisi taman kota ini juga diperlukan adanya penyesuaian terhadap konteks
budaya masyarakat perkotaan tersebut. Namun seburuk-buruknya perlakukan manusia
terhadap alam, tiap budaya manusia di dunia pada hakekatnya tetap memiliki rasa
hormat dan apresiasinya masing-masing terhadap alam bahwa alam meresap dan
adalah sangat penting dalam budaya manusia, seperti servis ekosistem memberikan
sebuah nilai yang sangat penting bagi manusia, serta alam adalah salah satu pusat
(centerpiece) dari budaya dan berakar sangat dalam pada manusia (Forman, 2008).
Sehingga dengan demikian, perlu dipahami bahwa taman kota merupakan aset kota
yang potensial dan merupakan sebuah katalis yang ideal; yang dapat mengintegrasikan
antara lingkungan, masyarakat, dan kesehatan di lingkungan perkotaan dengan
mempromosikan sebuah pendekatan ekologis terhadap kesehatan dan kesejahteraan
manusia yang didasari pada kontak dengan alam (Maller, 2009).
Tujuan dari reposisi taman kota ini nantinya tidak lain adalah untuk membentuk kembali
budaya kolektif perkotaan yang lebih sehat dan sejahtera. Budaya ini juga diharapkan
dapat menjadi budaya yang menghargai peran dan manfaat bentang alam yang
terdapat di lingkungan perkotaan (landscape urban culture); sehingga budaya tersebut
dapat memiliki kualitas seperti: kekuatan untuk menyatukan semua lapisan masyarakat
yang berbeda dan kekuatan untuk memberikan rasa kolektivitas serta saling memiliki
kepada masyarakat (Dasclu, 2007).
Konsep reposisi taman kota ini, dimana manajemen pertamanan kota diharapkan
bertindak sebagai agen pelakasananya, sebenarnya dapat menerapkan rekomendasi-
rekomendasi yang digagas oleh Maller dkk. (2009); yang rekomendasi tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut ini.
1. Pengkomunikasian kepada pemerintah dan masyarakat kota secara luas bahwa:
akses kepada alam melalui taman kota merupakan hal yang penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan;
taman kota dapat berpotensi untuk mengurangi beban dari sistem perawatan
kesehatan konvensional;
taman kota memfasilitasi kesehatan dan kesejahteraan melalui pendekatan
ekologis yang menguntungkan; dan
taman kota dapat mengembalikan kembali sense of empowerment kepada
masyarakat perkotaan.
2. Pendidikan kepada pemerintah dan masyarakat kota secara luas mengenai:
pengaplikasian butir-butir di atas guna meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan;
pemasukan pengetahuan di atas ke dalam kebijakan kesehatan publik beserta
promosinya;
pengkolaborasian hal-hal di atas demi tujuan bersama; dan
kebutuhan untuk memperluas dasar pengetahuan di area ini demi penyebaran di
masa depan.
3. Pemfasilitasan hubungan antara komunitas masyarakat perkotaan dengan alam
dalam upaya menghidupkan kembali pentingnya alam di dalam kehidupan manusia dan
mengolah perilaku yang holistik dan berkelanjutan dalam berkehidupan yang
menyehatkan, melalui:
proses komunikasi dan edukasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya;
eksplorasi yang kontinu terhadap manfaat dan kebaikan yang dapat diperoleh
melalui kontak dengan alam; dan
pengembangan praktek-praktek manajemen pertamanan dan perancangan
taman yang mendukung pertemuan komunitas masyarakat tersebut dengan
alam.
Melihat rekomendasi-rekomendasi di atas, dapat dicermati bahwa rekomendasi yang
cenderung memerlukan penyesuaian dengan konteks budaya setempat adalah
rekomendasi ketiga; yaitu penerapan konsep reposisi taman kota tersebut di dalam
perancangan taman kota itu sendiri tanpa mengurangi esensi dari rekomendasi
pertama dan kedua. Akan sangat bijaksana jika proses pemfasilitasan di atas dapat
mengangkat nilai-nilai lokal sehingga pada akhirnya keseluruhan proses dapat
dijalankan dengan sempurna dan menghasilkan perancangan taman kota yang optimal.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, secara tradisional masyarakat perkotaan di
Indonesia tidak mengenal konsep taman kota seperti yang dipahami pada masyarakat
berbudaya barat sebagai taman yang digunakan untuk bersenang-senang yang bersifat
individualistis. Sehingga untuk dapat mereposisi taman kota di Indonesia ini ada
baiknya dilakukan pemetaan terhadap pengalaman tiap-tiap komponen masyarakat
melalui latar belakang budayanya (Hariyono, 2010). Masyarakat di Indonesia akan lebih
senang memanfaatkan waktu luangnya dengan berkumpul secara komunal di ruang-
ruang terbuka kota seperti di alun-alun kota. Fenomena inilah yang seharusnya
menjadi titik potensial dalam mereposisi taman kota di Indonesia. Disamping taman
kota yang memiliki nilai ekologis yang tinggi, reposisi taman kota juga perlu
memperhatikan orientasi nilai sosial yang mengutamakan kebersamaan, sehingga
nantinya akan melahirkan perancangan taman kota yang memiliki fungsi sosial yang
tinggi. Ada baiknya ruang-ruang yang tercipta di dalam taman kota yang berbudaya
Indonesia memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan konsep alun-alun; dimana
pada konsep ruang terbuka yang dianggap cocok dengan budaya masyarakat lokal
Indonesia tersebut memiliki sifat multifungsi selain berfungsi sebagai wadah interaksi
sosial dan budaya masyarakat, ruang tersebut juga dapat menjadi wadah kegiatan
perekonomian, walaupun bersifat informal (Damajani, 2007).
Dari uraian di atas, diketahui bahwa untuk masyarakat perkotaan di Indonesia masa
kini, terdapat kemungkinan beberapa konsep yang dapat mendukung reposisi taman
kota, yaitu:
taman kota yang bukan untuk kesenangan individual melainkan komunal;
taman kota yang memiliki fungsi sosial yang tinggi; dan
taman kota yang dapat menyediakan fungsi ekonomi walaupun bersifat
informal.
Penerapan konsep-konsep pendukung ini pada perancangan sebuah taman kota dapat
diwujudkan mulai dari skala yang besar (perancangan tapak) sampai kepada skala
yang kecil (perancangan detail taman). Perwujudan dalam skala yang besar akan lebih
mudah dilakukan ketika merencanakan, merancang, dan membangun suatu taman kota
yang baru. Segala bentuk idealisme perancangan memang akan lebih mudah
diterapkan dan diwujudkan pada suatu kondisi yang baru. Namun ketika kondisi yang
baru ini sulit ditemukan di lingkungan perkotaan (dalam hal ini adalah lahan siap
pakai), mungkin dikarenakan makin terbatasnya lahan terbuka di lingkungan perkotaan,
maka proses pemfasilitasan dari konsep reposisi taman kota ini dapat dilakukan dengan
perancangan kembali (redesign) beberapa komponen dari taman kota yang sudah ada
dengan skala perancangan yang lebih kecil atau lebih detail.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian ketiga dari makalah ini, bangku taman
merupakan salah satu komponen dari sebuah taman yang dapat menggambarkan
budaya penggunanya. Sehingga di dalam mereposisi taman kota yang merespon
budaya dari penggunanya, penyesuaian kembali komponen tersebut sebenarnya dapat
dikatakan sebagai salah satu solusi yang mudah. Fasilitas bangku taman pada konsep
taman kota bergaya barat cenderung memiliki kapasitas tampung yang kecil dan
bersifat linier dengan akses visual yang luas (menyebar). Jika paradigma ini
disesuaikan kembali dengan menerapkan konsep bangku taman yang memiliki
kapasitas tampung yang lebih besar dan bersifat sirkular dengan akses visual yang
terfokus pada pusat (seperti pada konsep amphitheater), maka niscaya kualitas sosial
dari bangku taman tersebut akan meningkat. Konsep ini sebenarnya juga tidak
membatasi pengguna dalam menikmati kualitas estetis dari taman tersebut yang dihiasi
oleh pepohonan yang rimbun baik itu menikmati secara visual maupun non-visual.
Kesemua proses di atas pada akhirnya diharapkan dapat menjadikan taman kota
sebagai ruang publik yang dapat membentuk budaya sehat kolektif bagi masyarakat
perkotaan di Indonesia. Sudah menjadi hal yang wajar jika di dalam proses
perjalanannya konsep pemahaman kembali ini akan mendapat berbagai halangan dan
kendala. Namun di era peradaban yang selalu menghendaki perubahan yang cepat dan
yang kini juga mulai terjadinya perubahan kondisi alam secara global, kondisi hubungan
manusia dan alam mau tidak mau harus mengalami perubahan yang lebih baik; dan
mereposisi konsep taman kota merupakan sebuah solusi yang visible demi lingkungan
perkotaan yang berkelanjutan. Dalam proses pembentukan budaya baru yang lebih
baik ini sebenarnya tidak diperlukan adanya kekhawatiran yang berlebihan; ini
dikarenakan terdapatnya sebuah kualitas mendasar dari tiap budaya manusia, yaitu
budaya tersebut bisa dan dapat dipelajari (Dasclu, 2007).
V. KESIMPULAN
Taman kota dapat dikatakan sebagai sebuah ruang terbuka yang secara ideal dapat
mengintegrasikan antara lingkungan, masyarakat, dan kesehatan di lingkungan
perkotaan dengan mempromosikan sebuah pendekatan ekologis terhadap kesehatan
dan kesejahteraan manusia yang didasari pada kontak dengan alam. Taman kota
merupakan bagian penting dari jaringan ekosistem perkotaan yang memberikan jasa
servis ekosistem, dan taman kota bermanfaat secara lingkungan, estetis, rekreasi,
psikologis, sosial, serta ekonomis bagi masyarakat perkotaan. Namun idealisme
mengenai konsep awal pembentukan taman kota ini tampaknya sudah semakin kurang
disadari oleh masyarakat perkotaan masa kini -dimana penekanan taman kota pada
saat sekarang lebih hanya disadari sebagai tempat untuk bersenang-senang di waktu
luang, tanpa menyadari adanya fungsi ekologis serta efek menyehatkan dari taman
tersebut. Keadaan ini disebabkan kurangnya pendidikan masyarakat kota mengenai
pentingnya keberadaan taman kota dan terjadinya konflik antara budaya perancangan
dengan budaya pemakaian dari taman kota tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya suatu pemahaman kembali mengenai peran penting taman
kota yang diperuntukkan bagi seluruh komponen masyarakat kota; baik itu masyarakat
umum, pemerintah, maupun swasta. Pemahaman kembali ini, yang terwujud dalam
konsep reposisi taman kota, tidak saja hanya sebatas wacana komunikasi saja,
melainkan juga melalui pendidikan lingkungan serta pemfasilitasan melalui
perancangan taman kota tersebut. Di dalam proses reposisi taman kota juga diperlukan
adanya penyesuaian terhadap konteks nilai-nilai lokal budaya masyarakat perkotaan
setempat, sehingga nantinya dapat menghasilkan perancangan taman kota yang
optimal dan tidak sekedar hasil tiruan dari taman-taman kota sebelumnya yang sudah
ada.

REFERENSI
Byrne, J. dan Wolch, J. (2009). Nature, Race, and Parks: Past Research and Future
Directions for Geographic Research. Progress in Human Geography 33(6): 743765.
http://phg.sagepub.com (30 September 2010)
Casagrande, D. (2001). The Human Component of Urban Wetland Restoration. Yale
F&ES Bulletin 100: 254-270. http://environment.research.yale.edu (19 Oktober 2010)
Damajani, D. (2007). Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik:
Studi Kasus Lapangan Cikapundung, Bandung. ITB J. Vis. Art. 1(3): 330-345.
http://proceedings.itb.ac.id/ (8 Oktober 2010)
Dasclu, D. (2007). The Urban Landscape and the Landscape Urban Culture.
http://univagro-iasi.ro (20 September 2010)
Forman, R. (2008). Urban Regions: Ecology and Planning Beyond the City. Cambridge:
Cambridge University Press.
Hariyono, P. (2010). Konsep Taman Kota pada Masyarakat Jawa Masa Kini. Local
Wisdom-Jurnal Ilmiah Online 2 (3): 1-3. http://localwisdom.ucoz.com/ (7 Oktober 2010)
Loures, L., Santos, R., dan Panagopoulos, T. (2007). Urban Parks and Sustainable City
Planning: The Case of Portimao, Portugal. WSEAS Transactions on Environment and
Development Journal 10 (3): 171-180. http://wseas.us/e-library/ (7 Oktober 2010)
Low, S. Taplin, D. dan Scheld, S. (2005). Rethinking Urban Parks: Public Space and
Cultural Diversity. Austin: University of Texas Press.
Maller, C., Townsend, M., Leger, L., Henderson-Wilson, C., Pryor, A., Prosser, L., dan
Moore, M. (2009). Healthy Parks, Healthy People: The Health Benefits of Contacts with
Nature in a Park Context. The George Wright Forum 26 (2): 51-83.
http://www.georgewright.com/ (26 Oktober 2010)
Nasution, A. (2003). Perkembangan Kebutuhan Masyarakat pada Ruang Terbuka
Publik di Pusat Kota. http://repository.usu.ac.id (9 Oktober 2010)
Priyadi B. (2008). Menggugat Pembangunan Perkotaan: Belajar Dari Masyarakat
Agraris. Dialogue Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik 5 (1): 54-65.
http://ejournal.undip.ac.id/ (28 November 2010)
Wildensyah, I. (2010). Pagar Taman Kota.
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2010/05/14/pagar-taman-kota/ (12 Desember
2010)
Wu, J. (2009). Urban Sustainability: an Inevitable Goal of Landscape Research.
Landscape Ecol 25: 14. http://leml.asu.edu (20 September 2010)

Вам также может понравиться