Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PO UI
Visi Allah yang Dihidupi
TIM LITERATUR
PANITIA PERAYAAN 50 TAHUN
PERSEKUTUAN OIKUMENE UNIVERSITAS INDONESIA
50 tahun
PO UI
Visi Allah yang Dihidupi
50 Tahun PO UI
Visi Allah yang Dihidupi
Belum lama ini saya melakukan perjalanan keluar kota dengan beberapa
rekan seprofesi tapi dari kantor yang berbeda. Ternyata tidak hanya
berbeda kantor, tapi kami punya jarak usia 3-4 tahun--tentu mereka lebih
muda. Sepanjang perjalanan, aktivitas mereka tidak lepas dari ponsel pintar
untuk mengabadikan hampir semua momen yang menurut saya biasa-biasa
saja. Ratusan foto dan rekaman peristiwa tersimpan, selanjutnya diunggah
ke media sosial, terutama ke akun Instagram di fitur "Insta-story".
Persoalan lain, rekan-rekan saya tersebut punya banyak permintaan
ke panitia, mulai dari lokasi tempat makan, menu makan siang, kendaraan
antar jemput, oleh-oleh untuk dibawa pulang dan keinginan-keinginan
"kecil" lain yang tampak tidak signifikan namun tetap diutarakan. Panitia
pun meluluskan permintaan tersebut. Saya pun berpikir sungguh mereka
"anak-anak" manja yang tidak fokus pada pekerjaan tapi lebih suka mencari
kesenangan.
Namun kemudian saya berpikir, bukankah manusia juga melakukan hal
yang sama seperti rekan-rekan saya (dan saya juga) kepada Tuhan?
Bukankah kita kerap cerewet meminta hal-hal "kecil" yang sebenarnya su-
dah Tuhan sediakan dengan baik tapi kita ingin sesuatu yang menurut
pemikiran manusia "lebih baik" agar bisa ditunjukkan ke manusia lain?
Standar manusia menjadi tolak ukur kita, hal ini tentu tidak sesuai dengan
keinginan Tuhan agar kita tidak serupa dengan dunia (Roma 12:2).
Herannya Tuhan tetap sabar kepada manusia.
Pelajaran lain yang saya dapatkan, memang muncul generasi "milenial"
yang cirinya terdepan terkait teknologi, sangat peduli tampilan diri di media
sosial, menyukai gambar atau hal-hal visual, kreatif, dan kondisi-kondisi lain
yang tidak terpikirkan generasi sebelumnya. Bisa saja hal ini mendatangkan
dampak positif tapi bisa juga sebaliknya, seperti yang saya rasakan terhadap
rekan-rekan saya di atas.
Lalu apa hubungannya dengan Persekutuan Oikumene UI (PO UI) yang
dalam anugerah Tuhan sudah 50 tahun berdiri? Masa 50 tahun tentu
menunjukkan pemeliharaan Allah kepada umat-Nya di UI sekaligus
perjuangan orang-orang yang mendapatkan anugerah keselamatan ber-
juang untuk menghidupi visi Allah semasa di kampus maupun setelah men-
jadi alumni. Generasi demi generasi memiliki jejak langkahnya sendiri untuk
menunjukkan contoh bagaimana tetap setia dalam panggilan Allah.
Terlepas bagaimana ciri generasi tersebut toh Tuhan tetap berotoritas,
pekerjaan kita adalah bagaimana sebaik mungkin menerjemahkan otoritas
Tuhan itu di hadapan generasi-generasi terkini.
Dalam anugerah Tuhan juga panitia perayaan 50 Tahun PO UI
mengumpulkan tulisan-tulisan para alumni muda maupun madya untuk
menunjukkan kesaksian mereka mengenai pemeliharaan Tuhan dalam
bidang-bidang tertentu. Kesaksian-kesaksian ini menjadi implementasi
nyata bagaimana prinsip-prinsip persekutuan yang tertuang di bab awal
direnda Tuhan dengan indah sehingga menjadi suatu sejarah untuk
generasi selanjutnya. Persoalannya apakah generasi sekarang juga akan
melanjutkan kesaksian tersebut ke generasi mendatang?
Akhirnya, buku ini hendak mengukuhkan: ketika mahasiswa berupaya
tekun menghidupi visi Tuhan, dampaknya akan dirasakan nyata bukan
ha-nya semasa mahasiswa tapi juga setelah menjadi alumni. Kiranya buku
ini juga menjadi salah satu contoh bahwa kasih Allah yang abadi menjadi
jawaban untuk menjembatani segala perbedaan perilaku generasi sehingga
Injil tetap dapat diberitakan sampai Kristus datang yang kedua kalinya.
Selamat membaca!
Puji syukur patut kita panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah
menyertai kita sampai hari ini, 50 tahun sudah Persekutuan Oikumene
Universitas Indonesia (PO UI) berdiri. Kesempatan ini selayaknya kita
gunakan untuk melihat dan mensyukuri karya Allah yang luar biasa
sepanjang perjalanan PO UI. Penyertaan Tuhan akan persekutuan di kampus
kita sungguh setia dan berkelanjutan. Persekutuan kampus ini sudah melalui
berbagai macam keadaan, tantangan, bahkan rintangan yang sampai
mengancam eksistensinya. Hanya penyertaan dan pemeliharaan Tuhanlah
yang terus mempertahankan persekutuan ini hingga bisa berdiri sampai hari
ini.
Kalau kita lihat dari keadaan fisik, persekutuan kita terus bertumbuh.
Jumlah jemaat, fasilitas, bahkan hak dan kewajiban sebagai organisasi pun
semakin besar. Jika dulu persekutuan dimulai oleh 4-5 orang yang
membentuk kelompok dan melakukan pembahasan Alkitab, sekarang ada
lebih dari 100 kelompok yang aktif berkumpul dan bersekutu untuk
mempelajari firman Tuhan. Jika dulu kita melaksanakan pesekutuan di
selasar atau taman, sekarang kita diberi ruang kelas atau bahkan auditorium
fakultas untuk memuji Tuhan secara rutin. Jika dulu jemaat berkumpul tanpa
ikatan dan aturan organisasi, bersyukur saat ini sudah ada struktur yang
jelas sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang punya hak untuk
berkegiatan. Jelas kita merasakan penyertaan Tuhan yang begitu besar
kepada PO UI.
Tetapi, apakah perkembangan tersebut sejalan dengan perubahan dan
pertumbuhan rohani yang terjadi pada diri masing-masing sebagai
mahasiswa dan alumni, sebagai murid Kristus? Bagaimana dengan visi kita?
Bagaimana dengan kehidupan pasca-kampus yang kita jalani? Lebih luas
lagi, bagaimana kita sebagai murid Kristus akhirnya menjalani kehidupan
sehari-hari? Apakah kita menghidupi visi yang Allah berikan kepada kita?
Visi untuk menjalankan peran kita sebagai garam dan terang dunia, serta
mengerjakan profesi kita dengan penuh integritas; mencerminkan sifat
Kristus di manapun kita ditempatkan-Nya.
Apakah penyertaan Tuhan dalam persekutuan dan pertumbuhan rohani
kita secara pribadi sejalan dengan bagaimana kita menjalankan peran kita
sebagai anak-anak Allah yang telah dikaruniakan keselamatan?
Pada momen kebangkitan ini, marilah kita kembali melihat bahwa karya
penebusan Kristuslah yang memampukan kita untuk menghidupi visi-Nya
bagi kita hingga akhirnya kita dapat menjadi pelaku dan pewarta injil bagi
dunia, sesuai dengan panggilan pribadi kita, di bidang yang sudah
dirancang Tuhan sebagaimana Ia pandang baik.
Geraldo Sirait
Koordinator PO UI 2017
Sambutan
Segala hormat, puji, dan syukur kita panjatkan kepada Allah Bapa, Allah
Putra, dan Allah Roh Kudus, Ketiganya yang Esa, yang telah memelihara,
menjaga, dan memberkati Persekutuan Oikumene Universitas Indonesia
selama lebih dari 50 tahun dengan segala dinamikanya.
PO UI ada semata karena anugerah Tuhan yang memakai berbagai
peristiwa dan keadaan untuk memberikan wadah dan kesempatan bagi
umat-Nya untuk dapat menikmati hadirat-Nya dan menjadi duta-duta-Nya
bagi kemuliaan nama-Nya di Universitas Indonesia yang kita cintai ini.
Awalnya PO UI bukanlah suatu organisasi formal, tetapi sebagai Panitia
Tetap wadah umat Kristiani Katolik dan Protestan untuk mengadakan
beberapa kegiatan tingkat UI seperti perayaan Natal; Paskah; dan
penyambutan mahasiswa baru. Rektor UI waktu itu (Prof. Dr. Ir. Soemantri
Brodjonegoro) mengusulkan untuk membangun gereja di UI sebagai
pendamping masjid Arif Rachman Hakim, tetapi mengingat beragamnya
denominasi gereja, maka diputuskan pembentukan wadah kegiatan untuk
umat Kristiani yang diberi nama Persekutuan Oikumene Universitas
Indonesia (PO UI), yang kemudian dalam perjalanannya berubah menjadi
Persekutuan Sivitas Akademika Universitas Indonesia (POSA UI) untuk
mempertegas bahwa wadah ini bukan hanya untuk mahasiswa tetapi
seluruh sivitas akademika termasuk dosen; karyawan; dan alumni. Visi
pertama POSA UI adalah visi kesatuan (Yohanes 17:21).
Awal tahun 1970-an mulai timbul kegiatan diskusi isu-isu sosial
kemasyarakatan yang bertempat di Fratheran Jl. Kramat VII/25 yang terbuka
bagi siapa saja, dan juga ada kegiatan pemahaman Alkitab (PA) di FT UI
yang dirintis oleh dosen FT Ir. Jimmy Kuswadi dan Ir. Jonathan Parapak.
Dengan bertumbuhnya kelompok pemahaman Alkitab di FT UI maka
berdirilah PO FT UI dengan Kelompok-kelompok Tumbuh Bersamanya
(KTB), dan mulai membagikan visi menceritakan Kabar Baik dan mendalami
Firman Tuhan ke beberapa fakultas di lingkungan Salemba seperti
FIPIA (FMIPA), FE, FKG, dan kampus Rawamangun. Persekutuan-persekutuan
fakultas ini kemudian bergabung dengan wadah PO UI yang sudah ada.
Pada tahun 1981 POSA UI mengadakan retreat se-UI yang pertama, dan
diikuti dengan semakin berkembangnya persekutuan di fakultas-fakultas
baik di Salemba, maupun di Rawamangun. Pada era 1980-an ini pula
saudara-saudara dari Katolik memisahkan diri dari POSA UI dan mendirikan
KUKSA yang pada tahun 1999 menyatakan diri menjadi Unit Kegiatan
Mahasiswa dengan nama KMK UI. Pada tahun 1987 sebagian kampus UI
mulai pindah ke Depok, dan jemaat di tiap fakultas pun semakin banyak dan
semakin mandiri, tetapi tanpa disadari pada era 1990-an status POSA untuk
beberapa waktu menjadi tidak jelas di dalam organisasi UI, bahkan sempat
bergabung dengan BEM. Pada Januari 2004 dengan status UI sebagai
Universitas Badan Hukum Milik Negara, dan melalui berbagai pendekatan,
PO UI disahkan oleh Rektorat UI menjadi salah satu Unit Kegiatan
Mahasiswa dengan segala hak dan kewajibannya, tetapi kegiatannya
dibatasi hanya untuk kalangan mahasiswa saja, sedangkan sivitas akademika
lainnya hanya sebagai pendukung saja.
Dengan terjadinya berbagai perubahan pada sistem pendidikan nasional
yang berimbas pada UI juga, serta perkembangan di luar kampus maka visi
PO UI menjadi: menghasilkan alumni Kristiani yang takut akan Tuhan, yang
menjalankan perannya sebagai garam dan terang dunia, dan menjadi
profesional di bidangnya.
50 tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak perubahan terjadi, tetapi
kasih setia Tuhan tetap selama-lamanya, dan kita telah mengalaminya.
Kiranya peringatan ke 50-tahun PO UI ini terus memotivasi dan
mendorong kita untuk terus mewujudkan visi kita sebagai saksi-saksi Kristus
yang takut akan Tuhan, menjalankan peran kita sebagai garam dan terang
dunia, dan hidup berintegritas bagi kemuliaan nama-Nya.
Ilustrasi: Kamp PI
Amanat Agung. Ada 8 orang meresponi ide tersebut yaitu Martinus Zega
(FK 90), Sondang Simanjuntak (FK 90), Lamser Aritonang (FISIP 90),
Messalynda Ratna (FH 92), Candra Wijaya (FK 92), Hendarsih (FE 92), Marry
Nainggolan (FPsi 92) dan Maria Herlina (FPsi 93). Kesepuluh orang ini
kemudian dinamakan Tim 10 yang merupakan cikal bakal Tim Misi POSA UI.
Pelatihan pemuridan dan misi dikenal sebagai LPM. Tim 10 bersama-
sama mempersiapkan diri sebagai konseptor, pelaksana, pendamping dan
pelatih dalam LPM 1. Melalui LPM, muncul daerah-daerah target pelayanan
seperti Pos KPK Kosambi di Tangerang, beberapa desa di Lampung Selatan
dan Lampung Tengah serta RSCM. Melalui LPM 1 pada 1996, terdapat 21
orang yang melayani pangilan bermisi.
Pada periode ini juga muncul Paduan Suara (PS) PO UI. Dimulai oleh
Pahala Simamora (FS) pada 1989-1990 yang berinisiatif untuk mengumpul-
kan beberapa pengurus dan tim ini POSA UI dan fakultas yang memiliki
karunia bernanyi yang baik untuk membentuk paduan suara. Latihan
diadakan menjelang acara besar UI yaitu Malam Pengucapan Syukur (MPS),
Natal dan Paskah. Kriteria mahasiswa yang bisa bergabung adalah mereka
yang punya kedewasaan rohani diunjang dengan karunia bernyanyi yang
baik. Beberapa mahasiswa yang aktif pada masa awal PS POSA UI adalah
Robinson Pangaribuan (FISP), Peter Jacobs (FH), Tomy Awuy (FS), Elsa
Manurung dan Flaviana Tagung (FMIPA).
Pada 1990, Novi Manurung terpilih sebagai koordinator PSPOSA
pertama yang dilatih oleh Abner dari FK. Pada 1995, PSPOSA mengalami
perubahan yaitu terbuka untuk semua jemaat, bukan hanya tim inti dan
koordinator fakultas. Saat itu PS dipimpin Rere Silalahi (FISIP 94) dan dilatih
Daniel Dasalak (FT 94). PS pun tidak lagi temporal tapi punya latihan rutin
setiap minggu. Selanjutnya PS dilatih James Panjaitan, Elda Pardede, Inggrid
Napitupulu (FE 98), Monang Saragih (FE 98) dan Ray Tambunan (FMIPA 03).
Ilustrasi: PO FT
PERIODE 2000-AN
UI berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada 2000,
keberadaan POSA UI pun tergugat di mata rektorat. Pada 14 Januari 2004,
POSA UI baru sah menjadi UKM dengan dua kondisi baru. Pertama, dua
huruf "SA" dalam singkatan POSA harus ditanggalkan sehingga hanya
menjadi PO. Artinya, yang boleh terlibat dalam pelaksanaan kepengurusan
hanyalah mahasiswa sedangkan sivitas akademika lain hanya boleh
berpartisipasi secara tidak langsung. Kedua, status POSA PNJ sebagai bagi-
an dari POSA UI harus dilepas sehingga PO UI hanya terdiri dari 12 fakultas
di UI.
Dengan kepastian status hukum di rektorat, keberdaaan persekutuan-
persekutuan fakultas di UI pun terjamin karena PO UI terdiri dari PO-PO
fakultas. Tanggung jawab PO UI yang membawahi PO-PO fakultas pun
kepada bidang Hubungan Mahasiswa dan Alumni (Mahalum) rektorat UI,
bukan kepada BEM/MPM UI atau BEM atau MPM fakultas.
Meski PO UI sudah diakui, PO UI tidak mendapat sekretariat di Pusgiwa
karena sudah diberikan kepada organisasi lain saat PO UI masih berstatus
POSA UI.
Sejumlah tantangan yang berusaha dijawab pada masa ini adalah
bagaimana akhirnya agar mahasiswa lebih dipersiapkan memasuki dunia
alumni melalui KTB Misi yaitu KTB yang secara khusus mempersiapkan ma-
hasiswa untuk "bermisi" secara profesional di bidang masing-masing. Hara-
pannya mahasiswa dilatih untuk mengintegrasikan iman (mandat injili) dan
ilmu (mandat budaya) semasa masih ada di kampus.
Pada 2009 terjadi perubahan periodesasi kepengurusan organisasi di UI.
SK Rektor mewajibkan semua UKM dan Badan Otonom Fakultas mengganti
periode kepengurusan menjadi Januari Desember. PH UI sebagai UKM pun
wajib mengikuti SK Rektor tersebut. Kondisi ini mendatangkan masalah ka-
rena sebelumnya kriteria menjadi seorang PH adalah pernah atau sedang
bergumul menjadi PKK dan pernah menjadi pengurus fakultas. Sementara
kepengurusan maupun KK di masing-masing PO Fakultas juga ada yang
terlambat, meski keterlambatan ini tidak semata-mata disebabkan karena
perubahan periodisasi.
Kondisi jemaat pun berubah, salah satu penyebabnya adalah karena
perkembangan teknologi komunikasi. Teknologi dan aplikasi-aplikasi
perangkat lunak ini memungkinkan pengurus menjangkau jemaat melalui
media visual yang lebih canggih. Tapi di sisi lain jangan sampai
pemanfaatan teknologi oleh pengurus ini menggantikan proses penjang-
kauan dan pemuridan yang sejati.
Sedangkan tantangan dari luar adalah timbulnya ajaran tidak sehat
seperti ajaran yang menentang Allah Tri Tunggal maupun kemunculan
lembaga-lembaga persekutuan yang menggunakan label UI padahal tidak
membawa semangat interdenominasi.
Pada 2011, Fakultas Vokasi hadir di UI sehingga dimulailah perintisan PO
Vokasi. Perkuliahan di fakultas ini hanya 3 tahun sehingga pola
kepengurusan, KK dan regenerasi menjadi tantangan bagi PO UI. Denny
Vissaro (FE 2007) dan Stefiani Sirait (Fisip 2008) menjadi tim inti dalam
perintisan PO Vokasi ini. Beberapa PO Fakultas seperti POSA FKM, Pertiwat
(FIK), PO FT, PO Fisip, PO FE dan PO FMIPA memberikan PKK-nya untuk
melayani KK di PO Vokasi.
Pada 2013, FK dan FKG mulai pindah ke Depok untuk bergabung dalam
Rumpun Ilmu Kesehatan bersama dengan FIK dan FKM. Setelah berdiskusi,
akhirnya diputuskan kalau pelaksanaan KK tetap dipegang oleh PO fakultas
masingmasing, namun untuk Persekutuan Jumat sempat ditampung oleh
PO FKM sebelum akhirnya terpisah dengan FKG melakukan persekutuan
besar pada Kamis dan FK pada Selasa hingga saat ini.
PMK adalah singkatan dari Persekutuan Mahasiswa Kristen. Saat ini ada
ratusan PMK di banyak kampus di Jakarta dan Indonesia. PO (Persekutuan
Oikumene) UI adalah PMK di kampus UI. Tulisan ini akan membahas konsep
dasar tentang PMK. Untuk memahami konsep dasar PMK kita harus melihat:
Visi PMK, Misi PMK , Keunikan PMK
VISI PMK
Visi PMK adalah menghasilkan alumni yang dewasa dalam Kristus dan
siap menjadi garam dan terang serta berkat bagi bangsa dan negara,
masyarakat, gereja dan keluarga.
Visi ini didapat dari firman Allah yang dibukakan kepada para perintis
PMK dan diteruskan dari generasi kepada generasi. Formulasi visi tidaklah
persis sama di setiap PMK, tetapi memiliki benang merah yaitu melihat jauh
kedepan kepada profil alumni yang berdampak bagi Indonesia. Beberapa
perikop kitab suci yang menjadi sumber visi antara lain: Yesaya 6:3, Matius
5:13-16, Efesus 4:13-16, dan Kolose 1:28. Isabelo Magalit yang melayani
PMK di Filipina berkata, Saya punya impian. Saya memimpikan bahwa dari
dunia mahasiswa akan muncul secara terus-menerus pria dan wanita yang
mengasihi Tuhan Yesus lebih dari apa pun dan membenci dosa lebih dari
apa pun. Mahasiswa adalah calon pemimpin masa depan. Student Today
Leader Tomorrow adalah cara pandang PMK melihat mahasiswa. PMK
adalah kumpulan mahasiswa Kristen yang sedang diperlengkapi untuk
menjadi alumni yang siap diutus ke pelbagai bidang profesi dan menjadi
berkat di sana.
Visi sangat penting. Amsal 28:18 menyatakan: Bila tidak ada wahyu
menjadi liarlah rakyat. Without vision, people perish. Samuel Escobar
mengatakan bahwa tanpa visi sebuah gerakan akan mati. Movement
become a monument. Mungkin masih ada kepengurusan, program, dan
pendanaan, tetapi sesungguhnya PMK itu sudah mati.
MISI PMK
Apa yang PMK harus kerjakan untuk mewujudkan visi di atas? Di sini kita
mengenal empat rangkap misi atau tugas PMK, yaitu: Penginjilan,
Pemuridan, Pelipatgandaan, dan Pengutusan (4P)
P1 - Penginjilan
(lih. Yoh 3:16; Ef. 2:1-10; Mat. 28:16-20)
Rahasia besar manusia berdosa dapat mengasihi Tuhan dan membenci
dosa adalah mengalami secara pribadi anugerah keselamatan. Sebagai
manusia berdosa Mahasiswa, sekalipun baik dan pintar, tetap membutuhkan
anugerah keselamatan. They are clever, but only One can make them wise.
Status mahasiswa Kristen tidak menjamin bahwa mereka telah mengalami
anugerah keselamatan. Untuk sampai kepada pengalaman keselamatan,
mahasiswa harus mendengar dan percaya kepada Injil. Di sinilah PMK
menyadari akan misinya untuk memberitakan Injil kepada mahasiswa.
PMK, sekumpulan mahasiswa yang sudah mengalami kasih Kristus,
bersama-sama menyaksikan kasih dan Injil Kristus kepada teman-temannya.
Sesungguhnya mahasiswa yang paling efektif untuk menyampaikan Injil
kepada mahasiswa. Students reaching students adalah motto Penginjilan
di dunia kampus.
P2 Pemuridan
(lih. Mat. 4:18-22, 28:16-20; Kol. 1:28-29; Ef. 4:11-14 )
Ada satu buku yang berjudul Murid Kristus dibuat bukan dilahirkan. Buku
ini menegaskan akan pentingnya pelayanan pemuridan. Sama seperti
seorang bayi atau anak tidak mungkin bertumbuh besar dengan sendirinya,
seorang bayi rohani atau anak rohani memerlukan penggembalaan dan
pembinaan untuk bertumbuh menjadi murid Kristus yang dewasa. Tugas
besar PMK adalah mengerjakan pemuridan. Kelompok kecil atau KTB
(Kelompok Tumbuh Bersama) menjadi tulang punggung pemuridan
bersama-sama dengan aktivitas persekutuan lainnya seperti acara
Persekutuan Jumat, training, retret dll.
P3 - Pelipatgandaan
(lih. 2Tim. 2:2; Mat. 28:16-20; Yos. 1:1-9)
Pelipatgandaan adalah sebuah proses regenerasi PKK (Pemimpin
Kelompok Kecil) pemuridan dan pengurus PMK yang baru. Cara yang paling
efektif untuk melayani mahasiswa dan memimpin PMK adalah mahasiswa
juga. Karena itu, masa studi mahasiswa yang terbatas makin menegaskan
akan pentingnya PMK, selain mengerjakan penginjilan dan pemuridan, juga
melatih mereka yang setia dalam pemuridan untuk siap menjadi PKK dan
pengurus berikut, seperti Musa mempersiapkan Yosua, Paulus mempersiap-
kan Timotius, Tuhan Yesus mempersiapkan Simon Petrus. Seorang PKK atau
pengurus secara pribadi dan bersama-sama harus mempersiapkan adik-adik
rohani mereka untuk menjadi penerus pelayanan mahasiwa di kampus.
P4 Pengutusan
(lih. Mat. 5: 13-16; Ef. 2:10; Ams. 11:10)
Visi PMK adalah alumni yang menjadi garam dan terang dunia. PMK per-
lu memperdengarkan panggilan menjadi garam dan terang dunia kepada
mahasiswa yang telah dimuridkan. Bahwa dunia medis, dunia konstruksi,
dunia pendidikan, dan pelbagai dunia profesi membutuhkan karya dan
pengabdian alumni yang takut akan Tuhan dan mengasihi sesama. PMK
menolong dan mengutus mahasiswa tingkat akhir untuk menemukan
ladang misi profesi yang Tuhan tetapkan bagi mereka.
KEUNIKAN PMK
PO UI sudah berusia cukup tua, baik dihitung dari sejak wadah POSA UI
dibentuk oleh Rektor UI pada tahun 1966 maupun dihitung sejak mulainya
gerakan kelompok PA (Pemahaman Alkitab), KTB tahun 1973. Bila tidak hati-
hati, PO UI sebagai Persekutuan Mahasiswa Kristen di kampus UI bisa
terjebak kepada rutinitas, tradisi atau keteraturan organisasi belaka. Karena
itu, perlu bagi generasi PMK sekarang untuk menghayati hakikat
keberadaan PMK sebagai sebuah gerakan persekutuan mahasiswa dengan
keunikan dinamika dan semangatnya.
PMK sebagai Gerakan Persekutuan dan Pelayanan Mahasiswa terbentuk
bukan karena ide manusia atau perintah pimpinan Kampus, tetapi karena
kuasa firman Allah dan pekerjaan Roh Kudus yang membukakan visi ilahi
akan adanya barisan alumni yang mencintai Tuhan lebih dari apa pun dan
membenci dosa lebih dari apa pun. Alumni yang berakar kuat dalam firman
Ilustrasi: OKK PO UI 2016
Allah, alumni yang siap menjadi garam dan terang, menjadi berkat bagi
Indonesia dan dunia. Untuk itu PMK berjuang memberitakan Injil,
memuridkan, melatih dan mengutus mahasiswa untuk menjadi alumni yang
demikian.
Keunikan dinamika dan semangat PMK meliputi:
7. Gerakan Interdenominasi
(lih. Yoh. 17: 21-23)
PMK tidak berada dibawah organisasi atau denominasi gereja. PMK
bersifat lintas denominasi. Ini bukan berarti ajaran PMK adalah gado-
gado atau tidak mementingkan ajaran doktrin yang benar, tetapi
mengambil yang baik dan memperjuangkan kesatuan tubuh Kristus.
Penutup
Sudah ribuan mahasiswa mengalami persekutuan dengan Injil melalui
Persekutuan Mahasiswa Kristen di kampus UI. Kiranya keyakinan Rasul
Paulus (lih. Flp. 1:6) menjadi keyakinan dan doa kita bahwa Tuhan yang
telah memulai pekerjaan baik di tengah kampus UI akan meneruskan
sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus. Amin.
Generasi Saat Ini dan
Tantangannya yang Menanti
oleh Indra Prawira
Selfie-Centered Generation
Perkembangan teknologi pada awal abad 21 ini telah sangat mengubah
cara hidup masyarakat dunia. Tidak saja di negara-negara maju, Indonesia
pun terkena pengaruhnya. Menurut survei lembaga bernama We are Social,
pertumbuhan pengguna media sosial pada perangkat handphone di
Indonesia mencapai angka 39% (26 juta pengguna) dalam jangka waktu
1 tahun saja (2016-2017). Hal tersebut menyebabkan Indonesia menduduki
peringkat ketiga negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia,
setelah Amerika Serikat dan India. Pengguna media social di Indonesia
menurut jajakpendapat.net pada 2016 ialah mereka yang berusia 2025
tahun, diikuti oleh mereka yang berusia 1619 tahun. Artinya, tak lain
merupakan generasi muda yang sedang menimba ilmu, khususnya mereka
yang sedang berada di perguruan tinggi/universitas yaitu kita dan
mahasiswa-mahasiswi yang kita layani di kampus.
Penggunaan teknologi memang tidak dapat dihindari dari kehidupan
sehari-hari, bahkan di dalam kegiatan belajar-mengajar di kampus. Namun,
tidak dapat ditolak juga bahwa generasi kita saat ini sudah mengalami
kecanduan akan teknologi. Tentunya, kecanduan ini menjadi suatu ancaman
bagi perjalanan hidup sebagai murid-murid Kristus.
Dalam bukunya, #struggles, Craig Groeschel mengajukan suatu
argumen: secara online generasi kita lebih terhubungkan daripada generasi-
generasi sebelumnya, tetapi sering kita merasa lebih sendirian, kesepian,
bosan, serta hampa dari pada apa yang dapat kita ungkapkan.
Ia melanjutkan argumennya dengan bertanya, Apakah kamu mengalaminya
juga?. Hidup kita dipenuhi dengan kesibukan, semakin gila dan semakin
heboh tiap harinya. Kita terus-menerus dibombardir dengan informasi yang
lebih banyak dari yang mampu kita prosesnewsfeed, iklan, blog, tweet,
gambar, story, video, musik, permainan dan sebagainya. Kita terus dituntut
untuk up-to-dateapps pada gadget kita, teknologi gadget yang terus
berubah dan diperbarui. Namun di akhir hari yang kita jalani, semua berlalu
tanpa ada yang mengisi pikiran dan hati kita. Kita kelelahan dan kosong.
Teknologi ternyata juga telah mengubah cara kita menerima/mengolah
informasi, cara kita berhubungan dengan sesama, cara kita memandang diri
kita sendiri, dan mungkin apa yang kita hargai dan percayai tentang Allah.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa teknologi adalah suatu momok yang
jahat dan kita harus membuangnya. Namun mari kita perhatikan: ketika kita
telah dikendalikan oleh teknologi dan suatu waktu kita berhadapan dengan
ke-nyata-an (entah itu masalah, konflik, atau rasa haus dalam batin kita
dsb.), kita dengan sangat mudah beralih kepada ke-maya-an. Kita melarikan
diri dari kenyataan untuk mencari kepuasan, kenyamanan, dan hiburan
dalam media sosial kita. Kita lebih menikmati hidup dalam dalam layar
gadget kita daripada mengalami sentuhan kasih dan kehadiran Allah secara
nyata pada diri kita.
Relasi-relasi maya dalam gadget kita juga mengisolasi kita dari relasi
yang sesungguhnya dengan sesama murid Kristus. Bahkan mungkin relasi
kita dengan Tuhan sudah tergantikan oleh relasi-relasi dalam aktivitas
online kita. Di titik inilah, timbul suatu paradoks: kita terkoneksi, namun
sesungguhnya kita terdiskoneksi. Pertanyaannya: berapa banyak
mahasiswa-mahasiswi, generasi kekinian dalam persekutuan kita yang
mengalami paradoks ini? Bahkan, apakah jangan-jangan kita juga
mengalami hal tersebut?
Dalam Cerita Besar Allah, kita diciptakan untuk memuliakan Dia dan
menikmati persekutuan dengan-Nya. Kita diciptakan bukan untuk
mendapatkan pengakuanberapa banyak likes, views bagi diri sendiri
tetapi untuk menunjukkan kasih kepada sesama. Kita diciptakan untuk
berelasi secara nyata, karena Allah sendiri adalah Allah yang relasional. Oleh
karena itu, dalam melayani kebutuhan generasi kekinian (atau yang biasa
disebut the millenials), kita perlu membuka kehidupan kita, menjadi otentik
di hadapan Allah dan mereka, menghadirkan Allah melalui diri kita dan
membagikan kasih serta kebenaran-Nya. Inilah yang sesungguhnya yang
sedang mereka butuhkan dan rindukan dalam perjalanan kehidupan mereka
sebagai murid Kristus di kampus ini.
Rekan Seperjalanan
Pelayan kaum muda yang terkenal, Mark Yaconelli. Ia merupakan anak
dari seorang pelayan kaum muda yang juga terkenal, Mike Yaconelli. Dalam
bukunya, Pelayanan Kaum Muda Kontemplatif, Yaconelli menceritakan
pengalamannya ketika ia harus menarik kaum muda yang terhilang dari
sebuah gereja untuk kembali datang dan hadir dalam persekutuan kaum
muda di gereja tersebut. Berbagai cara telah ia lakukan: memperbanyak
acara persekutuan dan kebersamaan untuk mereka, menaikkan anggaran
biaya untuk kegiatan mereka, bekerja dan rapat berpuluh-puluh jam,
menghubungi mereka via telepon, menyediakan tumpangan untuk ke
gereja, menyediakan makanan dan minuman di persekutuan tiap minggu
dan sebagainya. Apa yang ia dapatkan? Tidak ada, kecuali frustrasi yang
amat dalam dan kekecewaan pada diri sendiri.
Allah segera membukakan matanya dan ia sadar bahwa bukanlah
program, metode, acara, ataupun dirinya yang mampu menolong setiap
anak muda di gerejanya untuk mengalami pertumbuhan dalam gereja.
Ia sadar bahwa sesungguh-sungguhnya yang perlu ia kerjakan adalah
membiarkan Allah sendiri hadir bagi anak muda di gerejanya; Allah yang
hadir melalui kehadiran dirinya dan pelayan kaum muda lainnya bagi
remaja/pemuda.
Pada zaman ini, tempat terakhir di mana banyak kaum muda
menemukan orang yang terbuka dan bersedia mendengar adalah di dalam
gereja/persekutuan. Namun, apa yang mereka temukan? Bukannya telinga
yang mendengar, mereka mendapati nasihat. Bukannya sebuah kesaksian
bagi hidup mereka, mereka hanya menawarkan program-program dan
kegiatan-kegiatan. Sedangkan yang mereka butuhkan adalah orang-orang
yang paling berdampak dalam hidup mereka, orang-orang yang mengubah
dan membentuk mereka, yaitu orang-orang yang hadir bagi merekaorang
-orang yang mau menerima mereka di tengah apapun yang sedang mereka
alami.
Apa artinya hadir? Yaconelli mendefinisikannya sebagai berikut: terbuka
dan tersedia bagi orang-orang lain (kaum muda) dengan sepenuh diri,
sampai selelah mungkin. Hadir berarti terhubung dengan kaum muda sama
seperti Yesus terhubung dengan orang-orang laindengan otentisitas
(tidak pura-pura) dan transparansi (apa adanya). Ia kemudian melanjutkan
dengan mendeskripsikan Yesus: Dia adalah pribadi yang murah hati, sabar,
baik, menyambut, berani, jujur, dan penuh belas kasihan. Dia selalu ada bagi
orang lain. Dia menaruh perhatian kepada Allah dan orang lain pada saat
yang sama. Dia mau menerima orang lain. Dia mempunyai mata yang sabar,
melihat orang dalam keindahan mereka walaupun mereka dalam kondisi
yang buruk. Dia mau menyerahkan diri-Nya bagi kita. Pelayanan kaum
muda/mahasiswa adalah pelayanan kontemplatif, pelayanan yang
menghadirkan Kristus dengan kasih dan kebenaran-Nya di tengah-tengah
kaum muda yang sedang ter-diskoneksi.
Penutup
Ketika PO UI sudah menginjak usia yang ke-50 tahun, ada beberapa
pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama sehingga kita bisa
berperang bagi generasi ini.
Apa peperangan sesungguhnya yang harus kita jalani hari ini? Dalam
kitab Hakim-hakim kita melihat Israel tidak lagi berperang melawan musuh-
musuh mereka, sehingga Israel turut dalam penyembahan-penyembahan
berhala yang dilakukan oleh musuh mereka. Mereka lupa akan peperangan
sesungguhnya yang harus mereka jalani. Mereka hidup dalam kesengsaraan.
Bagi kita saat ini, apa godaan/tantangan/nilai-nilai/gaya hidup yang
ditawarkan dunia pada generasi saat ini yang bisa menjauhkan mereka dari
ke-Kristenan yang alkitabiah, atau meninggalkan iman sama sekali?
Apa artinya menjadi murid Kristus di tengah-tengah dunia yang
selfie-centered ini? Berapa banyak mahasiswa-mahasiswi yang PO UI layani
saat ini, hidup dalam diskoneksi dengan Allah dan sesama? Mereka tidak
lagi hidup dalam relasi dan kasih yang nyata, melainkan terbuai dengan
relasi dan kasih yang maya.
Bagaimana dengan kita? Apakah sebagai orang-orang yang Allah
panggil untuk memuridkan mahasiswa-mahasiswi di kampus ini, kita telah
benar-benar hadir bagi mereka, sebagai rekan seperjalanan? Apakah
kehadiran kita merupakan representasi kehadiran Kristus yang mau berbagi
hidup, mendengar, membuka tangan serta menerima siapapun yang
membutuhkan? Atau pemuridan kita hanya sibuk membuat program-
program, kegiatan-kegiatan yang tidak ada maknanya bagi pertumbuhan
iman mereka. Sudahkah kita secara pribadi juga merasakan dan mengalami
kehadiran Allah yang nyata dalam hidup kita?
Kiranya Allah terus hadir untuk menolong dan menyertai para hamba-
hamba-Nya di PO UI (Pengurus Harian dan tiga belas PO Fakultas) untuk
melayani mahasiswa-mahasiswi Kristen di kampus ini; melayani generasi
saat ini dan segudang tantangannya yang menanti.
Soli Deo Gloria!
Interdenominasi dalam PMK
oleh Joki Ridho Ricardo Marpaung
Meski pada mulanya saya tidak berani menuliskan kesaksian saya di sini
karena insecure memikirkan apa respons pembacanya nanti, pada akhirnya
Tuhan sendiri yang memampukan saya menyelesaikannya, menyediakan
bahan tulisan bagi saya, bahkan lebih lagi, memulihkan gambar diri saya
yang tidak benar dengan cara-Nya yang ajaib.
Saya tidak lagi takut menulis tentang rasa takut. Soli Deo Gloria!
Geng PO Fasilkom
oleh Gohan Parningotan
Kita tidak dapat memungkiri bahwa zaman sekarang setiap orang, atau
suatu komunitas, sedang meyakini dan menghidupi kebenaran yang
dianutnya. Bahkan, apabila kebenaran tersebut sebenarnya ditolak oleh
komunitas lebih luas, contohnya negara, ada kalanya kebenaran tersebut
diperjuangkan agar akhirnya diterima. Contohnya seperti yang terjadi
komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang sedang
gencar agar mereka diterima masyarakat. Banyak orang memperjuangkan
hak untuk memiliki kebenaran sendiri, menjadikankan kebenaran yang
relatif.
Bila dikaitkan dengan tulisan Timothy Keller dalam buku Prodigal God,
terdapat dua tipe orang yang membangun kebenaran di luar Kristus.
Pertama, orang religious akan membangun kebenaran dalam diri berdasar-
kan aturan-aturan agama yang mengikatnya. Sedangkan, orang yang
irreligious membangun kebenaran sesuai dengan keyakinannya sendiri.
Hidup dalam kebenaran Kristus pastinya sulit, bukan saja sulit untuk tetap
teguh dalam kebenaran tersebut tetapi juga bagaimana membagikan
kebenaran tersebut. Sebagai mahasiswa yang mungkin baru beberapa
tahun bertobat, pastinya sulit dan akan jatuh bangun ketika menerapkan
kebenaran di tengah orang-orang sekitar yang membangun kebenarannya
sendiri.
Pengalaman saya dalam menghidupi kebenaran selama mahasiswa
beberapa kali membuat saya sempat frustrasi dan titik terendahnya ingin
mundur dalam menjadi murid. Salah satu yang pernah saya alami adalah
dalam menghidupi kebenaran untuk hidup tidak mengejar ambisi,
melainkan hidup sepenuhnya untuk menjalani panggilan dari Tuhan.
Komitmen untuk hidup benar-benar membangun Kerajaan Allah sering saya
katakan tiap sesi pengutusan di retreat. Momen berjumpa dengan Tuhan,
menikmati Firman-Nya, dan bersekutu dengan sesama selama beberapa
hari membangun kerohanian diri saya dan mendorong berkomitmen untuk
hidup bagi Kerajaan-Nya.
Setelah retreat, rasanya sangat antusias untuk menerapkan komitmen itu
dalam kehidupan mahasiswa. Sekalipun harus menyerahkan waktu di luar
kuliah untuk melayani dan tidak dapat mengejar ambisi untuk organisasi/
lomba, semua dijalani dengan sukacita. Tantangan yang datang dari
pergumulan keluarga dan teman akibat melakukan kebenaran pun rasanya
dapat dilewati dengan baik.
Tapi, hal itu tidak bertahan lama. Setelah lewat 1-2 bulan, rasanya sangat
sulit untuk benar-benar hidup hanya untuk Kerajaan-Nya. Pikiran itu muncul
ketika melihat teman-teman dapat melakukan banyak hal dalam
perkuliahan mereka. Saya pun menjadi rendah diri. Cerita tentang ambisi
teman-teman, membuat saya terinspirasi untuk hidup seperti itu. Keberhasi-
lan yang mereka alami mulai membuat saya ragu untuk tetap hidup dalam
kebenaran. Belum lagi, rasa bersalah yang terlintas karena harusnya Kristen
yang bersaksi itu seperti mereka: mengerjakan dan mencapai banyak hal.
Hal-hal tersebut muncul bukan hanya karena melihat orang lain, tetapi
juga pergumulan pribadi saya baik yang datang dari keluarga, pelayanan,
maupun pergaulan. Pergumulan hidup yang terjadi mendukung saya untuk
berpikir lebih enak jadi teman-teman yang lain, hidup untuk diri dan
meraih berbagai kesuksesan! Untuk apa menyerahkan hidup buat Tuhan?
Hal itu saya alami sampai pernah berada di titik hampir memutuskan untuk
berhenti mengikut Tuhan dan melayani sungguh-sungguh. Cukup jadi
orang Kristen biasa dan tetap hidup untuk diri sendiri.
Di titik terbawah tersebut, Tuhan menyatakan kebenaran lain yang
mengubahkan saya. Salah satu firman yang saya nikmati adalah dari
Mazmur 73. Ketika Pemazmur membandingkan dirinya menderita karena
mengikut Tuhan sedangkan orang fasik bahagia padahal menolak Tuhan.
Ia pun ingin berhenti saja untuk mengikut Tuhan. Tapi, setelah ia menikmati
diam bersama Tuhan, pemikirannya kembali difokuskan bahwa yang
menjadi indikator kebahagiaan sejati bukanlah sukses di mata dunia,
melainkan hidup bersama Tuhan selamanya. Kebahagiaan yang dinikmati
oleh orang fasik sesungguhnya adalah sementara, tetapi menikmati hidup
dekat dengan Tuhan itulah sesungguhnya kebahagiaan sejati. Kebenaran ini
menuntun saya kembali bahwa sesungguhnya kesia-siaan bukanlah ketika
mengikut Tuhan, melainkan ketika hidup menolak Tuhan. Di saat orang-
orang lain mempercayakan masa depan kepada hal-hal yang mereka capai
semasa kuliah, saya kembali mempercayakan masa depan saya pada Allah
dan bukan pada hal-hal yang saya telah capai.
Pergumulan dalam menghidupi kebenaran yang saya alami dapat
berbeda dengan mahasiswa lain yang sama-sama berjuang juga
menghidupi kebenaran Kristus. Mungkin ada yang berjuang dalam ranah
kejujuran dan kesungguhan menjalani kuliah, menjaga kekudusan dalam
pergaulan, nilai-nilai moral yang sesuai kebenaran, atau aspek lainnya.
Mungkin ada pula yang bergumul bukan hanya dalam hal penerapan
Firman Tuhan secara moral, tetapi dalam hal kebenaran secara doktrin.
Dalam hal doktrin, misalkan, menghadapi sekitar yang menolak kebenaran
Yesus adalah Tuhan. Sekalipun berbeda, saya meyakini pergumulannya
sama yaitu sulit secara konsisten menghidupinya di tengah banyak orang
yang hidup dengan kebenaran yang bertolak belakang, apalagi ketika orang
yang bertolak belakang tersebut secara langsung menentang kita. Tan-
tangan dalam menghidupi kebenaran tesebut mungkin membuat kita ingin
berhenti saja untuk tetap setia menghidupi kebenaran tersebut.
Sulitnya untuk hidup dalam kebenaran di tengah dunia yang berbeda
disadari pula oleh Paulus ketika memberikan surat kepada Timotius. Dalam
2 Timotius 3, Paulus menyampaikan kondisi orang-orang yang hidup dalam
keadaan akhir zaman. Ada sekitar 20 kondisi yang Paulus paparkan dan
setelah itu ia menyadarkan Timotius bahwa sangat sulit hidup sesuai
dengan kebenaran Kristus. Sekalipun begitu, Paulus berpesan kepada
Timotius Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus
Yesus akan menderita aniaya; Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang
pada kebenaran yang telah engkau terima dan yakini ... (2 Timotius
3:12,14). Paulus meminta Timotius untuk tetap berpegang pada kebenaran
sekaligus orang-orang di sekitar hidup dalam kebenarannya sendiri.
Akan tetapi, pesan Paulus tidak berhenti disitu saja, Ia pun memberi pesan
pada Timotius untuk beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak
baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah
dengan segala kesabaran dan pengajaran (2 Timotius 4:2).
Kiranya pesan Paulus kepada Timotius juga menjadi pesan bagi kita
sebagai mahasiswa yang sedang berjuang menghidupi kebenaran yang kita
terima dalam Kristus. Kita diminta untuk tetap teguh pada kebenaran yang
diterima, tetapi bukan itu saja, kita diminta untuk memberitakan kebenaran
tersebut, menyatakan yang salah, menegur, dan menasihati sesama yang
tidak hidup dalam kebenaran Kristus. Di tengah orang-orang yang
menyatakan benar apa yang dianggap salah dan dengan gencar ingin
diakui haknya untuk memiliki kebenaran tersebut, kiranya kita tetap ingat
pada pesan yang disampaikan oleh Rasul Paulus.
Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk
mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan
untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16). Kiranya Kitab
Suci yang Allah anugerahkan bagi kita menolong untuk kita tetap teguh
pada kebenaran Kristus di tengah banyak orang yang membangun
kebenarannya sendiri. Sekalipun banyak risiko yang akan dialami, kiranya
janji penyertaan Tuhan meneguhkan kita untuk tetap berdiri di dalam
kebenaran.
Berpacaran Kristen?
oleh Frankie Kusumawardana
Persahabatan vs Penginjilan
Sewaktu masih berkuliah, saya pernah mengikuti sebuah pelatihan
penginjilan. Jujur saja, kesan yang didapatkan tidaklah sebaik yang di-
harapkan. Sebab melihat antusiasme pembicara dan peserta lain, penulis
merasa berada di satu acara marketing training. Begitu banyak metode
diajarkan untuk mendekati orang bukan Kristen yang baru dijumpai atau
dikenal agar mereka mendengar kisah tentang Tuhan Yesus.
Saya pun bertanya dalam hati, Lho, kok terasa tidak tulus dan jahat
sekalipun ini untuk Tuhan? Karena rekan dan sahabat saya yang belum
percaya harus menjadi objek penginjilan, Hingga akhirnya saya mengambil
keputusan untuk tidak terlalu aktif mengikuti pelatihan-pelatihan
penginjilan dan mulai mempelajari dan menghidupi firman tentang Kristus,
Injil, orang percaya, dan orang yang belum percaya melalui Bible study.
Sampai hari ini yang saya memahami dan meyakini bahwa iman adalah
anugerah, datangnya dari Tuhan. Tidak ada yang dapat mempersulit atau
mempermudah seseorang mendapatkan iman. Tak ada pula kriteria bagi
orang yang mau beriman. Asalkan Tuhan mau, siapa pun bisa percaya kepa-
da-Nya. Iman juga bukan turunan atau bawaan lahirberbeda dengan
agama. Jadi, bicara tentang beriman atau tidaknya seseorang kepada Kristus
berarti berbicara tentang otoritas Allah yang tidak dapat diganggu gugat.
Bagian kita yang sudah dikaruniakan iman adalah mewujudnyatakan
kepercayaan kita pada Sang Pencipta melalui tindakan kasih kita kepada
sesama dengan tulus, ikhlas, dan tidak dibuat-buat.
Kasihini yang rupanya tidak saya dapatkan sewaktu pelatihan
penginjilan. Sebaliknya, rasa takut malah mendominasi hati dan pikiran saya
selama dilatih. Takut waktu saya habis, takut saya tidak sempat
menceritakan tentang Tuhan Yesus kepada strangers, takut mereka mati
sebelum menjadi orang percaya, takut mereka binasa, takut Tuhan marah
kepada saya karena lalai menginjili, dan masih banyak lagi ketakutan
lainnya. Tetapi, satu ketakutan yang paling menggema di telinga saya, yaitu
takut kasih saya tidak ada bagi teman-teman yang menjadi target
penginjilan bagi saya.
Saya sudah sering melihat gaya penginjilan mahasiswa. Jujur, saya
merasa gerah sekali. Sangat terlihat tidak alami alias setting-an. Penginjil
terkesan bertanya untuk menjebak agar dapat mendemonstrasikan metode
penginjilan yang sudah dihafalkan. Atau penginjil mendengar untuk dapat
segera menjawab dengan panjang dan lebar tentang empat hukum rohani.
Tidak jarang lo, saya melihat gaya berbicara para penginjil sama dengan
gaya bicara sales. Tidak ada rasa ingin mengerti, empati, apalagi kasih yang
genuine.
Puji Tuhan, setelah menjadi alumni saya melihat ada perubahan pada
diri saya dan orang-orang dalam lembaga penginjilan di sekitar saya. Dalam
anugerah Allah, ada kedewasaan berpikir dan kasih yang matang yang
diukir Tuhan dalam hati dan pikiran kami dalam memandang persahabatan
dalam keragaman. Saya pribadi menjadi mengerti bahwa tidak boleh kita
menjadikan persahabatan sebagai kedok penginjilan. Itu salah.
Persahabatan dan penginjilan sejatinya adalah dua hal tak terpisahkan.
Persahabatan yang injili, itu yang benar.
Wah, berat sekali ya mendengar kata injili? Namun percayalah, teman-
teman, perintah Allah selalu mengandung anugerah sehingga selalu
mungkin bagi kita untuk melakukannya. Jadi, perintah untuk menjalin
persahabatan yang injili, terkhusus dalam keragaman tak terbatas adalah
untuk diterapkan.
Lantas, bagaimanakah caranya?
Apa? Sudah lima tahun? Lama juga ya! Itulah respons yang biasa saya
peroleh dari orang-orang yang bertanya sudah berapa lama saya bekerja di
satu lembaga.
Sebagai seorang alumni muda, banyak orang merasa sayang ketika saya
menghabiskan lima tahun pertama dari masa kelulusan saya dengan
mengabdikan diri pada sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di sektor
energi. Respons tadi, meski terdengar umum, sebenarnya
menunjukkan suatu akar yang cukup bermasalah dari sebuah budaya yang
disebut kutu loncat. Seorang peloncat merupakan sebuah fenomena di
mana para pekerja memilih untuk berganti-ganti pekerjaan dalam jangka
waktu yang relatif singkat.
Fenomena pindah kerja merupakan salah satu ciri kaum millennials yang
mungkin sulit dipahami generasi terdahulu. Pada era sebelumnya, loyalitas
terhadap suatu perusahaan atau suatu instansi/institusi tempat seseorang
berkarya merupakan sebuah etos kerja yang dianggap lumrah. Kita bisa
bertemu dengan orang-orang yang menghabiskan puluhan tahun hidupnya
untuk bekerja di sebuah perusahaan.
Bagi pihak perusahaan, fenomena pindah kerja tentu menimbulkan
sejumlah kendala. Kendala tersebut terkait dengan munculnya kesulitan
yang harus dihadapi kala harus kehilangan para pekerja. Mereka harus
memulai dari awal proses seleksi dan pelatihan bagi pegawai pengganti
yang kadang menghabiskan waktu dan energi yang tak sedikit. Walaupun
tampaknya sejumlah perusahaan telah beradaptasi dengan budaya baru ini
dengan menciptakan sebuah mekanisme yang memberi ruang bagi para
kutu loncat ini.
Penganut aliran kutu loncat ini biasanya memiliki sejumlah alasan positif,
salah satunya adalah keinginan untuk terus belajar dan juga berkembang
ketika menemukan hal-hal baru. Beberapa melihat bahwa untuk mencapai
sebuah tujuan tertentu, dia harus memperlengkapi dirinya dengan belajar
dari beberapa tempat berbeda. Namun, tidak banyak juga yang akhirnya
mengikuti budaya ini karena satu alasan bernama: ketidakpuasan.
Faktor penyebab ketidakpuasan pun beragam. Gaji atau pendapatan
yang diberikan oleh instansi tempat bekerja biasanya menempati posisi
tertinggi dari faktor pendorong budaya kutu loncat ini. Selain itu,
ketidakpuasaan terhadap atasan sepertinya menempati posisi berikutnya,
diikuti dengan ketidakpuasan terhadap budaya kantor, beban kerja, rekan
kerja, serta sejumlah alasan lainnya.
Jika ditilik, mungkin banyak yang merasa bahwa alasan tersebut terlihat
wajar atau normal bagi kebanyakan orang. Bukankah wajar jika gaji tidak
memuaskan, kita berhak mencari tempat yang lebih memenuhi standar gaji
yang kita harapkan? Bukankah wajar jika mencari atasan yang lebih baik?
Bukankah wajar untuk mencari tempat yang lebih bisa memberi kita
lompatan karir yang lebih cemerlang?
Namun kalau kita perhatikan lagi, sejumlah alasan baik di atas memiliki
satu fokus: diri sendiri.
Hal ini tentu berbeda jauh dengan prinsip yang dikemukakan Paulus
ketika menulis surat kepada jemaat Kolose. Ia berpesan kepada warga
jemaat yang memiliki posisi sebagai hamba, Hai hamba-hamba, taatilah
tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan
mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati
karena takut akan Tuhan. Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah
dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang
ditentukan bagimu sebagai upah (Kol. 3:22-24a).
Meski Paulus menulis surat tersebut dalam konteks masyarakat yang
mungkin berbeda dengan kondisi masa kini, namun tulisan tersebut
memiliki pesan yang bersifat kekal, bahwa pusat dari pekerjaan adalah
Tuhan. Tuhan sendiri yang memberikan pekerjaan itu.
Melalui pesan tersebut juga, kita dapat menyimpulkan bahwa para
pengikut Kristus dipanggil untuk mengikuti satu prinsip yang terlihat sangat
berbeda dengan budaya generasi millennials masa kini. Kita dipanggil untuk
melihat bahwa pekerjaan bukanlah tentang kita. Pekerjaanlah bukan
mengenai keuntungan kita pribadi. Bahwa tujuan utama dari setiap
pekerjaan adalah Tuhan, dan kita percaya bahwa Tuhanlah yang akan
memberikan kita upah dalam setiap pekerjaan yang kita miliki.
Lalu apakah itu berarti pilihan pekerjaan dan perencanaan karier tidak
penting sama sekali?
Tentu tidak. Pekerja profesional akan menghabiskan 8-12 jam waktu
mereka untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan (termasuk
perjalanan ke dan dari kantor/tempat kerja menuju rumah). Jika kita
menginvestasikan waktu dan energi yang sedemikian besar untuk satu hal,
tentu kita harus memastikan bahwa hal tersebut memang memiliki nilai
sepadan.
Pertanyaannya sekarang, apa defenisi dari nilai sepadan yang dimaksud?
Jawabannya kembali ke nas tadi, bahwa pekerjaan tersebut ditujukan untuk
Tuhan yang akan memberi implikasi kekekalan bagi kita. Alasan dari
pemilihan pekerjaan haruslah jauh lebih besar daripada diri dan
kepentingan diri sendiri yakni agenda Allah, bahwa Kerajaan-Nya datang
dan kehendak-Nya jadi.
Perubahan pola pandang harus dimiliki. Kita harus memakai kacamata
yang memampukan kita untuk terus melihat bahwa pekerjaan adalah
sebuah ladang di mana kita diberi kesempatan untuk menabur benih
kerajaan Allah. Kerajaan Allah berbicara mengenai pemerintahan Allah, di
mana damai sejahtera dan sukacita hadir di sana.
Bisa dibayangkan jika semua anak Tuhan benar-benar mengupayakan
seluruh aspek kehidupannya untuk membawa kerajaan Allah nyata dalam
dunia kerja? Jika semua anak Tuhan di seluruh dunia hidup jujur,
berintegritas, menyatakan kasih dan kebenaran, serta tidak malu-malu
memproklamasikan prinsip-prinsip kebenaran dalam Kristus? Bagaimana
jika seluruh anak Tuhan di seluruh dunia menyadari bahwa dirinya adalah
duta besar dari Kerajaan Allah dan berupaya keras agar kerajaan Allah
tersebut nyata di mana pun mereka berada?
Dunia seperti apa yang akan kita hidupi sekarang jika semua anak Tuhan
benar-benar mewujudkannya?
Hanya saja hal ini tentu membutuhkan kerja keras dan mungkin
keputusan untuk mati bagi diri sendiri setiap hari. Ketika gaji tidak sesuai
dengan kapasitas dan beban kerja, mampukah kita mendemonstrasikan
ucapan syukur yang tak henti-henti dan menyatakan bahwa Allah yang
memelihara? Ketika bos ataupun rekan kerja terasa begitu menyebalkan,
bisakah kita mengambil langkah iman untuk mengampuni dan bahkan,
mengasihi? Ketika standar umum mengatakan bahwa mengambil
kesempatan dalam kesempitan, sanggupkah kita menunjukkan bahwa
kejujuran masih ada? Saat semua orang sikut-sikutan berusaha naik tangga
dengan segala daya dan upaya, mampukah kita menunjukkan sikap
mendahulukan kepentingan bersama dan orang banyak?
Dengan etos dan cara pandang demikian, kita sedang
mendemonstrasikan nilai-nilai Kerajaan Allah yang mungkin tidak pernah
dilihat atau dimengerti oleh dunia. Dan mungkin, kita adalah pribadi yang
Tuhan pilih untuk memperkenalkan Allah kepada mereka yang belum
mengenal Dia.
Saya selalu melihat bahwa kantor dan lapangan pekerjaan adalah ladang
misi yang paling baik, sekaligus paling sulit, bagi seseorang untuk
mengomunikasikan Kristus. Mungkin kita adalah satu-satunya akses mereka
mengenal jalan kebenaran dan hidup, serta prinsip-prinsip yang ada di
dalam-Nya. Pertanyaannya, apakah kita menyadari priviledge tersebut?
We are called to be a missionary, in our office. We are called to be the
ambassador of God and His Kingdom in our workplace. Are we willing to
answer that call and pay the price?
Adaptasi Gaya Hidup
oleh Victor Gomgom Pardomuan Sihombing
Punya slip gaji atas nama sendiri! Ya, itu adalah awal saya benar-benar
mempunyai uang sendiri. Ini bukan uang orang tua, tetapi uang dari hasil
keringat sendiri. Tentu saja, saya berkuasa menggunakannya. Saya bisa
mencicipi banyak hal atau pergi ke semua tempat yang saya mau dengan
uang itu.
Saat bekerja, saya mulai bertemu banyak orang baru. Benar-benar
banyak dan baru. Lain orang, lain pikirannya, dan lain juga gaya hidupnya.
Tidak seperti di kampus yang lebih seragam. Saya melihat seribu cara yang
memungkinkan untuk menjalani hidup.
Kekuasaan dan kebebasan baru ini saya rasakan juga saat menjadi
alumni dan mulai bekerja. Mungkin Anda juga. Memang ada beberapa dari
kita yang sejak kuliah sudah mulai bekerja dan punya uang sendiri. Ada juga
yang pergaulannya sudah luas saat berada di kampus. Tetapi bagi saya,
rasanya luar biasa saat menjadi alumni! Dunia luas kini terbentang di
hadapan kita. Langitlah batasnya.
Tak lama, perubahan gaya hidup pun terjadi. Kita beradaptasi. Kita
punya cara berpakaian, warna rambut, atau peralatan jinjing yang berbeda.
Dulu ketika mahasiswa, ia tidak begitu! Demikian ungkapan yang sering
kita dengar.
Sebagai alumni Kristen, kita lalu bertanya-tanya, sejauh apa kita bisa
berubah? Orang yang satu dan yang lainnya memiliki pendapat berbeda.
Kita khawatir untuk mengikuti perubahan karena kita takut salah. Atau, kita
merasa tidak perlu berpikir terlalu panjang. Jalani saja hidup dan ikuti
perubahan!
Nyatanya, dunia memang terus berubah dan menawarkan banyak hal
baru. Misalnya pada awal 2000-an, ketika Facebook dan media-media sosial
lahir. Mereka mengubah cara manusia berinteraksi. Alih-alih bertatap muka,
sebagian orang kini suka menatap telepon selulernya. Bermedia sosial kini
normal. Kita bisa mengunggah gambar, membuat video, bertukar kabar,
hingga berjualan di sana.
Dunia maya jadi ramai dan sibuk. Bahkan kegiatan seperti membelikan
makanan atau mencari calo untuk mengantre tiket tertentu bisa diurus
lewat dunia maya. Tulisan ini dibuat pada Maret 2017 dan saya penasaran
bagaimana kehidupan manusia 5 atau bahkan 10 tahun mendatang?
Sesuatu yang dianggap menarik saat ini, mungkin bias jadi usang pada
masa depan. Mereka yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan
dianggap kuno dan diabaikan.
Menariknya, kita hidup di dunia ini sebagai orang Kristen. Sejarah
mencatat Kekristenan lahir sekitar 2.000 tahun lampau. Menghidupi
kepercayaan berumur uzur ini di tengah dunia yang berubah dengan cepat
tentu bukan hal mudah. Beberapa bagian di Alkitab malah berumur lebih
lama dari itu (Catatan: Perjanjian Lama ditulis sebelum masa Yesus lahir).
Sulit sekali membayangkan kalau sebuah kitab lawas bisa memberi ide
tentang gaya hidup kita di masa kini.
Menurut saya, salah satu bagian terbaik dari Alkitab adalah
penjelasannya mengenai sifat dasar manusia. Kejadian 3 menjelaskan
dengan lugas kisah kejatuhan pertama manusia ke dalam dosa. [K]amu
akan menjadi seperti Allah, demikian sang ular berusaha merayu manusia
untuk memakan buah terlarang (Kej. 3:5). Manusia memakannya. Sejak saat
itu hingga kini manusia berusaha menjadi Tu(h)an. Sayangnya bukan jadi
Tuan yang bertanggung jawab dan adil, manusia malah rakus, egois, dan
jahat.
Keselamatan lalu dianugerahkan Tuhan agar manusia bisa lepas dari
situasi ini. Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang
hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah
mati dan telah dibangkitkan untuk mereka, kata Paulus ketika menjelaskan
tujuan karya keselamatan Tuhan (2Kor. 5:15). Mereka yang telah menerima
keselamatan adalah manusia yang semua bagian hidupnya diserahkan
untuk menyenangkan Kristus.
Sewaktu menjadi alumni, ajaran dasar Alkitab ini sangat menantang
untuk diikuti. Apalagi, kini kita bisa berkuasa atas hidup dan bebas
menjalaninya. Di sinilah justru pertarungannya. Tiap-tiap hari kita harus
memilih antara mengikuti kehendak kita atau menyenangkan Kristus. Gaya
hidup kita menunjukkan pilihan kita.
Memang itu tidak berarti bahwa gaya hidup kita lalu menjadi datar dan
murung. Kita suka beranggapan buruk kepada Tuhan. Kita mengira Dia
antikesenangan. Menjadi Kristen sejati lalu diidentikkan dengan menjauhkan
diri dari kegembiraan dan hanya mengurusi hal-hal yang sifatnya
mengernyitkan dahi. Sesuatu yang membawa senyum dan tawa atau penuh
dengan warna dicurigai sebagai dosa.
Padahal, kita bisa melihat sendiri bagaimana Tuhan bersenang-senang
dengan karya-Nya. Berjalanlah ke taman dan lihatlah bagaimana pohon,
daun dan bunga diciptakan dengan beraneka bentuk dan warna.
Menengadahlah ke langit dan lihatlah bagaimana awan yang melintas
kadang bisa memukau karena bisa memunculkan beragam bentuk. Tuhan
bersenang-senang dengan alam.
Kita perlu bijaksana. Tidak semua perubahan itu buruk. Teknologi,
misalnya. Teknologi menjadi buruk ketika kita tidak bijak menggunakannya.
Kecanggihan teknologi masa kini membuat manusia bisa berkomunikasi
dengan mudahnya. Hubungan antarmanusia menjadi semakin cair. Itu hal
yang baik bukan? Menjadi buruk bila kemudian kita mengabaikan mereka
yang ada di sekitar kita.
Ada banyak isu lain yang harus kita cermati. Kebanyakan adalah
soal-soal sederhana seperti cara berpakaian, kepemilikan barang, per-
temanan, dan lainnya. Dunia tidak serta merta geger dan berubah saat kita
menetapkan pilihan. Langit tidak akan terbelah menjadi dua saat kita
mengubah cara berpakaian kita mengikuti gaya terkini. Komentar sumir dari
beberapa orang yang biasanya kita dengar saat perubahan gaya hidup kita
dinilai berubah terlalu ekstrem.
Pada akhirnya, keakraban dengan Tuhan yang bisa menjadi pembeda.
Kiat lama ini masih manjur. Kita tidak bisa sekedar membaca Alkitab.
Tantangannya adalah mendaratkan nilai-nilai Alkitab ke dalam kehidupan
kita setiap harinya. Ya, setiap hari. Ini bisa terjadi ketika kita memiliki
Saat Teduh harian yang bukan rutinitas, tetapi berkualitas.
Kekristenan memang tidak melulu bicara soal proyek-proyek besar dan
hebat untuk mengubah dunia. Kekristenan juga bicara soal mengikut Kristus
dalam hidup keseharian. Gaya hidup kita bisa menjadi wujud dari iman kita.
Bila Kristuslah penguasa hati kita, maka orang lain dapat dengan mudah
merasakan dan melihatnya.
Semoga kita tidak jengah dengan visi PO UI yang mengajak kita untuk
menjadi terang. Bagi kita yang tinggal di kota, kita bisa jadi sudah lelah
melihat cahaya. Menutup mata di dalam kegelapan dan tertidur rasanya
damai sekali. Di mana-mana orang hidup dengan gaya hidupnya masing-
masing yang egois dan rakus. Naif untuk mengubahnya.
Mari kita beradaptasi dengan gaya hidup dunia masa kini! Lewat gaya
hidup kita, kita bisa mencelikkan mata orang akan sifat dasar mereka dan
membawanya kembali kepada Kristus. Tidak sendiri, tetapi bersama-sama
dengan orang Kristen lainnya.
Seperti glow stick yang diacungkan ke atas dan digoyang-goyangkan
saat kita menonton sebuah konser musik. Ketika kita bergerak bersama,
keren!
Godaan Jabatan
oleh Tri Wahyuni Herlambang
Setiap manusia memiliki panggilan hidup, yaitu purpose atau makna dari
seluruh keberadaan hidupnya. Entah seorang pengikut Kristus ataupun
bukan, pada perjalanan hidupnya cepat atau lambat setiap orang pasti akan
mencari makna dari seluruh keberadaan hidupnya.
Beruntung bagi orang yang telah mengenal Kristus, kita mengalami
transformasi hidup di mana Kristus menjadi pusat seluruh kehidupan kita.
Sejak mengenal Kristus, kita tidak lagi hidup bagi diri sendiri, tetapi hidup
untuk menyenangkan hati-Nya. Dalam Kristus juga, kita menemukan
panggilan hidup yaitu melayani dan menikmati kasih Allah. Di mana dalam
kasih-Nya, Allah memanggil kita untuk melayani dengan berbagai cara,
salah satunya melalui profesi atau pekerjaan kita.
Dunia pekerjaan menuntut saya untuk berelasi dengan orang percaya
maupun orang yang belum percaya. Dalam relasi tersebut, sayadan kita
jugaakan mengalami berbagai macam tantangan yang timbul dari
perbedaan nilai hidup, cara pandang, maupun tujuan yang ingin dicapai
dalam bekerja. Kita bekerja untuk menyenangkan hati Allah, melayani
sesama sekaligus menyaksikan kasih Allah di hadapan dunia, sedangkan
mereka yang belum mengenal Kristus masih mengedepankan nilai, cara
pandang, dan tujuan yang berpusat pada dirinya sendiri. Hal-hal inilah yang
kita alami sehari-hari, dan sedikit banyak menimbulkan gesekan dalam
lingkungan di mana kita bekerja.
Saat kita bekerja dengan jujur, lingkungan kerja kita merasa alergi. Saat
kita datang tepat waktu, lingkungan kerja kita merasa risih. Saat kita
berprestasi, lingkungan kerja kita tidak mau mengakuinya karena iri. Atau
bahkan, promosi kita dihambat semata-mata karena kita percaya kepada
Tuhan Yesus. Hal-hal ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari apa yang
dialami orang percaya di dunia kerja. Rasanya benar-benar mengalami apa
yang disebut sebagai domba yang diutus ke tengah-tengah
serigala (Mat. 10:16), kita sering tidak berdaya di tengah lingkungan kerja.
Belum lagi dalam dunia pekerjaan, kita senantiasa diperhadapkan
dengan persoalan-persoalan yang abu-abu, di mana garis benar dan salah
tidak lagi tergambar jelas, bukan lagi ketika duduk di bangku sekolah
ataupun kuliah. Pada bangku sekolah atau kuliah, menyontek adalah salah.
Titik. Mudah. Terlambat adalah salah. Titik. Mudah. Tidak mengerjakan tugas
adalah salah. Titik. Mudah. Tetapi, bagaimana dalam dunia pekerjaan? Uang
suap adalah salah. Mudah? Kalau uang terima kasih? Benar atau salah?
Mulai tanda tanya. Sekarang, bagaimana kalau uang sisa anggaran yang
dibagi-bagi karena kebiasaan? Hmmm sulit?
Saya teringat kepada beberapa orang senior yang hidup taat pada
Tuhan. Mereka menceritakan pengalaman dan kesulitan saat hendak
mengembalikan uang yang bukan hak mereka. Mereka bahkan dikecam dan
dikucilkan oleh lingkungan kerja karena mengembalikan apa yang bukan
menjadi hak mereka. Tentunya, pertentangan-pertentangan nilai maupun
sikap itu dialami oleh setiap orang percaya di dunia pekerjaan, juga saya
sendiri.
Saat ini Tuhan mengutus saya sebagai aparat penegak hukum, saya
berelasi dengan berbagai macam orang. Tidak mudah bagi saya, ketika
harus berada di lingkungan pekerjaan penegak hukum di mana rekan-rekan
sekerja saya masih berpusat pada kepentingan diri sendiri. Penegakan
hukum dan keadilan bahkan tidak terpikirkan oleh mereka, dan tidak jarang
digunakan sebagai alat untuk memeras atau menindas orang. Lingkungan
seperti ini seolah terus-menerus memaksa saya untuk terbawa dalam arus
penegakan hukum yang koruptif.
Suatu waktu, atasan saya juga pernah memberikan sejumlah uang
ucapan terima kasih yang saya tahu betul uang tersebut bukanlah uang
yang patut saya terima. Saat itu saya bergumul dan berdoa selama dua
malam, bertanya kepada Tuhan bagaimana cara saya menghadapi hal
seperti ini. Pada hari ketiga, akhirnya Tuhan menjawab dan meneguhkan
pergumulan saya untuk mengembalikan uang tersebut kepada atasan saya.
Pada hari itu saya mendatangi ruangan atasan saya, dan mengutarakan
maksud saya untuk mengembalikan uang tersebut, meskipun atasan saya
sempat menolak sehingga terjadi perdebatan, saya bersyukur karena Tuhan
akhirnya melunakkan hati atasan saya dan membuatnya mengerti. Namun,
kejadian ini selanjutnya membuat saya dianggap aneh dan dikucilkan
karena tindakan saya mengacaukan tradisi yang selama ini berjalan di
lingkungan kerja saya.
Sering kali saya kesulitan untuk tidak berbalik membenci atau
menghakimi mereka dalam batin, yang pada akhirnya membuat saya tidak
bisa bekerja bersama dengan mereka, atau lebih jauh membuat saya
menghindari mereka dan bersikap apatis. Tetapi, ketika saya ingin
menghindari dan membenci rekan kerja saya, kasih-Nya dan firman-Nya
terus-menerus menawan saya untuk kembali lagi mengasihi rekan-rekan
kerja saya, betapapun sukarnya batin saya menerima mereka. Saya teringat
akan kasih Allah kepada manusia, di mana Kristus telah mati untuk kita,
ketika kita masih berdosa (lih. Rm. 5:8). Hal ini membuat saya menyadari
betapa besarnya kasih Allah kepada saya dan juga kepada mereka,
sehingga saya tidak menyerah untuk mengasihi rekan-rekan kerja saya.
Saya yakin kita semua berjuang menjaga relasi dengan rekan kerja di
lingkungan pekerjaan masing-masing. Dari pengalaman saya di atas, ada
beberapa hal yang menurut saya penting untuk dilakukan supaya kita dapat
menjaga integritas. Pertama, kita wajib mendoakan rekan-rekan dan
kondisi tempat kita bekerja. Kedua, sekalipun sulit, kita harus berusaha
untuk menegur dan menyatakan kebenaran.
Dua hal tersebut sesungguhnya merupakan bentuk kasih kita kepada
rekan kerja, karena bagaimana mereka dapat selamat jika tidak percaya
kepada Kristus, seperti tertulis dalam Roma 10:14-15: Tetapi bagaimana
mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia?
Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mreka tidak mendengar
tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada
yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-
Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: Betapa indahnya
kedatangan mereka yang membawa kabar baik!
Tentunya, teguran dan kebenaran yang hendak kita bagikan harus
disampaikan dengan hikmat karena Tuhan menginginkan kita untuk cerdik
seperti ular dan tulus seperti merpati. Inilah yang menjadi tanggung jawab
orang percaya di mana pun kita ditempatkan. Saya percaya, sesungguhnya
hikmat dan kasih itu bersumber dari relasi kita dengan Allah dan hanya
dapat kita penuhi oleh karena anugrah-Nya.
Sola Gratia!
Berjalan Pincang
di Tengah Komunitas yang Menopang
oleh Gregorius Silitonga
Kisah ini nyata saya alami, namun saya bahasakan kembali dengan gaya
alegori. Meminjam satu bagian tubuh yaitu kaki yang sempat membuat diri
sulit berdiri, apalagi berlari. Hingga saya menemukan suatu keindahan dari
persekutuan yang bersedia menopang ketika saya sedang berjalan pincang.
Kelima faktor di atas mungkin sudah dari kecil kita dengarkan, namun
sangat sulit untuk dilakukan, juga jarang berhasil. Karena untuk berhasil,
selain butuh alasan kuat juga butuh disiplin. Alasan kuat adalah motif yang
sedemikian kuat sehingga ketika kita tidak melakukannya, kita akan merasa
tidak nyaman dibandingkan jika kita melakukannya. Dan seharusnya, alasan
kuat pertama untuk memiliki pola hidup sehat adalah karena Allah
menginginkannya. Alasan penting berikutnya bisa kita tentukan sendiri.
Apakah untuk keluarga, diri sendiri, panggilan hidup, atau alasan lain. Patut
disayangkan, jika karena gaya hidup yang tidak sehat, karya kita terhambat
karena penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah penyakit yang
menyebabkan terjadinya kerusakan atau penghancuran terhadap jaringan
atau organ tubuh karena gaya hidup tidak sehat dan didukung oleh faktor
usia. Misalnya, diabetes, penyakit jantung, serangan jantung dan stroke.
Setelah memutuskan mau berusaha hidup sehat, kita harus paham
tentang gaya hidup sehat dengan mengumpulkan informasi yang akurat
dan inspiratifyang dapat dipraktikkan langsung. Fokus pada gaya hidup
sehat akan membuat kita akan terdorong untuk mencari semua informasi
yang dibutuhkan terkait ilmu dan keterampilan untuk melakukannya.
Setelah bertobat dan menjadi Kristen, menjadi seorang hamba atau pe-
layan adalah sebuah identitas. Its our being. Hal itu tidak berubah ketika
kita keluar dari kampus dan menjadi seorang alumni.
Seperti ketika saya masih menjadi mahasiswa dan mengikuti kelompok
kecil, menjadi murid adalah being dan identitas saya. Melayani menjadi
pengejawantahan dari hidup saya sebagai seorang murid. Lantas bagaimana
kita melayani pada saat itu? Sebagian besar dari kita melayani dalam
konteks aktivitas persekutuan dan melalui studi kita.
Jika kita hidup dengan konsep coram Deo, hidup di hadapan Allah,
seperti yang dikemukakan dalam Kolose 3: 23berbuat segala sesuatu un-
tuk Tuhanmaka pertanyaan haruskah saya melayani menjadi sebuah per-
tanyaan yang sifatnya retorik.
Sesungguhnya coram Deo adalah esensi dalam hidup Kekristenan.
R.C. Sproul menulis, coram Deo berarti hidup dan berada di hadirat, atau di
hadapan Tuhan. Coram Deo berarti menyadari kehadiran Allah dalam hidup
kita dan menyadari bahwa hidup kita disetir oleh visi dan otoritas Allah,
untuk kemuliaan-Nya. This is the big idea of a Christian life.
Apakah dengan bekerja saya sudah melayani? Dengan konsep coram
Deo, maka semua hal adalah pelayanan. Saya, dan kita juga, tidak bisa lagi
mengotak-kotakkan bahwa yang ini pelayanan dan yang itu bukan. Peker-
jaan yang dianugerahkan kepada kita tentu merupakan sebuah pelayanan.
Tempat kerja adalah ladang yang Tuhan berikan kepada kita untuk digarap.
Perilaku dan etika bekerja kita menjadi penting karena mencirikan
identitas kita sebagai seorang Kristen, sebagai seorang pelayan. Kita mem-
berikan yang terbaik, di tengah deadline, tekanan atasan, cibiran rekan kerja,
hanya karena kita sadar bahwa sebenarnya kita sedang bekerja buat Tuhan.
Tidak ada lagi pikiran untuk mengorupsi waktu, uang, atau fasilitas karena
tempat kerja kita pun tidak luput dari hadirat Allah.
Mungkin, pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik dan kadang
membuat gusar adalah: Apakah saya harus melayani secara khusus atau
kembali melayani di persekutuan mahasiswa? Bagaimana saya sebagai
alumni dapat menentukan pelayanan yang strategis untuk saya? Bagaimana
dan di mana Tuhan ingin saya berkarya sebagai pengejawantahan dari iden-
titas saya sebagai pelayan-Nya?
Prinsipnya sama seperti ketika kita mencari panggilan hidup atau
pekerjaan. Saya pernah diajar untuk menganalisis tiga aspek panggilan, yaitu
heart call, talent call, dan providential call. Heart call berbicara tentang se-
buah hal yang menjadi kerinduan hati kita, sesuatu yang membuat hati kita
tergerak seketika. Talent call berbicara tentang hal-hal yang terampil kita
kerjakan, yang sering kali mengundang pujian dari orang-orang di sekitar
kita. Di sisi lain, providential call adalah sesuatu yang sering kali ditaruh
atau diarahkan Tuhan dalam jalan hidup kita, tanpa kita mengerti.
Mendapatkan dan memahami ketiga aspek panggilan tersebut terkadang
tidak mudah, terlebih lagi mencari irisan di antaranya. Terkadang ketiga
aspek itu menyatu dan berkaitan satu sama lain sehingga kita dengan
mudah mengetahui panggilan kita. Namun, sering pula ketiga aspek itu tid-
ak berkaitan sama sekali. Lalu, mungkinkah kita mengabaikan salah satu
aspek tersebut?
Jawabannya, mungkin. Pada akhirnya, ada tiga hal yang menajamkan
ketiga aspek tersebut: doa, firman Allah, dan komunitas. Bagi saya, sah-sah
saja jika pada saat tertentu kita menjalani salah satu dari ketiga aspek
tersebut, jika jelas tuntunan Tuhan mengarahkan kita untuk berjalan ke sana.
Ingatlah kisah bagaimana Saulus dan Barnabas diutus dalam Kisah Para
Rasul 13? Keduanya diutus oleh jemaat ketika mereka mendengar suara
Tuhan saat sedang berada di tengah persekutuan. Itulah gunanya gereja
atau komunitas, untuk menajamkan panggilan agar apa yang kita lakukan
memang benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Komunitas adalah tempat
berbagi di mana pembentukan Tuhan terjadi. Manusia tidak pernah dibentuk
sendirian. Manusia dibentuk dalam sebuah komunitas.
Sejak saya lulus hingga sekitar satu tahun lalu, saya tidak memiliki satu
bentuk pelayanan gerejawi atau pelayanan dalam komunitas Kristen di mana
saya fokus dan terus-menerus mengerjakannya. Pelayanan yang sering saya
lakukan adalah terlibat sebagai panitia camp dan konferensi. Pelayanan
semacam itu berjangka waktu pendek dan sering kali susah untuk diteruskan
menjadi pelayanan lainnya.
Bukan berarti saya tidak mensyukuri dan menikmati pelayanan semacam
itu. Tentu saya menikmati pelayanan-pelayanan musiman seperti itu karena
selalu ada pengalaman, teman baru, percakapan, dan permasalahan yang
kemudian menjadi berkat rohani dan mendewasakan iman serta karakter
saya.
Akan tetapi, sejak setahun lalu, saya dan suami diperhadapkan tentang
isu pemuridan di gereja. Suatu waktu, saya dan suami diundang mengikuti
beberapa sesi kelas pemuridan di gereja. Di sana, kami diperkenalkan
tentang sebuah konsep yang disebut intentional disciple-making church,
sebuah konsep di mana aktivitas gereja difokuskan pada pemuridan.
Di situlah kami sadar betapa jauhnya kesenjangan antara gereja dan pela-
yanan mahasiswa mengenai isu pemuridan.
Banyak hal mengenai pemuridan yang merupakan hal yang baru untuk
para aktivis gereja sementara saya dan suami sudah bertahun-tahun
mengenal pemuridan sejak kami dibina sebagai mahasiswa. Kami berdua
adalah produk pemuridan itu sendiri. Ketika kampus sedang memperta-
nyakan mengapa pemuridan menurun, mengapa kelompok kecil semakin
sedikit, gereja baru sadar bahwa mereka seharusnya melakukan hal ini.
Kemudian, dengan sedihnya, kami mendengar cerita para hamba Tuhan
yang ketika masih menjadi mahasiswa sekolah teologi, merasa tidak pernah
dimuridkan. Bagaimana cara kami memuridkan kalau kami tidak pernah
dimuridkan? tanya mereka. Hal itu membuat saya sadar, inilah momen di
mana alumni Kristen yang telah dibina dalam persekutuan mahasiswa dan
menjadi produk dari pemuridan, turun ke gereja dan menggerakkan gereja
untuk mengerjakan pemuridan itu sendiri.
Saya teringat suatu hari diminta untuk melayani seorang remaja putri di
gereja yang mengalami masalah terkait lawan jenis. Dari cerita remaja putri
tersebut, saya melihat betapa pemuridan penting bagi dia dan teman-
teman sebayanya karena pergaulan di dunia sudah sedemikian gawat dan
hancur. Betapa strategisnya bila dia semenjak masa remajanya dibina
dengan baik dalam sebuah kelompok kecil.
Sebagian besar remaja di gereja saya berasal dari keluarga dengan
tingkat ekonomi baik. Mereka mendapatkan pendidikan terbaik, dikuliahkan
di luar Indonesia di universitas-universitas terbaik dunia dan kembali ke
Indonesia untuk mewarisi posisi pengambil keputusan. Betapa strategisnya
jika mereka menyerahkan diri sebagai murid Tuhan sejak remaja dan
tumbuh menjadi intelektual-intelektual Kristen yang takut akan Tuhan.
Bayangkan akan semakin banyak Ahok di negara ini, yang menganggap
mati adalah keuntungan dan hidup adalah untuk Kristus. Begitu banyak pe-
rubahan yang bisa dilakukan oleh anak-anak ini. Namun, siapa yang mau
mengerjakan pemuridan untuk mereka di gereja?
Seperti yang digambarkan C.S. Lewis dalam buku Mere Christianity, kita
sekarang sedang berada dalam sebuah selasar yang dikelilingi oleh banyak
pintu. Di balik sebuah pintu, ada tujuan hidup yang Tuhan telah rancangkan
untuk kita. Di selasar inilah kita bernyanyi-nyanyi Be Thou My Vision.
Dengan serius, kita mencari pintu mana yang harus kita buka. Namun, ketika
sudah melangkah masuk ke dalam salah satu pintu, tentu lagu nyanyian
harus berubah menjadi Jalan salib perlulah korban, srahkan semua pada
Hu. Begitu visi dan panggilan sudah ditemukan, di situlah medan
pertempuran kita.
Pelayanan diperlukan alumni bukan karena alumni perlu menjaga diri
supaya tidak jatuh semakin mirip dengan dunia. Menurut saya, seseorang
yang sadar betul identitasnya adalah seorang pelayan yang hidup terus-
menerus di hadapan Tuhan tidak akan punya waktu untuk memikirkan hal
lain selain visi yang diberikan Tuhan kepadanya. Dengan demikian, peran
komunitas adalah untuk terus menajamkan visi dan menjadi penolong
dalam pertempuran tersebut.
Pernikahan Kristen
oleh Avia Destimianti
Mencari pasangan
1. Tujuan pernikahan
Dunia akan mengatakan berbagai macam alasan untuk menikah, mu-
lai dari supaya dapat keturunan sampai sudah umurnya. Firman Tuhan
menggambarkan tujuan pernikahan yang indah di mana melalui
pernikahan, pasangan bisa saling melayani kemudian bersama mereka
melayani orang lain. Dengan demikian dunia yang belum percaya dapat
menyaksikan gambaran nyata hubungan Kristus dengan gerejaNya
(Ef 5:22-33).
Menjalani pernikahan
1. Pembagian peran dan persiapan menjadi orangtua
Ketika kita disatukan dalam penikahan maka kita tidak lagi dua tapi
satu dalam mencapai tujuan pernikahan yang Tuhan tetapkan. Artinya
suami istri memiliki panggilan yang sama dan dipenuhi melalui peran
yang saling melengkapi. Panggilan utama kita sebagai pengikut Kristus
bukanlah profesi melainkan the great commandment (Mrk 12:30) dan
the great commission (Mat 28:19-20).
Pernikahan sudah lengkap jika terdiri dari suami dan istri
(Kej 1: 27-31). Anak adalah tambahan dan anugerah sekaligus amanat
yang harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Di Ulangan 6: 4-9
orang tua dimandatkan untuk memuridkan anak secara menyengaja dan
terus menerus. Saya dan suami dianugerahi seorang anak dan kami
belajar untuk menjalankan mandat ini dengan serius. Kami membuat
kesepakatan bahwa salah satu dari kami bekerja dari rumah, kami
bahkan memutuskan untuk homeschool anak kami.
Awalnya saya mengalami pergumulan yang begitu berat ketika harus
bekerja dari rumah. Karena tumbuh merasa tidak dikasihi, saya melihat
karir sebagai identitas dan sumber nilai diri, bahkan bersembunyi di
balik kata "panggilan." Hal ini membuat saya mengevaluasi lagi seluruh
perspektif hidup saya. Apakah melakukan kehendak Tuhan Yesus lebih
penting dari karir? Saya terus diingatkan bahwa panggilan utama saya
adalah menjadikan segala bangsa murid-Nya, diawali dengan
menjadikan anak saya murid Kristus. Kami berdua berbagi peran dalam
memuridkan anak kami.
2. Penyelesaian Konflik
Ada beberapa prinsip yang kami pelajari. Pertama, jangan menuntut
pasangan untuk membuat kita bahagia karena tuntutan itu hanya dapat
dipenuhi oleh Kristus. Paulus di Filipi 4: 12 mengatakan "... aku telah
belajar rahasia hidup berkecukupan..". Menarik bahwa hidup
berkecukupan (contentment) adalah sesuatu yang harus dipelajari. Oleh
karena itu, tekunlah belajar hidup berkecukupan di dalam Kristus dalam
segala keadaan maka sukacita akan terus mengalir memenuhi rumah
tangga. Kedua, jadilah proaktif bukan reaktif. Ada banyak hal yang
sebaiknya disepakati bersama di awal pernikahan, misalnya interaksi
dengan keluarga besar, pengelolaan keuangan, metode pendidikan
anak, dsb. Ketiga, setiap ada konflik datanglah pada Tuhan Yesus lebih
dulu. Jika kita setia membaca Firman Tuhan, Roh Kudus akan menarik
deposito Firman Tuhan itu untuk mengajar kita (2 Tim 3:16).
3. Pelayanan bersama
Tuhan membentuk pernikahan agar menjadi saksi dan pelayan dalam
memberikan gambaran mengenai hubungan Kristus dengan gerejaNya
pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu, setiap pasangan harus
memiliki mentalitas melayani. Setiap kegiatan yang dilakukan,
pengelolaan uang, dan interaksi dengan orang lain adalah dalam rangka
membe-ritakan tentang Tuhan Yesus kepada dunia sedang mengamati.
Saya dan suami mengusahakan sebisa mungkin melayani bersama, baik
itu di rumah (mengerjakan chores), gereja, persekutuan, maupun di
masyarakat. Setiap pelayanan juga merupakan sarana pemuridan anak
kami untuk menunjukkan seperti inilah Firman Tuhan diaplikasikan.
Kembali pada Sacha dan Angga. saya berdoa agar pernikahan Saudara
dan saya dapat menjadi saksi untuk saudara-saudara seperti mereka yang
belum mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat serta belum
mengetahui harta karun yang tersembunyi di setiap Firman Tuhan. Teruslah
setia membangun keluarga yang berakar pada Firman Tuhan karena
keluarga kita adalah etalase yang menampilkan kehidupan keluarga di
mana Tuhan Yesus bertahta di atasnya dan gambaran bagaimana interaksi
Kristus dengan jemaatNya. Selamat membangun keluarga dan menjadi saksi
Kristus bagi dunia!
Menjadi Terang bagi Bangsa
oleh Hariman Theofilus Aaroozatulo Harefa
Saya awali refleksi pribadi ini dengan menjelaskan status saya sebagai
PNS yang bekerja di Kementerian Luar Negeri. Dalam hitungan
pengalaman bekerja di suatu institusi, saya termasuk baru memasuki fase
pertama. Dengan asumsi masa kerja di pemerintahan berkisar antara
25 - 30 tahun, maka usia kerja saya yang baru memasuki tahun kedelapan
belum banyak memberi pengaruh yang besar. Dalam jabatan dan secara
hierarki kelembagaan, posisi, kewenangan dan tanggung jawab saya pun
belum seberapa. Sebagai salah seorang alumni PO UI yang bekerja di
sektor yang dianggap berpengaruh bagi banyak orang (baca: bangsa)
izinkan saya menyoroti beberapa hal.
Penutup
Pada bagian akhir ini, saya kembali menegaskan bahwa pengalaman dan
kedewasaan saya masih harus terus diperkaya dan diuji. Akan tetapi, dari
pengalaman yang masih hijau ini, saya dengan yakin mengatakan bahwa
pergumulan menjadi terang bagi bangsa adalah pergumulan setiap orang
Kristen Indonesia dan secara khusus mahasiswa dan alumni binaan PO UI.
Menjadi terang bagi bangsa bukan hanya pelayanan sebagian orang, tetapi
secara bersama dikerjakan oleh Tubuh Kristus di Indonesia.
Para mahasiwa dan alumni PO UI merupakan orang-orang yang telah
diberikan anugerah fisik dan spiritual sehingga memiliki kewajiban untuk
menjadi terang bagi sekelilingnya. Tidak mesti kumpulan orang-orang
terpilih ini mencari tempat-tempat strategis. Di mana pun, selama visi dan
komitmen iman seseorang kuat, maka dia akan dipakai Tuhan bagi
bangsanya. Bagi yang serius menggumuli untuk masuk ke berbagai
bidang yang berhubungan dengan kekuasaan, jalannya memang tidak
mudah, tetapi bukan berarti mustahil.
Terakhir, menjadi terang tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri. Ruang
yang sangat gelap akan menjadi terang apabila sumber-sumber cahaya,
besar dan kecil, disatukan. Bangun dan pelihara hubungan antara orang-
orang yang punya visi yang sama. Jangkau mereka yang potensial untuk
diajak berjuang! Dan yang terutama selalu bergantung kepada sumber
cahaya utama kita dalam persekutuan pribadi yang erat dengan Kristus.
Quo Vadis
PO UI
C ATATAN R EDAK SI
Dua tulisan mengenai "Quo Vadis PO UI" berasal dari dua alumni
beda generasi yang sama-sama menikmati pelayanan di PO UI.
Meski tidak "janjian" sebelumnya, keduanya sama-sama membuka
dengan kalimat yang sama yaitu "pertanyaan Quo Vadis
mengandung arti yang selalu sulit untuk dijawab".
Redaksi juga setuju bahwa pertanyaan "Quo Vadis" sukar dijawab
sehingga kami sengaja menempatkannya di bab paling belakang.
Namun kesulitan menjawab bukan semata-mata menjadi alasan
penempatan bab ini di bagian paling akhir buku --maupun alasan
memberikan tempat bagi dua penulis untuk menuangkan
gagasannya.
Alasan paling utama adalah agar buku ini bukan menjadi hasil
akhir perjalanan 50 tahun Persekutuan Oikumene
Universitas Indonesia, melainkan menjadi langkah awal bagi
PO UI untuk bertindak sesuai dengan panggilan yang
mula-mula diberikan Tuhan.
Tulisan pertama membahas dengan padat bagaimana "quo vadis"
menjadi titik balik PO UI mengalami intervensi Allah mengerjakan
misi-Nya. Sementara tulisan kedua menuturkan dengan terang
bagaimana "quo vadis" menjadi momentum bagi PO UI untuk
mengambil langkah strategis dalam bersekutu bagi bangsa ini.
Tujuannya hanya satu: agar nama Tuhan dimuliakan.
Quo Vadis PO UI?
oleh Ardhi Poerwoko
***
Data Diri Penulis
Lina Kristo lahir di Jakarta, 10 Januari 1962. Ia merupakan alumna Teknik
Sipil Fakultas Teknik UI angkatan 1980 dan melanjutkan ke STT Bandung.
Saat ini kak Lina aktif sebagai staf Perkantas dan dapat dihubungi di
linakristo@yahoo.com
Emilia Tiurma Savira lahir di Jakarta, 28 April 1994. Perempuan yang saat
ini menjadi Public Relations Consultant ini berasal dari FISIP UI 2012.
Semasa berkuliah ia melayani sebagai singer dan keyboardist dan dapat
dikontak di etsavira@gmail.com. Karya Emilia lain dapat dibaca di
emiliats.wordpress.com dan geotimes.co.id/author/emilia-tiurma-savira
Eunika Rukmi merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
jurusan Ilmu Komunikasi UI angkatan 2004. Semasa menjadi mahasiswa
ia merupakan Koordinator PO FISIP UI 2007-2008. Saat ini Uniq, panggilan
akrabnya, bekerja sebagai "Instructional Designer" di primaindisoft.com
Ardhi Purwoko lahir pada 05 Oktober 1982. Pria ini adalah staf Perkantas
yang mendapatkan gelar Sarjana Teknik dari Teknik Mesin, Fakultas Teknik
UI angkatan 2001. Pur, demikian ia akrab dipanggil dapat dikontak di
ardhipoerwoko@gmail.com