Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
STROKE-LIKE SYNDROME
Oleh:
Pembimbing:
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
Mitokondria merupakan salah satu komponen di dalam sel yang penting untuk berbagai
proses seluler. Salah satu mekanisme penting yang dilakukan mitokondria adalah fosforilasi
oksidatif. Fosforilasi oksidatif ini bertujuan untukk memproduksi energi seluler dalam bentuk
adenosine trifosfat (ATP). Gangguan yang terjadi pada mitokondria akan berupa sekelompok
penyakit heterogen yang biasanya bermanifestasi pada jaringan yang membutuhkan energi
tinggi seperti otot, otak, jantung, dan saraf, sehingga disebut dengan mitochondrial
Penyakit mitokondria pada anak semakin diakui keberadaannya. Penyakit ini telah
dilaporkan sebagai penyakit neurometabolik paling sering yang dapat diturunkan pada populasi
berbeda di Inggris. Prevalensi penyakit yang sebenarnya sulit dipastikan, mengingat penyakit
prevalensi 1 dari 7.634 kelahiran hidup dan resiko seumur hidup mengalami penyakit
mitokondria sekitar 1 dari 5.000. Mutasi individual dilaporkan berada pada frekuensi karier
lebih tinggi, mendekati 1 dari 400, namun hanya sebagian kecil dari individu tersebut akan
Bidang kedokteran mitokondria baru saja berkembang dalam 25 tahun terakhir. Para
dokter memiliki keterbatasan bukti dalam membuat formulasi keputusan klinis mengenai
diagnosis, terapi, dan manajemen keseharian pasien. Penyakit ini pun masih kekurangan
penanda yang cukup sensitif dan spesifik. Hal ini dapat dikarenakan penyakit tersebut
tergolong penyakit yang jarang sehingga pembiayaan untuk studi terbatas (Parikh, 2014;
Parikh, 2009). Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai penyakit mitokondria pada anak,
Penulis membatasi pembahasan pada case report ini pada definisi, epidemiologi,
klasifikasi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan
Penulisan case report ini bertujuan untuk memahami serta mengetahui tentang definisi,
Case report ini ditulis berdasarkan sebuah laporan kasus stroke-like syndrome disertai
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mitokondria
Mitokondria adalah suatu organel yang terdapat pada semua sel berinti dan merupakan
pembentuk utama ATP melalui reaksi oxidative phosphorylation (OXPHOS). Proses ini
melibatkan tahapan transfer elektron pada rantai respirasi (kompleks IIV) dan ATP synthase
(kompleks V). Mitokondria mempunyai DNA sendiri, namun organel ini bekerja di bawah
kendali genetik dari DNA inti maupun dari genome mitokondria (Chial, 2008; Solano, 2001).
sirkuler, double-stranded, yang mengandung 37 gen: 2 gen rRNA, 22 gen tRNA, dan 13 gen
structural yang mengkode protein enzim yang bekerja pada respiratory chain (OXPHOS) di
mitokondria, Rantai respirasi ini merupakan tahap akhir dari metabolism oksidatif dan
Gambar 2.1. DNA mitokondria berbentuk sirkuler dengan beberapa complex region
yang menyandi protein enzim pada rantai respirasi (Chial, 2008; Solano, 2001)
2.2 Mutasi DNA Mitokondria
Seperti halnya pada DNA inti, DNA mitokondria juga dapat mengalami mutasi. Point
mutation pada mtDNA dapat mengakibatkan penurunan jumlah enzim yang diperlukan pada
respiratory chain sehingga produksi ATP juga akan sangat berkurang. Gangguan produksi
energi dalam sel pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kelainan pada individu yang
menderita. Kelainan ini terutama terjadi pada organ yang membutuhkan energi yang besar,
yaitu otak dan otot. Oleh sebab itu, manifestasi klinis penyakit akibat kelainan mitokondria
sebagian besar diakibatkan oleh kerusakan pada otak/sistem saraf pusat dan otot (Reeve, 2008).
Lebih dari 150 mutasi titik dan kesalahan urutan mtDNA yang telah diketahui
berhubungan dengan beberapa macam penyakit. Penyakit yang terkait dengan mutasi pada
mtDNA dibagi menjadi dua kelompok besar: 1) kelompok gangguan yang disebabkan oleh
mutasi pada gen yang terlibat pada sintesis protein (sindrom deplesi DNA mitokondria), dan
2) kelompok gangguan yang disebabkan mutasi pada gen yang mengkode protein individual
yang terlibat dalam respiratory chain (sindrom delesi DNA mitokondria) (Chial, 2008; Solano,
2001; Reeve, 2008). Sindroma delesi mtDNA lebih bermanifestasi pada dewasa, sedangkan
sindrom deplesi mtDNA biasanya terjadi pada anak, dengan karakteristik keterlibatan satu
organ saja atau multisistem (Bonnen, 2013). Pembagiannya adalah sebagai berikut
Studi tentang mutasi DNA mitokondria masih dilakukan untuk lebih memperjelas
etiologi dari penyakit mitokondria ini. Bonnen et al pada tahun 2013 menemukan mutasi
FBXL4 pada anak yang datang dengan ensefalopati, asidosis lakat, dan deplesi mtDNA berat
pada ototnya. Mereka menunjukkan bahwa FBXL4 merupakan protein F-box yang terletak
berdekatan dengan mitokondria dan mutasi serta hilangnya fungsi dari protein ini
menyebabkan defisiensi rantai respiratori berat, hilangnya potensi membran mitokondria, dan
gangguan jaringan mitokondria dinamis serta distribusi nukleoid pada fibroblas. Mereka
2.3 Diagnosis
Tidak ada parameter praktis berbasis konsensus yang dapat digunakan untuk klinis
untuk membuat diagnosis atau memberikan terapi pada pasien terkait penyakit mitokondria.
hasil, dan bukti penegakan diagnosis penyakit mitokondria tersebut (Parikh, 2014).
(MELAS) adalah salah satu penyakit mitokondria paling sering yang ditemukan pertama pada
tahun 1984. Pada tahun 1992, kriteria diagnostik klinis untuk sindrom MELAS meliputi
episode stroke sebelum usia 40 tahun, ensefalopati yang ditandai dengan kejang dan/atau
demensia, dan bukti miopati mitokondria yaitu asidosis laktat dan/atau ragged-red fibers
(RRF). Diagnosis dapat diterima jika juga terdapat minimal dua dari kriteria berikut,
perkembangan psikomotor awal normal, nyeri kepala rekuren, dan episode muntah rekuren.
Lebih terkini, komite kelompokk studi MELAS di Jepang menerbitkan kriteria diagnosis lain
yaitu kriteria definitif dengan minimal dua kriteria kategori A (nyeri kepala dengan muntah,
kejang, hemiplegia, buta kortikal, dan lesi fokal akut pada pencitraan neurologi) dan dua
kriteria kategori B (kadar laktat plasma atau cairan serebrospinal tinggi, abnormalitas
mitokondrial pada biopsi otot, dan mutasi gen terkait MELAS) (Yatsuga, 2012; El-Hattab,
2015).
gejala klinis. Beberapa studi telah menunjukkan manifestasi klinis pada pasien dengan penyakit
mitokondria yang mendukung istilah semua jaringan dan semua tanda pada semua usia. Akan
tetapi, bayi dan anak-anak dengan penyakit mitokondria cenderung memiliki onset akut dari
gejala dan perjalanan klinis jika dibandingkan dengan pasien dewasa, yang lebih perlahan dan
progresif. Manifestasi klinis pada 103 pasien pediatrik yang didokumentasikan oleh Chi pada
Diagnosis penyakit mitokondria memiliki sedikit sistem skor dalam kriteria diagnosisnya.
Wolf et al mengajukan sistem skor kriteria diagnostik mitokondria (MDC) untuk bayi dan anak
pada tahun 2002. Sistem ini mengevaluasi manifestasi klinis (I; skor klinis maksimum: 4 poin)
dari gejala otot (IA; skor maksimum: 2 poin), abnormalitas sistem saraf pusat (IB; skor
maksimum: 2 poin), dan keterlibatan multisistem (IC; skor maksimum: 3 poin), ditambah
dengan abnormalitas metabolik dan neuroimaging (II; skor tambahan maksimum: 4 poin).
Anomali histologis (III) dapat meningkatkan skor sebanyak 4 poin, menyebabkan skor
maksimal sebesar 12 poin. Skor 8-12 didefinisikan sebagai definite, skor 5-7 didefinisikan
sebagai probable, skor 2-4 didefinisikan sebagai possible, dan skor 1 didefinisikan sebagai
Beragamnya manifestasi klinis yang dapat terjadi pada penyakit mitokondria membuat
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah, survei metabolik, pencitraan, biopsi jaringan,
Sistem skor untuk Kriteria Biokimia: Unlikely: 0; Possible: 12; Probable: 2; Highly
Probable: >2
Sistem skor untuk Kriteria Genetik: Definite: kriteria 1 atau 2 abnormal; Probable: Kriteria 3
abnormal; Undetermined: kriteria 4 ada
2.4 Terapi
penanganan yang cukup kompleks. Secara garis besar, pendekatan terapi penyakit ini dapat
dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu: 1) Terapi simptomatis sesuai gejala yang timbul pada
masing-masing penderita; 2) Terapi farmakologis untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita; dan 3) Terapi gen (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manifestasi klinis utama dari penyakit akibat
mutasi mtDNA adalah kelainan pada otot dan sistem saraf pusat. Oleh karena itu gejala-gejala
yang terkait gangguan saraf dan otot seperti gangguan perkembangan mental dan motoris,
kejang, atonia/distonia, dan kontraktur otot banyak ditemukan pada penderita. Masing-masing
penderita dapat menunjukkan gejala yang berbeda, oleh karena itu pendekatan terapinya harus
disesuaikan dengan gejala klinis yang ada, bila perlu penanganan oleh ahli dari masing-masing
disiplin ilmu yang sesuai dapat dilakukan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Sebagai contoh, gejala kejang yang timbul pada penderita Leigh Syndrom perlu
pasien dengan gejala psikiatrik, khususnya depresi, Hambatan perkembangan mental dan
motoris pada penderita PDH defisiensi memerlukan penanganan khusus antara lain terapi
wicara dan terapi okupasi. Tindakan pembedahan oleh opthalmologist diperlukan untuk
penanganan ptosis parah pada pasien dengan oftalmoplegia eksternal progresif. Katarak
kongenital juga dapat ditangani dengan pembedahan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
Pada pasien dengan sindroma Kearns-Sayre disertai blockade konduksi jantung. Perlu
dilakukan pemasangan pacemaker untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pada pasien dengan
Gagal hepar yang sering terkait dengan sindroma deplesi mtDNA, dapat ditangani dengan
transplantasi liver. Myoglobinuria rekuren dapat ditemukan pada pasien dengan defisiensi
coenzyme Q10 (CoQ10) primer atau dengan mutasi gen pengkode protein mtDNA. Selama
episode akut, semua pasien harus dilakukan rehidrasi dan menjalani dialysis ginjal karena
myoglobinuria dapat menyebabkan komplikasi gagal ginjal (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan terapi farmakologis adalah pemberian obat-
obatan yang bekerja dengan menghambat metabolit toksik sebagai hasil dari metabolism
alternative, maupun obat-obatan yang bekerja meningkatkan fungsi dan life time enzim pada
Asidosis laktat adalah salah satu tanda khas dari penyakit akibat kelainan mitokondria.
anaerob meningkat dan menghasilkan metabolit asam laktat. Asam laktat bersifat neurotoksik,
sehingga kadarnya perlu diturunkan. Obat penurun asam laktat yang umum digunakan adalah
dikloroasetat (DKA) yang bekerja dengan menghambat piruvat dehydrogenase (PDH) kinase,
menyebabkan PDH tetap defosforilasi, bentuk aktif dan membantu metabolism piruvat dan
oksidasi laktat. DKA sendiri mempunyai efek samping neuropati perifer, sehingga DKA tidak
boleh digunakan dalam jangka panjang pada kelainan mitokondria yang rentan terkena
khas adanya defek pada sinyal intergenomik. Pasien dengan kelainan multisistemik ini
mengalami mutasi pada gen TP yang mengkode enzim timidin kinase, akibat yang ditimbulkan
adalah akumulasi timidin dalam darah. Strategi pengobatan yang dapat dilakukan adalah
dengan menurunkan metabolit ini dengan hemodialisa. Pendekatan yang lebih radikal seperti
transplantasi sel stem allogenik dapat dipertimbangakan karena hasilnya cukup menjanjikan
Dari beberapa pengamatan, telah diketahui bahwa sel satelit dan mioblas mengandung
jumlah mtDNA mutan lebih sedikit dibandingkan serabut otot matur. Dari data ini, beberapa
bupivocaine, untuk menyebabkan nekrosis otot terbatas, yang dapat menghasilkan jaringan otot
dengan jumlah mutan mtDNA lebih sedikit. Sayangnya, percobaan dengan injeksi unilateral
bupivocaine pada otot levator palpebral pada lima pasien dengan oftalmoplegia eksternal
progresif atau KSS tidak menghasilkan perbaikan apapun. Pendekatan lain berdasar pada fakta
bahwa latihan isometric menyebabkan mikrotrauma dan nekrosis otot terbatas. Salah satu
penelitian pada 1 pasien dengan mioglobinuria rekuren karena mutasi nonsense gen COX I
mtDNA, mengindikasikan bahwa ada sebuah proses regenerasi. pada beberapa serabut otot
yang dibiopsi. Fakta ini mendukung pendekatan terapi dengan menginduksi myoglobinuria
pada pasien yang mengalami intoleransi latihan atau kelemahan karena mutasi mtDNA spesifik
otot. Selain itu, baik latihan ketahanan dan resistance dapat digunakan sebagai kombinasi untuk
Kekurangan CoQ10 di mitokondria akan mengganggu aliran eklektron dari kompleks I dan II
ke kompleks III, dimana akan mengurangi sintesis ATP. Sebagai tambahan, CoQ10 berfungsi
sebagai antioksidan sehingga defisiensinya akan berdampak pada sel post-mitotik seperti
neuron dan otot yang rentan terhadap kerusakan oksidatif Pendekatan terapi yang dapat
dilakukan adalah pemberian 2 akseptor elektron buatan, yaitu menadiol difosfat 40 mg/hari dan
Beberapa clinical trial dengan kedua obat itu menunjukkan kembalinya kekuatan dan
ketahanan otot, biopsy otot setelah 8 bulan terapi menunjukkan bahwa level CoQ10 kembali
normal, penumpukan lipid menghilang, aktivitas enzim rantai pernafasan meningkat, dan
penurunan proporsi miofibril yang terapoptosis. Meskipun demikian, pasien yang mengalami
ataksia membutuhkan dosis yang lebih besar (hingga 1.000 mg/hari) dan berespon lambat, hal
ini mungkin diakibatkan kerusakan serbelar yang ireversibe (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
Berbagai macam vitamin dan kofaktor telah digunakan pada pasien ensepalomiopati
mitokondrial dan menunjukkan hasil yang positif, antara lain adalah riboflavin (vitamin B2),
thiamine (Vitamin B1), Asam folat, CoQ10, I-Carnitine, dan creatine. Beberapa diantaranya
seperti riboflavin dan CoQ10 adalah komponen dari rantai respiratori. Sedangkan kofaktor
yang lain menurun pada beberapa kondisi seperti asam folat yang lebih rendah dari normal
pada darah dan CSF pasien dengan KSS. Pada beberapa pasien, kadar carnitin bebas cenderung
parsial dari -oksidasi disertai gangguan CoQ10. Gabungan vitamin yang dapat digunakan
untuk kasus ini adalah L-carnitine (1000 mg 3x/hari) dan CoQ10 (minimal 400 mg/hari)
dengan tujuan mengembalikan level carnitine bebas dan meningkatkan aktivitas oxygen radical
Pada pasien MELAS, terjadi defisiensi carnitin primer, pendekatan terapi yang dapat
dilakukan adalah pemberian Carnitine Monohidrat. Pada suatu percobaan, pemberian Carnitine
monohidrat pada 6 pasien dengan MELAS dan 1 dengan kelainan mitokondrial yang tidak
jelas menunjukkan adanya perbaikan pada aktifitas yang berat tetapi tidak pada latihan aerobik
Suplementasi tembaga memberikan hasil yang positif pada beberapa penelitian in vitro
untuk terapi ensepalomiopati infantile yang terkait dengan defisiensi COX. Pada kelainan ini
terjadi mutasi gen SCO2, yang mengkode protein COX-assembly yang dibutuhkan untuk
insersi cooper ke holoenzim. Ketika tembaga ditambahkan pada medium kultur dari mioblast
defisit COX yang memiliki mutasi SCO2, aktivitas COX dapat kembali normal. Hal ini
menunjukkan bahwa suplementasi tembaga kemungkinan besar bermanfaat untuk bayi yang
menderita cardiomiopati dan mutasi SCO2 (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Deplesi mtDNA juga dapat dicegah dengan penambahan produk defektif enzim
fibroblas dari pasien dengan sindrom hepatoserebral dan mutasi homozigus pada gen DGUOK
Defek rantai respirasi memiliki efek yang berbahaya yaitu kerusakan produksi ATP,
gangguan intracellular calcium buffering, produksi ROS berlebih, dan peningkatan apoptosis.
Peningkatan produksi ROS merusak membran sel melalui peroksidasi lipid dan juga dapat
memperparah jumlah mutasi mtDNA (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
digunakan pada sebagian besar kelainan yang disebutkan termasuk vitamin E, CoQ10,
idebenone, dan dihidrolifoat. CoQ10 telah digunakan untuk penyakit mitokondria dengan hasil
positif dan efek negatif yang minimal. CoQ10 dan analognya, idebenone, telah digunakan
secara luas sebagai terapi kelainan neurodegenerative yang terkait dengan peningkatan ROS
Seperti halnya pada kelainan akibat mutasi DNA inti, pendekatan terapi gen dapat
dilakukan pada kelainan akibat mutasi DNA mitokondria. Untuk penyakit mitokondria yang
disebabkan mutasi pada gen inti, masalahnya tidak berbeda dengan terapi gen untuk gangguan
genetic mendelian, termasuk pemilihan vector viral atau non-viral yang sesuai, pengiriman ke
jaringan yang sakit, dan reaksi imunologis potensial (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
Namun pada penyakit akibat mutasi pada mtDNA murni, masalahnya jauh lebih
mitokondria serta belum adanya realisasi model hewan coba dengan penyakit mtDNA menjadi
masalah utama dalam pengembangan terapi berbasis gen. Walaupun demikian, beberapa
strategi untuk menyelamatkan fungsi mitokondria melalui komplementasi defek genetic atau
manipulasi langsung level mtDNA mutan telah dipertimbangkan. Salah satu cara melengkapi
pendekatan ini, menjadi mungkin untuk mengekspresikan protein ATPase 6 wild-type secara
allotopic dari suatu konstruksi nucleus-transfected pada sel cybrid transmitochondrial yang
bersifat homoplasmy untuk mutasi pada 8993T>G MTATP6 (subunit 6 dari ATP synthase
pigmentosa (NARP syndrome). Intervensi ini ternyata menyebabkan pemulihan parsial pada
defek biokimia akibat mutasi mtDNA. Strategi yang sama juga digunakan untuk
menurunkan rasio genom mutan terhadap wild-type (gene shifting). Pendekatan ini dapat
dicapai melalui beberapa cara: (1) menghambat replikasi genome mutan secara selektif dengan
peptide asam nukleat; (2) memasukkan RNAs ke mitokondria; (3) memasukkan polipeptida ke
mitokondria; (4) memilih untuk fungsi respirasi; (5) induksi regenerasi otot; dan (6) induksi
mutan turun di bawah ambang patogenik (pathogenic threshold). Beberapa percobaan in vitro
berhasil menurunkan rasio mutan A8344G MERRF (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
terapi ini mempunyai implementasi logistic yang berbeda, meliputi ekspresi allotopik, ekspresi
xenotopik, dan impor endonuclease restriksi. Ekspresi allotopik mengacu pada strategi yang
ditujukan untuk menurunkan beban protein mutan dengan mengimpor versi normal dari protein
mutan yang dikode mtDNA dari gen snuck ke dalam nucleus. Sebagai contoh, gen ATPase 6
mtDNA dapat diubah dari mitokondria ke kode genetic inti. Untuk meyakinkan bahwa protein
inti baru dikode oleh gen yang telah diubah dikenali, dan ditranspor ke mitokondria, maka pada
protein tersebut diberi leader peptide, dimana sekuen genetiknya dipinjam dari protein yang
dikode mtDNA yang lain. Setelah genetic Trojan horse dibawa ke nucleus, produk translasinya
mitokondria. Pendekatan ini telah direalisasikan in vitro untuk mengkoreksi defek biokimia sel
cybrid yang mengalami mutasi T8993G NARP/MILS dan cybrid yang mengalami mutasi
G11778A LHON (Lebers hereditary optic neuropathy) (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
Trik molekuler lain yang digunakan untuk mengkoreksi defek rantai respirasi yang
disebabkan mutasi mtDNA dengan transfeksi sel mamalia yang sakit adalah dengan gen
mitokondria maupun gen inti dari organisme lain tetapi mengkode cognate protein xenotopic
spesifik sebagai magic bullets untuk merusak mtDNA mutan secara selektif. Pendekatan ini
telah dilakukan pada sel cybrid model mutasi pada gen ATPase 6 T8993G NARP/MILS dengan
membuat site Smal unik pada mtDNA manusia. Gen untuk Smal fusi ke sekuen target
mitokondria dan secara transien diekspresikan pada cybrid heteroplasmik yang kehilangan
Pendekatan lain yang cukup efektif untuk menurunkan beban mutasi mtDNA secara in
vitro adalah pemaparan terhadap metabolit keton. Sel hybrid yang mengalami delesi tunggal
mtDNA dibiakkan dalam medium yang mengandung keton sebagai sumber karbon. Sel yang
homoplasmik untuk delesi mtDNA mati, sedangkan sel homoplasmik untuk mtDNA wild-type
hidup. Pada heteroplasmic cell lines, proporsi mtDNA wild-type meningkat dari 13% menjadi
22% setelah 5 hari perlakuan dalam medium ketogenik, dan pada percobaan ini didapatkan
tidak hanya terjadi diantara sel (seleksi interseluler) tetapi juga di dalam sel (seleksi
intraseluler). Hasil ini dapat dijadikan rujukan kemungkinan dilakukannya percobaan in vivo
pada pasien menggunakan diet ketogenik (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Dalam kaitannya dengan heteroplasmic shifting, mungkin tidak perlu lagi menurunkan
jumlah mutasi jika kita dapat mendistribusikan ulang proporsi mtDNA mutan dengan wild-type
dalam mitokondria, mengubah organel mutan homoplasmi dan organel wild-type homoplasmi
menjadi organel heteroplasmi. Dengan cara ini, maka dapat dimanipulasi populasi mitokondria
mutan di bawah threshold untuk mengobati disfungsi mitokondria (Dimauro, 2005; Taylor,
dengan menangkap ROS telah berhasil dilakukan pada hewan coba tikus. Pertama, defisiensi
katalitik kompleks I) menginduksi lesi retina dan saraf optic sama dengan LHON pada
manusia. Kedua, regulasi penurunan MnSOD oleh ekspresi anti-SOD2 ribozyme pada tikus
juga menginduksi lesi menyerupai LHON. Data ini mendukung konsep bahwa produksi ROS
berlebihan merusak retina dan saraf optic. Ketika peneliti melakukan ko-ekspresi anti-
NDUFA1 rybozyme (racun) dan SOD2 (antidot) pada tikus yang sama, lesi tidak muncul. Fakta
ini menjelaskan bagaimana potensi terapi suatu SOD scavenging (Dimauro, 2005; Taylor,
LAPORAN KASUS
DISKUSI
bermanifestasi pada jaringan yang membutuhkan energi tinggi seperti otot, otak, jantung, dan
saraf. Manifestasi klinis nya dapat terjadi dengan gejala apa saja, pada organ mana saja, dan
pada usia mana saja. Penyakit mitokondria pada anak memiliki onset yang lebih akut dan lebih
berat dibandingkan penyakit mitokondria pada dewasa. Pemberian terapi untuk penyakit
mitokondria tersebut meliputi terapi simtomatik, terapi farmakologis, dan terapi genetik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chial H, Craig J. 2008. mtDNA and Mitochondrial Diseases. Nature Education 1(1).
http://www.nature.com/scitable/topicpage/mtdna-and-mitochondrial-diseases-903.
Diakses tanggal 1 Januari 2013.
3. Reeve AK, Krishnan KJ, Turnbull D. 2008. Mitochondrial DNA Mutations in Disease,
Aging, and Neurodegeneration. Annals of the New York Academy of Sciences; 1147:
21-29
5. Taylor RW, Turnbull DM. 2005. Mitochondrial DNA Mutations in Human Disease.
(Online) http://www.nature.com/reviews/genetics. Diakses tanggal 1 Januari 2013.
6. Wolf NI, Smeitink JA. Mitochondrial disorders: a proposal for consensus diagnostic
criteria in infants and children. Neurology. 2002 Nov 12;59(9):1402-5.
7. Parikh S, Goldstein A, Koenig MK, Scaglia F, Enns GM, Saneto R, Anselm I, Cohen
BH, Falk MJ, Greene C, Gropman AL, Haas R, Hirano M, Morgan P, Sims K,
Tarnopolsky M, Van Hove JL, Wolfe L, DiMauro S. Diagnosis and management of
mitochondrial disease: a consensus statement from the Mitochondrial Medicine
Society. Genet Med. 2015 Sep 2;17(9):689-701.
9. Bonnen PE, Yarham JW, Besse A, Wu P, Faqeih EA, Al-Asmari AM, Saleh MA, Eyaid
W, Hadeel A, He L, Smith F, Yau S, Simcox EM, Miwa S, Donti T, Abu-Amero KK,
Wong LJ, Craigen WJ, Graham BH, Scott KL, McFarland R, Taylor RW. Mutations in
FBXL4 cause mitochondrial encephalopathy and a disorder of mitochondrial DNA
maintenance. Am J Hum Genet. 2013 Sep 5;93(3):471-81.
10. Parikh S, Saneto R, Falk MJ, Anselm I, Cohen BH, Haas R, Medicine Society TM. A
modern approach to the treatment of mitochondrial disease. Curr Treat Options Neurol.
2009 Nov;11(6):414-30.
11. Chi CS. Diagnostic approach in infants and children with mitochondrial diseases.
Pediatr Neonatol. 2015 Feb;56(1):7-18.
12. Selim L, Mehaney D. Mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke-
like episodes in a Japanese child: Clinical, radiological and molecular genetic analysis.
The Egyptian Journal of Medical Human Genetics (2013) 14, 317322
13. El-Hattab AW, Adesina AM, Jones J, Scaglia F. MELAS syndrome: Clinical
manifestations, pathogenesis, and treatment options. Molecular Genetics and
Metabolism (2015) 116, 412