Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1. Identitas buku
Judul aslinya, Religious education in contex of plurality and pluralism, pengarangnya
Hope S. Antone, diterjemakan oleh Pdt. Maryam Sutanto, Judul buku, Pendidikan
Kristiani Kontekstual.
2. Judul Resensi
Mempertimbangkan realitas kemajemukan dalam pendidikan Agama
3. Data Buku
a. Judul buku : Pendidikan Kristiani Kontekstual
b. Pengarang : Hope S. Antone
c. Penerbit : Bpk. Gunung Mulia
d. Tahun terbit beserta cetakannya: Tahun 2015, cetakan ke-3
e. Dimensi buku :
-Tebal : 186 hal.
Ringkasan
BAB I
Teori pendidikan juga dibentuk oleh konteks masyarakatnya. Teori pendidikan adalah
suatu bingkai penuntun untuk secara sengaja menyelenggarakan pendidikan, memetakan konteks
yang di dalamnya pendidikan itu dilaksanakan, menggambarkan tujuannya, menjelaskan dasar-
dasarnya, dan menganjurkan praktik yang tepat. Konteks membentuk teologi dan pendidikan.
Konteks membentuk teori pendidikan. Dengan demikian realitas kemajemukan agama di Asia
memunculkan masalah pendidikan yang bersifat serius bagi para penyusun teori dan praktisi
pendidikan. Sikap apakah yang tepat bagi orang Kristen Asia terhadap orang Asia dari agama
lain? Bagaimana kita mempersiapkan dan memungkinkan orang Kristen Asia menghadapi
realitas kemajemukan agama? Pertanyaan-pertanyaan ini mengindikasikan bahwa suatu teori
pendidikan Agama yang kontekstual sangat diperlukan.
Teori pendidikan yang baik seharusnya memperhitungkan hal-hal yang terjadi di dalam
konteks kehidupan yang dinamis. Seperti waktu dan ruang berpindah dan berganti, seperti
kejadian dan pengalaman terus berjalan dan mengalir, teori pendidikan perlu merespons dengan
segera dan tepat. Karena teori pendidikan bersifat dinamis, akan tiba waktunya bagi teori itu
untuk diubah, dimodifikasi, dibuat mutakhir, atau diganti dengan yang lain. Suatu konteks yang
hidup memerlukan suatu teori pendidikan yang hidup. Dengan mengatakan bahwa teori
pendidikan harus kontekstual berarti jyga mengakui dengan rendah hati keterbatasan dari upaya
dan kemampuan manusia. Persepsi, konsepsi, artikulasi dan analisis seseorang dibentuk oleh
kemampuan fisik dan psikologis seseorang seperti juga budaya dan konteksnya.
BAB II
Perubahan dalam Teori Pendidikan
BAB III
Pendekatan Teologis dan Edukatif terhadap Kemajemukan
Ada tiga tipologi yang dipandang sebagai respons umum dari banyak orang di hampir
semua tradisi agama-agama yaitu, eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Meskipun
demikian, respons-respons itu tidak hanya merupakan respons agama terhadap agama lain, tetapi
respons manusiawi terhadap semua isu mengenai keberagaman dan perbedaan. Diterapkan pada
kemajemukan agama, tipologi-tipologi ini sangat bermanfaat untuk memhami sikap orang
Kristen Asia satu sama lain, begitu juga untuk memahami sikap orang Asia dari komunitas
agama lain. Eklusivisme adalah suatu sikap dari satu melawan semua, inklusivisme adalah satu
di atas semua, pluralisme adalah satu dengan dan di antara semua.
Satu melawan semua = Arogansi agama
Menurut Hick, eklusivisme adalah pandangan bahwa satu tradisi tertentu mengajarkan
kebenaran dan membentuk jalan menuju keselamatan atau kebebasan.
Satu di atas semua = Imprealisme agama
Hick mendeskripsikan inklusivisme sebagai suatu respons pada keterbatasan
eksklusivisme primitif. Posisi ini membuat ruang untuk yang lain dan keberlainan sambil
mencoba secara bersamaan untuk mempertahankan keunggulan imannya sendiri. Pandangan ini
menganggap tradisi imannya sendiri sebagai sentral dan normatif.
Satu dengan dan di antara semua = Keterbukaan agama
Menurut Hick, pandangan ini berpegang bahwa: agama-agama besar di dunai
mewujudkan persepsi dan konsepsi yang berbeda mengenai yang Nyata atau yang Tertinggi, dan
bahwa di dalam setiap agama tersebut, secara mandiri, transformasi eksistensi manusia dari yang
terpusat pada diri sendiri menuju keterpusatan pada realitas, sedang terjadi. Jadi, tradisi agama-
agama besar dipandang sebagai ruang soteriologis alternatif yang di dalamnya laki-laki dan
perempuan dapat menemukan keselamatan, pembebasan dan pemenuhan. Pluralitas kekristenan
tampak jelas dalam banyak denominasi. Konsekuensinya, terdapat suatu keberagaman
pandangan dan komitmen teologis di antara mereka.
Seorang teolog, Daniel L. Migliore, mencoba melihat secara spesifik pada respons
Kristen terhadap orang-orang yang iman dan agamanya berbeda, dan ia sampai pada lima
pendekatan klasik. Cara pertama adalah cara eksklusif yang menegaskan bahwa iman Kristen
sendiri yang paling benar sehingga menyiratkan bahwa semua agama lain adalah sama. Dalam
pandangan ini, finalitas Kristus berarti benar-benar menutup diri dan dialog dengan iman yang
lain adalah suatu pengkhianatan terhadapa penyataan Allah di dalam, Yesus Kristus. Kelemahan
dalam pandangan ini adalah kesulitan dalam membedakan antara Yesus Sang Kristus dan
gagasan manusiawi atau pemahaman kita terhadap-Nya. Selain itu juga, kecenderungan untuk
memanipulasi dan mengontrol Kristus melalaui pengakuan iman terhadap-Nya, dengan
menurunkan derajat-Nya hanya sebagai rumusan kepemilikan teologis belaka. Kedua adalah
pandangan developmentalis yang menghormati semua agama lain sebagai persiapan untuk
menerima Kristus yang di dalam-Nya semua iman menemukan pemenuhan. Dalam pandangn ini
finalitas Kristus dipandang menempati titik tertinggi di dalam suatu tangga keyakinan atau
kepercayaan keagamaan ayng bergerak mendaki. Ketiga, pandangan transendentalis yang
menganggap semua orang percaya teermasuk mereka yang berasal dari komunitas iman atau
agama lain, mempunyai akses pada rahmat trasendental Allah bahkan jika Kristus tidak dikenal
atau tidak diakui. Pandangan ini memandang setiap orang yang hidup dalam Roh Kristus yang
tidak dikenal sebagai orang Kristen anonim. Pandangan keempat, yang disebut migliore yaitu
pandangan dialogis, yang berpendapat bahwa ketika orang Kristen dan orang-orang dari iman
dan agama lain harus menghormati komitmen iman mereka dengan serius mereka juga perlu
memasuki dialog terbuka dengan yang lain. Pandangan kelima dalah pandangan relativis yang
berupaya merelatifkan partikularitas historis dari agama-agama individual dan mencoba
mengidentifikasikan inti teosentris yang sama-sama dimiliki oleh mereka.
Gerakan pekabaran Injil dulu dan sekarang masih ditandai oleh perasaan
denominasionalisme yang kuat dan suatu dorongan yang kuat untuk mempertobatkan dan
membawa yang lain masuk ke dalam lingkungannya, terutama ke dalam denominasinya.
Wesley Ariarajah. Seorang ekumenis dan teolog kontemporer dari Sri Lanka,
mendeskripsikan prinsip-prinsip pekabaran Injil yang membentuk sikap orang Kristen Asia
terhadap pluralitas agama. Pusat dari prinsip-prinsip itu adalah keyakinan bahwa Allah telah
menyatakan bahwa satu-satunya cara bagi manusia untuk diselamatkan adalah dengan menjawab
secara positif pada Yesus Kristus dan menjadi bagian dari komunitas yang percaya kepada-Nya.
Dengan prinsip-prinsip ini, setiap upaya untuk berhubungan dengan orang-orang dari agama lain
dapat dilihat sebagai pengkhianatan terhadap misi dan ketidaktaatan terhadap panggilan untuk
memberitakan Injil. Ini menghasilkan tiga ketakutan klasik dari gerakan pekabaran Injil awal:
ketakutan dari mengkompromikan keunikan Kristus; ketakutan kehilangan sifat urgensi dari misi
di dunia; dan ketakutan mengakui signifikansi keselamatan dalam hidup keagamaan tentangga
kita. Bagi Samartha, alasan-alasan untuk enggan dan ragu-ragu berdialog ini dapat diringkaskan
sebagai ketakutan pada sinkretisme dan relaivisme.
Misi dalam Konteks
Thiagarajah menyadari realitas kemajemukan di Asia, dan ia berkata bahwa aktivitas misi
apapun di Asia tidak dapat lagi bersikap tidak peka terhadap kontribusi besar agama-agama lain
yang telah d an masih dibuat terhadap pembentukan kebudayaan dan masyarakat Asia. Karena
itu, orang-oramg Asia harus berteologi pada suatu titik di mana kita tidak dapat berteologi
terpisah dari upaya membuat hubungan yang relevan dengan agama-agama yang di tengah-
tengahnya kita tempatkan.
Orientasi Misiologis pada Pluralitas
Pluralisme agama adalah suatu panggilan kepada komunitas agama untuk menjadi
dewasa: Menjadi berani, percaya diri pada apa yang dipercayai; untuk bangkit dan memandang
pluralitas agama-agama. Jika misi orang-orang Kristen Asia adalah bagian dari misi Allah
sendiri, maka tugas mereka adalah menjadi kawan sekerja Allah dalam penganugerahan berkat
Allah kepada sesama manusia. Allah menginginkan adanya suatu hubungan dialogis dengan
kemanusiaan dalam hidup dan pelayanan Yesus Kristus, yang hidup-Nya selalu berpusat pada
Allah, bergantung kepada Allah, dan mengarah pada Allah. Semua orientasi terhadap
kemajemukan yang muncul akan terkait dengan empat perubahan dalam pemikiran mengenai
misi agar orang Kristen tiba pada suatu pemahaman misi yang dapat dipercaya dan bermakna.
Perubahan pertama, dari suatu eksklusivitas menuju ke inklusivitas pemahaman misi Allah;
kedua, dari pertobatan menuju pada penyembuhan; ketiga, dari mayoritas ke minoritas; dan
perubahan keempat, dari isu-isu doktrinal belaka menuju pada keprihatinan spiritual yang
mendalam.
Menunjuk pada saling ketergantungan antara partikularisme dan pluralisme, Lee dan
Boys mengklaim bahwa sasaran utama Pendidikan Agama seharusnya berupa perkembangan dari
suatu partikularisme bertekstur dan suatu kesiapan bagi komitmen terhadap pada pluralisme
agama-agama. Mereka menyeimbangkan partikularisme dan pluralisme dengan cara ini
menentang gagasan mengenai keyakinan yang abadi dan menegaskan bahwa peenyataan Allah
adalah dianugerahkan secara ilahi dan juga diekspresikan dalam gagasan historis manusia. Hal
ini menghargai dan berupaya memulihkan perkembangan tradisi agama yang diakronis dan
hubungan mereka dengan yang lainnya.
BAB IV
Dukungan Alkitab pada Pluralisme Agama
Karena Yesus tinggal ditengah-tengah kemajemukan maka dapat belajar dari Yesus yang
mengahadapi kemajemukan dan dengan orang lain. Pertama bahwa kesetiaan Yesus selalu tertuju
kepada Allah, bukan pada institusi dan praktik mapan dari komunitas imanNya, yaitu dengan
memperlihatkan kesetiaan pada Allah dengan mengasihi orang lebih dari pada mengikuti hukum
dan tradisi agamaNya. Kedua dapat belajar dari visi Yesus menegnai suatu komunitas baru di
bawah pemerintahan Allah, yaitu visi yang melalmpaui komunitas Kristen. Dalam komintas yanh
memeiliki hubungan-hubungan yang baru ini maka perempuan dan laki-laki, muda dan tua,
mereka yang ada diantara kita dan mereka yang berbeda dari kita, semuanya akan memilki
tempat yang sangat penting, artinya melibatkan orang biasa, orang yang diabaikan, orang yang
tidak diakui, dan orang lain diantara kita. Ketiga, dari Yesus kita belajar bahwa walaupun
identitas (personal, rasial, keagamaan) merupakan kenyataan sosiologis, yang bukanlah tujuan
dalam diri sendiri kepada segala hal yang bergantung. Identitas sebagai bagian dari keluarga
Allah benar-benar didasarkan da karya-karya kesetiaan pada kehendak Allah untuk keadilan dan
kebenaran daripada keanggotaan dalam suatu kelompok agama atau keluarga tertentu. Keempat
yaitu belajar dari Yesus bagaimana Dia belajar dari orang lain dan mengizikan identitas dan
nasionalismeNya ditantang oleh orang lain yang Dia jumpai dalam pelayananNya. Yesus bahkan
mengizikan orang lain menantang imanNya, identitasNya dan nasionalismeNya yang pada
awalnya menghalangi Dia untuk solider dengan meereka. Dan terakhir belajar dari Yesus bahwa
melakukan kehendak mencakup suatu kemitraan dengan orang lain, karena tidak satu orang pun
dapat melakukan semuanya sendiri.
Frasa plurarlisme agama atau kemajemukan agama mungkin tidak ada dalam Alkitab,
namun nampak dalam tantangan yang dilibatkan merespons terhadap kemajemukan yang nyata
di dalamnya. Untuk menemukan itu dalam Alkitab adalah dengan membaca dengan pandangan
yang baru agar menemukan bagaimana Yesus berhadapan dengan orang lain, baik dari luar
lingkungan terdekatNya maupun dari mereka yang diluar lingkungan Yudaisme. Dimana
kehidupan yang keluar dari zona aman sendiri. Yang dilakukan pertama adalah dengan
menceritakan kembali kisah dari perempuan-perempuan agar dapat menolong untuk memahami
kisah secara lebih baik jika kita mencoba menempatkan diri sebagai seorang perempuan, yang
menuntut rasa empati terutama bagi orang lain yang diabaikan dan disakiti.
Kemudian dengan wacana hermeneutic tradisional yang berupaya untuk membuat
tipologi kisah dan bermacam-macam tipe yang diusulkan yaitu melihatnya sebagai kisah
pernyataan. Cara tradisional lain adalan mengambilnya dalam konteks perjuangan gereja mula-
mula dalam memamhami misi kepada orang bukan Yahudi dan akhibat perjumapaan Antara
orang yahudi dan non Yahudi dalam gereja dan dalam agenda keselamatan Allah. Kemudian
wacana para feminis yang melihat dari seorang perempuan Siro-fenisia yang berdasarkan agama
dan etnis adalah seorang Kanaan dan dianggap orang Yahudi adalah orang kafir yang
menyemabh berhala dan asing terhadap kebudayaan mereka dan berada diluar perjanjian tentang
keselamatan Allah. Disamping dari gendernya yang sudah menjadi alasan untuk perlakuan
diskriminasi kebudayaan, agamanya dan rasnya dan menempatkan perempuan itu sebagai orang
yang berada di luak atau dengan kata lain lingkaran kasih penyelamatan Allah. Dan hal ini
merupakan suatu teks suci yang menyokong dan menulis ulang hubungan kekuasaan kyriachal,
prasangka anti yahudi, serta identitas feminism dan sikap tunduk perempuan. Oleh karena itu
dibuat kyriarchal atau kyriachy menggantikan konsep patriarkal dan kyriachy ini mengandung
arti aturan tuan, majikan, ayah, suami terhadap mereka yang berada dibawahnya dan bergantung
kepadanya, artinya menggambark suatu kompleks sistem dominasi social politis dan budaya
yang telah menghasilkan pembenaran penyingkiran sitemik yang bersifat asimetris dan dualistic
serta menghasilkan bentuk-bentuk eksplitasi. Kemudian wacana pascakolonial, yang mengambil
kisah perempuan Siro-Fenisia sebagai dasar bagi misi orang Kristen terhadao orang asia yang
mempunyai tradisi kepercayaan lain. Dan dalam kerangka pekabaran Injil ini, orang asia telah
begitu lama memluk agama yang lebih tua daripada agama Kristen diberi label sebagai
penyembaha berhala, orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak beriman. Hal ini diberi
titik angkat dari persimpangan-persimpangan anti-Yudaisme, seksisme, dan kolonialisme di
dalam sejarah interpretasi. Di Asia kontrasi dibuat Antara kekristenan dan agama-agama besar di
Asia dan dengan demikian menyiratkan bahwa agama-agama lain tersebut bersifat patriarkal dan
menindas perempuan, sementara kekristenan mengankat harkat dan kebebasan perempuan. Dan
dari kisah itupun beberapa teolog Asia waspada bahwa kisah tersebut telah dibaca dari sudut
pandang yang benar-benar bersifat msisiologi atau berpusat pada gereja. Dan hal intu berarti
baha kisah itu dimengerti sesuai dengan apa yang gereja pahami sebagai tugasnya. Dan dalam
menyusun suatu wacana pluralis yang dipelpori oleh R.S. Sugirtharajah maka dilakukan
pendekatan penaklukan (conquest approach) dengan mengumpulkan sedikit demi sedikt
pendekatan ini dari kisah pertobatan. Kemudian pendekatan reorientasi (reorientation approach)
yaitu panggilan untuk tugas spesifik dan suatu pemahaman baru mengenai tugas seseorang
biasanya dari suatu karakter profetis. Dan kedua pendekatan ini melihat realitas dari sudut
pandang misi dan proselitisme dengan memeprtimbangkan konfrontasi dengan orang-orang dari
agama-agama lain. Dan kemudian ada pednekatan dialogis (the dialogical approach) yaitu suatu
pendekatan yang mengaku keabsahan pengalaman keagaman yang berbeda dnan beragama dari
semua orang dan mennyingkirkan semua klaim eksklusif terhadap kebenaran satu tradisi agama.
Pendekatan ini patut dihargai karena semua agama mengandung sunsur pembebasan dan juga
unsur penindasan, sementara tugas hermeneutika adlah mengumpulkan aspek-aspek yang
membebaskan untuk menciptakan harmini dan perubahan social bagi semua orang. Oleh karena
itupun kembali melihat Yesus yang sedang berdialog dengan kemajemukan yaitu menjadi sadar
pada realitas kemajemukan disamping partikularitasNya sebagai seorang Yahudi dan orang
Israel, dan kedua opsi atau pilihan kerendahan hati dan keterbuakaan terhadap orang lain. Intinya
adalah bersandar pada pengetahuan bahwa Allah mengasihi dan berkomitkmen untuk
menyelamatkan semua orang kepunyaanNya.
BAB V
Basis Kultural bagi Pluralisme Agama
Istilah dialog dipakai sebagai metaphor inklusif bagi hubungan antar agama yang positif
di Antara masyarakat yang berbeda tradisi imannya, yang sudang menjadi praktik actual di antara
kelompok masyarakat yang berbeda. Tom Michel membagi dialog ini dalam beberapa bentuk
yaitu dialogue of being (dialog menjadi) yaitu menjadi suatu kehadiran yang psoitif di anatara
yang lain (others) demi kebersamaan atau berada dengan yang lainnya, dialogue of doing
(dialog melakukan) yaitu melakukan aksi bersama dalam menjawab persoalan yang menjadi
keprihatinan masyarakat tanpa memandang latar belakang kepercayaan dan agama mereka,
dalogue of ideas (dialog pikran) yaitu berbagi dan bertukar pikiran melalui studi bersama agar
saling memahami, demi meperluas wawasan dan perspektif. Dan terakhir dialog of experience
(dialog pengalaman) yaitu membagikan kedalam pengalaman kemanusiaan dan keagamaan yang
mendalam untuk saling memperkaya iman dan spiritualitas.
alam hal ini gambaran dan metafora tentang interelasi yang positif Antara masayarakat di
Asia, yang sudah sangat akrab dengan kebudayaan mereka yaitu percakapan di meja makan
(mealtable sharing). Kemajemukan di Asia begitu beragam sehingga yang terjadi bukan dialog
melainkan multilog (multilogue) dari beragam agama. Multiarah dari dialog disebut mutilog
yang terjadi di Antara sesame penganut agama tertentu. Metafora meja makan atau gambaran
meja sebagau metafora kuat bagi komunitas inklusif, dan metafora ini memperlihatkan bahwa
penggunaan percakapan di meja makan bukan hanya bersifat metaforis atau figurative tetapi juga
bersifat harafiah. Meja makan juga mengandung makna kebutuhan bersama kita ats makanan dan
kehidupan.
Percakapan meja makan adlaah suatu metafora yang sangat kaya, konkrit dan akrab bagi
banyak orang Asia. Praktik timbal-balik dalam solidaritas keluaraga dan persahabatan dilakukan
dari acara berkunjung dan yang menjadi pusat adalah percakapan di skeitar meja makan. Meja
makan adlaah symbol keramahtamahan yang hangat dan dengan cara seperti ini menjadi sebuah
undangan. Meja makan sanagt terbuka dna inklusif, dimana setiap orang disambut baik dan
merupakan tempat alami untuk berbagi/bercakap-cakap dan bersekutu. Meja makan pun
merupakan symbol rekonsiliasi dan perdamaian dan symbol kebebasan. Meja maka
merepresentasikan ucapan terima kasih dan perayaan sukacita, visi, harapan dan mimpi.
Alkitab juga penuh dengan gambaran tentang makanan dan percakapan meja makan.
Dalam berbagai kisah di Alkitab baik secara harafiah untuk dimakan atau diminum maupun
secara figurative/kiasan untuk menunjuk kebenaran spiritual yang mendalam tentang hikmat
Allah dan makna hubungan manusia. Dengan demikian dalam cara tertentu percakapan tentang
makanan (food talk) juga merupakan percakapan mengenai Allah (God talk) di dalam Alkitab.
Praktik di sekitar meja makan mempersiapkan, melayani, makan menjadi sangat penting bagi
masyarakat Alkitab sehingga hal ini tampak sama pentinga=nya dengan identitas mereka sebagai
umat perjanjian. Dimata orang yang memelihara dengan ketat hukum-hukum meja makan, Yesus
duduk semeja dengan orang-orang yang tidak bermoral dan berpesta pada waktu puasa, Yesus
menjungkirbalikkan hubungan social tradisional di sekitar meja makan. Praktik percakapan di
meja makan Yesus secara erat dikaitkan dengan penyembuhan dan rekonsilasi di keseluruhan
hidup dan pelayanan Yesus. Yesus juga mengajar tentang komunitas Allah (Kerajaan Allah)
melalui cerita tentang meja makan. Melalui pengajaran dan gaya hidup Yesus di meja makan
yaitu suatu proses berbagi di dalam kekudusan Allah bukan dalam arti menjadi tahir, murni dan
terpisah dari lainnya tetapi dalam arti berbelas kasih seperti Allah yang adalah kekuatan atau
alasan di dbalik percakapan di meja makan.
Praktik Percakapan Meja Makan Orang Kristen
Percakapan meja makan Yesus yang terbuka dan inklusif sekarang kurang diperhatikan. Seperti
halnya perjamuan Kudus yang hingga sekarang dikenal sebagai komuni Suci atau Ekaristi, yang
seperi kehilangan esensinya artinya menjadi ekslusif dan kondisional, bukan lagi inklusif,
terbuka dan bebas. Penulis menganggap ironis bahwa meja yang dimaksudkan untuk
mempersatukan orang Kristen telah berperan sebagai halangan besar bagi orang Kristen untuk
berkumpul bersama, karena pemahaman yang berbeda sehingga ada syarat-syarat yang membuat
bertentangnya gereja Kristen. Oleh karena itu sudah ada yang melakukan perjamuan kudus yang
terbuka dengan menyertakan anak-anak dan lainnya. Dan gereja perlu melihat pada gereja mula-
mula dalam hal berdoa, belajar dan makan bersama. Adapun praktik kontroversial dimana
praktik meja makan dari suatu pernikahan antaragama untuk menyatukan dua orang yang berasal
dari dua komunitas agama, dan di Asia hal ini bukanlah satu hal yang biasa. Keterbukaan dan
ketertutupan praktik meja makan orang Kristen digambarkan dalam sikap pemimpin Kristen dan
para anggotanya terhadap pernikahan antaragama. Jika seperti yang diklaim oleh seseorang
antropolog dimana pernikahan membangun masyarakat, memperkaya kebudayaan,
mempersatukan bangsa dan orang-orang asing, mempertautkan kebudayaan, membantu
penyelesaian perang dan menyediakan hubungan yang luas di Antara orang-orang serta
memperbaiki ras manusia maka pernikahan antar agama dapat diteruskan. Namun, praktik dalam
beberapa kasus oleh praktik meja makan yang lain tampak bersifat selektif dan ekslusif.
Perjamuan makan menjadi gambaran Kerajaan Allah. Baik secara harafiah maupun kiasan,
konsep meja makan senantiasa berkonotasi keramah-tamahan yang berlimpahm keterbukaan
sejati, dan perayaan sukacita bersama. Gambaran ini sangat berkaitan denhan kebutuhan untuk
saling memahami, saling menghormati dna saling terbuka di Asia yang majemuk.
Perjamuan Kudus
Konsep kita tentang meja makan hanya terbatas pada perjamuan Kudus yang juga dikenal
sebagai komuni suci atau Ekaristi. Namun esensi sesungguhnya dari persekutuan meja makan
Yesus kembali pada berbagai santapan yang dia makan bersama orang-orang yang dikenal dan
dijuluki sebagai orang berdosa, betapa ironisnya bahwa meja yang dimaksud untuk
mempersatukan orang Kristen telah berperan sebagai halangan besar bagi orang Kristen untuk
berkumpul bersama.
Praktik Meja Makan Alternatif
Banyak gereja telah memodifikasi praktik perjamuan Kudus tradisioanal yang eksklusif itu
dengan menerima dan mendorong anak-anak untuk ambil bagian didalam.
Meja Makan dan Pendidikan Agama
BAB VI
Percakapan di Meja Makan dan Pendidikan Agama
Apa kaitan percakapan di meja makan dengan pendidikan Agama di Asia? Percakapan di
meja makan makan memberikan gambaran terkait mengenai undangan terbuka dan
keramahtamahan yang berlimpah demi orang lain.percakapan di meja makan mewakili tindakan
saling berbagi dan persekutuan jujur yang menyapa kebutuhan paling manusia.
Persiapan
Persiapan yang disengaja memerlukan perencanaan dan strategi hati-hati. Itu berarti
bahwa para pendidik agama di Asia tidak dapat hanya menjiplak, mentransplantasikan, dan
menerapkan teori-teori yang berasal dari mana-mana sebagaimana yang biasa kita lakukan.
Orientasi pekabar Injil tradisional terhadap warisan kekristenan telah menanmkan dalam diri kita
sikap sangat eksklusif terhadap sesama kita yang berasal dari komunitas iman berbeda. Sikap
eksklusif itu dicerminkan dalam teologi, kurikulum, gaya hidup, dan sikap terhadap orang lain.
Karena itu, persiapan untuk suatu pendidikan agama yang sejati melibatkan pemeriksaan
saksama sikap eksklusif yang kita warisi dalam pikiran, teori, pengajaran, tingkah laku, dan
tindakan kita. Hal ini juga mencakup perencenaan berhati-hati yang akan memadukan
pendekatan pluralistik.
Suatu alasan untuk melakukan pendidikan Agama adalah bahwa hal ini merupakan
kesetiaan kepada Allah Pencipta yang menciptakan dunia dalam kemajemukan dan yang telah
menunjukkan cara-cara menjalin hubungan yang bermakna dengan orang-orang dari berbagai
latar belakang agama dan etnis. Keramahtamahan Allah yang berlimpah merupakan tekadan
yang jelas, yang ditunjukkan dalam praktik meja makan dan penyembuhan yang dilakukan
Yesus. Sebagaimana orang Kristen yang mengklaim mengakui dan menghayati cara hidup
Kristus, orang Kristen Asia sudah memiliki model sendiri bagi hidup bersama dan berhubungan
dengan yang lain. Pendidikan Agma juga mengundang dan mengajak karena pendidikan ini
bertujuan menyapa kebutuhan yang paling manusiawi untuk memahami, rekonsiliasi,
penyembuhan, dan perdamaian, yang dibutuhkan di Asia dan dunia masa kini.
Muatan pendidikan Agama di Asia berkaitan dengan segala sesuatu yang memberikan
vitalitas, makanan, arti dan harapan bagi orang-orang Asia. Muatan pendidikan Agama di Asia
sangat berlimpah-limpah. Muatan ini mencakup keanekaragaman seni kuliner yang kaya, yang
menggambarkan fitur-fitur unik, tetapi berbagi unsur-unsur yang sama.
Seperti dalam kegiatan makan, orang Asia diperkaya oleh keanekaragaman, menjadi
semakin menghargai keberagaman di sekitar mereka, dan bekajar untuk hidup bersama dengan
kemajemukan secara sukacita, kreatif dan kritis. Realitas keanekaragaman, keberagaman dan
kemajemukan mencerminkan luasnya dunia ciptaan Allah. Sama seperti makanan ada di sana
untuk dinikmati oleh semuanya, makanan kebijaksanaan dan spiritualitas juga ada di sana untuk
dialami dan dibagi oleh semua orang.
Para pendukung proses pembelajaran harus mengetahui apa dan bagaimana mengkritik
pada waktu yang tepat. Mengkritik apa yang menindas dan menekankan apa yang membebaskan
harus dilakukan dengan banyak kehati-hatian, kepekaan dan kebijaksanaan. Sebagai contoh,
mereka tahu bahwa kritik timbal-balik akan lebih efektif jika tidak dilakukan dengan menunjuk
jari atau menuding satu sama lain, tetapi dengan menawarkan kritik terhadap diri sendiri yang
terbuka dan sukarela. Kejujuran dan keterbukaan untuk mengkritik diri sendiri mungmin
menyebabkan suatu reaksi berantai dengan munculnya kritik dari pihak lain. Kritik terhadap diri
sendiri dimungkinkan melalui sikap rendah hati yang tulus, sebagai lawan dari sikap arogan,
egois, dan takabur.
Pendidikan Agama yang didasarkan pada metafora percakapan di meja makan
menyiratkan metodologi berbagi yang mendalam, jujur, terbuka, partisipatoris, dan dialogis.
Karena meja makan secara alami mengundang, pendidikan Agama juga mengambil pendekatan
yang mengundang daripada pendekatan yang memaksa, perintah atau secara halus, dengan
beberapa lampiran, misalnya proselitisme atau konversi ke dalam komunitas agama lain. Malah,
pendidikan ini menimbulkan rasa percaya atau sikap terbuka, sehingga tidak ada alasan
mencurigai seseorang memiliki agenda tersembunyi, tetapi saling diperkaya melalui proses
berbagi. Para pendidik agama Kristen di Asia perlu bekerja keras dengan pendekatan yang
mengundang ini, karena persepsi kuno bahwa mereka berusaha mengajak orang Asia lain untuk
masuk ke dalam komunitas iman mereka. Untuk menghindari godaan memiliki maksud lampiran
tadi, harus ada semacam transparansi dari tujuan dan sasaran dari proses percakapan di meja
makan. Harus tetap ada sistem check and balance. Dalam bahasa teologi Reformed, harus ada
pengakuan dan pertobatan publik, tanggung jawab timbal balik, dan pembuatan keputusan
bersama.
BAB VII
Menuju Teori Pendidikan Agama yang Kontekstual
Metafora dari undangan untuk bergabung di komunitas meja makan merupakan
metafora yang cocok dengan pendekatan pluralis atau ekumenis dalam pendidikan. Penulis
mengatakan bahwa baik pluralisme dan ekumenisme menggambarkan realitas kehidupan yang
sama, yaitu kehidupan dalam komitmen kepada iman orang lain di samping juga dalam
keterbukaan terhadap yang lainnya. Ungkapan undangan untuk bergabung dalam meja makan
sebenarnya mengungkapkan tiga metafora: pertama, suatu komunitas yang dibangun di
sekeliling meja dan memeberikan visi atau tujuan yang ke arahnyalah pendidikan Agama
berharap bergerak maju; kedua, meja makan yang di sekitarnya orang-orang berkumpul bersama,
yang menggambarkan muatan dan makanan yang dipersiapkan dan dilayani pendidikan Agama;
ketiga, undangan secara alami bersifat terbuka kepada semua orang karena ia bersifat
bersahabat, mengajak, hangat dan ramah serta mencerminkan praktik dan proses dalam
pendidikan Agama.
Metafora percakapan meja makan juga terdapat penyalahgunaan. Ada pertanyaan-
pertanyaan yang muncul: bagaimana mungkin percakapan di meja makan dapat terjadi di antara
yang kuat dan yang tidak berdaya, penindas dan yang tertindas, yang menjadi kenyataan umum
di negara-negara Asia? Bagaimana kita dapat berbagi meja makan dengan kekuasaan yang
menindas dan represif, seperti suatu pemerintah atau sombol-simbolnya, yang menuntut
kesetiaan absolut dari rakyatnya, bahkan sampai pada urusan ibadah?
Berbekal keyakinan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan keprihatinan yang
dapat ditangani dengan lebih baik secara bersama-sama, penulis bertanya kepada para pendidik
agama Kristen di Asia, bagaimana teori percakapan di sekitar meja makan dapat diaktualisasikan
dalam menghadapi banyak tantangan di negara mereka. Mereka membagikan apa yang telah
coba sebelumnya, misalnya membawa bersama-sama para pemimpin gereja dan pemerintahan
untuk berdialog tentang keprihatinan bersama; melakukan pertemuan berkala di antara pemimpin
gereja dan pemimpin dari komunitas iman lain. Beberapa yang lain menawarkan dengan
mempertimbangkan waktu yang tepat dan budaya setempat. Sangat jelas strategi ini dan yang
lainnya tidak dapat begitu saja dapat dipindahkan atau dicontoh dalam konteks lain.
Ada banyak persoalan yang mengganggu wilayah Asia selama bertahun-tahun: hubungan
kekuasaan yang tidak adil baik dalam bidang-bidang ekonomi maupun politik, fundamentalisme
yang kerap kali diekspresikan dengan sikap militan, globalisasi, permusuhan ras dan etik,
perjuangan untuk menentukan diri sendiri, serta berbagai bentuk diskriminasi berdasarkan ras,
kelas, kasta, usia, gender, kemampuan, orientasi seksual, keyakinan ideologi, dengan penekanan
yang berbeda di setiap negara di Asia. Bagaimana persoalan-persoalan ini mempengaruhi atau
menantang karya pendidikan kita dalam bidang agma? Mungkin persoalan-persoalan ini
memerlukan teori berbeda. Penulis yakin bahwa kerangka meja makan akan tetap menjadi alat
yang berguna untuk merencanakan teori pendidikan Agama yang kontekstual. Apa yang berbeda
adalah persoalan dan tantangan dalam beragam konteks, tujuan dan maksud dari teori-teori,
fondasi dari disiplin ilmu lainnya dan praktik-praktik yang diusulkan.
Mengenal Konteks
Menggunakan kerangka meja makan untuk teori pendidikan Agama, orang Kristen dan
para pendidik agama sitantang untuk memulai, pertama dengan memahami dan menganalisis
konteks nasional mereka masing-masing. Di sinilah letak peran anlisis dari para pendidik agama,
sebuah peran yang perlu dilakukan secara konstan. Bagaimanapun, Asia bukanlah hanya satu
ruang geografis, suatu ruang kemanusiaan dan sejarah. Kebutuhan atas analisis terus-menerus
menghadapi situasi dan realitas nasional bersifat penting karena persoalan memiliki tingkat
manifestasi dan dampak yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Konsekuensinya, respon
terhadap berbagai persoalan tersebut tidaklah sama.
Mengenal Tujuan
Pendidik agama ditantang untuk mengklarifikasikan dan mengartikulasikan tujuan
melakukan pendidikan agama dalam perspektif realitas kontekstual mereka. Berdasarkan
persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakat, apa yang hendak dicapai oleh pendidikan
Agama? Teori pendidikan Agama dapat sungguh-sungguh berarti ketika teori tersebut
memungkinkan masyarakat menghadapi realitas dan membekali mereka untuk melakukan
tindakan yang setia dan refleksi iman. Beberapa pengetahuan mengenai tujuan dari kelompok
agama yang berbeda dapat sungguh-sungguh memperkaya artikulasi tujuan teori pendidikan
Agama ekumenis. Ini juga dapat membantu perkembangan pengertian yang lebih baik di antara
kelompok yang berbeda.
Membuat Mata Rantai
Para pendidik perlu mengingat bahwa mereka tidaklah sendirian melakukan pekerjaan
itu. Mereka bahkan dapat bekerja secara kolektif dan secara lebih efektif bersama orang lain,
termasuk mereka yang berasal dari iman dan disiplin ilmu berbeda. Pendidikan Agama yang
ekumenis dan pluralis akan lebih baik bila dilakukan melalui upaya kolektif dan kolaboratif. Para
pendidik agama dapat berasal dari komunitas iman atau disiplin ilmu lain. Prosesnya pasti tidak
cepat dan mudah. Prosesnya membutuhkan waktu daan meminta komitmen besar bagi setiap
orang. Tetapi, prosesnya akan menjadi suatu pengalaman belajar di dalam proses berbagi secara
dialogis.
Melakukan Praktik Baru
Pendidik Agama perlu untuk menemukan praktik baru dan sesuai untuk melakukan
pendidikan Agama kontekstual, entah ekumenis atau pun pluralis. Suatu pendidikan Agama yang
sungguh-sungguh kontekstual, menyiratkan perspektif baru, tujuan baru, muatan baru, dan cara-
cara baru untuk melakukan segala sesuatu. Victor Ordonez mengatakan bahwa krisis dalam
kehidupan masyarakat terjadi karena kegagalan pendidikan. Tetapi, hal yang menyedihkan
adalah bahwa para pendidik tidak mengarahkan perhatiannya pada akar masalah dengan hanya
mengubah cara melakukan hal-hal lama yang sama. Bagi Ordonez, mengajarkan teologi harus
bersifat ramah dengan para pembelajar. Ia meratapi fakta bahwa ketika ada kebutuhan mengubah
muatan, para pendidik sering terpikat hanya oleh metodologi pengajaran. Ketika ada kebutuhan
untuk mengubah metodologi pengajar, para pendidik tidak mampu untuk menyesuaikan diri
dengan perangkat baru dan metodologi mutakhir. Para pendidik, terutama pendidik agama harus
sanggup mengenal dan menghadapi kebutuhan untuk mengubah muatan dan metodologi.