Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
I. IDENTITAS
Namapenderita : Ny. YY
Umur : 60 Tahun
No. DM : 13 05 67
JenisKelamin : Perempuan
Status Marital : Menikah
Alamat : Pos 7 Sentani
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMA
Sukubangsa : Sentani
Tanggal MRS : Rabu, 17 mei 2017
II. ANAMNESIS
KeluhanUtama: pingsan
RiwayatPenyakitSekarang :
Pasien datang ke RSUD Yowari diantar oleh keluarga karena tidak sadarkan
diri, pada saat meremas sagu di kali pasien tiba-tiba jatuh pingsan. Pasien
mengaku sudah merasakan sakit kepala 1 minggu yang lalu, saat sakit
kepala pasien mengaku sering berkeringat dan sesak, keluhan ini diakui
berlangsung terus menerus dan semakin memberat saat pasien sedang
kelelahan dan stress. Pasien mengaku sering merasa nyeri pada bagian
belakang leher dan merasa pegal-pegal pada punggung dan kaki, pasien
memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 4 tahun yang lalu. Pasien
teratur kontrol di RS Yowari. Obat hipertensi yang dikonsumsi pasien
adalah amlodipin dan losartan, tekanan darah yang pernah dialami pasien
adalah 200/100 mmHg. Pasien mengaku 1 minggu ini tidak mengkonsumsi
obat hipertensi karna obat habis.
Alatgerak
: udem
V. DIAGNOSA BANDING
Gagal jantung
Ensefalopati hipertensi
Stroke
X. TATALAKSANA LANJUTAN
IVFD NaCl 0,9% 500 cc + Neurobion 1 amp / 12 jam
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV)
Inj. Novorapid 3x6 IU
Valsartan 1 x 80mg (PO)
Amlodipin 1 x 10mg (PO)
XI. FOLLOW UP
18 Mei 2017
S : Pusing (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), demam (-)
O : Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis,
Tanda-tanda vital : Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 82/menit
Respirasi : 22/menit
Suhu badan : 36,6 C
SpO2 : 98%
Kepala : Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokhor 3 mm/3 mm, Refleks Cahaya (+/+),
Leher : Trakea ditengah (+), pembesaran KGB (-), JVP (-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi : Simetris (+) ikuti gerak nafas, retraksi (-)
Palpasi : Vokal Fremitus Dextra = Sinistra,
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+), rhonki -/-, wheezing -/-
Cor
Insperksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba ICS V
Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV Parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS V Linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II Reguler, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising Usus (+) 3-4 kali/menit
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar (Tidak teraba pembesaran),
Lien (Tidak teraba pembesaran)
Perkusi : Tympani (+)
19 Mei 2017
S : Pusing (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), demam (-)
O : Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis,
Tanda-tanda vital : Tekanan darah : 150/100 mmHg
Nadi : 76x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu badan : 36,3 C
SpO2 : 98%
Kepala : Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokhor 3 mm/3 mm, Refleks Cahaya (+/+),
Leher : Trakea ditengah (+), pembesaran KGB (-), JVP (-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi : Simetris (+) ikuti gerak nafas, retraksi (-)
Palpasi : Vokal Fremitus Dextra = Sinistra,
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+), rhonki -/-, wheezing -/-
Cor
Insperksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba ICS V
Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV Parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS V Linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II Reguler, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising Usus (+) 3-4 kali/menit
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar (Tidak teraba pembesaran),
Lien (Tidak teraba pembesaran)
Perkusi : Tympani (+)
P : - BPL
- Valsartan 2 x 80 mg
- Amlodipin 1 x 10 mg
- Vitamin B complex 1 x 1 tab
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 HIPERTENSI
2.1.1 Definisi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari
140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat
(tenang).7 Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan
yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.1
2.1.2 Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya ( 50 juta jiwa) menderita
tekanan darah tinggi ( 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan
cukup besar setiap tahunnya.3 Menurut National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di
Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat
58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari
data NHNES III tahun 1988-1991. Tekanan darah tinggi merupakan salah satu
penyakit degeneratif. Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan
dengan bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi
55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%.2 Kebanyakan
pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka didiagnosis
dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur
diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun,
laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur
55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang
menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur 60tahun), prevalensi untuk
hipertensi sebesar 65.4 %.2
2.1.3 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun
eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi
pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.1
1. Hipertensi Primer
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 %
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam
ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.1
2. Hipertensi Sekunder
Sering disebut hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom
Cushing, feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain-lain.1,2
2.1.4 Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan
darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha
untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi
segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem
yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama
ginjal.2
1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai
dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis
merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh
darah dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah
seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh
darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan
tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal,
kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian
tubuh tertentu.1
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.1
2) Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme
(ACE). Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.4
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus.
Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke
luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.
Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.4
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan
volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.1,4
3) Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.4
Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur 18
tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada
dua atau lebih kunjungan klinis2 (Tabel 2). Klasifikasi tekanan darah
mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS)
< 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi
tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien
yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa
yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada
kategori ini harus diberi terapi obat.4
2.1.6 Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk
rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular
(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,
angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi
memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain maka akan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut.
Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai
peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit
arteri perifer, dan gagal jantung.4
2.1.8 Diagnosis
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat
menggunakan sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari
satu kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas
meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan
sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang.
Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat
mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan tinggi kolesterol,
alkohol dan sebagainya.
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut
yakni :
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh
mana penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau
tidak, apakah arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.
2) Mengisolasi penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab
spesifiknya.5
3) Pencarian faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor
risiko tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar,
seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG
(electrocardiography) dan rontgen.
5) Tes khusus
X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna
yang digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan
adrenal.
Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat
electroencefalografi (EEG), alat ini menyerupai electrocardiography
(ECG atau EKG). mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan
tingkatnya.1,4
Evaluasi hipertensi
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi:
1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular
atau penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis
sehingga dapat memberi petunjuk dalam pengobatan
2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi
3. Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit
kardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium
rutin, dan prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik termasuk
pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan
BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan
(meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis;
palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru;
pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra
abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk
melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis.
2.1.9 Tatalaksana
1. Tujuan Terapi
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas ini
berhubungan dengan kerusakan organ target (misal: kejadian kardiovaskular
atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Mengurangi resiko
merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi obat dipengaruhi
secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan pengurangan resiko. Target
nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII.
Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg
2. Terapi Nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan
tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII.
Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke
hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.
Tabel 2. Modifikasi gaya hidup pada penderita hipertensi
3. Terapi Farmakologi
Tabel 3. Terapi farmakologi hipertensi
Pasien atas nama ny. YY 50 tahun datang ke RSUD Yowari di antar oleh
keluarga dengan keluhan tidak sadarkan diri sejak 1 jam sebelum masuk rumah
sakit, menurut keterangan keluarga sebelumnya pasien sedang meremas sagu di
pinggir kali kemudian pasien jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri. Menurut
keluarga pasien, sebelum pasien mengeluh sakit kepala 1 minggu yang lalu,
pasien memiliki riwayat hipertensi yang di ketahui 4 tahun yang lalu, pasien
pernah berobat ke rumah sakit Yowari dengan hipertensi dan diberi obat hipertensi
Amlodipin dan losartan, pasien rutin meminum obat ini namun 1 minggu
pasien tidak minum obat karna obat habis dan pasien malas untuk pergi membeli
obat, menurut keluarga pasien mudah lelah jika berkerja yang berat.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, dari
kesadaran somnolen dengan tanda-tanda vital tekanan darah 180/100 mmHg, nadi
68x/menit, respirasi 22x/menit, spO2 95%. Dari pemeriksaan kepala leher
didapatkan conjungtiva anemis (+/+), refleks cahaya menurun. Telinga, hidung,
mulut, dan leher dalam batas normal, kemudian pemeriksaan fisik thoraks paru
dan jantung dalam batas noemal. Dan pada pemeriksaan fisik abdomen juga
dalam batas noemal.
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien dapat didiagnosa dengan
hipertensi emergency dengan gejala klinis tekanan darah 180/100 mmHg dan
pasien mengalami penurunan kesadaran yang menandakan adanya kerusakan
organ target yaitu otak, dimana dalam teori otak adalah salah satu organ terget
pada hipertensi.
Tatalaksana pasien ini adalah menurunkan tekanan darah per menit sampai
perjam dengan batasan sesuai dengan MAP (mean arterial pressure) dengan rumus
MAP didapatkan target penurunan tekanan darah adalah sistol 126 mmHg.
180+(2 100)
MAP =
3
= 126 mmhg
Pasien diberi Captopril 25mg sublingual, ISDN 5mg sublingual, Inj.
Nicardipin 9 cc / jam dalam NaCl 0,9% 50 cc
Nikardipin adalah obat antihipertensi golongan penghambat ion calsium,
mempunyai efek vasodilatasi dengan menghambat masuknya calcium kedalam
saluran lambat di area selektif yang sensitif pada tegangan otot polos
mengakibatkan peningkatan kadar oksigen dalam darah dan dapat menurunkan
tekanan darah dengan cepat.
Captropil adalah obat ACE inhibitor yang mencegah konversi angiotensi I
menjadi angiotensin II, suatu zat vasokontriktor endogen. Penghambatan ini
mengakibatkan kadar angiotensin II menurun, penurunan juga terjadi pada
hormon-hormon simpatis seperti noradrenali dan adrenalin, kemudian terjadi
peningkatan bradikinin, prospaglandin dan nitrit oksida yang dapat menyebabkan
terjadinya vasodilatasi terutama pada arteri perifer, sehingga tekanan darah
sistemik menurun, beban afterload menurun sehingga tekanan pada organ-organ
lain juga menurun.
Pasien juga diberi obat isosorbid dinitrat (ISDN) 5mg sub lingual yaitu obat
vasodilator untuk pelebaran pembuluh darah agar mengurangi kerja jantung dan
meningkatkan oksigen dalam darah.
Setelah diberian tatalaksana di atas 2 jam pasien mulai sadarkan diri
dengan tanda membuka mata, dapat berbicara, dan dapat menggerakkan anggota
badan dengan tujuan, dengan tekanan darah terakhir 140/90 mmHg.
Pada pemeriksaan gula darah sewaktu yang diperiksakan di IGD, didapatkan
hasil 349 mg/dl dimana dari hasil ini dapat diketahui tingginya kadar glukosa
dalam darah, namun hal ini tidak bisa menegakkan diagnosa, diketahui bahwa
pasien juga didiagnosis dengan diabetes melitus tipe II. Menurut teori kriteria
diagnosis pada Diabetes melitus ialah pada pemeriksaan glukosa darah puasa
126 mg/dl. Puasa adalah kondisi dimana tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
Selanjutnya pada pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah toleransi glukosa oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram didapatkan 200 mg/dl dan pemeriksaan
HbA1C 6,5 %. Pada pasien ini pada pemeriksaan gula darah puasa didapatkan
hasil 67 mg/dl dimana nilai ini masih dalam batas normal sehingga diagnosis
diabetes militus pada pasien ini belum tepat.
Pasien juga diberikan terapi injeksi insuli berupa Novorapid 3x6 IU atas
indikasi diabetes militus dengan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil
349 mg/dl, tatalaksana insulin ini tidak sesuai dengan teori karena indikasi
pemberian insulin :
DM + ulkus
DM gesstsional atau DM tipe I
DM gagal pengobatan oral
HbA1c >9% + delcompensasi penurunan berat badan cepat
Hiperglikemia berat + ketoasidosis
Gagal kombinasi obat OAD dosis optimal stres berat
Gangguan fungsi hati dan ginjal berat dan alergi OAD
Jadi pemberian insulin Novorapid injeksi tidak sesuai dengan indikasi
pemberian insulin pada pasien ini.
Pada anamnesa, pasien mengeluhkan mudah lelah dan dari pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis pada pasien. Hasil pemeriksaan darah lengkap
pasien di dapatkan hemoglobin 9,4 gr/dl, MCV (mean corpusculer volume)
didapatkan 70.0 fl dan MCH (mean corpusculer hemoglobin) didapatkan 19,3 pg,
dan MCHC 27,7. Terjadi penurunan nilai Hemoglobin disertai penurunan nilai
MCV, MCH dan MCHC menandakan adanya anemia mikrositik hipokromik,
sehingga pasien dapat juga didiagnosis dengan Anemia defisiensi besi.
Sayangnya pasien hanya diberikan Neurobion yang dicampur dalam cairan
infus. Neurobion memiliki komposisi Vit B1 (tiamin), B6 (piridoksin), B12
(sianokobalamin). Vitamin B kompleks berfungsi sebagai vitamin neurotropik
atau vitamin yang melindungi sel-sel saraf. Kekurangan vitamin ini akan
meyebabkan gejala seperti pegal-pegal atau tegang pada otot, atau badan terasa
kaku, dan rasa kelelahan. Vitamin B kompleks digunakan untuk memperbaiki
metabolisme tubuh dan diperlukan dalam pematangan sel darah merah.
Pada pasien ini anemia yang terjadi akibat turunnya kadar Fe dalam darah,
neurobion hanya berisikan vitamin B kompleks sehingga tidak menambah kadar
besi dalam darah, maka tidak tepat untuk menangani anemia pada pasien ini.
Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa injeksi ranitidine 2x1 ampul,
ranitidin adalah obat antihistamin atau H2 antagonis bekerja pada sel-sel parietal
yang menghasilkan asam lambung, untuk menekan histamin dan sekresi asam
lambung yang dilepaskan oleh sel-sel parietal untuk mengatasi ulkus lambung,
dispepsia, pencegahan ulkus lambung, gejalanya adalah nyeri uluh hati, rasa
terbakar di dada, perut terasa penuh dan mual.
BAB V
PENUTUP
I. Kesimpulan
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa dengan hipertensi
emergency, terapi awal yang diberikan adalah Captopril 25mg sublingual, ISDN
5mg sublingual, Inj. Nicardipin 9 cc dalam NaCl 0,9% 50 cc / 1 jam dengan
tujuan menurunkan tekanan darah dalam hitungan menit-jam.
Pada pemeriksaan gula darah sewaktu pasien didapatkan hasil 349 gr/dl, pasien
kemudian didiagnosa denga DM tipe II dan diberikan Inj. Novorapid 3x6 IU.
Diagnosis dan tatalaksana DM pada pasien ini kurang tepat karena GDP pasien
masih dalam batas normal, dan tidak diperiksakan G2PP serta HbA1c. Diagnosis
DM pada pasien ini tidak sesuai dengan kriteria diagnosis DM tipe II menurut
tinjauan pustaka. Terapi insulin injeksi yang diberikan kepada pasien tidak sesuai
dengan indikasi pemberian insulin menurut tinjauan pustaka.
Dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap didapatkan
anemia defisiensi besi pada pasien ini, terapi yang diberikan adalah Neuribion
injeksi yang dicapur dalam cairan infus. Terapi ini tidak tepat karena tidak dapat
mengatasi kekurangan kadar Fe dalam darah.
Daftar Pustaka