Вы находитесь на странице: 1из 4

Kanak-Kanak yang Bengis

AS Laksana ; Cerpenis dan Esais, tinggal di Jakarta


JAWA POS, 29 Mei 2017

PADA suatu hari di bulan Mei 1212, seorang anak gembala berusia dua
belas tahun muncul di Saint-Denis. Dia menghadap Raja Philip II di
istananya, membawa sepucuk surat untuk raja Prancis itu, dan
mengatakan bahwa surat tersebut diantarkan sendiri oleh Yesus, yang
datang menemuinya saat dia sedang menggembalakan ternak dan
memintanya untuk pergi ke Jerusalem guna memimpin Perang Salib
karena orang-orang dewasa telah gagal menjalankan urusan mereka.
Raja tak memedulikan ucapan bocah itu, tetapi Stephen, si anak gembala,
begitu meluap gairahnya setelah perjumpaan dengan lelaki misterius di
padang gembalaan dan kini menganggap dirinya sebagai pemimpin
perang suci yang akan membawa kejayaan bagi agamanya. Dia
berkhotbah dari satu tempat ke tempat lainnya dan para pengikutnya terus
bertambah, semuanya kanak-kanak di bawah dua belas tahun.

Akhirnya, dengan pasukan berjumlah tiga puluh ribu kanak-kanak,


Stephen memimpin perjalanan penuh kesengsaraan dengan tujuan akhir
Jerusalem, sebuah kota suci jauh di seberang lautan sana, di belahan
timur bola dunia. Kepada para pengikutnya, Stephen mengatakan bahwa
air laut akan membelah, seperti yang terjadi pada Musa, dan memuluskan
jalan bagi mereka.
Di puncak musim panas, mereka tiba di tepi Laut Tengah. Air laut tidak
membelah saat mereka tiba di sana. Mereka menunggu beberapa hari,
kehausan dan kelaparan, serta air laut tetap tidak membelah. Sejumlah
anak menangis dan merasa dibohongi, yang lainnya memilih pulang serta
menjadi kelaparan dan compang-camping di jalan. Namun, sebagian
besar bertahan di tepi laut dan kemudian datang dua saudagar,
menawarkan kapal-kapal untuk mengangkut mereka.

Begitulah mereka berlayar sebagai Tentara Salib anak-anak, membawa


niat luhur untuk membebaskan Jerusalem dan mengajak orang-orang
Islam masuk Kristen dengan cara damai. Dan mereka tidak pernah
sampai ke kota suci yang mereka tuju. Sebagian mati karena kapal
mereka karam, sebagian menenggelamkan diri di laut, dan sisanya dijual
di Tunisia sebagai budak oleh dua saudagar yang memberi mereka kapal
tumpangan.

Cerita itu adalah versi Childrens Crusade yang ada di dalam buku A
History of the Childrens Crusade (1951) yang disusun Steven Runciman.
Kebenarannya masih terus diteliti. Para ilmuwan saat ini beranggapan
bahwa pasukan kanak-kanak itu bukanlah bagian dari Perang Salib,
meskipun mereka juga mengucapkan sumpah sebagaimana yang
diucapkan tentara-tentara salib. Tetapi, mereka tidak bergerak atas
perintah Paus.

Di luar urusan itu, saya ingin menyampaikan bahwa orang-orang dewasa


memang sering kali tidak tahu diri. Mereka membuat masalah dan
nantinya akan melibatkan anak-anak untuk menyelesaikan masalah yang
mereka buat. Sampai sekarang masih saja begitu. Orang-orang dewasa
tetap suka membuat masalah dan akan seenaknya sendiri melibat-
libatkan anak-anak.

Kita mendapati hal serupa beberapa hari lalu. Anak-anak digerakkan


untuk berpawai menyambut Ramadan, dengan pakaian putih, dengan
obor di tangan, dan dengan nyanyian riang diiringi tetabuhan. Mereka
menyanyi bersama, Bunuh, bunuh, bunuh si Ahok! Bunuh si Ahok
sekarang juga.

Mereka menyanyikan seruan bengis itu dalam irama lagu, Cangkul,


cangkul, cangkul yang dalam. Menanam jagung di kebun kita. Saya
merasa otak saya buntu seketika. Mereka selalu seperti itu, menghalalkan
cara apa saja, termasuk meminjam mulut innocent anak-anak untuk
meneriakkan kekejian.

Saya pikir, negara harus menanggapi serius masalah itu. Anak-anak


tersebut sudah memerintahkan pembunuhan. Entah kepada siapa
perintah itu mereka tujukan, tetapi faktanya mereka sudah memberi
perintah, Bunuh sekarang juga. Itu perintah terburuk yang dikeluarkan
mulut bocah-bocah.

Apakah para orang tua mereka menginginkan anak-anak itu


mengembangkan perangai keji dan menjadi mesin pembunuh nantinya?

Anda boleh beranggapan bahwa itu hanya seruan kanak-kanak yang


belum cukup umur dan belum memahami apa-apa yang mereka
teriakkan. Saya juga ingin berpikir seperti itu dan meyakini bahwa teriakan
tersebut hanya gertak sambal orang-orang frustrasi yang disalurkan
melalui mulut anak-anak. Saya ingin percaya bahwa Ahok akan baik-baik
saja; anak-anak itu sekadar berteriak asal-asalan, sekadar mencontoh
perangai orang-orang yang lebih tua beberapa waktu lalu menjelang
pilkada DKI.

Sekarang pilkada DKI sudah rampung, Ahok sudah kalah, dan kegilaan
terus berlanjut. Mereka terus berteriak dan saya merasa ngeri terhadap
pesan tersembunyi di balik seruan itu, pesan yang tak muncul di dalam
teriakan tetapi terasa menggiriskan.

Pesan tak terucapkan itu adalah bahwa mereka sudah menyiapkan kader
sejak dini, bahwa mereka sanggup membuat anak-anak menjadi monster,
bahwa mereka sanggup melakukan apa yang tidak terpikirkan oleh orang-
orang dewasa yang waras.

Jika Anda dewasa dan Anda waras, Anda tidak akan memiliki cita-cita
untuk membuat anak-anak Anda menjadi pembunuh. Jika Anda dewasa
dan Anda waras, tidak mungkin Anda akan mengizinkan anak-anak Anda
ikut berpawai dan menyanyikan lagu seperti itu. Jika Anda dewasa dan
pikiran Anda sehat, Anda akan lebih suka anak-anak Anda pergi ke
museum, membaca buku di perpustakaan, menyirami tanaman bunga di
pekarangan, atau bermain sundah mandah dengan teman-teman sebaya.

http://budisansblog.blogspot.co.id/2017/05/kanak-kanak-yang-bengis.html

3152017 818

Вам также может понравиться