Вы находитесь на странице: 1из 4

BAB IV

RINGKASAN

Telah dilaporkan dilaporkan seorang anak laki-laki usia 2 tahun dengan


kejang demam kompleks, diare akut tanpa tanda dehidrasi, anemia mikrositik
hipokromik, dan tumor colli.
Dari anamnesis didapatkan 5 hari sebelum anak masuk rumah sakit, anak
mengeluh demam tinggi, suhu tubuh tidak diukur. Demam dirasakan sepanjang hari
dan tidak turun dengan obat penurun panas. Batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah (-),
BAK tidak ada keluhan. BAB cair (+), ampas (+), menyemprot, 5 kali sehari, tiap
kali diare sebanyak 1/4 gelas belimbing, berbau asam, warna kuning, darah (-),
lendir (+), mata cowong (-). Oleh ibu, anak tersebut dibawa ke klinik dan diberi obat
penurun panas, oralit dan antibiotik yang diyakini sebagai obat demam tipes.
Sebelumnya jika anak demam diberi obat penurun panas. Keesokan harinya atau 4
hari sebelum masuk rumah sakit, kulit anak tersebut melepuh di tangan dan kakinya.
Ibu mencoba memberi salep namun tidak ada perbaikan. Kemudian anak kontrol
kembali dan obat dihentikan. Setelah obat dihentikan, timbul bintik-bintik merah di
sekujur tubuh. Saat itu, anak masih demam.
Kemudian 3 hari sebelum masuk rumah sakit, saat malam hari anak tiba-tiba
kejang. Kejang diawali dengan demam tinggi yang tidak diukur. Saat kejang anak
tidak sadar. Sebelum dan setelah kejang anak sadar. Kejang berdurasi sekitar 3 menit.
Sesaat sebelum kejang mata anak mendelik keatas dan kedua tangan menekuk
dengan jari tangan seperti mau menggenggam, kemudian kejang seluruh tubuh.
Kejang berhenti sendiri tanpa diberi pemutus kejang. Sekitar 7 jam berikutnya,
keesokan paginya, atau 2 hari SMRS anak kembali kejang. Karakteristik kejang sama
seperti sebelumnya. Menggigil (+), batuk (-), pilek (-), BAB cair (+) dengan
karakteristik sama seperti sebelumnya. Lalu, anak langsung dibawa ke RS Qim
Batang, di RS tersebut, anak diberi suntikan yang diyakini sebagai suntikan penurun
panas. Diare juga belum memunculkan tanda-tanda perbaikan. Lalu, anak langsung

77
dirujuk ke RSDK. Di IGD RSDK, anak sudah tidak kejang. Anak diberi infus, injeksi
Cefriaxon, obat minum berupa zinc, oralit, dan diazepam. Kemudian anak dirawat di
C1L1.
Saat ini anak sudah pulang setelah dirawat selama 20 hari di bangsal. Saat di
rawat anak demam (+) naik turun, BAB cair namun sudah perbaikan, batuk (+),
makroglosi, teraba benjolan difusa batas tidak tegas pada pipi, submandibula oedem
teraba massa difusa, pembesaran kelenjar limfe tidak dapat diraba, serta terdapat
stridor inspirasi. Pemberian cairan dengan infus D5 NS 480/20/5 tetes per menit.
Pada kasus ini, hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik mengarah pada kejang
demam kompleks. Hal yang mendukung adalah kejang berlangsung lebih dari satu
kali dalam 24 jam. Kejang demam dapat didahului demam yang disebabkan oleh
diare maupun hemangioma yang dialami anak. Terapi diberikan sesuai konsensus
kejang demam tahun 2016 yang disusun oleh UKK Neurologi IDAI yaitu, pada saat
anak mengalami fase akut, diberikan diazepam rektal 5 mg untuk menghentikan
kejang. Namun karena anak datang ke IGD RSDK sudah tidak dalam keadaan kejang,
maka diberikan obat anti konvulsan intermiten yaitu diazepam per oral 1,5 mg tiap 8
jam.
Diagnosis diare akut tanpa tanda dehidrasi didasarkan pada ditemukannya
BAB sebanyak 5x dalam sehari, menyemprot dengan perubahan konsistensi BAB
menjadi cair, dan berlendir. Onset terjadinya diare sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit. Dapat disimpulkan bahwa pasien menderita diare akut. Tidak terdapat mata
cowong, turgor kembali cepat, anak juga tidak tampak kehausan dan gelisah.
Sehingga dapat disimpulkan tidak ada tanda tanda dehidrasi pada anak. Faktor
risiko terjadinya diare pada pasien ini adalah karena botol susu yang jumlahnya
sedikit, cara mencuci botol susu tanpa air yang sudah direbus, dan higienitas yang
kurang. Pasien diterapi dengan rencana terapi A. Pasien diberi cairan maintanace D5
1
/2 NS 480 cc/ 20/ 5 tpm ,diberi oralit 50 100 ml tiap kali diare, zinc 20 mg/24 jam

78
dan paracetamol 1 cth tiap 4-6 jam jika suhu tubuh 38oC. Anak tetap diberi susu 8
kali sehari dan makanan lunak lauk saring 3 kali sehari.
Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan konjunctiva anemis dan dari
pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 2 Maret 2017 didapatkan Hb: 8,8 g/dl,
Ht: 27%, MCV: 64,6 Fl, dan MCH: 21,1 Pg. Maka dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami anemia mikrositik hipokromik. Pemeriksaan dilakukan lagi pada tanggal
8 Maret 2017 didapatkan Hb: 7,2 g/dl, Ht: 21,9%, MCV: 64,4 Fl, dan MCH: 21,2 Pg.
Pada tanggal 11 Maret 2017 didapatkan Hb: 6,5 g/dl, Ht: 20,5%, MCV: 65,9 Fl, dan
MCH: 20,9 Pg. Pada tanggal 12 Maret 2017 dilakukan usaha transfusi PRC 150 ml.
Untuk mengetahui penyebab anemia tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut yaitu gambaran darah tepi, retikulosit, Fe serum, TIBC,
Feritin, EPO. Dari gambaran darah tepi didapatkan anisositosis ringan (normositik,
mikrositik). Maka diagnosis banding yang paling memungkinkan untuk pasien ini
adalah anemia akibat penyakit kronis dan defisiensi besi. Penyakit kronis dari
hemangioma dapat menjadi faktor resiko terjadinya anemia penyakit kronis. Anemia
defisiensi besi dapat terjadi karena pasien diberikan susu formula (tidak diberi ASI).
Dari anamnesa didapatkan anak memiliki benjolan di leher dan pipi sejak usia
anak 5 bulan. Benjolan tersebut awalnya hanya sebesar biji kelengkeng di pipi kiri
hingga kemudian semakin membesar dan meluas hingga pipi kanan dan bawah dagu.
Dari pemeriksaan fisik status lokalis juga didapatkan lidah makroglosi sebesar bola
pingpong, merah, dan lidah kotor. Pipi juga tampak membesar dan teraba benjolan
difusa dengan batas tidak tegas. Pada bagian submandibular juga tampak edem dan
teraba massa difusa.
Benjolan anak awalnya sudah didiagnosis sebagai hemangioma dan telah
mendapat suntikan 3x di RSDK serta telah dilakukan operasi tumor pada Maret 2016
di RSDK. Namun benjolan hingga kini masih besar. Dari pemeriksaan penunjang
berupa MSCT didapatkan kesan curiga limfangiosarkoma. Terapi yang tepat serta
penentuan prognosis ditentukan oleh diagnosis pasti benjolan pada leher tersebut.

79
Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan biopsi jaringan tumor leher untuk
mengetahui sifat benjolan secara histopatologis.
Pasien dirawat di bangsal C1L1 selama 20 hari perawatan. Dalam
perkembangannya anak mengalami perbaikan, baik secara klinis maupun laboratoris.
Hal ini dapat dilihat dengan berkurangnya keluhan dari hari ke hari, baik demam,
kejang, dan diare. Namun masih perlu follow up lebih lanjut terkait benjolan di
lehernya.
Prognosis pada pasien ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah dubia ad
bonam, untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah dubia ad malam, dan untuk
fisiologi tubuh (quo ad fungsionam) adalah dubia ad bonam.

80

Вам также может понравиться