Вы находитесь на странице: 1из 25

CLINICAL SCIENCE SESSION

DRUG ERUPTION

Disusun Oleh:

Cheryl Shaine Jenn L 1301-1214-0581


Danil Oktaria Mufti 1301-1215-0631
Dini Diwayani N 1301-1214-0655

Preseptor:

Inne Arline Diana, dr., SpKK(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT


HASAN SADIKIN

BANDUNG

2016

PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah
memperlihatkan manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada organ tubuh.
Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu
obat.
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption adalah reaksi alergi pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi akibat pemberian obat secara sistemik,
yaitu melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan intravena. Sedangkan
reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu
obat yang digunakan pada permukaan tubuh, mempunyai istilah sendiri yang
disebut dermatitis kontak alergi.
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi. Hanya beberapa
golongan obat yang dapat menyebabkan 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya
mengalami erupsi obat alergi atau erupsi obat. Contoh obat-obatan tersebut yaitu
obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin dan
derivatnya, sulfonamid, serta obat-obatan antikonvulsan.
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul
tergolong serius karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan
perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-
Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk
reaksi serius tersebut. Identifikasi dan anamnesis yang tepat dari penyebab
timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana
yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan
prognosis serta menurunkan angka morbiditas.

EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji
klinis terapeutik obat serta laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan
efek samping pemakaian obat-obatan.
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis kelamin
Wanita lebih berisiko mengalami erupsi obat dibandingkan dengan pria.
Walaupun demikian, belum ada satu pun ahli yang mampu menjelaskan
mekanisme ini.

2
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Contohnya pada penderita AIDS, penggunaan obat
sulfametoksazol meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10
sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-
anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena
perkembangan sistem imunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada
orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa mengalami
kontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat
munculnya awitan erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi
bila terkena reaksi yang berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermiten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat
kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat
digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada
penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat
yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan
human herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada mereka yang
mengalami sindrom hipersensitivitas obat.
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.
Walaupun demikian, studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di
rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak
menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit
penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan
perawatannya.

3
PATOGENESIS
Terdapat dua patogenesis dalam erupsi alergi antaranya adalah
immunologis dan non immunologis. Umumnya mekanisme imunologis erupsi
melibatkan reaksi hipersensitivitas. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui
mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis,
interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.

Tabel 1. Reaksi imunologis dan non imunologis

Patogenesis non immunologis dapat dikatakan sebagai patogenesis yang


melibatkan agen-agen seperti agen kimia pelepasan histamin (opiate), agen fisik
(panas, dingin, cahaya matahari), serta kolinergik (vasodilator).

1. Mekanisme Imunologis
Tipe I (IgE-dependent)

4
Gambar 1. Hipersensitivitas Tipe I

Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Dalam mekanisme ini


yang berperan ialah IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi.
Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat
tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan
bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin,
heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan
bermacam-macam efek, misalnya gejala primer seperti pruritus, mual,
muntah, utikaria, bronkospasme dan edema. Reaksi anafilaksis yang
paling ditakutkan adalah timbulnya syok.
Target organ pada mekanisme ini adalah kulit, sistem respirasi,
kardiovaskular dan sistem pencernaan. Reaksi alergi tipe intermediat dan
reaksi lanjut timbul beberapa jam atau hari setelah pemberian obat.

Tipe II (Reaksi Sitotoksis)

5
Gambar 2. Hipersensitivitas Tipe II

Reaksi Tipe II timbul akibat adanya ikatan antara IgG dan IgM
dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen akan
memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis. Manifestasi klinis
berupa hemolisis dan purpura, dapat muncul gejala sistemik.

Tipe III (Reaksi Kompleks Immune-dependent)


Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk
kompleks antigen-antibodi. Kompleks antigen-antibodi akan mengendap
pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi
radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai
mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan
jaringan. Gejala klinis dari tipe ini adalah deman, vaskulitis, popular,
pururic rash, neuritis, nefritis, arthritis, edema, utikaria. Obat- obat yang
menyebabkan tipe ini adalah seperti peninsilin, sulfonamide, thiourasil,
phenytoin, asam amino salisiat, heparin dan globulin antilimfosit.

6
Gambar 3. Hipersensitivitas Tipe III

Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Gambar 4. Hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi


mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat

7
karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen. Contoh
tipe ini adalah reaksi eksantema, dermatitis kontak, reaksi fotoalergi.

2. Mekanisme Non Imunologis


Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat
antibody-dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkan reaksi ini adalah
aspirin dan media kontras. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih
mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung,
aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada
metabolisme enzim asam arachidonat sel.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang
dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan
kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif
ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan
gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difusa.

MANIFESTASI KLINIS
Yang perlu diperhatikan untuk penilaian terhadap kemungkinan terjadinya erupsi
obat:
Hilangkan kemungkinan penyebab lain seperti infeksi viral
Periksa interval waktu antara paparan terhadap obat sampai onset reaksi
Perhatikan apakah ada perbaikan saat penggunaan obat dihentikan
Tanyakan riwayat reaksi serupa ketika mengonsumsi obat yang sama
sebelumnya

1. Morfologi dan Distribusi


Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai
kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;
a. Erupsi eksantematosa
Erupsi eksantematosa disebut juga morbiliform atau makulopapular.
Sekitar 95% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa. Pada

8
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi.
Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh
secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu
minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7
sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan warna kulit dari merah
terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi kulit.
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk
penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium
diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat
menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan
ini timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum.
Tempat predileksi di sekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah
penis pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin.

Tabel 2. Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa

9
Erupsi obat eksantematosa akibat ampisilin

b. Urtikaria
Kelainan kulit yang tampak eritema disertai edema akibat tertimbunnya
serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan subkutan
mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema. Angioedema
biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam.
Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan mediator
inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat
menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan
dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik
lainnya.

10
Sumber: Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology

c. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah dan menghilang
dengan penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam, jika besarnya
lentikuler maka disebut eritema morbiliformis; apabila besarnya numular disebut
eritema skarlatiniformis.

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine


d. Dermatitis Medikamentosa
Gambaran klinisnya mirip dermatitis akut yaitu efloresensi yang polimorf,
membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit sifatnya menyeluruh dan simetris.

11
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan
biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat.

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine

f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam dan malaise. Area predileksi di regio ekstensor tungkai
bawah.

g. Eritroderma
Terlihat adanya eritema tanpa skuama. Skuama dapat timbul pada stadium
penyembuhan.

12
h. Erupsi pustular
Terdapat 2 jenis erupsi pustular:
a. Erupsi Akneiformis
Erupsi berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo
timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki.
b. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)
Gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai
purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit ini timbul
apabila pasien mengalami demam tinggi (>380C). Pustul tersebut
cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian
diikuti oleh deskuamasi kulit. Penyakit ini sangat jarang terjadi.

13
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini dapat ditemukan pada:
a. Pemphigus
Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa
bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan
melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla
dalam ukuran sedang atau berupa plak dan nodul yang disertai skar dan
bulla.
Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50 persen kasus
sebagai pemphigus foliaceus.
b. Fixed Drug Eruption (FDE)
FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan
berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa.
Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan

14
genitalia. Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua minggu setelah
paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam
jangka waktu 24 jam.Apabila penderita memakan obat yang sama, maka
FDE akan muncul kembali ditempat yang sama.
FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan
hipergranulosis.

.
c. Eritema multiformis
Merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan/atau selaput
lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).

15
d. Sindrom Stevens-Johnson
Suatu sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.

e. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)


Penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa
epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di
orifisium genitalia eksterna dan mata. Adanya epidermolisis
menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu
jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.

2. Perjalanan Penyakit
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya
gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat.
Tabel 3. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu

16
Sumber: Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6.
1976.

Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1
sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai
urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi
yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan
lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan
exanthem dihubungkan dengan antibodi IgM.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah:
1. Pemeriksaan in vivo
Uji tempel (patch test)
Uji tusuk (prick/scratch test)
Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro
a. Yang diperantarai antibodi:
Hemaglutinasi pasif
Radio immunoassay
Degranulasi basofil
Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
Tes transformasi limfosit

17
Leucocyte migration inhibition test

Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis


yang mendasari erupsi obat.
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat
dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali
obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, risiko
dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan
cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.
Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk
membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut
disebabkan karena obat atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun
laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Derajat
sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam tahap penelitian. Oleh
sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan
diagnosis klinis.
Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat
mengalami reaksi obat yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala
awal seperti eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru
akan timbul beberapa setelah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih
dari 50% kasus SSJ dan hampir 90% penderita TEN terkait dengan penggunaan
obat.

DIAGNOSIS
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah:
1. Anamnesis yang teliti mengenai:
a. Obat-obatan yang dipakai
b. Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari
sesudah masuknya obat
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya
subfebris.

18
2. Kelainan kulit yang ditemukan:
a. Distribusi : menyeluruh dan simetris
b. Bentuk kelainan yang timbul

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari


jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.
Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data
kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian
obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya
hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat
yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang
bersifat persisten.

Tabel 4. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan

Karakteristik klinis Tipe lesi primer


Distribusi dan jumlah lesi
Keterlibatan membran mukosa
Tanda dan gejala yang timbul: demam, pruritus,
perbesaran limfonodus
Faktor kronologis Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu
pertama pemakaiannya
Waktu ketika timbulnya erupsi
Interval waktu saat pemberian obat dengan
munculnya erupsi kulit
Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai
menjadi penyebab
Respon saat dilakukan pemaparan kembali
Literatur Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat
Daftar pemakaian obat dengan peringatan
Bibliografi obat

19
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003. p: 333-352

PENATALAKSANAAN
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah
dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.,
epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis
lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan
kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus
dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa
dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat
tersebut.

1. Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi
kulit harus dihentikan segera.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps
setelah berada pada fase pemulihan.
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun.
Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan
Darrow.

2. Penatalaksanaan Khusus
1. Sistemik
a. Kortikosteroid.

20
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada
kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema
nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena erupsi obat alergi.
Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10
mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN pertama
kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian
terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi
penderita.
Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih
kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous
immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit
ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan
sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
b. Antihistamin.
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika
dibandingkan dengan kortikosteroid.

2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak
salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1%
untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu
digunakan kompres, misalnya larutan NaCl 0,9% atau larutan asam
salisilat 1% bila gatal.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan
membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 1% sampai 2 %.

21
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh
dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang
dioleskan sebagian-sebagian.
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim
sulfadiazin perak

PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom
Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit.

KESIMPULAN
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan
cara sistemik.
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat.
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis
kelamin, orang dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan
keganasan.
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis.
Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang
dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe
II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi
Alergi Seluler Tipe Lambat).
Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast
secara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh
langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-
obatan tertentu yang secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka
waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata diffuse.

22
Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain
pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, erupsi eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler,
dan erupsi bulosa. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan
dengan teknik in vivo. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium
maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin.
Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan
penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi
yang bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi
sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid
dan antihistamin.
Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

Tabel 5. Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.

23
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003

24
REFERENSI

1. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options.
In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Available at:
www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html

2. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs.
In: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. USA: The Mc Graw
Hill Companies, Inc. 2012. p: 449-457

3. Kumar, V.K., Abbas, A., & Aster, J. C.. Robbins Basic Pathology. 9 th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2013.

4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf

5. Johnson RA, Wolff K. Adverse Cutaneous Drug Reactions. In: Fitzpatricks Color
Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. USA: The Mc Graw Hill
Companies, Inc. 2009. p: 552-581

25

Вам также может понравиться