Вы находитесь на странице: 1из 9

ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI DAN HISTOPATOLOGI

Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa: Kesehatan sinus setiap


orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume
dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan
kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan
drainase dan aerasi. 13,14
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi
transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk
mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor
predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik.14 Namun
demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya
dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis
kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti
yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.14

Gambar 2. Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu


faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada
rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab
utama.2,14 Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat
multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan
sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat
dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007,
faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu
ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik,
kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor
lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal.1
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu
faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan. 2,14 Berdasarkan ketiga
kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi
berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.2,14 James
Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab
rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular
yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan
penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian
dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan
kelompok lain.15
Tabel 2. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing
berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.2
Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors
Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation
Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
Faktor Genetik / Fisiologik
Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang berperan bagi
rinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara asma
dengan rinosinusitis kronik.1,2 Identifikasi gen ADAM-33 (disintegrin dan
metaloprotease 33) pada pasien asma semakin memperkuat kemungkinan adanya
hubungan tersebut.2
Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap rinosinusitis
kronik. Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa pada keadaan level
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit T,
maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung meningkat. 1,2 Defisiensi IgG adalah
yang paling sering menjadi penyebab bagi rinosinusitis kronik. 2,14 Pada individu
dengan HIV, rinosinusitis sering terjadi (38-68 %) dengan klinis yang lebih berat
namun resisten terhadap terapi.1,2,16 Garcia-Rodriques dkk (1999) melaporkan adanya
korelasi kuat antara jumlah sel CD4+ dengan probabilitas rinosinusitis.1 Juga
disebutkan bahwa organisme atipikal seperti Aspergilus spp, Pseudomonas
aeruginosa dan mikrosporidia sering diisolasi dari sinus penderita dan neoplasma
seperti Limfoma Non Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat menjadi faktor penyebab
gangguan sinonasal pasien HIV-AIDS.1,16 Keadaan hiperimun seperti pada sindroma
vaskulitis Churg-Strauss dan sindroma Job dapat juga menjadi predisposisi bagi
rinosinusitis kronik.2,14
Keadaan autoimun lain yang juga berhubungan dengan rinosinusitis kronik
adalah sistemik lupus eritematosus, polikondritis relaps dan sindroma Sjogren.
Sindroma Samter dimana terdapat polip nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin
merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang tidak jelas namun mempunyai
hubungan dengan rinosinusitis onset dini.1,2,14 Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis,
sindroma Young, sindroma Kartagener atau diskinesia siliar primer, berkaitan dengan
klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga menyebabkan timbulnya
rinosinusitis kronik. Wang dkk (2000) menemukan adanya mutasi gen pada pasien
kistik fibrosis yang mengarah pada terjadinya rinosinusitis kronik. 2 Pada diskinesia
siliar primer dan sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang menjadi faktor
penyebab rinosinusitis. 1,2,14,16
Rinosinusitis juga sering ditemukan pada kelainan granulomatosis seperti
sarkoidosis dan granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini, terjadi respon inflamasi
kronik diikuti dengan perubahan jaringan lokal yang bervariasi tingkat berat
ringannya dari destruksi silia dan kelenjar mukus sampai destruksi jaringan lokal.1,2,14

Faktor Lingkungan
Hubungan antara rinitis alergi dengan rinosinusitis telah banyak dipelajari dan
tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara pasti.2 Pada pasien
dengan rinosinusitis kronik, prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50 %. 2 Pada
pasien yang menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif berkisar antara
50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel. 1,2,14 Namun bagaimana alergi
bisa mengakibatkan rinosinusitis kronik, hingga hari ini belum diketahui secara jelas.
Stammberger 1991 menyatakan bahwa: udem mukosa nasal pada pasien rinitis alergi
yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi bahkan mengakibatkan
obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi mukus dan infeksi. 1 Namun
hal ini lebih mengarah kepada rinosinusitis akut sedangkan sejauh mana
perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan pengaruh bagi rinosinusitis
kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.1,16
Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi perkembangan
rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, komponen
volatil organik, dll.1,2,14 Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan nasal
mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai
tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek
mikrotubular primer.14
Peranan virus dalam menyebabkan rinosinusitis kronik belum sepenuhnya jelas.
Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994) menemukan peningkatan
insiden rinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan
studi yang melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa virus menyebabkan
perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel epitel nasal, termasuk
peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan silia, berkurangnya frekuensi gerakan
silia serta penurunan klirens mukosiliar.2 Adenovirus dan RSV (respiratory syncytial
virus) didapatkan pada pasien rinosinusitis kronik yang menjalani operasi sinus
endoskopik.16,17
Walau ada hipotesis bahwa rinosinusitis kronik berkembang dari rinosinusitis
akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat dibuktikan.1 Gambaran bakteriologi
rinosinusitis kronik pada kenyataannya berbeda dengan rinosinusitis akut. 2,13 Pada
rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah S.aureus, Stafilokakus koagulase
negatif, bakteri anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada rinosinusitis akut, kuman
predominan antara lain S.pneumoniae, H.influenzae dan M.catarrhalis.1,13,15 Beberapa
penelitian retrospektif dan prospektif telah dilakukan untuk menilai bakteri penyebab
rinosinusitis kronik baik pada orang dewasa maupun anak.14 Pada orang dewasa,
gambaran kuman umumnya polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif,
aerob dan anaerob.1,14,17 Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 %
sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %.1,17 Kuman anaerob banyak
terdapat pada infeksi sekunder akibat masalah gigi.1
Bakteri biofilm diperkirakan juga menjadi salah satu penyebab persistensi
rinosinusitis kronik.2,14 Biofilm merupakan suatu matriks kompleks polisakarida yang
disintesis oleh bakteri dan bertindak sebagai protektor lingkungan mikro bagi koloni
bakteri. Keberadaan biofilm membantu menjelaskan adanya bentuk rinosinusitis
kronik yang refrakter walaupun telah diberi terapi antimikroba poten. 2,14 Cryer dkk
(2004) berhasil mengidentifikasi bakteri biofilm dari mukosa sinus yang terinfeksi
Pseudomonas aeruginosa, dengan mikroskop elektron.2,14 Biofilm juga ditemukan
pada otitis media, kolesteatoma dan tonsilitis.1
Peranan bakteri anaerob pada rinosinusitis kronik telah ditunjukkan pada
berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995).17 Kemampuan potensial bakteri
aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase untuk melindungi organisme yang
suseptibel terhadap penisilin ditunjukkan oleh Brook dkk (1996).13,17 Resistensi kuman
Streptocossus pneumoniae penghasil protein pengikat penisilin berkisar antara 28
hingga 44 %.9,13
Para peneliti berpendapat bahwa bakteri dapat secara langsung bertindak
mengaktifkan kaskade inflamatori, disamping fungsi tradisional mereka yang berlaku
sebagai agen infeksius.2,8,14 Pada individu yang suseptibel, bakteri superantigen seperti
staphylococcal enterotoxin dapat langsung mengaktifkan sel limfosit T melalui jalur
aktivasi sel T dengan mekanisme antigen presenting cell.2,8,14 Istilah superantigen
digunakan untuk menjelaskan kemampuan bakteri (S.aureus dan S.pyogenes)
memproduksi partikel yang dapat mengaktifkan sejumlah besar suppopulasi sel T
(berkisar antara 530 %) yang kontras dengan antigen topikal konvensional (kurang
dari 0,01 %).8,14 Pada jalur tradisional, antigen difagosit oleh APC (antigen presenting
cell), terdegradasi menjadi sejumlah fragmen peptida yang kemudian diproses pada
permukaan sel setelah berikatan dengan reseptor MHC (major histocompatibility
complex) kelas II, selanjutnya akan dikenal oleh sel limfosit T yang kompatibel dan
dimulailah respon inflamasi.8,14 Superantigen mempunyai kemampuan memintas
proses diatas, langsung berikatan dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada
MHC kelas II dan domain V beta pada reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi
ekspresi masif IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti
TNF-, IL-1, IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang memicu terjadinya respon
inflamasi.14 Selain itu, superantigen juga bertindak sebagai antigen tradisional yang
menstimulasi produksi antibodi superantigen.8,14 Hipotesis Schubert (2001)
menyatakan bahwa potensi bakteri superantigen disertai persistensi mikroba, produksi
superantigen dan respon sel limfosit T merupakan komponen fundamental yang
menyatukan berbagai kelainan kronik mukosa respiratorik tipe eosinofilik-limfositik
pada patogenesis rinosinusitis kronik.8

Ponikau dkk (1999) mendapatkan 96 % kultur jamur positif pada 210 pasien
rinosinusitis kronik.1,2 Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa
spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rinosinusitis kronik, dari yang
non invasif sampai yang invasif.1,12,14,16 Bentuk rinosinusitis karena jamur antara lain:
sinusitis fungal invasif baik dalam bentuk acute-fulminant maupun chronic-indolent
(biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan
massa berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi fungal / AFS (allergic fungal
rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi hipersensitivitas terhadap antigen fungal.1,12,14,16,17
AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi tanpa diperantarai IgE,
eosinofilia disertai peningkatan IL-5 dan IL-13.1,2,12,14,16,17
Faktor Struktural
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus
per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM
akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang
lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen. 1,2
Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi
septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus
horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.1,2,9,13,14,16
Perubahan tulang (ethmoid dan maksila) yang terjadi pada rinosinusitis kronik
telah lama diamati secara klinis, radiografik dan histologik. 8 Beberapa studi
menunjukkan bahwa perubahan osteitis dimulai dari meningkatnya vaskularisasi,
infiltrasi proses inflamasi dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal
Haversian.1,2,8,13,14 Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel inflamatori
dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-scan terlihat
adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang iregular. Penebalan tulang
iregular yang terjadi merupakan tanda adanya proses inflamasi pada tulang yang
berpengaruh pada inflamasi mukosa.1,2,8,13,14
Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik.13
Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rinosinusitis kronik adalah iritasi
mukosa.17 Gambaran skematik dibawah (gambar 3) menunjukkan alterasi potensial
pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus, alergen, polusi
udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan peningkatan ICAM-1
(intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR (human
leukocyte antigen DR) pada permukaan epitelial ikut meningkat, selanjutnya
memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel TH1 dan TH2 untuk
kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF (granulocyte-macrophage-
colony stimulating factor), IL-8 dan TNF- (tumor necrosing factor alpha) ikut
dilepaskan yang kemudian memberikan efek kepada sel makrofag, mastosit, eosinofil
dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan sel TH1 juga ikut meningkatkan
produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel respiratorik.17
Gambaran histopatologi mukosa rinosinusitis kronik menunjukkan adanya
penebalan dasar membran sel, hiperplasia sel goblet, udem subepitelial dan infiltrasi
sel mononuklear.1,13 Proses inflamasi pada rinosinusitis dibagi menjadi golongan
inflamasi infeksius dan golongan
inflamasi noninfeksius.13
Inflamasi infeksius umumnya
terjadi pada rinosinusitis akut
sedangkan pada rinosinusitis
kronik terjadi inflamasi
noninfeksius.13
Pada berbagai penelitian
yang dilakukan ditemukan sel-sel
inflamatori dan mediator
rinosinusitis kronik.1,9,13 Dibawah
ini akan dijabarkan berbagai sel
inflamasi dan mediator yang
ditemukan pada rinosinusitis kronik.

Gambar 3. Skema perubahan sel epitel respiratorik yang terjadi setelah terpapar
benda asing, diikuti berbagai proses yang melibatkan sel limfosit
TH1 dan TH2, menghasilkan pelepasan sitokin dan mempengaruhi
sel-sel fagosit.17

Sel inflamasi rinosinusitis kronik :1,13,17


1. Limfosit
Sel T terutama CD4+ sel T helper, berperan pada proses inisiasi dan regulasi
inflamasi
2. Eosinofil
Level eosinofil marker (eosinofil, eotaksin, eosinofil kationik protein / ECP)
pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi lebih rendah bila dibandingkan
dengan pada polip nasi, juga infiltrasi sel eosinofil dan sel plasma pada
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi berbeda dengan pada polip nasi.
3. Makrofag (sel CD68+)
Peningkatan makrofag pada rinosinusitis dengan polip nasi dan tanpa polip
nasi menunjukkan perbedaan dalam bentuk fenotip yang ada.
4. Mastosit
Peningkatan mastosit berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi pada
rinosinusitis kronik.
5. Neutrofil
Peningkatan neutrofil terjadi melalui pengaktifan IL-8 pada proses inflamasi
rinosinusitis kronik.

Dapus
1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
2. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-
416.
3. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to
management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.
4. Lund VJ. Impact of chronic rhinosinusitis on quality of life and health care expenditure.
In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical
management. New York: Informa,2007; 15-21.
5. Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis and nasal
polyposis. ORL,2005; 67: 125-136.
6. NN. Sinusitis termasuk penyakit mahal. Waspada Online.2007 Agustus 9.
http://www.waspada.co.id. Accessed at 20th September 2008.
7. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.
8. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of chronic
rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.
9. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 1-16.
10. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American Family
Physician, 2001; 63:69-74.
11. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody FM, eds.
Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa,
2007;1-12.
12. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani AK, eds.
Current diagnosis and treatment in otolaryngology head and neck surgery. New York:
Mc Graw Hill, 2008; 273-281.
13. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical immunology,
2000; 106: 213-226.
14. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;109-129.
15. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al eds.
Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby,
2005; 1-4.
16. Naclerio RM, Gungor A. Etiologic factors in inflammatory sinus disease. In Kennedy
DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management.
Hamilton: BC Decker Inc, 2001;47-53.
17. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;371-
398.
18. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 17-
23.
19. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB, Heidelberg KS,
eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New York : Springer, 2005;
68.
20. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis
dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004;
59-65.
21. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW, Bolger WE,
Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton: BC
Decker Inc,2001;155-165.
22. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 219-
229.
23. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-
74.

Вам также может понравиться