Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak dikonsumsi
oleh masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi standar
mutu yang telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Di Indonesia ada
tiga jenis gula yang beredar di pasaran, yaitu gula kristal mentah (GKM) atau raw
sugar yang digunakan sebagai bahan baku industri gula rafinasi, gula kristal putih
(GKP) yang dikonsumsi ecara langsung dan gula rafinasi sebagai bahan baku
industri makanan dan minuman.

Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula
sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, atau aren. Meskipun demikian,
terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa. Proses untuk
menghasilkan gula mencakup tahap ekstrasi (pemerasan) diikuti dengan
pemurnian melalui distilasi (penyulingan). Gula digunakan untuk mengubah rasa
menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Dipasaran gula disebut
dengan gula pasir.

Besarnya peranan gula dalam kehidupan sehari-hari dan bidang industri,


menyebabkan kebutuhan akan gula terus meningkat. Total kebutuhan gula
nasional tahun 2006 mencapai 2,3 juta ton.Permasalahan yang sering terjadi pada
produksi gula adalah masih tingginya keragaman dan tingkat penyimpangan mutu
produk, sehingga produk kurang atau tidak sesuai dengan standar mutu nasional
gula (SNI). Disamping itu, tingkat kemanan pangan, gula seringkali digunakan
sulfit sebagai bahan additive dan adanya cemaran logam yang dapat
membahayakan bagi kesehatan, masih kurang mendapatkan perhatian.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian evaluasi keamanan dan
mutu gula.
1.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini, yaitu:
1. Untuk mangetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat Brix nira
2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat Brix nira
3. Untuk mengamati warna (kecerahan) gula kristal putih
4. Untuk menentukan besar jenis butir gula kristal putih
5. Untuk menentukan residu belerang oksida pada gula kristal putih.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi Batang Tanaman Tebu

Batang tanaman tebu yang masih segar hampir seluruhnya ( 99% )


tersusun atas unsur-unsur karbon ( C ), hydrogen ( H ), dan oksigen ( O ). Dan
kira-kira 75% diantaranya dalam bentuk air ( H2O ), dan 25% sisanya dalam
bentuk bahan kering (Notojoewono, 1970).

Untuk kepentingan pengolahan gula, batang tanaman tebu dianggap


tersusun atas nira tebu dan ampas. Didalam nira tebu terkandung bahan-bahan
organik terlarut atau tak terlarut, terutama gula, dan sejumlah kecil bahan-bahan
anorganik terlarut ataupun tak terlarut. Sedang didalam ampas terkandung bahan-
bahan organik dan anorganik tak terlarut. Tujuan dari pemerahan atau ekstraksi
distasiun penggilingan adalah untuk memisahkan sebanyak mungkin nira yang
terkandung didalam batang tanaman tebu, dengan demikian diharapkan gula yang
dapat diperoleh adalah maksimal (Soerjadi,1983).

Menurut P. Honig dan P. Geerlings dalam Notojoewono (1970), maka


tebu itu mengandung berbagai zat sebagai berikut : Saccharosa (gula tebu),
glukosa, fruktosa, gula Invert ( campuran gula fruktosa dan glukosa ), zat tepung,
bahan serabut, pektin, asam organik, lilin tebu, bahan warna ( klorofil, xantofil,
karoten), bahan mengandung nitrogen, dan susunan abu ( K, Na, Ca, Mg, P, S, Cl,
SiO2 dan N ). Sedangkan menurut Maxwell, tebu memiliki komposisi 71,34% air,
bahan organik kering 27,89% dan bahan organik mineral kering 0,77%.

2.2 Nira Mentah

Nira yang berasal dari stasiun penggilingan disebut nira mentah. Nira
yang keluar dari gilingan belum siap untuk dimasukkan kedalam proses
kristalisasi, karena masih mengandung banyak kotoran-kotoran. Kotoran tersebut
sebelumnya harus dipisahkan terlebih dahulu.Didalam stasiun pemurnian kotoran-
kotoran tersebut akan dihilangkan, meskipun dalam pelaksanaannya penghilangan
kotoran belum dapat sempurna khususnya terhadap kotoran yang terlarut dan
melayang baru dapat dihilangkan sekitar 10-25% dari jumlah kotoran yang
ada.Kualitas gula yang dihasilkan dan sifat intrinsik gula pertama-tama ditentukan
oleh kualitas nira mentah, kualitas gula yang memenuhi spesifikasi diperoleh dari
pemurnian larutan serta susunan bahan bukan gula dalam larutan tersebut
(Moerdokusumo, 1993).

2.3 Pemurnian Nira

Hal yang paling utama didalam pemurnian adalah menjaga agar jangan
sampai gula yang ada hilang atau rusak, sebab gula yang sudah rusak tidak
mungkin lagi dapat diperbaiki, sebab yang membuat gula hanyalah tanaman.
Apabila ada gula yang rusak maka akan diderita dua kerugian yaitu :

1. Rusaknya gula berarti kehilangan langsung dari gula yang seharusnya


dapat dijadikan kristal.
2. Rusaknya gula akan berarti menambah kotoran dalam nira yang akan
menyebabkan bertambahnya kesulitan proses dan jumlah molase
bertambah, selanjutnya juga kehilangan gula akan menjadi semakin besar
(Tjokroadikoesoemo,1984).

Cara pemurnian nira yang banyak dilakukan di Indonesia ada 3 macam,


yaitu :

1. Cara Defekasi ; cara ini adalah yang paling sederhana tetapi hasil pemurniannya
juga belum sempurna, terlihat dari hasil gulanya yang masih berupa kristal
yang berwarna merah atau coklat. Pada pemurnian ini hanya dipakai kapur
sebagai pembantu pemurnian.

2. Cara Sulfitasi ; cara ini adalah lebih baik dari defekasi, karena sudah dapat
dihasilkan gula yang berwarna putih. Pada pemurnian cara ini dipakai kapur
dan gas hasil pembakaran belerang sebagai pembantu pemurnian.

3. Cara Karbonatasi ; cara ini adalah yang terbaik hasilnya dibanding dengan dua
cara diatas. Tetapi biayanya yang paling mahal. Pada pemurnian ini dipakai
sebagai bahan pembantu adalah kapur, gas asam arang ( CO2 ) dan gas hasil
pembakaran belerang (Soemarno,1991).

2.4 Derajat Brix

Brix adalah zat padat kering yang terlarut dalam suatu larutan yang
dihitung sebagai sukrosa. Brix juga dapat didefinisikan sebagai presentase massa
sukrosa yang terkandung di dalam massa larutan sukrosa. Sedangkan massa
larutan sukrosa adalah massa sukrosa yang ditambah dengan massa pelarutnya
(Hidayanto et al, 2010). Untuk mengetahui banyaknya zat padat yang terlarut
dalam larutan (brix) diperlukan suatu alat ukur baik buruknya kualitas nira
tergantung dari banyaknya jumlah gula yang terdapat dalam nira. Untuk
mengetahui banyaknya gula yang terkandung dalam gula lazim dilakukan analisa
brix dan pol. Kadar pol menunjukkan resultante dari gula (sukrosa dan gula
reduksi) yang terdapat dalam nira (Risvank, 2011).
2.5 Gula Kristal Putih
Gula merupakan senyawa yang tersusun atas karbohidrat yang digunakan
sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk
menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu. Fungsi-fungsi gula
dalam produk antara lain: sebagai bahan penambah rasa dan sebagai bahan
perubah warna kulit produk (Risvank, 2011). Karbohidrat penyusun gula
merupakann sukrosa. Sukrosa adalah gula utama yang digunakan dalam industri
pangan dan sebagian besardidapat dari tebu dan di Eropa khususnya bit.
Rumus molekul dari sukrosa adalah C12H22O11 dimana berat molekulnya
sebesar 342, kristal hidratnya berbentuk monoklin , mudah larut dalam air dan
suhu yang semakin tinggi maka kelarutan dari sukrosa akan semakin tinggi. Jika
dalam keadaan kering dipanaskan pada suhu 160OC maka akan lebur tanpa
penguraian, bila basa pada suhu tersebut maka akan terjadi karamelisasi.
Sifat-sifat dari sukrosa yaitu dapat diklasifikasi dari sifat fisika dan dan
kimia.Sifat-sifat Fisika sukrosa berbentuk kristal berwarna putih. Kristal sukrosa
mempunyai sistem monoklin yang terbentuk kristal monoklin hemipormhikdan
bentuknya sangat bervariasi. Berat molekulnya 342 dan berat jenisnya pada 15 0C
adalah 1,5879. namun pada umumnya berat jenisnya antara 1,58-1,61. sedangkan
titik cairnya adalah 185-1860C. Sukrosa juga bersifat mudah larut dalam air dan
tidak larut dalam bensin eter maupun kloroform (Goutara dan Wijadi, 1975).
2.6 SNI Gula Kristal Putih
Standar nasional mutu gula kristal putih ditentukan dalam SNI 3140-3-2010.
Syarat mutu gula kristal putih berdasarkan SNI adalah:

2.7 Gas Sulfur Oksida


Gas sulfur dioksida adalah suatu gas yang diperoleh dari hasil pembakaran
belerang dengan oksigen, merupakan gas yang tidak berwarna dan berbau
rangsang. Di dalam pabrik sulfitasi, gas sulfur dioksida digunakan sebagai
pembentuk endapan, ialah dengan cara memberikan kapur berlebihan
dibandingkan dengan kebutuhan untuk penetralan, kelebihan susu kapur akan
dinetralkan kembali dengan asam yang terbentuk bila gas sulfur dioksida bertemu
dengan air. Sebagai hasil dari proses reaksi penetralan akan terbentuklah suatu
endapan yang berwarna putih dan dapat dihilangkan kotoran-kotoran lembut yang
terdapat di dalam nira (Soemarno,1991).
2.8 Mutu Gula

Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak dikonsumsi
oleh masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi standar
mutu yang telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Di Indonesia ada
tiga jenis gula yang beredar di pasaran, yaitu gula kristal mentah GKM) atau raw
sugar yang digunakan sebagai bahan baku industri gula rafinasi, gula kristal putih
(GKP) yang dikonsumsi secara langsung dan gula rafinasi sebagai bahan baku
indu stri makanan dan minuman. Gula yang kita konsumsi sehari-hari adalah gula
kristal putih secara internasional disebut sebagai plantation white sugar. GKP
dibuat dari tebu yang diolah melalui berbagai tahapan proses, untuk Indonesia
kebanyakan menggunakan proses sulfitasi dalam pengolahan gula. Penjelasan
mengenai kriteria uji syarat mutu gula kristal putih adalah sebagai berikut:

1. Besar jenis butir adalah ukuran rata-rata butir kristal gula dinyatakan
dalam milimeter. Persyaratan untuk GKP adalah 0,8 sampai 1,1 mm.
2. Kadar SO2 gula produk kita berkisar 5 sampai 20 ppm, ini disebabkan
sebagian besar pabrik gula menggunakan proses sulfitasi, sehingga
terdapat residu SO2 seperti pada kisaran tersebut. Adanya residu SO2
menjadi kendala untuk konsumsi industri makanan atau minuman, yang
biasanya menuntut bebas SO2. Kadar SO2 maksimal yang diperkenankan
di Indonesia adalah 30 ppm (Kuswurj, 2009).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Refraktometer
2. Penangas Air
3. Pipet
4. Spatula
5. Colour Reader
6. Neraca Analitik
7. Ayakan
8. Stopwatch
9. Buret
10. Beaker Glass
11. Labu Takar 1000 ml
12. Erlenmeyer
3.1.2 Bahan
1. Nira Tebu
2. Larutan Kapur
3. Gula Kristal Putih
4. Aquadest
5. Indikator Amilum
6. Larutan HCl
7. Larutan Iodium
8. Larutan Kanji
9. Kalium Iodin
10. Larutan standar Tiosulfat
11. Label
12. Tissue
13. Kertas pH universal
3.2 Skema Kerja
3.2.1. Derajat Brix (Tanpa Defekasi)
Nira

Refraktometer

Pengamatan derajat brix (3x)

3.2.2. Defekasi (Derajat Brix)

250 ml Nira

Pemanasan 700C

Penambahan larutan
kapur hingga pH netral

Pemanasan 30 menit

Pengadukan

Pendinginan

Penetesan pada refraktometer (3x)

Pembandingan brix sebelum & sesudah defekasi


3.2.3. Warna Gula Kristal

Gula kristal

Pengamatan kecerahan

Pembandingan 2 jenis GKP

3.2.4. Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

60 gram GKP

Pengayakan 10 menit

Penimbangan pada setiap


fraksinasinya
3.2.5. Residu Belerang Oksida (SO2)
a. Larutan Iodium
6 gram KI

Labu takar 1000 ml

Penambahan 0,8 gr I2

Tera 1000 ml

Pendinginan 24 jam
(botol gelap)

Penambahan 40 ml I2

Erlenmeyer 300 ml

Penambahan 25
ml aquadest

Titrasi dengan Thiosulfat


(kuning muda)

Penambahan
amonium 10 ml

Titrasi (warna biru


hilang)
b. Penentuan Residu Belerang
1. Blanko
150 ml aquadest

Penambahan 10 ml
indikator amilum +
10 ml HCl

Titrasi dengan I2 (warna


ungu muda) (V)

2. Contoh

50 gr contoh

Penambahan
150 ml aquadest

Penambahan 10
ml HCl + 10 ml
indikator kanji

Titrasi dengan I2 (warna


ungu muda) (t)
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Derajat Brix
Nira Ulangan Derajat Brix
setelah defekasi
Nira tebu 1 17 10
bersama 2 16,9 10
kulitnya 3 17 10
Nira tebu yang 1 18,2 10
dikupas 2 18 10
kulitnya 3 18,1 10

4.1.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Gula Kristal Putih Shift Ulangan Nilai L


A (Putih) 1 1 54,6
2 53,0
3 55,2
B (Agak gelap) 1 1 49,6
2 49,9
3 48,5
4.1.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Gula Kristal Ukuran Ayakan Berat (gram) Berat


Putih ulangan 1 (gram)
ulangan 2
A (Putih) Fraksi I (16 mesh) 2,31 5,75
Fraksi II (18 mesh) 9,37 14,57
Fraksi III (20 mesh) 0,001 0,05
Fraksi IV (30 mesh) 23,00 23,34
Fraksi V (50 mesh) 20,58 14,47
Fraksi VI (baki) 4,47 1,63
B (Agak Fraksi I (16 mesh) 17,39 16,79
gelap) Fraksi II (18 mesh) 17,26 19,2
Fraksi III (20 mesh) 0,09 0,01
Fraksi IV (30 mesh) 17,24 17,17
Fraksi V (50 mesh) 7,12 6,13
Fraksi VI (baki) 0,67 0,28

4.1.4 Residu Belerang Oksida (SO2)


1 ml Iod setara dengan = 0,01266 SO2/ml
Berat contoh = 50,01 gram

Gula Titran (ml) contoh (t) Titrasi (ml) blanko (v)


A (Putih) 1,3 0,5
B (Agak gelap) 5,4 0,5

4.2 Hasil Perhitungan


4.2.1 Rata-rata Derajat Brix Nira dan Defekasi

Derajat Brix
Nira Derajat Brix
setelah defekasi
Nira tebu 16,98 10
bersama
kulitnya
Nira tebu yang 18,1 10
dikupas
kulitnya
4.2.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Gula Kristal Putih Shift Nilai Rata-Rata L


A (Putih) 1 54, 37

B (Agak gelap) 1 49,23

4.2.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Gula Kristal Rata-rata Besar Jenis BJB


Putih Berat Butir
(gram)
A (Putih) Fraksi I (16 mesh) 4,03 47,87144 0,583179
Fraksi II (18 mesh) 11,97 171,2274
Fraksi III (20 mesh) 0,0255 0,426632
Fraksi IV (30 mesh) 23,17 546,5857
Fraksi V (50 mesh) 17,525 2703,6916
Fraksi VI (baki) 3,05 244,9369
Jumlah (A) 59,7705 1714,739672
B (Agak Fraksi I (16 mesh) 17,09 47,87144 1,408451
gelap) Fraksi II (18 mesh) 18,23 171,2274
Fraksi III (20 mesh) 0,05 0,426632
Fraksi IV (30 mesh) 17,205 546,5857
Fraksi V (50 mesh) 6,625 703,6916
Fraksi VI (baki) 0,475 244,9369
Jumlah (B) 59,675

4.2.4 Residu Belerang Oksida (SO2)


Gula Kristal Putih Shift Kadar SO2 (ppm)
A (Putih) 1 0,203

B (Agak gelap) 1 1,240


BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


5.1.1 Derajat Brix
Derajat brix bisa dijadikan sebagai parameter tingkat kemanisan atau
kandungan gula pada nira. Pada kegiatan ini pertama nira tebu diberi dua
perlakuan, yaitu dilakukan pengupasan dan tidak dilakukan pengupasan yang
berfungsi untuk mengetahui pengaruh kedua perlakuan tersebut terhadap derajat
brix nira yang dihasilkan. Penentuan derajat Brix ini tidak dilakukan defekasi.
Kemudian dilakukan uji menggunakan refraktometer untuk mengetahui kadar
brixnya dengan cara meneteskan nira pada alat sampai bagian yang digunakan
untuk mengukur derajar Brix basah oleh larutan nira, kemudian lihat sambil
diarahkan pada cahaya, agar nilai derajat Brix bisa terlihat oleh mata. Pengukuran
dilakukan tiga kali ulangan agar nilai yang dihasilkan valid. Setelah itu
bandingkan kedua nilai derajat Brix dari nira yang memiliki 2 perlakuan yang
berbeda.
5.1.2.Defekasi (Derajat Brix)
Defekasi merupakan proses pemurnian nira menggunakan kapur.Pada
kegiatan ini pertama tebu dilakukan perlakuan pengupasan dan tanpa
pengupasan. Nira kemudian dipanaskan hingga suhu 70C untuk
mengoptimalkan proses defekasi. Kemudian ditambahkan larutan kapur hingga
pH netral (7) untuk memastikan pH dari nira adalah netral maka dicek
menggunakan kertas pH universal. Pada proses defekasi ini, kapur mampu
menjernihkan nira dengan cara membentuk ikatan dengan senyawa fosfat pada
nira membentuk garam fosfat. Garam fosfat ini kemudian meyerap dan
memerangkap bahan non gula lainnya membentuk flokulan yang mengapung pada
permukaan nira (scum) atau mengendap didasar nira(mud/lumpur).Kemudian
dipanaskan kembali 30 menit dan diaduk untuk menghomogenkan larutan,
sehingga penyerapan bahan non gula bisa maksimal dan kejernihan nira pun
semakin baik. Selanjutnya didinginkan kemudian diteteskan pada refraktometer
dan diamati derajat brixnya (diulang 3x). Kemudian bandingkan derajat brix
kedua jenis nira sebelum dan sesudah defekasi.
5.1.3 Warna Gula Kristal
Bahan yang digunakan berupa gula kristal putih yaitu yang berwarna
putih dan agak coklat. Bahan dimasukkan plastik bening tebal untuk
mempermudah proses pengamatan warnanya dengan colour reader.
Kemudian diamati warna (kecerahan) dengan colour reader untuk
mengetahui nilai kecerahan yang dimiliki masing masing sampel. Pada
analisa ini yang digunakan sebagai acuan adalah nilai L yaitu nilai
kecerahan universal, lakukan pengukuran keecerahan sebanyak 3 kali untuk
masing-masing sampel, agar dipeloreh data yang akurat dan valid.
Selanjutnya dilakukan analisa kecerahannya dan bandingkan kecerahan
yang dimiliki oleh masing masing sampel gula kristal.
5.1.4 Besar Jenis Gula Kristal Putih
Kegiatan praktikium yang dilakukan selanjutnya adalah analisa berat jenis
butir gula kristal putih. Langkah pertama yang dilakukan yaitu menyusun ayakan
mulai dari yang berukuran berukuran 16 meshselanjutnya dibawahnya adalah
ayakan 18 mesh, 20 mesh, 30 mesh, 50 mesh, dan terbawah adalah baki
penampung sehingga nantinya dapat dibandingkan berat jenis butiran gula yang
tertinggalpada masing masing ayakan. Selanjutnya menimbang 60 gr gula
kristal putih dan dimasukkan pada ayakan paling atas dari seri yang telah disusun
tersebut lalu diayak selama 10 menit. Gula yang tertahan pada masing-masing
ayakan kemudian ditimbang untuk mengetahui beratnya. Setelah didapatkan data
berat gula pada masing-masing ayakan, selanjutnyadihitung % dan berat jenis
butir gula kristal putih. Setelah itu hasil yang didapat dibandingkan dengan SNI
untuk mengetahui mutu gula tersebut berdasarkan SNI.
5.1.5 Residu Belarang Oksida (SO2)
a. Larutan Iodium
Langkah pertama yang dilakukan adalah menimbang KI sebanyak
6 gr. Penggunaan KI ini untuk meningkatkan kelarutan iodin dalam air.
Selanjutnya KI dilarutkan dalam 1000 ml aquades. Kemudian
ditambahkan 0,8gr Iodin kristal untuk membentuk larutan Iodium yang
diinginkan. Setelah itu didiamkan 24 jam agar terbentuk larutan Iodium
dalam botol gelap untuk mengoptimalkan reaksi iodin, apabila
menggunakan botol gelap dikhawatirkan akan mempengaruhi index reaksi.
Setelah larutan Iodium terbentuk, diambil 40 ml masukkan dalam
erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 25ml aquades dalam erlenmeyer untuk
mengencerkan larutan Iodium agar mudah dititrasi. Selanjutnya larutan
tersebut dititrasi menggunakan thiosulfat hingga membentuk warna kuning
pucat, setelah itu tambahkan indikator pati untuk membentuk warna biru
pada larutan. Titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang.
b. Penentuan Residu Belerang
1. Blanko
Setelah proses sandarisasi larutan iodium selesai, sebelum
dilakukan analisa, dilakukan penentuan blanko, dengan cara 150 ml
aquades ditambahkan 10 ml indikator pati dan 10% HCl untuk
mempermudah dalam menganalisa perubahan yang terjadi saat titrasi
berlangsung. Titrasi yang dilakukan menggunakan Iodium dan akan
merubah warna larutan menjadi ungu muda. Volume titrasi dicatat
sebagai v ml dan kemudian dihitung residunya.
2. Contoh
Langkah selanjutnya yaitu analisa contoh pada sampel dengan cara
sampel ditimbang sebanyak 25 gr kemudian dilarutkan dalam aquades
150 ml untuk melarutkan sampel, sehingga mudah dititrasi. Sampel yang
digunakan yaitu gula kristal putih yang berwarna putih dan agak coklat.
Kemudian ditambahkan 10 ml indikator pati dan 10 ml HCl, sebagai
indikator yang akan membentuk warna setelah titrasi sampai pada titik
ekuivalen ketika dilakukan titrasi dengan Iodium.Setelah larutan berubah
warna menjadi ungu muda, titrasi dihentikan dan dicatat volume Iodium
yang dibutuhkan sebagai t ml.
5.2 Analisa Data

5.2.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan didapatkan derajat brix


nira tebu yang tidak dikupas (yang diekstrak bersama kulitnya) memiliki derajat
brix yang lebih kecil yaitu sebesar 16,98, sedangkan derajat brix dari nira tebu
yang dikupas kulitnya lebih besar yaitu 18,1. Nilai derajat brix kedua nira tebu
yang mengalami perbedaan perlakuan pengupasan dan tanpa pengupasan bisa
berbeda hal ini dikarenakan oleh kemungkinan pada saat pengambilan nira masih
banyak ampas tebu yang masih tertinggal dalam nira dan nira yang sudah digiling
tidak dilakukan penyaringan sehingga masih banyak terdapat kotoran. Pada
derajat brix nira tebu setelah dilakukan defekasi memiliki rata-rata yang sama,
baik nira tebu yang dikupas maupun yang tidak dikupas yaitu sebesar 10. Rata-
rata derajat brix nira tebu setelah dilakukan proses defekasi terjadi penurunan nilai
karena defekasi merupakan proses pemurnian untuk menghilangkan kotoran pada
nira dan untuk memperoleh sukrosa dengan kemurnian yang tinggi, hal ini sesuai
dengan Achyadi dan Maulidah (2004) bahwa proses defekasi merupakan proses
yang paling sederhana yang pada intinya adalah memberikan larutan kapur pada
nira, sehingga terjadi pengendapan, kemudian dapat dipisahkan antara nira kotor
dan nira jernih, sehingga kotoran yang ada pada nira akan terperangkap di dalam
kapur dan menyebabkan derajat Brix-nya turun.

5.2.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih


Berdasarkan analisa kecerahan gula kristal putih ini digunakan 2 jenis
gula yaitu gula kristal putih dan gula kristal putih agak kecoklatan (curah).
Pengukuran warna (kecerahan) gula kristal putih ini menggunakan colour reader
dimana yang diukur berdasarkan derajat L. Pada hasil pengamatan dan hasil
perhitungan gula kristal putih memiliki rata-rata kecerahan yang tinggi/lebih baik
yaitu sebesar 54,37 daripada gula kristal putih agak kecoklatan (curah) yang
memiliki rata-rata kecerahan sebesar 49,23. Hal tersebut dikarenakan pada gula
kristal putih agak coklat (curah) yang digunakan memiliki warna cairan feed yang
pekat. Warna pada nira tebu disebabkan oleh kotoran-kotoran (tanah, lilin, lemak)
terlarut dan tersuspensi yang terbawa pada proses penggilingan. Semakin rendah
warna cairan feed, semakin baik warna gula yang dihasilkan. Selain itu pada gula
curah dimungkinkan hanya dilakukan proses defekasi saja tanpa dilakukan proses
sulfitasi, sehingga menyebabkan kotoran-kotoran yang masih tersisa dalam nira
setelah proses defekasi ikut dalam proses pembuatan gula kristal (Kuswurj, 2009).

5.2.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih


Berdasarkan analisa besar jenis gula kristal putih juga menggunakan 2
jenis gula yaitu gula kristal putih dan gula kristal putih agak kecoklatan (curah).
Proses penentuan besar jenis gula krital putih ini menggunakan ayakan ukuran
16,18,20,30,dan 50 mesh. Pada proses penentuan dilakukan 2 kali pengulangan.
Pada hasil pengamatan dan hasil perhitungan diperoleh rata-rata berat gula kristal
putih yang paling banyak ada pada ayakan 30 mesh (fraksi IV) yaitu sebesar 23,17
gram, sedangkan berat rata-rata dari gula kristal putih agak coklat (curah) paling
banyak/ paling berat pada ayakan 18 mesh (fraksi II) yaitu sebesar 18,23 mesh.
Pada fraksi VI (baki), diperoleh rata-rata berat gula kristal putih lebih banyak
yaitu seberat 3,05 gram, daripada gula kristal putih agak coklat (curah) yang
hanya seberat 0,475 gram. Pada besar jenis butir gula kristal putih (A) setelah
dikalikan dengan faktor pengayakan juga memiliki besar jenis butir yang lebih
kecil, yaitu sebesar 0,583179, daripada gula kristal putih agak coklat (B) yang
memiliki besar jenis butir sebesar 1,408451. Hal ini menunjukkan bahwa gula
kristal putih memiliki besar jenis butir yang lebih kecil/lebih halus daripada gula
kristal agak coklat (curah). Ini disebabkan pada proses pembuatan gula curah
dilakukan proses defekasi tanpa sulfitasi, sehingga flokulan yang seharusnya
dibuang ikut masuk pada proses kristalisasi yang menyebabkan gula mengkristal
dengan ukuran yang besar dan tidak rata.
Berdasarkan syarat mutu gula kristal putih (SNI 3140.3-2010) berat jenis butir
pada GKP 1 dan GKP 2 yaitu 0,8-1,2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gula
curah yang dianalisa pada praktikum ini belum memenuhi syarat mutu SNI.
5.2.4 Residu Belerang Oksida (SO2)
Berdasarkan analisis residu belerang oksida menggunakan berat contoh
50,01 gram. Pada hasil pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan
mengenai kadar belerang oksia (SO2), kadar SO2 yang paling banyak/terbesar
yaitu pada gula kristal putih agak coklat (curah) yaitu sebesar 1,240 ppm,
sedangkan pada gula kristal putih memiliki kadar SO2 yang lebih sedikit yaitu
sebesar 0,202 ppm . Hal tersebut dikarenakan pada pembuatan gula kristal putih
curah proses sulfitasi yang dilakukan tidak sesuai standar, sehingga dimungkinkan
terdapat residu SO2 walaupun kecil. Berdasarkan syarat mutu gula kristal putih
(SNI 3140.3-2010) residu belerang oksida (SO2) maksimal 30 mg/kg atau 0,3
ppm. Sehingga dapat diketahui bahwa gula kristal putih pabrikan lebih memenuhi
syarat.
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Derajat brix nira tebu yang dikupas kulitnya lebih besar daripada nira tebu
tanpa pengupasan (yang bersama kulitnya saat proses ekstraksi).
2. Derajat Brix nira tebu setelah dilakukan proses defekasi nilainya sama untuk
nira yang dikupas maupun tidak.
3. Warna (kecerahan) dari gula kristal putih lebih baik/ lebih cerah bila
dibandingkan dengan gula kristal putih agak coklat (curah).
4. Besar jenis butir dari gula kristal putih paling kecil/ lebih daripada gula kristal
putih agak coklat (curah).
5. Residu belerang oksida (SO2) pada gula kristal putih agak coklat (curah) lebih
tinggi daripada gula kristal putih.

6.2 Saran

Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya dilakukan lebih banyak


pengamatan pada berbagai jenis gula, agar juga mengetahui bagaimana ciri-ciri
dari berbaga jenis gula, serta untuk praktikum selanjutnya semua anggota dari
kelompok melakukan pratikum yang sama, sehingga setiap mahasiswa
mengetahui prosedur praktikum secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA

Achyadi, N.S. dan I. Maulidah. 2004. Pengaruh Banyaknya Air Pencuci dan
Ketebalan Masakan pada Pro Sentrifugal terhadap Kualitas Gula.
Infomatek 6 (4) : 193210

Gautara dan Wijadi. 1975. Dasar Pengolahan Gula I. Bogor : Departemen


Teknologi Hasil Pertanian Fateta, IPB.

Hidayanto, E., Rofiq, A., dan Sugito, H. 2010. Aplikasi Portable Brix Meter
untuk Pengukuran Indeks Bias. Jurnal Berkala Fisika. ISSN 1410 - 9662,
13(4): 113-118

Kuswurj, R., 2009. Sugar Technology and Research : Kualitas Mutu Gula Kristal
Putih. Surabaya;Institut Teknologi Surabaya. http://www.risvank.com [2
April 2010].

Moerdokusumo. 1993. Pengawasan Kualitas Dan Teknologi pembuatan Gula Di


Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.

Notojoewono, wasit, R. A. 1970. Tebu. Jakarta: Penerbit PT Soeroengan.

Risvank. 2011.Pengertian, pol, brix dan HK dalam Analisa Gula.


http://www.risvank.com/2011/12/21/pengertian-pol-brix-dan-hk-dalam-
analisa-gula/ [05 Desember 2012]

Soerjadi.1983. Pabrikasi Gula. Yogyakarta: LPP Yogyakarta.

Soemarno.1991. Dasar-dasar Teknologi Gula. Yogyakarta: LPP Yogyakarta.

Tjokroadikoesoemo.1984. Ekstraksi Nira Tebu. Surabaya: Yayasan Pembangunan


Indonesia Sekolah Tinggi Teknologi Industri.

Вам также может понравиться