Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan
kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup
seseorang. Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan
umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat
disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang
bersangkutan atau disekitarnya. Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini,
proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu
yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang
lain (Suseno, 2004).
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat
apabila menghadapi kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri
tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang
komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada
informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap. (Suseno,
2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk
memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga
kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak
berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar
artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius (Potter
& Perry, 2005).
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam
lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan

1
klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi
perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga,
parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-
perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian.
Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh
perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan
kematian (Potter & Perry, 2005).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami Konsep dan Asuhan Keperawatan pada klien
Berduka Antisipasi.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya Defenisi Berduka
b. Diketahuinya Tahapan Berduka
c. Diketahuinya Teori Proses Berduka
d. Diketahuinya Defenisi Berduka Antisipasi
e. Diketahuinya Tanda dan Gejala Berduka Antisipasi
f. Diketahuinya Asuhan Keperawatan Berduka Antisipasi

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Berduka
Berduka adalah perasaan-perasaan yang saling bertentangan yang
disebabkan oleh berakhirmya atau perubahan dalam pola perilaku yang sudah
diakrabi. Bisa juga didefinisikan sebagai suatu respon emosional ssakit yang
normal dan alamiah sebagai reaksi terhadap kehilangan sesuatu. Berduka, bukan
hanya karena hilangnya nyawa seorang, tapi juga karena kematian suatu
hubungan (perceraian). Perasaan duka juga timbul jika kita kehilangan hewan
peiharaan, atau melihat dan merasakan bencana yang luar biasa (Baswardono,
2006).
Berduka merupakan hal yang sulit karena mencakup banyak perasaan
kuat cinta, kesedihan, rasa takut, rasa marah, lega, sayang, benci, juga
kebahagiaan, itu baru beberapa diantaranya. Tidak semua orang mengalami
variasi perasaan yang sama itu, tapi banyak orang dalam proses berduka akan
mengalami beberapa perasaan itu pada saat yang bersamaan. Perasaan-perasaan
itu begitu kuatnya, tidak beraturan dan bisa bertahan lama. Berduka sering
digambarkan sebagai tenggelam di dalam lautan perasaan yang menyakitkan
(Baswardono, 2006).
Istilah dukacita, berkabung, dan kehilangan digunakan pada reaksi
psikologis dari seseorang yang mengalami kehilangan yang bermakna. Dukacita
adalah perasaan subjektif yang dicetuskan oleh kematian seseorang yang dicintai.
Istilah tersebut digunakan secara sama dengan berkabung, walaupun, dalam
arti yang paling tepat, berkabung adalah proses di mana dukacita dihilangkan; hal
ini merupakan ekspresi kemasyarakatan dari perilaku dan tindakan setelah
kehilangan (Kaplan, 2010).
Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka
dikarakeristikan sebagai berikut. 1) Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan

3
ketidaknyamanan. 2) Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila
mengingat kembali kejadian kehilangan. 3) Berduka menunjukkan perasaan tidak
nyaman, sering disertai dengan menangis, keluhan sesak pada dada, tercekik, dan
nafas pendek. 4) Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus. 5)
Mengalami perasaan berduka. 6) Mudah tersinggung dan marah (Yusuf, 2015).

B. Tahapan Berduka
Dalam Yusuf (2015) menjelaskan proses berduka meliputi tiga tahapan,
yaitu fase awal, pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasaan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada
perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan
yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu
memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk
melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi
kembali dalam kegiatan sosial.

4
C. Teori Proses Berduka
Berdasarkan Yususf (2015), proses kehilangan terdiri atas lima tahapan,
yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), penawaran (bargaining), depresi
(depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering disebut dengan DABDA.
Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat atau lamanya
sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial
yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
1. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak
percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan,
mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi
apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain
sebagai berikut.
a. Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.
b. Diagnosis dokter itu salah.
c. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta
merasa tak nyaman.
d. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme
pertahanan (defense mechanism) terhadap rasa cemas.
e. Pasien perlu waktu beradaptasi.
f. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan
menggunakan pertahanan yang tidak radikal.
g. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan
dengan kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.

Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian


orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang
yang dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau

5
mendengar suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah,
pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, dan gelisah.
Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai
beberapa tahun setelah kehilangan.

2. Tahap Marah (Anger)


Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan.
Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada
orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah
memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons
pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
a. Emosional tak terkontrol.
Mengapa aku?
Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?
b. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap
orang atau lingkungan.
c. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
Peraturan RS terlalu keras/kaku.
Perawat tidak becus!
d. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi
pandang keluarga dan staf rumah sakit.
e. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan
perasaan yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.

3. Tahap Penawaran (Bargaining)


Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap
tawar-menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah ....seandainya
saya tidak melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan terjadi ......
atau misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat itu ... pasti semua akan

6
baik-baik saja, dan sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai
berikut.
a. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada
masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
b. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu
hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
c. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau
diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi
pendeta.
Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan
lebih berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih
baik.
Bila saya sembuh, saya akan.
d. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali
perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.

4. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar
akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik
diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara
fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.
Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya Apa yang
terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada? atau Dapatkah keluarga saya
mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang
penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan

7
dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat
mengatasi kesedihan dan kegelisahannya.

5. Tahap Penerimaan (Acceptance)


Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus
pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan
terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang
tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain
yang baru. Individu akan mengungkapkan, Saya sangat mencintai anak saya
yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya
pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri
proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap
dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan,
disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan
kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan
kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional (Yusuf, dkk,
2015).

D. Berduka Antisipasi
1. Definisi
Respon intelektual dan emosional serta perilaku oleh individu, keluarga
dan komunitas yang merupakan proses modifikasi dari konsep diri yang
didasari oleh persepsi potensial kehilangan (Nanda, 2005).
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik,

8
diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi
dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal (Nanda,
2005).

2. Tanda dan Gejala


Menurut Nanda (2005) tanda & gejala berduka antisipasi adalah:
a. Marah
b. Menolak potensial kehilangan
c. Menolak kehilangan yang signifikan
d. Mengekspresikan distress dari potensial kehilangan
e. Rasa bersalah
f. Perubahan kebiasaan, makan, pola tidur, pola mimpi
g. Perubahan tingkat aktivitas
h. Perubahan pola komunikasi
i. Perubahan libido
j. Tawar menawar
k. Kesulitan mengatkan yang baru atau peran yang berbeda
l. Potensial kehilangan objek yang signifikan (missal orang, hak milik,
pekerjaan, status, rumah, bagian dan proses tubuh).
m. Berduka cita

9
3. Asuhan Keperawatan Teori Berduka Antisipasi
Berdasarkan Potter & Perry (2005)
A. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
1. Perasaan sedih, menangis.
2. Perasaan putus asa, kesepian
3. Mengingkari kehilangan
4. Kesulitan mengekspresikan perasaan
5. Konsentrasi menurun
6. Kemarahan yang berlebihan
7. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9. Reaksi emosional yang lambat
10. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas

B. Rencana Keperawatan pada Berduka Antisipasi


1. Tujuan Umum : Klien dapat mengatasi rasa berduka yang dialaminya
2. Tujuan Khusus
a. Klien mampu mengenal kehilangan yang dialaminya
b. Klien mampu mengatasi rasa kehilangan atau berduka yang
dialami

C. Intervensi Keperawatan
1. Kaji pengalaman masa lalu klien terhadap kehilangan, keberadaan
support system dan kegiatan berduka yang biasa dilakukan
2. Jelaskan karaktersistik yang normal dan abnormal dari berduka
3. Diskusikan perbedaan pola individu terhadap berduka (misalnya
antara laki-laki dan perempuan)

10
4. Dukung klien untuk memverbalisasi ketakuan dan berkonsentrasi
pada potensial kehilangan, termasuk konflik dalam keluarga
5. Bantu klien unutk sharing rasa takut, rencana dan harapan terhadap
anggota keluarga yang lain.
6. Pada klien anak bantu untuk mengklarifikasi konsep yang salah
tentang
7. kematian atau kehilangan
8. Grieve Work Fasilitation
a. Identifikasi tentang kehilangan klien
b. Jelaskan tentang tahapan proses berduka dan beri dukungan
c. Dukung klien untuk mengidentifikasi kehilangan objek atau
orang
d. Beri dukungan untuk mengekspresikan perasaan terhadap
kehilangan
e. Beri dukungan untuk mengidentifikasi ketakutan yang besar
yang menyertai kehilangan
f. Beri dukungan klien untuk mengimplementasikan budaya,
religius dan sosial dan kehilangan
g. Gunakan kata-kata yang jelas seperti kematian atau meninggal
dari euphemisme (peristilahan)
h. Pada klien anak : beri dukungan untuk mengekspresikan rasa
nyama
i. seperti menulis, menggambar atau bermain
9. Anticipatory Guidance
a. Latih teknik koping untuk perkembangan atau situasi krisis
dengan klien
b. Lengkapi dengan informasi yang realistis yang berhubungan
dengan perilaku klien
c. Beri buku dan literatur untuk dibaca klien sebagai dukungan

11
d. Lengkapi klien dengan nomor telepon yang bisa dihubungi untuk
memberikan dukungan, jika klien mengalami kesulitan
e. Buat jadwal follow up untuk mengevaluasi keberhasilan klien
atau untuk kebutuhan reinforcement
10. Kolaborasi
a. Rujuk pada sumber daya yang sesuai seperti keompok
pendukung, dukungan legal, dukungan keuangan, pekerjaan
sosial, grief counselor, genetic counselor, dll.
b. Identifikasi sumber daya pendukung di komunitas
11. Tindakan untuk Keluarga :
a. Kaji pengalaman masa lalu keluarga terhadap kehilangan,
keberadaan support system dan kegiatan berduka yang biasa
dilakukan
b. Jelaskan karakteristik yang normal dan abnormal dari berduka
c. Jelaskan tentang tahapan proses berduka dan beri dukungan
d. Anjurkan keluarga unutk memberi dukungan dan membantu
klien melalui tahapan berduka
e. Beri reinforement pada peran keluarga yang positif terhadap
klien

12
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Kasus
Tn. A (25 tahun) dan Ny. N (23 tahun) adalah suami istri. Tn. A mengalami
kecelakaan yang mengakibatkan Tn. A meninggal. Ibu Ny. N mengatakan hal ini
membuat Ny. N merasa sangat terpukul dia terus menangis, tidak mau makan
dan keluar kamar. Dia mengurung diri dan selalu memandang foto Tn. A, dia
menjadi jarang berbicara dan terkadang sering teriak memanggil nama Tn. A.
Dia sering berkata bahwa tidak percaya Tn. A telah pergi selain itu dia sering
terbangun dan menangis keras memanggil Tn. A. Saat pengkajian Ny. N tampak
lemas, wajah tampak kusut, klien tampak putus asa dan sedih, klien susah
berkosentrasi ketika perawat bertanya dan tampak kantung mata. Tanda tanda
vital N: 75x/mnt , S: 370C , TD: 120/80 mmHg RR: 24x/menit. Setelah dilakukan
pendekatan oleh perawat pasien tampak mulai menerima bahwa suaminya telah
meninggal dunia dan pasien mulai mengatakan bahwa semua yang terjadi pada
kehidupannya adalah takdir dari yang Maha Kuasa.

B. Pengkajian
1. Anamnesa
Nama : Ny. N
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Keluhan Utama : klien merasa sangat terpukul dia terus
menangis, tidak mau makan dan keluar
kamar. Dia mengurung diri dan selalu
memandang foto arza, dia menjadi jarang
berbicara dan terkadang sering teriak
memanggil nama arza.

13
Riwayat Kesehatan sekarang : Klien tampak lemas, wajah tampak kusut,
Klien tampak putus asa dan sedih, terlihat
kantung mata dan klien susah berkosentrasi
ketika perawat bertanya.
Riwayat Kesehatan Dahulu : -
Riwayat Kesehatan Keluarga : -

2. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 75x/menit
Suhu : 370C
RR : 24x/menit.

3. Faktor Predisposisi
a. Faktor Genetic : tidak ada riwayat keluarga yang mengalami depresi
saat mengalami kehilangan.
b. Kesehatan Jasmani : pasien sangat terukul atas kematian sang suami
sehingga tidak mampu mengatasi stress nya dengan baik.
c. Kesehatan Mental : pasien sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.
d. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : pasien belum pernah mengalami
kehilangan orang yang dicintai nya sebelumnya.
e. Struktur Kepribadian
Konsep diri pasien pada kasus negatif sehingga pasien mengurung diri
dan jarang berkomunikasi.

14
4. Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan.
Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti:
kehilangan sifat bio-psiko-sosial, pada kasus klien mengalami kehilangan
orang yang dicintai.

5. Mekanisme koping
Pada kasus mekanisme kopimh pasien adalah Denail yaitu pasien
mengatakan tidak percaya bahwa Tn. A telah pergi.

6. Respon Spiritual
Pasien merasakan Penderitaan karena ditinggalkan sang suami pergi.

7. Respon Fisiologis
Pasien tidak nafsu makan
8. Respon Emosional
Pasien merasa sedih, merasa bersalah, emosi yang berubah-ubah,
penderitaan dan kesepian yang berat, keinginan yang kuat untuk
mengembalikan ikatan dengan sang suami yang telah pergi

9. Respon Kognitif
Paien tidak percaya bahwa sang suami telah pergi meninggalkannya,
biasanya pasien berupaya mempertahankan keberadaan orang yang
meninggal di kasus dengan cara memandangi foto Tn. A

10. Perilaku
Pasien berteriak memanggil nama Tn. A, menangis tidak terkontrol,
sangat gelisah, perilaku mencari sang suami yang telah pergi.

15
11. Analisa Data
No. Data Masalah Keperawatan
1. DS : Ibu klien mengatakan klien merasa sangat Dukacita Terganggu
terpukul atas kematian sang suami
DO :
TD : 120/80 mmHg
N : 75x/menit
S : 370C
RR : 24x/menit.
Klien tampak lemas, wajah tampak kusut,
klien terlihat putus asa dan sedih.
Depresi, tidak menerima kematian,
merindukan almarhum, ingatan menyedihkan
yang menetap.

2. DS : Ibu klien mengatakan klien sering Koping tidak efektif


terbangun dan menangis keras memanggil
nama sang suami, klien sering berkata bahwa
tidak percaya sang suami telah pergi

DO :
TD : 120/80 mmHg
N : 75x/menit
S : 370C
RR : 24x/menit.
Klien tampak lemas, wajah tampak kusut,
terdapat kantung mata.
Ketidakmampuan menghadapi situasi, klien

16
susah berkosentrasi ketika perawat, perubahan
konsentrasi dan perubahan pola tidur.

3. DS : Ibu klien mengatakan klien terus Isolasi Sosial


menangis, tidak mau makan dan keluar kamar

DO :
TD : 120/80 mmHg
N : 75x/menit
S : 370C
RR : 24x/menit.
Klien tampak lemas, wajah tampak kusut,
terdapat kantung mata.
Ingin sendirian, afek sedih, menarik diri, dan
tindakan berulang.

12. Pohon masalah


Isolasi Sosial (efek)

Duka Cita Terganggu (CP)

Ketidakefektifan koping individu

Kehilangan : Orang yang dicintai (etiologi)

13. Diagnosa keperawatan


a. Duka Cita Terganggu
b. Ketidakefektifan koping individu
c. Isolasi Sosial

17
14. Intervensi
a. Diagnosa : Duka cita terganggu
Promosi integritas keluarga:
a. Menentukan jenis hubungan keluarga
b. Pantau hubungan keluarga saat ini
c. Identifikasi jenis mekanisme koping keluarga
d. Identifikasi perioritas yang bersebrangan diantara anggota keluarga

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

1. Berikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang rumah sakit


dan sumber-sumber dikomunitas, seperti kelompok swa-bantu

Aktivitas kolaboratif

1. Prakarsai konferensi perawatan pasien untuk meninjau kebutuhan


pasien dan keluarga terkait tahap duka cita mereka dan untuk
membuat rencana perawatan
2. Cari dukungan diantara teman sebaya dan orang lain untuk
memberikan perawatan yang dibutuhkan pasien
3. Fasilitasi proses dukacita (NIC): kematian perinatal: laporkan ke
laboratorium atau rumah duka, sesuai dengan keperluan, untuk
disposisi tubuh

Aktivitas lain

1. Pahami reaksi duka cita pasien dan keluarga pada saat melanjutkan
aktivitas perawatan yang diperlukan
2. Diskusikan dengan pasien dan keluarga dampak kehilangan pada unit
keluarga dan fungsinya
3. Cegah konfrontasi terhadap penyangkalan dan pada saat yang sama,
jangan menguatkan penyangkalan

18
4. Seimbangkan kesalahpahaman dengan realitas
5. Dukung kemandirian dalam melakukan perawatan diri, membantu
pasien hanya bila diperlukan
6. Buat jadwal untuk kontrak dengan pasien
7. Bina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga
8. Bantu pasien dan keluarga untuk berpartisipasi secara aktif dalam
proses pengambilan keputusan
9. Beri lingkungan yang aman, terlindungi, dan memiliki privasi untuk
memfasilitasi proses dukacita pasien dan keluarga
10. Kenali dan dukung kekuatan setiap anggota keluarga

b. Diagnosa : Ketidakefektifan koping individu


Bina hubungan saling dengan menggunakan komunikasi yang terapeutik:
1. Sapa pasien dengan ramah tamah baikverbal maupun
2. Perkenalkan diri dengan
3. Bantu pasien menentukan tujuan yang realistis dan mengenali
ketrampilan dan pengetahuan pribadi
4. Gunakan komunikasi empatik, dan dorong pasien/keluarga untuk
mengungkapkan ketakutan, mengekspresikan emosi, dan menetapkan
tujuan
5. Jelaskan tujuan pertemuan
6. Beriperhatian dan perhatikan kebutuhan dasar klien,serta melakukan
hal yang di sukainya seperti olahraga.
7. Memberikan pujian yang wajar dalam keberhasilan klien

c. Diagnosa : Isolasi Sosial


1. Bina hubungan saling percaya :
a) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
b) Perkenalkan diri dengan sopan.

19
c) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien.
d) Jelaskan tujuan pertemuan / interaksi.
e) Jujur dan menepati janji.
f) Pertahankan kontak mata, tunjukkan rasa empati dan dorong
serta berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan
perasaannya.
2. Kaji pengetahuan klien tentang menarik diri.
3. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri.
4. Diskusikan dengan klien tentang perilaku menarik dirinya.
5. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkannya.
6. Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
7. Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat berhubungna orang
lain.
8. Beri pujian terhadap kemampuan klien dalam menyebutkan manfaat
berhubungan dengan orang lain.
9. Dorong klien untuk menyebutkan cara berhubungan dengan orang
lain.
10. Libatkan klien dalam kegiatan TAK dan ADL ruangan.
11. Reinforcement positif atas keberhasilan yang telah dicapai klien.

20
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan makalah yang telah kami buat, Pada bab II kami membahas
asuhan keperawatan secara umum, dan pada bab III kami membuat kasus dan kami
membuat asuhan keperawatan yang sesuai dengan kasus. Dari dua hal ini kami
menemukan perbeda. Di mulai dari pengkajian, pada askep umum pengkajiannya
tidak sespesifik askep kasus dimana pada askep kasus terdapat identitas pasien,
keluhan utama, faktor predisposisi, faktor presipitasi, hasil pemeriksaan fisik,
keadaan umum, keadaan psikososial, mekanisme koping, dan masalah psikososial
dan lingkungan. Kemudian pada askep umum tidak ada analisa data, sedangkan pada
askep kasus ada, dengan mengangkat 3 masalah keperawatan. Pada askep umum
tidak ada mengangkat diagnosa.
Kemudian, pada askep kasus kami juga menerapkan pohon masalah yang
mana menjelaskan tentang hubungan antara ke 4 masalah keperawatan yang diangkat.
Dimulai dari Isolasi Sosial sebagai penyebab, lalu Dukacita terganggu sebagai
masalah karna pasien mengalami kehilangan anaknya yang meninggal.
Untuk Intervensi, pastinya juga ada perbedaan antara askep umum dan askep
kasus, hal ini disebabkan oleh perbedaan diagnosa yang ada. Untuk diagnosa
Dukacita, intervensi yang sama antara askep umum dan askep kasus hanyalah
intervensi bimbingan antisipatif, tetapi itupun aktivitas nya ada perbedaan. Lalu jika
pada diagnosa dukacita di askep umum ada dukungan kelompok, pada askep kasus
ada fasilitasi proses berduka. Untuk intervensi pada diagnosa Halusinasi dan Isolasi
Sosial pastinya berbeda karna pada askep umum tidak ada diagnosa lain selain
Dukacita.
Untuk asuhan keperawatan secara teori dan kasus tidak memiliki persamaan
dalam mengangkat diagnosa yang utama, yaitu mengangkat diagnosa keperawatan
Dukacita Terganggu. Sedangkan pada asuhan keparawatan teori tidak ada

21
mengangkat diagnose, pada asuhan keperawatan kasus, kami mengangkat 3 diagnosa
keperawatan.

22
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berduka adalah perasaan-perasaan yang saling bertentangan yang
disebabkan oleh berakhirmya atau perubahan dalam pola perilaku yang
sudah diakrabi. Bisa juga didefinisikan sebagai suatu respon emosional
ssakit yang normal dan alamiah sebagai reaksi terhadap kehilangan sesuatu.
Berduka, bukan hanya karena hilangnya nyawa seorang, tapi juga karena
kematian suatu hubungan (perceraian). Perasaan duka juga timbul jika kita
kehilangan hewan peiharaan, atau melihat dan merasakan bencana yang luar
biasa (Baswardono, 2006).
2. Tahapan Berduka ada 3 yaitu:
a. Fase awal, seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung.
b. Fase pertengahan, fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai
dengan adanya perilaku obsesif.
c. Fase pemulihan, fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan.
Individu memutuskan untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih
untuk melanjutkan kehidupan.
3. Teori proses berduka antara lain:
a. Tahap penyangkalan (Denial), reaksi awal seorang individu ketika
mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam, terpaku,
gelisah, bingung, mengingkari kenyataan.
b. Tahap marah (Anger), tahap kedua seseorang akan mulai menyadari
tentang kenyataan kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus
meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di
sekitarnya.

23
c. Tahap penawaran (Bargaining), setelah perasaan marah dapat
tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-menawar.
d. Tahap depresi, tahap depresi merupakan tahap diam pada fase
kehilangan. Pasien sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat
ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang
lain, dan tampak putus asa.
e. Tahap penerimaan (Acceptance), tahap akhir merupakan organisasi
ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran terhadap sesuatu yang
hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan
mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan
secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain yang baru.
4. Berduka Antisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal (Nanda,
2005).
5. Tanda dan Gejala Berduka Antisipasi antara lain:
a. Marah
b. Menolak potensial kehilangan
c. Menolak kehilangan yang signifikan
d. Mengekspresikan distress dari potensial kehilangan
e. Rasa bersalah
f. Perubahan kebiasaan, makan, pola tidur, pola mimpi
g. Perubahan tingkat aktivitas
h. Perubahan pola komunikasi
i. Perubahan libido
j. Tawar menawar
k. Kesulitan mengatkan yang baru atau peran yang berbeda

24
l. Potensial kehilangan objek yang signifikan (missal orang, hak milik,
pekerjaan, status, rumah, bagian dan proses tubuh).
m. Berduka cita
6. Dapat disimpulkan dapat di angkat diagnosa keperawatan pada kasus,
antara lain:
a. Duka Cita Terganggu
b. Ketidakefektifan koping individu
c. Isolasi Sosial

25
DAFTAR PUSTAKA

Baswardono, Dono. 2006. Bertahan dari Tragedi. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Kaplan, Harold I, dkk. 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid I. Jakarta : Erlangga.

Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi 2005
2006. Jakarta : Prima Medika.

Yusuf, AH, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta : EGC.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,


Kematian dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung
Seto.

26

Вам также может понравиться