Вы находитесь на странице: 1из 14

Tugas Makalah : Hukum Perdata Islam II

WARISAN

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : ADANAN POHAN
NIM : 132100003

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


(IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2016/2017
1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................................

A. Latar belakang..................................................................................................

BAB II
PEMBAHASAN..........................................................................................................
A. Hukum Waris Menurut Islam...........................................................................
B. Syarat dan rukun waris.....................................................................................
C. Bagian-bagian ahli waris..................................................................................
D. Contoh Kasus Tentang Kewarisan....................................................................
BAB III
PENUTUP...................................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................

BAB I

2
PENDAHULUAN

B. Latar belakang

Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang
yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan
peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang.
Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian
harta peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu.

3
BAB II
PEMBAHASAN
E. Hukum Waris Menurut Islam
1. Pengertian waris
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata adalah kata
kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Quran. Kata waris dalam berbagai bentuk makna
tersebut dapat kita temukan dalam al-Quran, yang antara lain:
a. Mengandung makna mengganti kedudukan (QS. an-Naml, 27:16).
b. Mengandung makna memberi atau menganugerahkan (QS. az-Zumar,39:74).
c. Mengandung makna mewarisi atau menerima warisan (QS. al-Maryam, 19: 6).

Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang
mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-
bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:

Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang
diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.

Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang
meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono
Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu
perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.1
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan
warisan, diantaranya adalah:

1 Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1960,
hlm. 211-212.

4
1. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.

2. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara
haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.

3. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah
diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.

4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.

5. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk
pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a
KHI).2

F. Syarat dan rukun waris

Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut
adalah:

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqdiri.

2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.

Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :

2 Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-
Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404

5
2. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian
seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :

a) Mati Haqiqy (mati sejati).

Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan
putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera
dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.

b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)

Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang
dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan
putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat
kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila
lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati.
Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan
pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.

c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).

Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan
keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun.
Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan
oleh pemukulan terhadap ibunya.

3. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli
waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi
yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi,
yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

6
4. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.3

G. Bagian-bagian ahli waris

Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian
dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat
bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-Faraaidh ( ) adalah bentuk
jamak dari kata Al-Fariidhoh ( ) yang oleh para ulama diartikan semakna dengan lafazh
mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya. Ketentuan kadar bagian
masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :

Yang mendapat setengah harta.

1. Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah


berfirman dalam surah An-Nisa ayat 11 :

Artinya : Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo harta.

1. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.(berdasarkan
keterangan ijma)

2. Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara perempuan
seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.

3. Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan tidak
pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.

Yang mendapat seperempat harta.

3 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta,
Gunung Agung, 1984, hlm. 66

7
4. Suami, apabila isteri meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun
anak perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun
perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa ayat 12, yaitu :

Artinya : Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah di bayar
utangnya.

5. Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan anak(baik
anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-laki(baik laki-
laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang, seperempat itu di bagi rata
antara mereka.4

Yang mendapat seperdelapan harta.

Istri baik satu ataupun berbilang, mendapat warisan dari suaminya seperdelapan dari harta kalau
suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan,
atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.

Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa ayat 12, yaitu :

Artinya : Jika kamu mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan.

4. Yang mendapat dua pertiga harta.

5. Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak laki-laki.

6. Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila ia anak perempuan
tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, mereka

4 Ibid., hlm. 57

8
mendapatkan harta warisan dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta. Hal itu
beralasan pada qias, yaitu di qiaskan dengan anak perempuan karena hukum cucu (anak
dari anak laki-laki) dalam beberapa perkara, seperti hukum anak sejati.

7. Suadara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang(dua atau lebih). Firman Allah
SWT, dalam Surah An-Nisa ayat 176, yaitu :

Artinya : Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
yang di tinggalkan oleh yang meninggal.

Yang mendapat sepertiga harta.

1. Ibu, apabila yang meninggal tidak meningglkan anak atau cucu (anak dari anak laki-laki),
dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki ataupun perempuan, seibu
sebapak atau sebapak saja, atau seibu saja.
2. Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa ayat 12, yaitu :

Artinya : Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu.

Yang mendapat sepereenam harta.

1. Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki,atau beserta dua saudara atau
lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja,
atau seibu saja.

2. Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki.5

H. Contoh Kasus Tentang Kewarisan


5 Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu,
1981, hlm. 16-17.

9
Dibawah ini adalah contoh kasus Perebutan Harta Warisan, dimana seorang mantan
suami yang telah meninggal dan hartanya menjadi rebutan antara sang ibu dari almarhum dengan
mantan istri dari almarhum, berikut simak beritanya.
Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah
Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke Pengadilan. Sidang
pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan Agama Bekasi. Warisan
pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi sengketa antara
Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya
memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi
mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum
anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak akan
menjual, menunggu Chavia besar.
Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan
penyelesaiannya secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia. Kita
sudah coba secara kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga
dikasih untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan
untuk saya, Nielsa dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah
besar."
Terlepas dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang
keprihatinan. Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat
di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan Nielsa jadi
tambang meruncing.
Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik
harus terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh
pada perkembangan psikologis Chavia.
"Saya tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah berkomunikasi
dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan
mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)

10
Solusi:
Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang
menjadi rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum telah
memiliki anak dari mantan istrinya.
Untuk status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum
memiliki rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama mantan istri
maka status rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh dari almarhum
saat masih bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai dengan pengertian harta bersama menurut
ketentuan pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut
hukum masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah
hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.6
Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh suami
dan istri dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas
persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah
hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).
2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi
perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing
atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal
36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan
perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian
itu. Demikian juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-
masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah
atau warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.

6 Bustanul Arifin, Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25

11
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri
almarhum mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung
tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun
seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah dapat
dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu mantan istri
almarhum juga berhak atas harta warisan tersebut.7

7 Ibid., hlm. 25

12
BAB III
PENUTUP
B. Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di simpukan
bahwa :

Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli
waris yang masih hidup.

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a
KHI).

Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang
yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.

Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Quran, sehingga
tidak ada kata tidak adil karena Al-Quran adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin
kebenarannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat.
Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS,
Kaliurang, 1980.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983.
Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta,
Bina Aksara, 1982.
Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah
al-Arabiyah, 1960
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
Jakarta, Gunung Agung, 1984.
Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah,
Surabaya, Bina Ilmu, 1981.
Bustanul Arifin, Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I,
1983.

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta,
Yayasan Risalah, 1984.

14

Вам также может понравиться