Вы находитесь на странице: 1из 40

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

TRAUMA KEPALA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2 AJ-2 B19

1. Tiur Trihastutik 131611123055


2. Reny Tjahja Hidayati 131611123056
3. Erna Eka Wulansari 131611123057
4. Intan Cahyanti Sugianto 131611123058
5. Enny Selawati Boangmanalu 131611123059
6. Risca Maya Proboandini 131611123060
7. Yohanes Pemandi Doka 131611123061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah 4.....................................................................................................
1.3 Tujuan ......................................................................................................................5
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................6
2.1 Trauma kepala............................................................................................................6
2.1.1 Anatomi Fisiologi.........................................................................................6
2.1.2 Definisi.......................................................................................................12
2.1.3 Etiologi.......................................................................................................12
2.1.4 Patofisiologi................................................................................................14
2.1.5 WOC...........................................................................................................20
2.1.6 Klasifikasi...................................................................................................22
2.1.7 Manifestasi Klinis.......................................................................................26
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik.............................................................................28
2.1.9 Penatalaksanaan..........................................................................................31
2.1.10 Prognosis....................................................................................................41
2.1.11 Komplikasi.................................................................................................41
BAB III TINJAUAN KASUS................................................................................................61
3.1 Pengkajian 61...............................................................................................................
3.2 Diagnosa Keperawatan.............................................................................................67
3.3 Interevensi Keperawatan..........................................................................................67
BAB IV PENUTUP ...............................................................................................................71
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................71
4.2 Saran ....................................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................72

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cedera kepala masih merupakan permasalahan kesehatan global sebagai penyebab
kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala menjadi penyebab utama
kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera kepala seringkali mengalami
2
edema serebri yaitu akumulasi kelebihan cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang
otak atau perdarahan intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intra
kranial. (Kumar, 2013).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam subtansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Padila, 2012).
Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan disabilitasdan masalah
sosiol ekonomi di India dan negara berkembang. Orang yang mengalami cedera kepala
diperkirakan 1,5-2 juta setiap tahun (Gururaj, Kolluri, Chandramouli, et al., 2005).
Cedera kepala di Amerika diperkirakan terjadi 1,56 juta kasus, 290.000 pasien dirawat
inap dan 51.000 pasien meninggal dunia pada tahun 2003 (Brown, Langlois, Thomas, et
al., 2006).
Cedera kepala akan terus menjadi masalah yang sangat besar meskipun pelayanan
medis sudah sangat maju pada abad 21 (Perdossi, 2006).
Sepuluh penyebab kematian utama di dunia salah satunya karena kecelakaan jalan
raya dan diperkirakan akan menjadi tiga penyebab utama kecacatan seumur hidup.
Kecelakaan jalan raya merupakan masalah kesehatan yang sangat besar diberbagai
belahan dunia yaitu sekitar 45% berasal dari pasien trauma yang rawat inap di rumah
sakit. Cedera kepala didunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap
tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3- 0,5% mengalami
cedera kepala (Viola, Michael, Thompson, 2011).
Cedera kepala mencakup trauma pada kulit kepala, tengkorak (cranium dan tulang
wajah), atau otak.Keparahan cedera berhubungan dengan tingkat kerusakan awal otak
dan patologi sekunder yang terkait (Stillwell & Susan, 2011). Cedera kepala berat adalah
gangguan traumatic otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam
substansi tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak ditandai dengan nilai GCS 3-8
(koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan kesadaran atau
amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresi cranium (Padila, 2012).
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus cedera
kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan 50.000 orang
meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan kecacatan
akibat cedera kepala (Moore & Argur, 2007). Di Indonesia, cedera kepala berdasarkan

3
hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden cedera kepala dengan CFR sebanyak 100.000
jiwa meninggal dunia (Depkes RI, 2013). Di Jawa Tengah terdapat kasus cedera kepala
yang sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalulintas dengan jumlah kasus 23.628
dan 604 kasus diantaranya meninggal dunia (Profil kesehatan kab/kota, 2010).
Berdasarkan hal tersebut, maka trauma kepala ini perlu dipelajari khususnya
dalam praktek Asuhan Keperawatan Kritis. Melalui makalah ini akan kami bahas tentang
pengertian trauma kepala, etiologi dan manifestasi trauma kepala, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis serta Asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma kepala.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah pengertian trauma kepala?
1.2.2. Apakah etiologi dari trauma kepala?
1.2.3. Apakah kalsifikasi dari trauma kepala?
1.2.3. Bagaimana patofiologis trauma kepala?
1.2.4. Apakah manifestasi klinis trauma kepala?
1.2.5. Apakah komplikasi trauma kepala?
1.2.6. Bagaimana pronosis pada trauma kepala
1.2.7. Bagaimana pemeriksaan dignostik pada trauma kepala?
1.2.8. Bagaimana Penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala?
1.2.9. Bagaimana Asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan Asuhan
keperawatan sistem pencernaan pada klien dengan trauma kepala.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian trauma kepala
2. Mengetahui etiologi dari trauma kepala
3. Mengetahui klasifikasi dari trauma kepala
4. Mengetahui patofiologis trauma kepala
5. Mengetahui manifestasi klinis trauma kepala
6. Mengetahui komplikasi trauma kepala
7. Mengetahui prognosis trauma kepala
8. Mengetahui pemeriksaan dignostik pada trauma kepala
9. Mengetahui Penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala
10. Mengetahui Asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Trauma Kepala
2.1.1. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada
bayi dan anak-anak.

Gambar 1. Lapisan Kranium


b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
c. Meningeal
Selaput meningeal menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
5
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Piamater
Piamater melekat erat pada permukaa korteks serebri. Piamater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh piamater.
4) Encephalon
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
6
dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2. Lobus-lobus Otak


5) Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
6) Tentorium

7
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
7) Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
2. Fisiologi Kepala
Regulasi aliran darah serebral
Sistem saraf pusat jika dihitung merupakan 2% dari total berat badan (rata-
rata berat otak 1300 sampai 1500 gram) memiliki kebutuhan energi yang tinggi.
Konsumsi oksigen serebral yaitu 3,5 mL per 100g/mnt yang mana merupakan 20%
dari konsumsi total oksigen tubuh. Pada kondisi yang normal, aliran darah serebral
dijaga pada kisaran aliran yang konstan yaitu 50 mL sampai 60 mL per 100g/mnt
dengan 50 mL oksigen telah diekstraksi setiap menit dari 700 sampai 800 mL darah.
Nilai ekstraksi oksigen tinggi dan perbedaan rata-rata O2 arteriovenose untuk sistem
saraf pusat yaitu 6,3 mL per 100 mL darah. Aliran darah serebral bergantung pada
perbedaan tekanan antara arterial dan vena sirkulasi serebral dan secara terbalik
proporsional terhadap resistensi vaskular serebral. Tekanan vena pada kapiler darah
tidak bisa diukur dan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) sangat dekat
dengan tekanan vena, diukur untuk memperkirakan tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure/CPP). CPP dihitung sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-
rata (mean arterial pressure/MAP) dan ICP.
Nilai ICP normal pada orang dewasa yaitu <10 mmHg dan peningkatan
ambang batas 20 mmHg biasanya diterima untuk memulai terapi aktif. Nilai CPP 60
mmHg umumnya diterima sebagai nilai minimal yang diperlukan untuk perfusi
serebral yang adekuat. Dua konsep yang penting yaitu:
1. Doktrin Monro-Kelle
2. Kurva volume-pressure

8
Doktrin Monro-Kelle menyatakan bahwa volume total isi intrakranial
(jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) tetap konstan selama
ditampung oleh kompartmen yang rigid (skull), sebagai berikut:
VC = Votak + Vdarah + VCSF
Dengan peningkatan volume dari salah satu bagian bisa memulai kompensasi
dengan penggantian salah satu dari komponen yang lain. Vena serebral bisa
dikonstriksikan, mengakibatkan penurunan volume darah otak, dan volume CSF bisa
menurun karena kombinasi dari peningkatan resorpsi dan pengaliran CSF ke bagian
spinal. Dengan adanya peningkatan volume, mekanisme kompensasi dimunculkan,
sehingga peningkatan lebih lanjut pada volume menghasilkan peningkatan tajam ICP,
memulai gambaran kurva volume-pressure.

Gambar 3. Kurva Volume-pressure


Kebutuhan metabolik yang tinggi dari otak dengan kombinasi persediaan
substrat yang terbatas mengharuskan untuk menjaga level CBF dalam batas yang
normal. Dalam keadaan fisiologis, hal ini dipengaruhi lewat sebuah mekanisme yang
dinamakan autoregulasi. CBF meningkat dengan vasodilatasi dan menurun dengan
konstriksi arteriol serebral dinamakan cerebral resistance vessels. Pembuluh darah
berespon pada perubahan tekanan darah sistemik (autoregulasi tekanan), viskositas
darah (autoregulasi viskositas), dan kebutuhan metabolik yang menjaga level CBF
dalam batas yang tepat untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Autoregulasi tekanan
ditunjukkan pada gambar.
9
Gambar 4. Kurva autoregulasi CBF dan CPP normal

Reaktivitas CO2 merujuk pada respon pembuluh darah serebral dan akibat
CBF terhadap perubahan PCO2. Peningkatan tekanan CO2 merilekskan arteri
serebral in vitro. In vivo, perubahan perivaskuler PaCO2 atau pH yang sangat
terlokalisir bisa merubah diameter vaskuler, mengindikasikan bahwa elemen vaskuler
bertanggung jawab untuk mempengaruhi perubahan pada diameter pembuluh darah.
Kedua sel vaskuler (endotelium dan sel otot polos) dan sel ekstravaskuler (sel nervus
perivaskuler, neuron, dan glia) mungkin juga terlibat. Pada situasi klinis, perubahan
CBF kira-kira 3% untuk setiap milimeter perubahan raksa pada PaCO2 diatas kisaran
20 sampai 60 mmHg yang secara klinis penting pada pasien dangan trauma cedera
kepala. Hipoventilasi yang menghasilkan hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan aliran darah serebral, sedangkan hiperventilasi menghasilkan
vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah serebral.
2.1.2. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam subtansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Padila, 2012). Cedera kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury
Association of America(2013), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan

10
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Risiko utama pasien yang
mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK (Smetlzer &
Bare, 2006).
2.1.3. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America (2013), penyebab utama cedera
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%,
karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11%
dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama cedera kepala kepala.
Menurut CDC (2011) dari 2006-2010, menyatakan bahwa jatuh adalah penyebab
utama traumatic brain injury (TBI), prevalensi untuk 40% dari semua TBI di Amerika
Serikat yang mengakibatkan peningkatan di instalasi gawat darurat(IGD) rumah sakit
atau kematian. Jatuh secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok usia termuda
dan tertua. Lebih dari setengah (55%) dari TBI antara anak-anak 0-14 tahun disebabkan
karena jatuh, lebih dari dua pertiga (81%) dari TBI pada orang dewasa berusia 65 dan
lebih tua disebabkan karena jatuh.Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab
utama keseluruhan ketiga TBI (14%). Kematian dari kasus TBI,kecelakaan kendaraan
bermotor adalah penyebab utama kedua kematian terkait TBI (26 %) untuk periode 2006-
2010 tahun. Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1% dan 29,8% per100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1% per100.000
populasi di Amerika Serikat (Coronado, 2011). Penyebab utama terjadinya trauma kepala
adalah seperti berikut:
1. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (Rendi & Margareth, 2012). Penelitian Babu
dkk, menemukan bahwa penyebab cedera kepala pada pasien dengan perdarahan
epidural adalah kecelakaan lalulintas sebesar 52%, diikuti oleh jatuh sebesar 25%
(Babu, Bhasin&Kumar, 2005). Penelitian Al- Mochdar (2005) menemukan bahwa

11
kecelakaan lalulintas sebesar 90,8% dan Sadewo (2005) menemukan kecelakaan
lalulintas sebesar 65,1% diikuti oleh jatuh sebesar 16,3%.
2. Jatuh
Jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat
karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke
tanah (Rendi & Margareth, 2012).Menurut CDC (2011), menyatakan bahwa Jatuh
secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok usia termuda dan tertua: Lebih
dari setengah (55%) dari TBI antara anak-anak 0-14 tahun disebabkan karena jatuh,
lebih dari dua pertiga (81%) dari TBI pada orang dewasa berusia 65 dan lebih tua
disebabkan karena jatuh.
3. Kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau
kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan
kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan) (Padila, 2012).
2.1.4 Patofisiologi
Menurut Hudak (2013), mekanisme khas cedera meliputi :
1. Cedera akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak ( misalnya alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala). Kekuatan
benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat percepatan, perlambatan
dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba terhadap kepala dan jaringan otak.
Trauma tersebut bisa menimbulkan kompresi dan regangan yang bisa menimbulkan
robekan jaringan dan pergeseran sebagian jaringan terhadap jaringan otak yang lain.
2. Cedera deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek yang diam, seperti pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil. Cedera
akselerasi-deselerasi sering kali terjadi dalam kasus keecelakaan kendaraaan bermotor
dan episode kekerasan fisik. Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur
suatu benda yang keras, maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan di tempat benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Pada tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, sedang pada tempat yang
berlawanan terdapat tekanan negatif paling rendah sehingga terjadi rongga dan
akibatnya dapat terjadi robekan.
3. Cedera coup-conter coup

12
Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruanag kranial
dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena
benturan dapat berpindah ke area otak yang berlawanan. Sebagai contoh, apabila
seseorang dipukul dengan obyek tumpul pada bagian belakang kepalanya, penting
untuk mengkaji apakah cedera pada lobus frontalis dan lobus oksipitalis serta
serebelum.
4. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak,
yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansi alba serta
robeknya pembuluh darah yang memfiksaasi otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak

Gambar 5. Cidera Coup-Counter Coup

Patofisiologi aliran darah cerebral pada trauma cedera kepala

13
Cedera kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan mortalitas individu
dibawah umur 45 tahun di dunia. Mekanisme prinsipal cedera kepala diklasifikasikan sebagai (a)
kerusakan otak fokal karena tipe cedera kontak yang menyebabkan terjadinya kontusio, laserasi,
dan perdarahan intrakranial atau (b) kerusakan otak difus karena tipe cedera akselerasi/deselerasi
yang menghasilkan cedera axonal difus atau pembengkakan otak. Hasil dari cedera kepala
ditentukan oleh dua mekanisme/stage substansial yang berbeda: (a) primary insult (kerusakan
primer, kerusakan mekanikal) yang terjadi saat waktu terbentur, (b) secondary insult (kerusakan
sekunder, delayed non-mechanical damage) menunjukkan proses patologi berturutan yang
dimulai saat waktu cedera dengan presentasi klinis yang ditunda. Iskemia serebral dan hipertensi
intrakranial merujuk pada secondary insult.
Aliran darah otak dijaga dalam level yang konstan pada otak normal saat fluktuasi biasa
pada tekanan darah dengan proses autoregulasi. Normalnya autoregulasi menjaga aliran darah
konstan antara tekanan arteri rata-rata (MAP) 50mmHg dan 150 mmHg. Namun, pada otak yang
iskemik atau mengalami trauma, atau sedang mendapat agen vasodilator (agen votil dan sodium
nitropruside) aliran darah otak CBF (Cerebral Blood Flow) bisa bergantung pada tekanan darah.
Defek autoregulasi aliran darah serebral bisa muncul segera setelah trauma atau mungkin bisa
berkembang selama waktu, dan hal ini menjadi transien atau persisten dalam keadaan yang
irrespective adanya kerusakan ringan, sedang, atau parah. Sehingga tekanan arteri meningkat lalu
CBF akan meningkat menyebabkan peningkatan volume otak. Sama seperti jika tekanan turun,
CBF juga akan turun mengurangi tekanan intrakranial, tapi juga memicu pengurangan tak
terkontrol CBF.
Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitas CO2 merupakan mekanisme penting untuk
menyediakan aliran darah serebral yang cukup setiap saat. Demikian juga, kedua pola tersebut
merupakan dasar manajemen tekanan perfusi serebral dan tekanan intrakranial dan gangguan
mekanisme regulator mencerminkan peningkatan resiko kerusakan otak sekunder. Setelah terjadi
trauma cedera kepala, autoregulasi aliran darah serebri mengalami gangguan atau tidak ada pada
kebanyakan pasien. Keadaan sementara pada patologi ini tidak sejalan dengan keparahan cedera
untuk menghasilkan kegagalan autoregulasi. Defek autoregulasi bisa muncul segera setelah
trauma atau bisa berkembang seiring perjalanan waktu, dan menjadinyata atau persisten pada
bentuknya tidak selaras dengan kerusakan ringan, sedang, atau berat. Autoregulasi vasokonstriksi
juga sepertinya lebih resisten dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi yang

14
mengindikasikan pasien lebih sensitif pada kerusakan rendah daripada tekanan perfusi serebral
tinggi.
Dibandingkan dengan autoregulasi aliran darah serebral, reaktivitas CO2 serebrovaskular
terlihat memiliki fenomena lebih kuat. Pada pasien yang mengalami cedera otak parah dan
prognosis buruk, terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada fase awal setelah trauma. sebaliknya
reaktivitas CO2 lebih utuh atau mungkin meningkat pada kebanyakan pasien yang menerima
prinsip fisiologis sebagai target manajemen intrakranial pada status hiperemik.
Banyak studi terbaru telah menunjukkan bahwa setelah terjadi trauma autoregulasi masih
bisa berfungsi. Pada situasi jika CPP (Cerebral Perfusion Pressure) turun dibawah nilai kritis 70
mmHg, pasien akan mengalami perfusi serebral yang tidak adekuat. Autoregulasi akan
menyebabkan vasodilatasi serebral mengawali peningkatan volume otak. Hal ini sebaliknya akan
meningkatkan tekanan intrakranial dan memicu lingkaran visius yang dijelaskan dengan kaskade
vasodilatasi yang menghasilkan iskemia serebral.

Gambar 6. Kaskade Vasodilatasi


Proses ini hanya bisa dirusak dengan meningkatkan tekanan darah untuk menaikkan
tekanan perfusi serebral, yang memicu kaskade vasokonstriksi. Hal ini menjelaskan mengapa
pemeliharaan tekanan darah arteri pada level yang adekuat dengan monitoring cermat dan
koreksi yang cepat jika terjadi penurunan sangatlah penting.

15
Gambar 7. Kaskade vasokonstriksi
Karbon dioksida menyebabkan vasodilatasi serebral. Dibandingkan dengan autoregulasi
serebral, reaktivitas CO2 (konstriksi serebrovaskuler atau dilatasi pada respon terhadap hipo-
atau hiperkapnia) kelihatannya merupakan kejadian yang lebih kuat. Dengan terjadi peningkatan
tekanan arterial CO2, CBF meningkat dan ketika terjadi pengurangan maka akan memicu
vasokonstriksi. Sehingga hiperventilasi bisa mengawali terjadinya pengurangan rata-rata tekanan
intrakranial sekitar 50% dalam 2-30 menit. Ketika PaCO2 kurang dari 25 mmHg (3,3kPa) tidak
terdapat pengurangan lebih lanjut pada CBF. Akibatnya, tidak terdapat keuntungan untuk
memicu hipokapnia lebih lanjut sebagaimana hanya akan menggeser kurva disosiasi lebih ke
kiri, membuat oksigen kurang tersedia untuk jaringan.

Gambar 8. Kurva hubungan PCO2 arterial dengan CBF

16
Vasokonstriksi hipokapnia akut hanya akan berlangsung untuk waktu yang relatif singkat.
Sementara hipokapnia dipelihara, terjadi peningkatan gradual CBF pada nilai kontrol yang
memicu terjadinya hiperemia serebral (over-perfusion) jika PaCO2 dikembalikan secara cepat
menjadi normal level. Ketika ventilasi jangka panjang diperlukan, hanya hipokapnia ringan (34-
38 mmHg: 4,5-5,1 kPa) harus dipicu. Hasil yang lebih buruk pernah dilaporkan pada pasien
setelah cedera kepala pada bulan ketiga dan keenam yang telah dilakukan hiperventilasi pada
level PaCO2 rendah untuk periode yang lama.

17
Mekanisme penyebab lain : Mekanisme penyebab :
- Cedera kepala tumpul (kecelakaan kendaraan - Cedera akseleraai
bermotor, jatuh,pukulan benda tumpul) - Cedera deselerasi
- Cedera kepala tembus/penetrasi (luka tembak, - Cedera coup-countre coup
pukulan benda tajam) - Cedera rotasional
2.1.5 WOC
CEDERA KEPALA
Akibat langsung dari ruda paksa
Respon fisiologis cedera otak
Bergeraknya isi (lanjutan dari cedera otak primer)
dalam tengkorak

Cedera Sekunder
otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan MK
Gangguan Hematoma Edema Sindrom -ketidakefektifan
sistemik traumatik serebral herniasi pola nafas
Gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik -Ketidakefektifan
dari sel otak pada area yang cedera bersihan jalan
nafas
Cedera Primer Barier darah
otak rusak
Laserasi Fraktur tulang -Bersihan jalan afasfas
Cedera Cedera fokal
kulit kepala tengkorak Autoregulasi arteriol terganggu
aksonal difus
normal menghilang -obstruksi jalan nafas
Fraktur tulang Edema difus -epidural hematom -dispneu
Depresed
tengkorak linier dan lokal -subdural hematom Edema vasogenik -Perubahan pola nafas
skul fracture
-Hematoma intracranial
Banyaknya Fraktur Cedera pada pusat nafas
Terpotongnya akson Pembengkakan otak
vaskularitas basis kranii
secara langsung
Herniasi unkus Nyeri
Perdarahan dlm Peningkatan TIK MK: Nyeri Akut
koma kepala
jumlah besar
Menekan
MK : Resiko ketidakefektifan Defisit neurologis Hipoksia terus menerus
MK : Resiko mesenfalon
perdarahan perfusi jaringan serebral
Abnormalitas Penurunan Kerusakan
TTV kesadaran otak iskemik
Terputusnya Trauma Gangguan
kontinuitas jaringan kesadaran MK:Resiko Ketidakefektifan MK: Resiko 18
MK: Penururan kapasitas
jaringan tulang perfusi jaringan serebral Cedera
MK: Resiko adaptif intrakranial
Infeksi
Kerusakan otak iskemik
Penurunan
kesadaran
Kehilangan Kehilangan Defisit Disfungsi
Perubahan kemampuan Stress Gangguan Gangguan persepsi
motorik komunikasi kognitif emosi
menelan makanan autoregulasi
Peningkatan Kehilangan Disfungsi
Penurunan aliran Hemiparese Diastria, Kehilangan
Kelemahan otot untuk katekolamin sensori persesi visual
darah ke otak , hemiplegia Disfaksia, kontrol
mengunyah dan Apraksia depresi,
menekan makanan Peningkatan menarik
Penurunan Paresteia, kebas, Penurunan Penurunan
asam diri, rasa
oksigen kesemutan lapang pandang kekuatan MK:
MK: Resiko atau Hambatan takut,
Ketidakseimbngan Mual dan Gangguan ketahanan komunikasi isolasi
nutrisi kurang dari mutah Gangguan
metabolism MK: Resiko verbal
kebutuha tubuh persepsi
Cedera Keterbtasan
sensori
Peningkatan mobilitas Kehilangan
aam laktat fisik memori

Edema MK: Defisit MK:


meluas perawatan Hambatan MK:
diri mobilitas Kerusakan
fisik memori
MK : Resiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan otak

19
2.1.6 Klasifikasi
Cedera kepala digolongkan dengan berbagai macam klasifikasi berdasarkan
kepentingannya, namun disini akan dibahas penggolongan menurut patologis yang terjadi
dan gambaran cederanya. Menurut Satyanegara dkk (2010), terdapat empat klasifikasi
cedera kepala, yaitu:
1. Cedera kepala primer, dapat berupa:
a. Fraktur linear, depresi, basis kranii, kebocoran likuor Merupakan rusaknya
kontunuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur dapat terjadi
dengan atau tanpa kerusakan otak. Fraktur digolongkan menjadi fraktur terbuka
(kerusakan dura) dan fraktur tertutup bila dura tidak rusak (Smetlzer & Bare,
2006).
b. Cedera fokal yang berupa coup dan countercoup, hemato epidural, subdural atau
intraserebral. Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya
didapatkan pada kira-kira setengah dari kasus cedera kepala berat (Satyanegara
dkk, 2010).
1) Coup adalah gerakan yang menyebabkan memar pada titik benturan (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009).
2) Counter coup adalah benturan pada tempat yang jauh dari benturan/ ketika
otak membentur permukaan tengkorak yang tidak lentur (Satyanegara, 2010).
3) Hematoma epidural adalah kondisi setelah cedera, dimana darah terkumpul di
dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan dura (Mallinckrodt
Institute of Radiology, 2006).
4) Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak
(Mallinckrodt Health Central., 2013).
5) Hematoma intraserebral adalah perdarahan intraserebral hematoma adalah
perdarahan yang terdapat di dalam substansi otak (MedicineNet, 2013).
c. Cedera difus yang berupa konkusi ringan atau klasik atau berupa cedera aksional
difusa yang ringan, moderat hingga berat. Cedera difus berkaitan dengan
disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.
Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson,
maka cedera ini juga dikenal dengan nama cedera aksonal difusa.
d. Trauma tembak Merupakan cedera yang timbul karena tembakan/ peluru.
2. Kerusakan otak sekunder, dapat berupa:
a. Gangguan sistemik: akibat hipoksia-hipotensi, gangguan metabolisme energi dan
kegagalan autoregulasi
20
b. Hematoma traumatik: epidural, subdural (akut dan kronis), atau intraserebral
c. Edema serebral perifokal generalisata
d. Pergeseran otak (brain shift)
e. Herniasi batang otak
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis cedera
kepala diklasifikasikan berdasarkan : Mekanisme, beratnya dan morfologi cedera kepala
(CDC, 2010).
1. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas:
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul, dapat terjadi
1) Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil maupun motor.
2) Kecepatan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari ketinggian atau dipukul
dengan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus
Disebabkan oleh :
1) Cedera peluru
2) Cedera tusukan
Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya respon membuka
mata, respon motorik dan respon verbal (Padila, 2012).
a. Respon membuka mata Skor
Membuka mata spontan 4
Buka mata bila ada rangsangan suara atau sentuhan ringan 3
Membuka mata bila ada rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon sama sekali 1
b. Respon motorik
Mengikuti perintah 6
Mampu melokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon sama sekali 1
c. Respon verbal
Orientasi baik 5
21
Kebingungan (tidak mampu berkomunikasi ) 4
Hanya ada kata kata tapi tidak berbentuk kalimat ( teriakan ) 3
Hanya asal bersuara atau berupa erangan 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :
a. Cedera kepala ringan: GCS 14 15
b. Cedera kepala sedang: GCS 9 13
c. Cedera kepala berat: GCS 3 8
3. Morfologi cedera kepala
Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas:
a. Fraktur kranium.
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Dibagi atas :
1) Fraktur kalvaria:
a) Bisa berbentuk garis atau bintang
b) Depresi atau non depresi
c) Terbuka atau tertutup
2) Fraktur dasar tengkorak:
a) Dengan atau tanpa kebocoran cerebrospinal fluid (CSF)
b) Dengan atau tanpa paresis N.VII.
b. Lesi intrakranium.
Dapat digolongkan menjadi :
1) Lesi fokal:
a) Perdarahan epidural
b) Perdarahan subdural
c) Perdarahan intraserebral
2) Lesi difus:
a) Komosio ringan
b) Komosio klasik
c) Cedera akson difus
4. Berdasarkan patofisiologi
a. Komosio serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak tapi hanya kehilangan fungsi
otak sesaat (pingsan < 10 mnt) atau amnesia pasca cedera kepala.
b. Kontusio serebri : kerusakan jaringan otak, pingsan > 10 mnt atau terdapat lesi
neurologik yang jelas.
c. Laserasi serebri : kerusakan otak yang luas, robekan duramater, fraktur tulang
tengkorak terbuka.

22
Gambar 9. Lokasi cidera kepala
2.1.7. Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki
beberapa tanda dan gejala. Dengan mengetahui manifestasi klinis dari cedera kepala,
dapat di bedakan antara cedera kepala ringan dan berat.
1. Cedera ringan
a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran. Periode konfusi (kebingungan) transien,
somnolen, gelisah, iritabilitas, pucat, muntah (satu kali atau lebih)
b. Tanda-tanda progestivitas
c. Perubahan status mental (misalnya sulit dibangunkan). Agitasi memuncak, timbul
tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang tampak
jelas
2. Cedera berat
Tanda-tanda peningkatan TIK, perdarahan retina, paralisis ekstraokular (terutama
saraf kranial VI), hemiparesis, kuadriplegia, peningkatan suhu tubuh, cara berjalan
yang goyah, papiledema
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
2. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
23
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
3. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
Manifestasi lain pada cedera kepala:
a. Kejang
Tidak selalu diikuti epilepsi kronik
Tidak perlu penanganan khusus , kecuali jika berkepanjangan atau berulang
Therapy :
Diazepham 10 mg IV
Phenytoin 1 gr IV kemudian 50 mg IM
Jika kejang menetap :
Phenobarbita
Anestesi
b. Gelisah
Gelisah sering dijumpai pada cedera otak atau cerebral hypoxia
Dapat oleh sebab lain:
Rasa sakit
Buli-buli penuh
Bandage / cast terlaku ketat
Atasi penyebabnya: Terjadi severe agitasi : Chloprometazine 10 25 mg IV
c. Hypertermia
Meningkatkan resiko pada :
Metabolisme otak meningkat
Level Co2 meningkat
Atasi dengan :
Hypothermia Blanket
24
Chlorpromazine
Kriteria Untuk Observasi Dan Perawatan :
1. Post trauma amnesia
2. Kesadaran yang menurun
3. Riwayat kehilangan kesadaran
4. Nyeri kepala sedang atau berat
5. Foto tampak fractur linier atau kompresi, benda asing di otak, air fluid levele
6. Ada tanda fractur basisi
7. Cedera berat ditempat lain
8. Tidak ada yang menemani di rumah
9. Ada tanda fractur basisi
10. Cedera berat ditempat lain
11. Tidak ada yang menemani di rumaAda tanda fractur basisi
12. Cedera berat ditempat lain
13. Tidak ada yang menemani di rumah
2.1.8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah:
a. Laboratorium: Darah rutin, Na, K, GDS, SGOT/SGPT, AGD
b. X ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
c. CT scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam
Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih
rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan
penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti
25
bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik,
selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada
40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping
itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya
struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.
Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat,
2007 ).
d. Angiografi
e. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput
pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada
hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai
prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT
Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983
dalam Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti
merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD).
Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya
CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di
dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan
gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam
Sastrodiningrat, 2007 ).
f. Pemeriksaan pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.

26
g. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus
dicatat.
Tabel Saraf Kranial

Gambar 10. Pemeriksaan pada pasien cidera kepala


2.1.9. Penatalaksanaan

27
Menurut (Padila, 2012) Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat
keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain :
a. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
j. CT scan abnormal
Penatalaksanaan Cedera Kepala
I. Cedera Kepala Ringan (Gcs = 14 15 )
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat. 3 % penderita cedera kepala ringan ditemukan fraktur tengkorak
Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
d. Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-
obatan / alkohol.
e. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto rontgen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battles sign
Penilaian terhadap Foto rontgen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
28
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah Sakit
II. Cedera Kepala Sedang ( Gcs = 9-13 )
Pada 10 % kasus :
a. Masih mampu menuruti perintah sederhana
b. Tampak bingung atau mengantuk
c. Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
Pada 10 20 % kasus :
a. Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
b. Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
Tindakan di UGD :
a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CT scan
Penderita harus dirawat untuk diobservasi
Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
a. Status neulologis membaik
b. CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan

29
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan cedera kepala
berat.
Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
III. Cedera Kepala Berat ( Gcs 3 8 )
Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
Cedera kepala berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
Diagnosa dan terapi sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera kepala berat harus dilakukan
secepatnya.
Penatalaksaan Sesuai Primary dan Secondary Survey
A. Primary survey dan resusitasi
Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tekanan darah sistolik < 95 mmHg ) mempunyai mortalitas 2 kali
lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
1. Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi
apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara
asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan
penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg
1. Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung
dan tension pneumothorax.
30
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti
cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen
B. Secondary survey
Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik head to toe
C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan
sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik,
bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.
Terapi Medikamentosa Untuk Trauma Kepala
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RL

31
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresif
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2
sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi
dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat
hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan
diuresis
Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat
dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulsan
Penggunaan anticonvulsan profilaksis tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma
Phenobarbital dan Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I

32
Obat lain diazepam dan lorazepam
Penatalaksanaan Pembedahan
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci
bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan
dengan penekanan langsung,
Definisi: pasienkauteraisasi atau(GCS
sadar dan berorientasi ligasi
13-15)pembuluh besar dan penjahitan

luka
RIWAYAT
Lakukan desinsfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
Nama,
Nama, umur,
umur, jenis
jenis kelamin,
kelamin, ras,
ras, pekerjaan
pekerjaan
menunjukanmekanisme
adanya robekan
mekanisme cedera dura. konsultasi ke dokter ahli bedah saraf
cedera
waktu
waktu cedera
cedera
Lakukan fototidak
teengkorak
tidak sadar / CT
sadar segera
segera Scancedera
setelah
setelah cedera
tingkat kewaspadaan
tingkat kewaspadaan
Tindakan operatif
amnesia: retrograde, antegrade
amnesia: retrograde, antegrade
B. sakit kepala:
Fractur depresi ringan, sedang, berat
tengkorak
pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
pemeriksaan
Tindakan operatif apabilaumum
tebal untuk menyingkirkan
depresi cedera
lebih besar dari sistemiktulang di dekatnya
ketebalan
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di intra
pemeriksaan neurologis terbatas
kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masapemeriksaan
Intrakranial rontgen vertebra servical dan lainnya sesuai
indikasi
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa dan
untuk mencegah kematian
pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak
menunjukan respon yang baik dengan terapi yang diberikan
pemeriksaan CT scan kepala merupakan indikasi bila
Trepanasi dilakukan
memenuhipada pasien
kriteria koma,perlunya
kecurigaan tidak ada respon
tindakan pada intubasi endotracheal,
bedah
saraf
hiperventilasi sangat dan
moderat tinggi
pemberian manitol.
ALOGARITMA
a. Alogaritma
observasi
observasi atau COR
atau dirawat
dirawat di
di RS
RS dipulangkan
dipulangkan dari
dari RS
RS

CT scan tidak ada tidak memenuhi kriteria rawat


CT scan abnormal diskusikan kemungkinan kembali ke
semua cedera tembus rumah sakit bila memburuk dan
riwayat hilang kesadaran berikan kertas observasi
kesadaran menurun jadwalkan untuk kontrol ulang
nyeri kepala sedang-berat
intoksikasi alcohol/obat-obatan 33
fraktur tulang
kebocoran likuor: rhinorea-otorea
cedera penyerta yang bermakna
tak ada keluarga di rumah
deficit neurologis fokal

Definisi: GCS 9-12

Pemeriksaan inisial
Sama dengan pasien cedera kepala ringan ditambah
pemeriksaan darah sederhana
pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah
saraf

Setelah Dirawat
Lakukan pemeriksaan neurologis periodic
lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi
pasien memburuk dan bila pasien akan
dipulangkan
b. Alogaritma COS

Bila kondisi membaik Bila kondisi memburuk


(90%) (10%)

Pulang bila memungkinkan Bila pasien tidak mampu


Kontrol di poliklinik melakukan perintah sederhana lagi,
segera lakukan pemeriksaan CT 34
scan ulang dan penatalaksananaan
selanjutnya sesuai protocol cedera
kepala berat
Definisi: pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang
menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan Penatalaksanaan


ABCDE
Primary Survey dan resusitasi
c. Secondary Survey dan
Alogaritma riwayat AMPLE
COB
Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
Obat-obat (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)
Manitil
Hiperventilasi sedang (PC)2 < 35 mmHg)
Antikonvulsan

35

CT Scan
Penanganan Sebelum Sampai Di Rumah Sakit Atau Fasilitas Yang Lebih Memadai
I. Pada pertolongan pertama :
Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering trauma
kepala disertai trauma leher.
Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat saturasi O2 dan CO2
Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
Pasang BACK BOARD ( spinal board)
Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum dilakukan
penjahitan situsional.
Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syock. Atasi syok dengan
pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line ), beri cairan yang memadai. (lihat
penatalaksanaan hemoragik syok)
Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula obat
penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.
II. Penatalaksanaan di Rumah Sakit.
Begitu diagnosa ditegakan, penanganan harus segera dilakukan
Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara :
Pertahankan metabolisme otak yang adekuat

36
Mencegah dan mengatasi hyper tensi
A. Mempertahankan kebutuhan metabolisme otak
Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian oksige ke
otak, metabolisme perlu oksigen dan glucosa.
Usahakan PaO2 > 80 mmHg
Pertahankan PaCO2 26 28 mmHg
Trnsfusi darah mungkin diperlukan sebagai oxygen carrying capacity
B. Mencegah hypertensi intra cranial
Hypertensi ini dapat terjadi akibat :
Masa lesi
Pembengkakan otak akut
Odema otak
Cara mengatasi Hipertensi intracranial:
a. Lakukan hypocapnia
Konsentrasi Co2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak
Co2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume intrakranial
Co2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun
Tindakan hyperventilasi :
Menurunkan intra cerebral acidosis
Meningkatkan metabolisme otak
Anjurkan hyperventilasi dan pertahankan Pco2 antara 26 28 mmHg
Hati-hati pada saat melakukan tindakan intubasi
b. Kontrol cairan
Cegah overhidrasi
IV jangan hypoosmolar
Jangan dilakukan loading
c. Diuretic :
Manitol menurunkan volume otak dan menurunkan tekanan intra kranial
Dosis 1 gr / kg BB IV cepat
Furosemid 40 80 mg IV (Dewasa)
37
Lakukan observasi dengan ketat
d. Steroid
Tidak direkomendasikan pada cedera kepala akut
2.1.10. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemulihan dari
cedera kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
2.1.11. Komplikasi
Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan herniasi
melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya untuk cedera
terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan. Ruptur vaskular dapat terjadi
sekalipun pada cedera ringan; keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang
tengkorak dan permukaan serebral. Kompesi otak di bawahnya akan menghasilkan efek
yang dapat menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan semakin memburuk
(Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009).
Adapun komplikasi menurut (Sastrodiningrat, 2009) dari trauma kepala itu sendiri
sebagai berikut:
a. Epidural Hematoma
b. Subdural Hematoma
c. Intracerebral Hematoma

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced
Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI,
2004.
Brain Injury Association of America. (2013, November). To the housecommittee on energy and
commerce subcommittee on health. America: CDC, 1-3 (accessed 01 April 2016).
http://www.nashia.org/pdf.
Bulecheck, Butcher & Dochterman. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC). 6th
Edition. USA: Elsevier Mosby
Centers for Disease Control[CDC]. (2011, Mei). Surveillance for Traumatic Brain Injury
Related Deaths United States 19972007. MMWR, 60(5), 1-30.

38
Coronado, V.G., Xu, L., Basavaraju, S.V., McGuire, L.C., Wald, M.M., Faul, M.D., et al. (2011).
Surveillance for traumatic brain injury-related deaths United States 1997-2007. MMWR,
60(5),1-36.
Doenges, Marilyn E. (2015). Manual diagnosis keperawatan Rencana, Intervensi, &
Dokumentasi Asuhan keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery.
Surez, J.I. editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo,
2005.
Guidlines for the Management of Traumatic Severe Brain Injury 3 rd Edition, and American
Association of Neurogical Surgeons (AANS), (2007). New York.
Herdman & Kamitsura. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses: Definition and
Classification, 2015-2017. 10th edition. Oxford: Wiley Blackwell
Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and
Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003.
Hudak. (2013). Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Kim, BS., Jallo, J. 2008. Intracranial Pressure Monitoring and Management of raised Intracranial
Pressure. In Neurosurgical Emergencies. Second edition. Loftus, C.B editor. New York;
AANS, pp. 11-12.
Lavinio, A. and Menon, D.K. 2011 Intracranial pressure: why we monitor it, how to monitor it,
what to do with the number and whats the future? Current Opinion in Anestesiology,
24:117-123.
Litbang, Depkes. (2013). Riskesdas: Prevalensi cidera kepala nasional. (access 01April2016).
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_ Riskesdas2013.PDF
Nurarif, Amin Huda. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis &
NANDA (north american nursing diagnosis association) NIC-NOC Edisi Revisi jilid 1.
Yoyakarta: Mediaction publishing
North, B. 1997. Intracranial Pressure Monitoring. In head Injury. Reilly, P., Bullock, R.editors.
London. pp. 209-216.
Padayachy, L., Figaji, A.A., Bullock, M.R. 2010. Intracranial pressure monitoring for traumatic
brain injury in the modern era. Childs Nerv Syst, 26:441-452
Padila. (2012). Buku ajar: Keperawatan medikal bedah. Yogjakarta: Nuha Medika.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007.
Pekanbaru.

39
Perdossi. (2006, Maret). Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan Trauma spinal.
Jakarta: Perdossi.
Polinsky,S., and Muck, K. 2007. Increase Intracranial Pressure and monitoring. rn.com. San
Diego.
Reissner, JE & Menon, DK 2011, Traumatic Brain Injury, Philosophical Transactions of The
Royal Society B Journal, vol. 366, pp. 241-250.
Sastrodiningrat, A,G. (2009). Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa cedera
kepala berat. Majalah Kedokteran Nusantara, 39(3), 307-16.
Smeltzer. (2010). Brunner & Suddarths Textbook of Medical-Surgical Nursing. 12th ed. USA:
Lippincott William & Wilkins.
Smith, M. 2008. Monitoring Intracranial Pressure in Traumatic Brain Injury. International
Anesthesia research Society, Volume 106, No.1:240-248.
Stochett, N, et al. Hyperventilation in Head Injury. CHEST 2005;127:1812-25.
Tasmono. (2011). TRAUMA KEPALA PADA KECELAKAAN SEPEDA MOTOR di MALANG
RAYA 2006 2007, Jurnal Saintika Medika, Vol 7, No 14 (2011). Diakses melalui
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/view/1089.
Walters, FJM. Intracranial Pressure and Cerebral Blood Flow.
www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_013.htm didownload tanggal 7 November 2011.
Werner, C, Engelhard, K. Pathophysiology of traumatic brain injury. BJA 2007;99: p.6-10.
World Health Organization (2009). World report on traffic injury prevention, main massage and
recommendations WHO. Geneva. Switzerland. (accessed 01 April 2016)).
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en.

40

Вам также может понравиться