Вы находитесь на странице: 1из 29

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ensefalitis

3.1.1 Definisi

Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai

mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia yang disertai

dengan gangguan neurologis.

3.1.2 Klasifikasi

3.1.2.1 Ensefalitis supurativa

a. Etiologi

Penyebab darai ensefalitis supurativa adalah Staphylococcus Aureus,

Streptococcus, Escherichia coli. Peradangan dapat pula menjalar ke dalam

otak dari otitis media, mastoiditis, sinusitis atau dari piema yang berasal

dari radang, abses di dalam paru, bronkiektasis, emphiema, osteomielitis

tengkorak, pada fraktur terbuka, trauma yang menembus ke dalam otak,

tromboflebitis.

b. Patofisiologi

Ensefalitis supuratif terjadi akibat masuknya pathogen ke dalam jaringan

otak. Akibat proses ensefalitis supuratif akut akan terbentuk abses serebri

yang biasanya terjadi pada substansia alba karena perdarahan disini kurag

intensif dibandingkan dengan substansia grisea. Di dalam otak, mula-mula

terjadi radang lokal disertai sebukan leukosit polimorfonuklear. Di

27
28

sekeliling daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit,

yang membentuk kapsula. Jaringan akhirnya rusak mencair sehingga

terbentuklah abses.

c. Manifestasi Klinis

Secara umum gejala berupa trias ensefalitis, yaitu demam, kejang, dan

penuruan kesadaran. Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul

gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan

intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah,

penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan

mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung

pada lokasi dan luas abses.

3.1.2.2 Ensefalitis viral

a. Etiologi

Ensefalitis epidemik paling sering disebabkan oleh virus yang ditularkan

melalui artropoda (arbovirus), terutama togavirus dan bunyavirus.

Arbovirus yang memiliki pejamu binatang, ditularkan ke manusia melalui

gigitan artropoda dan memiliki distribusi geografis yang jelas. Kasus

ensefalitis sporadic dapat disebabkan oleh sejumlah besar virus lain,

paling sering virus herpes simpleks.


29

Virus yang dapat menimbulkan radang otak pada manusia dapat dibagi

sebagai berikut:

Virus RNA:

Paramiksovirus : virus parotitis, virus morbili

Rabdovirus : virus rabies

Togavirus : virus rubella, flavivirus (virus ensefalitis jepang B,

virus dengue)

Pikonavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A, B, echovirus)

Arenavirus : virus koriomeningitis limfositaria

Virus DNA:

Herpes virus : Herpes zoster-varisela, herpes simpleks,

sitomegalovirus,

virus Epstein-Barr

Poxvirus : variola, vaksinia

Retrovirus : AIDS

b. Patofisiologi

Virus biasanya mencapai otak melalui aliran darah. Virus menginfeksi

sel otak, menyebabkan nekrosis neuron dan edema serebri nyata, yang

akhirnya menyebabkan disfungsi serebri dan peningkatan tekanan

intrakranial. Infiltrasi limfosit di perivascular (perivascular cuffing)

merupakan tanda yang khas. Pada kasus berat dapat terjadi perdarahan.
30

c. Manifestasi Klinis

Ensefalitis virus memiliki awitan akut berupa demam, sakit kepala,

vertigo, nyeri badan, nausea dan tanda-tanda disfungsi otak yang sifatnya

bergantung pada daerah otak yang terkena. Disfungi otak tersebut dapat

berupa kejang-kejang, mudah lupa, gangguan kesadaran, gerakan spontan

atau tidak terkoordinasi, gangguan bicara, atau kelemahan otot pada salah

satu atau kedua sisi badan.

Ensefalitis yang diakibatkan oleh virus herpes simplek akan

menimbulkan manifestasi klinis berupa nyeri kepala, demam, penurunan

tingkat kesadaran dalam beberapa jam atau hari. Kejang dan tanda

neurologis fokal dapat terjadi yang menunjukkan disfungsi hemisfer

serebri atau batang otak. Tanda-tanda hemisferik (disfasia, hemiparesis)

meningkatkan kecurigaan ensefalitis herpes simplek.

Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui gigitan hewan yang sakit.

Virus mula-mula berkembang di dalam otot, kemudian masuk melalui

saraf perifer ke dalam otak dalam waktu beberapa bulan. Virus tumbuh

dan berkembang di dalam sel-sel saraf. Pasien akan mengalami hidrofobia

yaitu mengejangnya otot-otot esophagus dan pernafasan bila air atau

makanan dimasukkan ke dalam mulut, hingga timbul rasa nyeri dan

dyspnea. Setelah serangan berhenti, timbul sialorea dan hyperhidrosis,

kemudian akan timbul kelumpuhan saraf-saraf kranial dan paralisis

flaksida lengan dan tungkai.


31

Fenomena pascainfeksi virus dapat berupa:

1. Panensefalitis sclerosis subakut yang merupakan komplikasi lanjut

dan fatal dari infeksi campak, fenomena ini sangat jarang terjadi

saat ini, terutama karena telah tersedia imunisasi.

2. Ensefalomielitis akut diseminata merupakan gelaja sisa dari infeksi

virus.

3. Sindrom Guillain-Barre yang berhubungan dengan infeksi

anteseden.

3.1.2.3 Ensefalitis akibat parasit

a. Malaria

Ensefalitis akibat malaria terjadi pada malaria tropika yang disebabkan

oleh Plasmodium falciparum. Sel darah merah yang terinfeksi parasit

menjadi likat dan melekat satu sama lainnya, timbullah penyumbatan-

penyumbatan. Daerah di sekitar kapiler-kapiler menjadi nekrotik disertai

gliosis di sekelilingnya. Hemorrhagik petechia dan nekrosis fokal yang

tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak.

Manifestasi klinisnya berupa demam tinggi, kesadaran menurun

hingga koma serta kejang. Kelainan neurologik yang timbul bergantung

pada lokasi kerusakan.

b. Toksoplasmosis

Toksoplasmosis merupakan penyebab ensefalitis multifocal pada

penderita AIDS, namun dapat juga terjadi in utero. Didalam tubuh


32

manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan

jaringan otak.

c. Amebiasis

Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika

berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan

meningoencefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea,

muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun. Cairan otak

agak keruh dan banyak mengandung leukosit polimorfonuklear, kadar

glukosa menurun dan kadar protein meningkat.

d. Sistiserkosis

Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus

mukosa dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan.

Larva dapat tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam

ventrikel dan parenkim otak. Bentuk rasemosanya tumbuh didalam

meninges atau tersebar di dalam sisterna. Jaringan akan bereaksi dan

membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala neurologik yang timbul

tergantung pada lokasi kerusakan.

3.1.2.4 Ensefalitis karena fungus

Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida

albicans, Cryptococcus neoformans, Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan

Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf
33

pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan

timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.

3.1.2.5 Ensefalitis akibat riketsia

Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat

menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli

yang terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar

pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang

terkena akan terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam,

mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran dapat menurun. Gejala-

gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar. Mungkin pula didapatkan

tanda-tanda perangsangan meninges. Saraf-saraf kranial dan perifer lainnya

mungkin pula terkena. Cairan otak menunjukkan radang limfositer.

3.1.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Ensefalitis supuratif akan menunjukkan CSS yang berwarna keruh,

terdapatnya tanda-tanda radang, kadar protein meningkat, serta

terdapatnya peningkatan tekanan cairan serebrospinal pada pemeriksaan

CSS-nya. Pemeriksaan CSS pada ensefalitis viral akan menunjukkan CSS

yang jernih dengan jumlah sel 20-500/ml, kadang-kadang bias mencapai

2.000 atau lebih. Kadar protein meningkat 80-100 mg%, sementara kadar

glukosa dan klorida normal.


34

b. Pemeriksaan darah lengkap

c. Pemeriksaan serologi darah (VDRL, TPHA)

d. Electroencephalography (EEG)

Digunakan untuk meengidentifikasi kejang yang biasanya terjadi pada

penderita ensefalitis.

e. Cultur dari specimen cairan tubuh (seperti darah, sputum, urin dan feses)

Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika klinis dan epidemiologi

memberikan petunjuk penyebab ensefalitis. Hasil dari pemeriksaan ini

dapat menujukkan penyebab ensefalitis yang berasal dari virus, bakteri

maupun fungus.

f. Foto dada

g. CT-scan

CT-scan dengan maupun tnapa contras dapat digunakan untuk

mengevaluasi penderita ensefalitis apabila MRI tidak tersedia.

h. MRI

Merupakan pemeriksaan neuroimaging paling sensitive untuk

mengevaluasi penderita ensefalitis.

i. Biobsi dari jaringan spesifik

Digunakan untuk kultur, deteksi antigen, PCR, dan tes histopatologi

akan menghasilkan etiologi yang lebih pasti dari ensefalitis.

j. Fluorine-18 fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-

PET)
35

Pemeriksaan ini tidak rutin diancurkan untuk pemeriksaan pasien

dengan ensefalitis.

3.1.4 Terapi

1. Ensefalitis supurativa

- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.

- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.(3,4,5)

- Sefalosporin:

a. Sefotaksim: Neonatus 50 mg/kgBB/hari dalam 2-4 kali pemberian

Anak 100-150 mg/kgBB/hari dalam 2-4 kali pemberian

b. Seftriakson 20-50 mg/kg/hari, dapat dinaikan sampai 80 mg/kg/hari.

Diberikan dalam dosis tunggal

- Aminoglikosida:

Gentamicin 2 mg/kg tiap 8 jam

2. Ensefalitis virus

- Pengobatan simptomatis

Analgetik dan antipiretik : Asam mefenamat 4 x 500 mg

Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.

- Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab

herpes zoster-varicella.

Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200

mg peroral tiap 4 jam selama 10 hari.


36

3. Ensefalitis karena parasit

- Malaria serebral

Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam hingga

tampak perbaikan.

- Toxoplasmosis

Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan

Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan

Spiramisin 3 x 500 mg/hari

- Amebiasis

Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.

4. Ensefalitis karena fungus

- Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6

minggu.

- Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu. (4)

6. Ensefalitis akibat sistiserkosis

- Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari

- Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.

3.2 Epilepsi

3.2.1 Definisi

Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti serangan.

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
37

datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan oleh cetusan listrik

local pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak dan sangat

cepat, serta bersifat reversible.

Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang

manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan

gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit,

attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat

diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang

berasal dari sekelompok besar selsel otak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan

dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak

boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi

selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang

atau serangan pada hipoglikemia.

3.2.2 Etiologi

Penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu epilepsy idiopatik

(bila faktor penyebab tidak diketahui) dan epilepsi simtomatik (bila penyebabnya

diketahi). Banyak faktor yang dapat menyebabkan epilepsi, diantaranya adalah faktor

genetik/keturunan (relatif kecil), kelainan pada saat menjelang-sesudah persalinan,

cedera kepala, radang selaput otak, stroke, tumor otak, kelainan pembuluh darah otak,

adanya genangan darah/nanah di otak, atau pernah mengalami operasi otak.

Setiap penyakit atau kelainan yang mengganggu fungsi otak dapat pula

menyebabkan kejang sehingga menimbulkan serangan epilepsi, seperti trauma lahir,


38

trauma kepala, tumor otak, radang otak, perdarahan di otak, hipoksia, cacat bawaan,

gangguan elektrolit, gangguan metabolism (kadar gula darah yang sangat

rendah/tinggi), gangguan peredaran darah, keracunan (konsumsi alcohol, obat-obatan

terlarang seperti narkotika atau kokain, obat penenang, obat tidur, dan obat

penghilang rasa nyeri yang berlebihan), siklus menstruasi yang tidak normal, kurang

tidur, kelelahan yang berlebihan dan kondisi fisiologis seperti stress emosional.

3.2.3 Anatomi dan Fisiologi

Otak memiliki kurang lebih 15 millar neuron yang membangun subtansia alba

dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan sensitif,

berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas : gerakan motorik,

sensasi, berpikir dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat kedudukan

memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom. sel-sel otak

bekerja bersama-sama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik. Kadang-kadang

dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari sekelompok sel

yang menghasilkan serangan atau seizure. Sistem limbik merupakan bagian otak yang

paling sensitif terhadap serangan. Ekspresi aktivitas otak abnormal dapat berupa

gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.

Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak ), hipokampus, dan

area fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal munculnya

serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan korpus

striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas serangan dan mencetuskan serangan

epilepsy umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area subkorteks
39

mengatur neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak lainnya serta

membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap aktivitas inhibisi

eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi dapat memudahkan penyebaran aktivitas

serangan mengikuti awal serangan parsial atau munculnya serangan epilepsi umum

primer.

3.2.4 Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan

dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,

pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan

menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan

perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion

di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion

menerobos membran neuron.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial

aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian

mengajak neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan

epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal

muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang

berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena
40

dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan

manifestasi yang sangat bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :27

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang

peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang

sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan

berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini

dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya

epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama

SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan

epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang

rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,

kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut

dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron

eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.

Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain

di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan

eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya


41

menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita

epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena

itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di

lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi

dapatan.

Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena

efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek

ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada

neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan

neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan

metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi

anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik

dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne

centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan

epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

3.2.5 Manifestasi Klinis

Menurut Commision of Clasification and Terminology of the International

League Against Epilepsy (ILAE) tahun 1981, kalsifikasi epilepsi adalah sebagai

berikut:

1. Epilepsi parsial (fokal atau lokal)

a. Epilepsi parsial sederhana (epilepsi parsial dengan kesadaran tetap

normal)
42

1. Dengan gejala motorik

- Fokal motorik tidak menjalar

Epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja

- Fokal motorik menjalar (epilepsi Jackson)

Epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke

daerah lainnya.

- Versif

Epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh

- Postural

Epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien

mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial

Merupakan epilepsi yang disertai halusinasi sederhana yang mengenai

kelima pancaindra dan bangkitan disertai vertigo.

- Somatosensoris (timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk

jarum)

- Visual (melihat kilauan cahaya)

- Auditoris (mendengar sesuatu)

- Olfaktorius (terhidu sesuatu)

- Gustatoris (terkecap sesuatu)

3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,

pucat, berkeringat, piloereksi, dialtasi pupil)


43

4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

- Disfasia

Gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau

bagian kalimat

- Dismnesia

gangguan proses ingatan, misalnya merasa sudah mengalami,

mendengarkan, melihat sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau

sebaliknya. Dapat juga seperti mendadak mengingat sesuatu

peristiwa di masa lalu dan merasa seperti melihatnya lagi

- Kognitif

Gangguan orientasi waktu, marasa diri berubah

- Afektif

Merasa sangat senang, susah, marah, takut

- Ilusi

Perubahan persepsi benda yang dilihat, tampak lebih kecil atau

lebih besar

- Halusinasi kompleks

Mendengar ada yang berbicara, musik, melihat suatu fenomena.

b. Epilepsi parsial komplek (diserati gangguan kesadaran)

1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran, dimana

kesadaran mula-mula baik kemudian menurun

- dengan gejala parsial sederhana dan penurunan kesadaran


44

- dengan automatisme

yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya,

seperti gerakan mengunyah, menelan, wajah muka berubah

seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memangang-

mengang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dan

sebagainya

2. Dengan penurunan kesadaran semenjak permulaan serangan

- hanya dengan penurunan kesadaran

- dengan automatisme

c. Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,

tonik, klonik)

- Epilepsi parsial sedrhana yang berkembang menjadi bangkitan

umum

- Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan

umum

- Epilepsi parsial sederhana yang menjadi epilepsi parsial kompleks

dan berlanjut menjadi bangkitan umum

2. Epilepsi Umum

a. Epilepsi lena (Absance)

Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka

tampak bengong, bola mata dapat memutar ke atas, taka da reaksi bila
45

diajak bicara.Biasanya berlangsung selama 15-30 detik dan biasanya

terjadi pada epilepsi anak.

Epilepsi lena ada juga yang tidak khas (atypical absence), yaitu

epilepsi lena yang disertai oleh gangguan tonus yang lebih jelas atau

epilepsi lena yang permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Epilepsi mioklonik

Terjadi kontraksi medadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian

atau semua otot, sekali atau berulang. Nagkitan ini dapat dijumpai pada

semua umur.

c. Epilepsi klonik

Bangkitan epilepsi yang berupa kejang kelonjot (kontraksi otot),

terutama terjadi pada anak-anak.

d. Epilepsi tonik

Bangkitan epilepsy yang ditandai oleh otot menjadi kaku, terutama

terjadi pada anak-anak.

e. Epilepsi tonik-klonik

Sering dijumpai pada usia ditas lima tahun dan dikenal dengan nama

kejang grand-mal. Serangan biasanya diawali dengan aura.

f. Epilepsi atonik

Bangkitan epilepsi yang ditandai oleh otot seluruh badan yang menjadi

lemas hingga penderita terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun

sebentar. Epilepsi tipe ini sering terjadi pada anak-anak.


46

3. Epilepsi tak tergolong

Merupakan bangkitan epilepsi pada bayi berupa gerakan bola mata yang

ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau pernafasan

yang mendadak berhenti sementara.

3.2.6 Diagnosa

1. Berdasarkan anamnesa

Berupa informasi mengenai jumlah serangan dan bentuk serangan.

Jika dalam 1 taun terjadi lebih dari 1 kali seragan, maka dapat

dipertimbangakan pemberian anti epilepsi.

2. EEG

Pola khas EEG epileptic berupa gelombang runcing, gelombang paku,

runcing lambat dan paku lambat.

3. Foto Polos Kepala

Digunakan untuk mendeteksi fraktur kepala.

4. CT-Scan

Digunakan untuk mendeteksi infark, hematom, tumor maupun

hidrosephalus.

3.2.7 Terapi

Pilihan obat ditentukan oleh tipe sindrom epilepsi

Tipe Kejang Obat Pilihan


Parsial Karbamazapin
Natrium valproate
Fenitoin
47

Lamotrigin
Absans Etosuksimid
Natrium valproate
Lamotrigin
Mioklonik Natrium valproate
Klonazepam
Lamotrigin
Tonik-klonik generalisata Natrium valproate
Fenitoin
Karbamazepin
Lamotrigin

Mayoritas pasien epilepsi (70%) akan terkontrol dengan baik dengan satu obat

(monoterapi). Akan tetapi, ada beberapa pasien yang membutuhkan tambahan obat.

Pada pasien yang membutuhkan tiga obat atau lebih, angka keberhasilan terpainya

rendah.

3.3 Cerebral Palsy

3.3.1 Definisi

Cerebral Palsy adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan otak yang

mengakibatkan kelainan pada fungsi gerak dan koordinasi, psikologis dan kognitif

sehingga mempengaruhi proses belajar mengajar. Kerusakan otak tersebut dapat

terjadi sebagai akibat dari kecelakaan, luka atau penyakit susunan saraf yang terdapat

pada rongga tengkorak.

3.3.2 Penyebab Cerebral Palsy

Di USA, sekitar 10-20 % CP disebabkan karena penyakit setelah lahir

(presentasi tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum berkembang).
48

CP dapatan juga dapat merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan-bulan

pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa dari infeksi otak,

misalnya meningitis bakteri atau encephalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma

kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.

CP kongenital, pada satu sisi lainnya, tampak pada saat dilahirkan. Pada

banyak kasus penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi

kejadian spesifik pada masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi

kerusakan pusat motorik pada otak yang sedang berkembang. Penyebab CP

kongenital adalah:

1. Infeksi selama kehamilan

Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan

menyebabkan kerusakan system saraf yang sedang berkembang. Infeksi

lain yang dapat menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus

dan toxoplasmosis. Pada saat ini sering dijumpai infeksi maternal lain

yang dihubungkan dengan CP.

2. Ikterus neonatorum

Pigmen bilirubin, yang merupakan komponen yang secara normal

dijumpai dalam jumlah kecil dalam darah, merupakan hasil produksi dari

pemecahan eritrosit. Jika banyak eritrosit mengalami kerusakan dalam

waktu yang singkat, misalnya dalam keadaan Rh/ABO inkompatibilitas,

bilirubin indirek akan meningkat dan menyebabkan icterus. Icterus berat

dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara permanen.


49

3. Kekurangan oksigen berat (hipoksik iskemik) pada otak atau trauma

kepala selama proses persalinan

Asfiksia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan persalinan.

Asfiksia menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi pada

periode lama, anak tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal

hipoksik iskemik encephalopathi. Angka mortalitas meningkat pada

kondisi asfiksia berat, tetapi beberapa bayi yang bertahan hidup dapat

menjadi CP, dimana dapat bersama dengan gangguan menatal dan kejang.

4. Stroke

Kelainan koagulasi pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada

fetus atau bayi baru lahir. Perdarahan di otak terjadi pada beberapa kasus.

Stroke yang terjadi pada fetus atau bayi baru lahir, akan menyebabkan

kerusakan jaringan otak dan menyebabkan masalah neurologis. Karena

insiden infark serebri yang tidak dapat dijelaskan sering tampak pada

pemeriksaan neuroimaging pada anak dengan CP hemiplegi, diagnostik

test untuk penyakit koagulasi perlu dipertimbangkan.

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya cerebral

palsy antara lain:

1. Letak sungsang

2. Proses persalinan sulit

3. Apgar score rendah

4. BBLR dan prematuritas


50

5. Kehamilan ganda

6. Malformasi SSP

7. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir

kehamilan

8. Hipotiroidism maternal, mental retardasi dan kejang

9. Kejang pada bayi baru lahir

3.3.3 Klasifikasi

Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis

neurologis. Hingga saat ini CP diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang

terjadi dan dibagi dalam 4 kategori:

1. CP Spastik

Merupakan bentuk CP terbanyak (70-80%), otot mengalami kekakuan

dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami

spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku

dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakteristik berupa ritme berjalan

yang dikenal dengan gait gunting (scissors gait).

Anak dengan spastik hemiplegia dapat disertai tremor hemiparesis,

dimana seseorang tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada satu

sisi tubuh. Jika tremor memberat , akan terjadi gangguan gerakan berat.

CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu:

a. Monoplegi

Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan.


51

b. Diplegia

Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada

kedua lengan.

c. Triplegia

Bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai

kedua lengan dan 1 kaki.

d. Quadriplegia

Keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama.

e. Hemiplegia

Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih berat.

2. CP Atetoid/diskinetik

Bentuk CP ini mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol

dan perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan, atau

tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan

anak tampak menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering

meningkat selama periode peningkatan stress dan hilang saat tidur. Penderita

juga mengalami masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid

terjadi pada 10-20% penderita CP.

3. CP Ataksid

Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang

terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk; berjalan tidak stabil

dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi
52

yang saling berjauhan; kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan tepat,

misalnya menulis atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami

tremor, dimulai dengan gerakan volunteer misalnya mengambil buku,

menyebabkan gerakan seperti menggigil pada bagian tubuh yang baru

digunakan dan tampak memburuk sama dengan saat penderita akan menuju

obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini mengenai 5-10% penderita CP.

4. CP campuran

Sering ditemukan pada seorang penderita yang mempunyai lebih dari satu

bentuk CP yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai

adalah spastik dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin

dijumpai.

CP juga dapat diklasifikasikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit

dan kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal:

Klasifikasi Perkembangan Gejala Penyakit Penyerta


Motorik
Minimal Normal, hanya Kelainan tonus Gangguan
terganggu secara sementara komunikasi
kualitatif Refleks primitive Gangguan belajar
menetap terlalu lama spesifik
Kelainan postur
ringan
Gangguan gerak
motorik kasar &
halus, misalnya
clumpsy
Ringan Berjalan umur 24 Beberapa kelainan
bulan pada pemeriksaan
53

neurologis
Perkembangan reflex
primitif abnormal
Respon postural
terganggu
Gangguan motorik,
misalnya tremor
Gangguan koordinasi
Sedang Berjalan umur 3 Berbagai kelainan Retardasi mental
tahun, kadang neurologis Gangguan belajar
memerlukan Reflex primitive dan komunikasi
bracing. menetap dan kuat Kejang
Tidak perlu alat Respon postural
khusus terlambat
Berat Tidak bisa Gejala neurologis
berjalan, atau dominan
berjalan dangan Reflex primitive
alat bantu. menetap
Kadang perlu Respons postural
operasi tidak muncul

3.3.4 Diagnosis

Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang tua sering

ngeluhakan adanya perkembangan motoric yang tidak normal. Sebagian besar

mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot (hipotonus); bayi tmapak

lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan tonus otot (hipertonus), bayi tampak

kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal tampak hipotonia dan selanjutnya

berkembang menjadi hypertonia setelah 2-3 bulan pertama.

Pemeriksaan tambahan yang dapat digunakan adalah:

1. CT-scan
54

2. MRI

3. USG kepala (dapat dilakukan pada bayi sebelum tulang kepala mengeras

dan ubun-ubun besar tertutup)

4. EEG

3.3.5 Terapi

Untuk penderita CP yang disertai kejang, dapat diberikan obat anti kejang.

Obat dipilih berdasarkan tipe kejang. Terdapat tiga macam obat yang sering

digunakan unutk mengatasi spastisitas pada penderita CP adalah:

1. Diazepam

Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh.

Pada anak usia < 6bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >

6 bulan diberikan dengan dosis 0,12-0,8 mg/KgBB/hari peroral dibagi dalam

6-8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis.

2. Baclofen

Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medulla spinalis

yang akan menyebabkan kontraksi otot.

Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:

a. 2-7 tahun

Dosis 10-40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai

2,5-5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5-15

mg/hari, maksimal 40 mg/hari


55

b. 8-11 tahun

Dosis 10-60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai

2,5-5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5-15

mg/hari, maksimal 60 mg/hari

c. >12 tahun

Dosis 20-80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 5

mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari,

maksimal 80 mg/hari

3. Dantrolene

Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga

kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari,

maksimal 40 mg/hari.

Penderita CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat

membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan

termasuk golongan antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline

yang merupakan bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel

otak dan mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obat-obat antikolinergik meliputi

trihexyphenidyl, benztropine dan procyclidine hydrochloride.

Selain terapi medikamentosa dilakukan juga terapi fisik dan terapi perilaku.

Terapi fisik dilakukan pada tahun-tahun pertama kehidupan. Terapi perilaku

merupakn kelanjutan dari terapi fisik yang bertujuan untuk menigkatkan kemampuan

anak.

Вам также может понравиться