Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kejang Demam

2.1. Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium. Kejang demam adalah kejang yang berhubungan dengan

demam (suhu diatas 39oC per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat

atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak berusia 1 bulan dan tidak ada

riwayat kejang tanpa demam sebelumnya (Arief dkk, 2000; Friedman &

Sharrieff, 2006).

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam

adalah suatu kejadian pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan

dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya

infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa

demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang

demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 4 minggu (1

bulan) tidak termasuk kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan

epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Definisi ini

menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,

ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis

yang berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya

mengenai susunan saraf pusat. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun menaglami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain

misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam

(Arief dkk, 2000; Behrem & Kliegman, 1992).

2.2. Etiologi

Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial

dan ekstrakranial (Friedman & Sharrieff, 2006).

Intrakranial

Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer

dan sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik.

Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial,

kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan

ensefalitis, dan trauma kepala.

Ekstrakranial

Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan

metabolisme seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati,

uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, hipoksia, dan

hiperpireksi. Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh

metastasis keganasan ke otak.

2.3. Epidemiologi

Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika

Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus

merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada

tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada

laki-laki. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan samapi 5
tahun. Menurut IDAI, kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai

5 tahun hampir 2 - 5% (Sampson & Leung, 2007).

2.4. Klasifikasi

Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua :

A. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau

klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam. Kejang

demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam (Arief

dkk, 2000).

B. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :

Kejang lama > 15 menit

Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang

parsial

Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Arief dkk, 2000).

2.5. Faktor Resiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain

itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,

perkembangan terlambat, problem masa neonatus, anak dalam perawatan

khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira

33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih dan kira-kira 9% anak

mengalami 3 kali rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia

dini, usia dibawah 18 bulan, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam
timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam

dan riwayat keluarga epilepsi (Sampson & Leung, 2007; NSW Department of

Helath, 2009).

Faktor risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari ialah adanya gangguan

neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam

keluarga, lamanya demam saat awitan kejang dan lebih dari satu kali kejang

demam kompleks (Sampson & Leung, 2007; NSW Department of Helath,

2009).

2.6. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak

diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk

metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sel dikelilingi oleh suatu

membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar

adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan

mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan

elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam

sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron

terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di

dalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial

membran sel dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran

ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-KATPase yang terdapat pada

permukaan sel (Arief dkk, 2000; Behrem & Kliegman, 1992).

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :

Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler


Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau

aliran listrik dari sekitarnya

Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau

keturunan

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.

Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh

tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada

kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari

membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium

maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas

muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat

meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan

bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang (Arief dkk, 2000;

Behrem & Kliegman, 1992).

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari

tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada

kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang

telah terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang

tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini

dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi

pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu

diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang (Arief dkk, 2000;

Behrem & Kliegman, 1992).


Kejang demam yang berlangsung singkat biasanya tidak berbahaya dan

tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama

(lebih dari 15 menit) biasanya disertai gejala apnea, meningkatnya kebutuhan

oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi

hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme

anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan

suhu tubuh makin meningkat disebkan oleh meningkatnya aktivitas otot dan

selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian

di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak

selama berlangsungnya kejang lama (Arief dkk, 2000; Behrem & Kliegman,

1992).

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan

hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak

yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah

mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung

lama dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan

epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat

menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Arief dkk,

2000; Behrem & Kliegman, 1992).

2.7. Manifestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan

dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh

infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut,

bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam


24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan

dapat berbentuk tonik klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Postur tonik

(kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama

10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan

berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit,

gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau

tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan

kulitnya kebiruan (Hardiono dkk, 2005).

Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak

memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian

anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam

yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan

gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat

berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak (Hardiono

dkk, 2006).

2.8. Diagnosis

A. Anamnesis

Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu

sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab

demam diluar susunan saraf pusat.

Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi

dalam keluarga.

Singkirkan penyebab kejang lainnya (Arief dkk, 2000).


B. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsal meningeal, tanda peningkatan

tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP.

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada

kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis

dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat

dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (British

Columbia Medical Association, 2010).

Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan

atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya

meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali

sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis

karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi

lumbal dianjurkan pada ; bayi kurng dari 12 bulan sangat dianjurkan

dilakukan, bayi antara 12-18 bulan dianjurkan, bayi > 19 bulan tidak

rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan

pungsi lumbal (British Columbia Medical Association, 2010).

Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi

berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian


epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak

direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada

keadaan kejang demam tidak khas misalnya kejang demam kompleks

pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal (British

Columbia Medical Association, 2010).

Pencitraan

Foto X- ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography

scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali

dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti ; kelainan

neurologik fokal yang menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papil

edema (British Columbia Medical Association, 2010).

2.9. Diagnosis Banding

Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa

harus segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk

mengetahui apakah yang dialami seorang anak benar adalah kejang atau bukan

kejang (Friedman & Sharrieff, 2006).

Berikut adalah beberapa kondisi pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai

kejang :

A. Sinkop

Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur,

penderita tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat.

Sinkop biasanya terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri.

Sedangkan kejang terjadi secara tiba tiba, kapan saja, dan dimana saja

(Sampson & Leung, 2007).


B. Breath Holding Spells

Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak

anak, biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding

spells terjadi pada 5% anak anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada

beberapa tipe dari Breath holding spells yang menyerupai episode kejang,

yaitu cyanotic spell dan pallid spell. Pada cyanotic spell, anak menangis

kuat diikuti dengan menahan napas, sianosis, rigiditas otot dan pincang,

serta seringkali disertai dengan gerakan seperti kejang pada ekstremitas.

Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri, diikuti dengan penderita

tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat (Sampson & Leung,

2007).

C. Paroxysmal movement disorders

Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang

abnormal dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang

terjadi. Tics adalah gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada

bagian tubuh manapun. Tics muncul terutama pada keadaan stres dan

biasanya dapat ditekan kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor

pada seluruh tubuh yang berlangsung selama beberapa detik dan setelah

itu kembali ke aktivitas normal. Distonia akut ditandai dengan kontraksi

wajah dan batang tubuh secara involunter dengan postur yang abnormal

dan wajah yang meringis (Sampson & Leung, 2007).

D. Pseudoseizures

Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada

paroxysmal movement disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan


kejang yang sebenarnya dan sering terjadi pada anak anak dengan

riwayat epilepsi (Sampson & Leung, 2007).

E. Gangguan tidur

Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat

karaterisktik perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada

anak usia sebelum masuk sekolah. Anak tiba tiba terbangun dari

tidurnya, diikuti dengan menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan.

Lalu anak kembali ke tidurnya dan tidak dapat mengingat kejadian

tersebut. Sleepwalking atau somnabulisme dapat ditemukan pada anak

usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan tanpa tujuan dan

disertai dengan pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke tidurnya.

Narcolepsy sering ditemukan pada anak usia remaja dengan perubahan

kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan. Narcolepsy sering disertai

dengan katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot secara tiba tiba (Sampson

& Leung, 2007).

2.10. Penatalaksanaan

A. Penatalaksanaan Saat Kejang

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien

datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat

yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena

adalah 0,3 -0,5 mg/kg perlahan lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit

atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang

praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau dirumah adalah diazepam

rektal. Diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg


untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat

badan lebih dari 10 kg. Atau Diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk

anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun

(Deliana, 2002; NSW Department of Health, 2009).

Bila setelah pemberian Diazepam rektal kejang belum berhenti,

dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu

5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian Diazepam rektal masih tetap kejang,

dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan Diazepam

intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti

diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali

dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila

kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam

setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka

pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang berhenti,

pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah

kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya (Deliana,

2002; NSW Department of Health, 2009).

B. Penatalaksanaan Demam

Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi

resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat

bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis Paracetamol yang

digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak

lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom

Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan

asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (Deliana, 2002; British Columbia

Medical Association, 2010).

Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat

demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30% -60%

kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8

jam pada suhu > 38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan

menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-

39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam

tidak berguna untuk mencegah kejang demam (Deliana, 2002; British

Columbia Medical Association, 2010).

C. Obat Rumatan

Indikasi

Pengobatan rumat diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri

sebagai berikut (salah satu);

1. Kejang lama > 15 menit

2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah

kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy,

retardasi mental, hidrocephalus.

3. Kejang fokal

4. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam

5. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan


6. Kejang demam 4 kali per tahun

Jenis Antikonvulsan Rumatan

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif

dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti

ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat

dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya

diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan

perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat

ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang

berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan

gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-

3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.

Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian

dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan (Deliana, 2002; British

Columbia Medical Association, 2010).

D. Edukasi Orang Tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.

Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya

telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang

diantaranya :

Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis

baik

Memberitahukan cara penanganan kejang


Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi

harus diingat adanya efek samping obat.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang :

Tetap tenang dan tidak panik.

Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.

Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.

Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun

kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam

mulut.

Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

Tetap bersama pasien selama kejang.

Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah

berhenti.

Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau

lebih.
Gambar 2.1. Assessment and Initial Management

2.11. Komplikasi

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah

dilaporkan.8 Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal

pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif

melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini

biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik

umum atau fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan

(NSW Department of Health, 2009).


2.12. Prognosis

Prognosis kejang demam umumnya baik, namun ada beberapa kondisi

yang perlu diwaspadai. Untuk beberapa kasus, diperlukan pemeriksaan

lanjutan. Yang terpenting adalah orang tua mengetahui kapan harus dibawa ke

rumah sakit, dan penanganan saat terjadi kejang demam di rumah (Sampson &

Leung, 2007).

Вам также может понравиться