Вы находитесь на странице: 1из 26

Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Kelompok PBL E8
Rullyn Suzana Saputri Mandar 102010243
Raena Sepryana 102012309
Robert Tupan Us Ubatan 102012335
Ayu Asmarita 102013390
Elva Patabang 102014029
Aldesy Yustika Indriani 102014076
Try Satrio Wicaksono 102014140
Yosepha Vebrianti 102014147

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 1151

Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit obstruksi jalan napas
karena bronkitis kronik atau emfisema. Gejala utama Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah
sesak napas memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum. Gejalanya bersifat progresif
lambat kronis ditandai oleh obstruksi saluran pernapasan yang menetap atau sedikit
reversibel, tidak seperti obstruksi saluran pernapasan reversibel pada asma. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) diperkirakan mempengaruhi 32 juta orang di Amerika Serikat dan
merupakan penyebab utama keempat kematian di negara ini. Pasien biasanya memiliki
gejala-gejala dari kedua penyakit yaitu bronkitis kronis dan emfisema, tetapi triad klasik juga
termasuk asma. Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Indonesia juga akan meningkat akibat
faktor pendukungnya yaitu kebiasaan merokok yang masih merupakan perilaku yang sulit
dihentikan disamping polusi udara dan lingkungan yang belum dapat dikendalikan dengan
baik. Hal ini membuat PPOK menjadi salah satu penyakit yang menjadi tantangan di masa
yang akan datang.

Anamnesis

1
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (alloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.

Pada anamnesis penyakit PPOK, ada beberapa hal yang harus ditanyakan kepada orang
yang diwawancara untuk mendapat informasi, seperti :
1) Identitas yang meliputi nama, usia, pekerjaan dan tempat tinggal;
2) Keluhan utama yang meliputi keluhan apa yang dirasakan pasien sehingga menjadi alasan
pasien datang ke dokter seperti :
- Sesak nafas yang memberat dan terus-menerus sejak 5 jam yang lalu
3) Riwayat penyakit sekarang yang meliputi cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai
keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat :
Berapa lama pasien merasa sesak napas? Kapan pasien merasa sesak napas: saat
istirahat atau aktivitas?
Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas? Apakah pasien
mengalami keterbatasan olahraga yang progresif?
Apakah pasien batuk? Jika ya, sejak kapan, adakah sputum, berapa banyak, dan apa
warnanya?
Apakah terdapat mengi? Jika ya, kapan?
Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring?

Apakah terdapat penurunan berat badan?


4) Riwayat penyakit dahulu seperti sudah berapa lama pasien mengalami keadaan nafas
terasa berat? Kira-kira apa pemicunya? Apakah ada anggota keluarga yang mengalami
asma?

5) Riwayat penyakit keluarga seperti apakah ada asma,TBC,riwayat sakit


diabetes/jantung/alergi?
6) Riwayat pribadi seperti adakah kebiasaan merokok? Jika ya, sejak kapan, berapa batang
sehari?
7) Riwayat sosial seperti keadaan lingkungan tempat tinggal pasien padat penduduk/tidak,
adakah orang sekitar yang merokok, adakah aktifitas pembakaran sampah, penggunaan
kayu bakar sebagai kompor, adakah tetangga yang menderita keluhan yang sama.

2
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum1-2

Menilai keadaan umum pasien baik/buruk, yang perlu diperiksa :

Kesadaran pasien : Kompos mentis/Apatis/Delirium/Somnolen/Sopor/stupor/Koma


Kesakitan yang dialami pasien, dapat dilihat dari raut wajah pasien dan keluhan pasien
ketika datang yaitu pasien tampak sakit ringan/sedang/berat.

Pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu terdiri dari tekanan darah, denyut nadi, frekuensi
pernapasan dan suhu tubuh.

Pemeriksaan fisik thorax yang dapat dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.1-3

1. Inspeksi

Inspeksi dilakukan dari kepala, leher, thorax, abdomen dan ekstremitas. Inspeksi
dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelainan bentuk dada,
menilai frekuensi, sifat dan pola pernafasan.
a) Kelainan dinding dada
Kelainan-kelainan yang bisa didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas
operasi, pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan vena, spider nevi,
ginekomastia tumor, luka operasi, retraksi otot-otot interkostal dan lain-lain.
b) Kelainan bentuk dada
Dada yang normal mempunyai diameter latero-lateral yang lebih besar dari diameter
anteroposterior. Kelainan bentuk dada yang bisa didapatkan yaitu :
- Dada emfisema (barrel chest) yaitu dada menggembung, diameter
anteroposterior lebih besar dari diameter latero-lateral; tulang punggung
melengkung (kifosis), angulus costae >900, terdapat pada pasien dengan
bronkitis kronis, PPOK.
c) Frekuensi pernapasan
Frekuensi pernapasan normal 14-20 kali per menit. Pernapasan kurang dari 14 kali
per menit disebut bradipneu, misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik,
kelainan serebral. Pernapasan lebih dari 20 kali per menit disebut takipneu, misalnya
pada pneumonia, anksietas, asidosis.
d) Jenis pernapasan
- Abdominal misalnya pasien PPOK lanjut.
- Kombinasi (jenis pernapasan ini terbanyak).

3
Pada perempuan sehat umumnya pernapasan torakal lebih dominan dan disebut
torako-abdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat, pernapasan abdominal lebih
dominan dan disebut abdomino-torakal. Keadaan ini disebabkan bentuk anatomi
dada dan perut perempuan berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah terdapat
pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya pada pasien tuberkulosis paru
lanjut atau PPOK. Di samping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal
dalam pernapasan dan bila ada, keadaan ini menunjukan adanya gangguan pada
daerah tersebut.
- Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti
menghembus sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan
pernapasan cuping hidung, misalnya pada pasien pneumonia.
e) Pola pernapasan
- Takipnea: napas cepat dan dangkal.
- Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam.

2. Palpasi

Palpasi dilakukan pada bagian leher, thorax, abdomen dan ekstremitas. Palpasi dinding
dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis.
a) Palpasi dalam keadaan statis.
Pemeriksaan palpasi yang dilakukan pada keadaan ini adalah:
- Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di
daerah supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru
seperti kanker paru. Pemeriksaan kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke
daerah submandibula dan kedua aksila.
- Pemeriksaan palpasi selanjutnya diteruskan ke daerah dada depan dengan jari
tangan untuk mengetahui adanya kelainan dinding dada misalnya tremor, nyeri
tekan pada dinding dada, krepitasi akibat emfisema subkutis, dan lain-lain.
b) Palpasi dalam keadaan dinamis.
Pada keadaan ini dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai ekspansi paru serta
pemeriksaan vokal fremitus.
- Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-
sama mengembang selama inspirasi biasa maupun dengan inspirasi maksimal.
Berkurangnya gerakan pada salah satu sisi menunjukan adanya kelainan pada sisi
tersebut. untuk menilai pengembangan paru bagian bawah dilakukan pemeriksaan
dengan meletakkan kedua telapak tangan dan ibu jari secara simetris pada
masing-masing tepi iga, sedangkan jari-jari lain menjulur sepanjang sisi lateral
lengkung iga. Kedua ibu jari harus saling berdekatan/hampir bertemu di garis

4
tengah dan sedikit diangkat ke atas sehingga bergerak bebas saat bernafas. Pada
saat pasien menarik napas dalam keadaan kedua ibu jari menjadi tidak simetris
dan ini memberikan petunjuk adanya kelainan pada sisi tersebut.
- Pemeriksaan vokal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan
kedua telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta
menyebut angka 77 atau 99, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih
jelas. Pemeriksaan ini disebut tactile fremitus. Bandingkan secara bertahap tactile
fremitus secara bertahap dari atas ke tengah dan seterusnya ke bawah baik pada
paru bagian depan maupun belakang. Pada saat pemeriksaan kedua telapak
tangan harus disilang secara bergantian. Hasil pemeriksaan fremitus ini
dilaporkan sebagai normal, melemah, atau mengeras. Fremitus yang melemah
didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang
mengeras terjadi karena adanya infiltrat pada parenkim paru (misalnya pada
pneumonia, tuberkulosis paru aktif).

3. Perkusi

Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketokan yang terdengar dapat bermacam-macam


yaitu:
- Hipersonor (hiperresonant): terjadi bila udara dalam paru /dada menjadi jauh lebih
banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superfisial,
pneumotoraks, dan bula yang besar

4. Auskultasi

Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara
melalui sitem trakeobronkial.
a) Suara napas pokok yang normal terdiri dari:
- Vesikular: suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah di mana fase
inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan
perbandingan 3:1. Dapat didengarkan pada hampir kedua lapangan paru.
- Bronkovesikular: suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang di
mana fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hampir menyamai fase inspirasi
dan diantaranya kadang-kadang dapat diselingi jeda. Dalam keadaan normal bisa
didaptkan pada dinding anterior setinggi sela iga 1 dan 2 serta daerah interskapula.
- Bronkial: suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, di mana fase
ekspirasi menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda.

5
Terjadi perubahan kualitas suara sehingga terdengar seperti tiupan dalam tabung.
Dalam keadaan normal dapat didengar pada daerah manubrium sterni.
- Trakeal: suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada daerah
trakea.
- Amforik: suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya
perifer dan berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol
kosong.
b) Suara nafas tambahan terdiri dari:
- Rongki kering: suara napas kontinu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang
relatif rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit,
misalnya akibat adanya sekret yang kental.
- Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi dan panjang yang biasanya
terdengar pada serangan asma.
Pada pasien PPOK pada pemeriksaan fisik:
- Pasien biasanya tampak kurus dengan barell shaped chest (diameter anteroposterior
dada meningkat).
- Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
- Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak
jantung berkurang.
- Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium rutin2,3


Yang tampak nyata ialah polisitemia, yaitu jumlah eritrosit yang melebihi normal. Ini
adalah akibat dari hipoksia kronis yang dialami penderita. Pada hipoksia kronis kadar
hemoglobin bisa meningkat. Polisitemia dimaksud oleh tubuh agar oksigen yang berhasil
masuk ke dalam alveolus masih dapat terangkut semaksimal mungkin untuk memenuhi
kebutuhan jaringan tubuh. Sering, polisitemia ini jauh mendahului timbulnya keluhan
sesak. Bila terjadi infeksi sekunder, akan ada lekositosis seperti halnya pada penyakit-
penyakit infeksi lain.
2. Pemeriksaan radiologis2,3
- Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan bronkovaskuler
yang bertambah.
- Foto toraks pada emfisema paru, foto toraks menunjukan gambaran hiperlusen,
adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan
pembuluh darah pulmonal Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye
drop appearance)

6
Perbandingan foto thorax normal dan hiperinflasi

3. Pemeriksaan faal paru2,3


Dengan spirometer sederhana, akan tampak jelas penurunan Volume Ekspirasi Paksa 1
detik (VEP1) dibandingkan dengan orang normal, dengan umur dan potongan badan
yang sama. Pada kasus ringan, VEP1 hanya mencapai 80% atau kurang, dibanding orang
normal. Pada kasus-kasus berat, VEP1 mungkin hanya 40% atau malah kurang.
Sebaliknya, kapasitas vital tak berubah banyak, bahkan sering kali masih dalam batas
normal, kecuali pada stadium lanjut. Disamping VEP1 sendiri, akan ada penurunan ratio
PEV1/KVP.
Bila penderita diperiksa dengan Peak Flow Spirometer, akan terlihat penurunan Peak
Flow Rate (PFR) yang besarnya seimbang dengan penurunan VEP1.
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal
dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
4. Pemeriksaan analisa gas darah2,3
Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Terutama untuk
menilai gagal napas kronik stabil atau gagal napas akut pada gagal napas kronik. Perlu
diingat bahwa perjalanan bronchitis kronis berlangsung lambat dan memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk membuat keadaan penderita menjadi buruk. Dengan demikian
penurunan PaO2 serta peningkatan PaCO2 dan semua akibat sekundernya (asidosis, dan
lain-lain) juga akan terjadi perlahan-lahan dengan adaptasi secara maksimal dari tubuh
penderita. Oleh karena itu tidak mengherankan ada penderita dengan P O2 hanya sebesar
50% tetapi masih dapat melakukan pekerjaan rutin sehari-hari. Disamping penurunan PO2
juga akan terjadi penurunan saturasi oksigen.
5. Pemeriksaan sputum4
Pewarnaan gram dan kultur diperlukan untuk mengetahui kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama PPOK.
6. Uji coba kortikosteroid4
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP

7
1 pasca bronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

Working Diagnosis

Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan analisa gejala klinis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini pasien mengeluh sesak nafas yang
memberat dan terus menerus sejak 5 jam yang lalu. Sejak 3 hari yang lalu mengeluh batuk
berdahak warna putih. Pasien mengatakan dirinya tidak demam. Pasien memiliki riwayat
merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1-2 bungkus/hari. Keluhan seperti ini sudah
beberapa kali timbul, sejak 3 tahun terakhir pasien sudah merasa nafas terasa berat terutama
jika beraktivitas berat dan terutama bila dirinya sedang demam dan batuk. PF: TD: 120/70
mmHg, frek nadi: 100x/mnt, frek. napas: 32x/mnt, Suhu: 36C, Ku: tampak sakit sedang,
kesadaran: compos mentis, mata: konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, mulut: sianosis (-),
leher: tidak teraba perbesaran KGB. JVP 5-2 cm H2O, tiroid tidak teraba membesar, thorak
pulmo: Inspeksi simetris dalam keadaan statis dinamis, retraksi intercostal (+), palpasi taktil
fremitus simetris, Perkusi: sonor pada kedua lapang paru, Auskultasi SN vesikuler, whezzing
+/+, ronki basah kasar minimal +/+. Cor BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-),
abdomen: perut datar, NT (-), bu (+) normal, ekstremitas: sianosis ringan jari-jari tangan,
clubbing finger (-), akral hangat, perfusi < 3 detik, oedema (-). Lab: Hb: 16 g/dL, Leukosit:
6500/L, trombosit: 300.000/L, thorax foto: kesan: tampak sela iga melebar.

Differential Diagnosis

1. Bronkiektasis3,4
Bronkiektasis merupakan infeksi kronik dengan nekrosis pada bronkus dan bronkiolus
yang menyebabkan dilatasi permanen yang abnormal pada saluran napas ini. Gambaran
klinisnya meliputi batuk-batuk, demam dan produksi sputum purulen yang berlebihan.
Pada kasus yang berat dapat terlihat insufisiensi respiratorius obstruktif. Komplikasinya
meliputi kor pulmonale, abses metastatic dan amiloidosis sistemik.
Bronkiektasis disertai dengan :
Kelainan congenital atau herediter (misalnya kistik fibrosis, keadaan imunodefisiensi)
Keadaan pasca-infeksi (pneumonia bakteri, virus atau fungus dengan nekrotisasi)
Obstruksi bronkus (misalnya oleh tumor atau benda asing)
Keadaan lain (misalnya arthritis rematoid atau penyakit graft-versus-host yang
kronik)

8
Obstruksi dan infeksi merupakan penyebab utama bronkiektasis. Pada obstruksi terjadi
inflamasi, nekrosis, fibrosis dan dilatasi saluran napas yang irreversibel.

Morfologi

Perubahan paling berat terjadi dalam saluran napas distal pada lobus paru sebelah bawah;
dilatasi yang terjadi memiliki bentuk yang berbeda-beda (silindris, fusiformis atau
sakuler). Pemeriksaan histologik memperlihatkan spectrum inflamasi yang ringan hingga
inflamasi yang akut dan kronik dengan nekrotisasi pada saluran napas besar yang disertai
fibrosis bronkiolus.

2) Asma bronkiale6
Kelainan inflamasi kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme yang
paroksismal tetapi reversible pada saluran napas trakeo bronkial; serangan ini disebabkan
oleh hiperreaktivitas otot polos. Insidennya meningkat secara signifikan dalam 3
dasawarsa terakhir ini di dunia Barat. Penyakit asma dapat dipilah menurut intensitas
klinik, respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Secara patofisiologi dikenal dua tipe
yang utama:
Asma atopic (alergik; regain-mediated) merupakan tipe yang sering ditemukan; tipe
asma ini dipicu oleh antigen lingkungan (misalnya debu, serbuk sari, makanan) dan
sering disertai riwayat atopi dalam keluarga. Pada fase akut, pengikatan antigen pada
sel-sel mast yang terselubung IgE menyebabkan pelepasan mediator sitokin yang
primer (misalnya, leukotriene) dan sekunder (misalnya, sitokin, neuropeptide).
Mediator fase akut menyebabkan bronkospasme, edema, sekresi mucus dan
rekrutmen leukosit. Reaksi fase lanjut dimediasi oleh leukosit yang direkrut (misalnya
eosinophil, limfosit, neutrophil, monosit); reaksi ini ditandai oleh bronkospasme yang
persisten serta edema, infiltrasi leukosit dan kerusakan serta kehilangan epitel.
Asma non atopik (non reagenik, non imun) kerap kali dipicu oleh infeksi saluran
napas, zat-zat iritan kimia atau obat-obatan dan biasanya tanpa riwayat keluarga dan
tanpa keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas saluran napas
tidak diketahui.

Morfologi

Paru-paru berkembang secara berlebihan dengan disertai bercak-bercak atelektasis dan


oklusi saluran napas oleh sumbat mucus. Secara mikroskopik, paru-paru memperlihatkan
edema, infiltrate radang pada bronkiolus dengan sejumlah eosinofil, fibrosis pada

9
sebmembran basalis dan hipertrofi otot polos dinding bronkus serta kelenjar submukosa.
Sumbat mucus yang berpilin (spiral Curschmann) dan debris granul eosinofil yang
berbentuk kristaloid (Kristal Charcot-Leyden) mengendap di dalam saluran napas.

Epidemiologi

PPOK dapat menjadi masalah karena menyebabkan kecacatan pernafasan yang


berlangsung lama, sehingga penderita tidak dapat bekerja lagi dan akhirnya hidupnya sangat
tergantung dari orang lain. Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di
samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya. Akhir-
akhir ini PPOK semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka
mortalitas yang terus meningkat. Data di Indonesia PPOK merupakan penyakit paru no. 2
setelah tuberkulosis yang datang ke rumah sakit, karena itu pada saat ini yang penting adalah
menemukan kasus ini dalam keadaan dini sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi
lebih baik. Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai
angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 120.000 meninggal
selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat
setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebrovaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyakit ini mencapai 24 miliar per tahunnya. World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang lensi tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat.3-5

Etiologi

Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda dari partikel
yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika kita mengambil
kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel
yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan. Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan
komposisinya dapat memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya
tergantung kepada jumlah dari partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut.4,5

Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor
penyebab lainnya. Merokok merupakan > 90% risiko untuk PPOK dan sekitar 15 %
perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami
penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan

10
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruktif pada
anak.
Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin,
yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.
Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-partikel iritatif
yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya : polusi tempat kerja (bahan kimia, zat
iritan, gas beracun), Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan dan Polusi di luar
ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan merupakan faktor risiko
independen untuk PPOK.
Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak-kanak berhubungan dengan rendahnya
tingkat paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK pada saat
dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan
dalam terjadinya PPOK.
Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena dahulu,
lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-
laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu
sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk
terkena PPOK dibandingkan perokok pria.
Status sosioekonomi dan status nutrisi
Asma
Usia >40 tahun

Patogenesis6,8

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini adalah
merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-
sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas.
Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi
sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan.
Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. Obstruksi
saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada

11
saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas.

Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi


Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni : peningkatan
jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding
saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim). Yang
mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma.7

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di saluran
napas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK. Respon inflamasi abnormal ini
menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema dan mengganggu
mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis
menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran udara uang bersifat progresif

Gejala Klinis

Tanda-tanda PPOK : batuk, produksi sputum berlebihan (pada jenis bronchitis


kronik), dispnea, obstruksi saluran napas yang progresif. Pada pemeriksaan spirometri, FEV1
di bawah predicted, perbaikan pada tes provokasi setelah pemberian bronkodilator < 12%.
Dispnea progresif saat olahraga; dispnea nocturnal paroksismal; edema kaki atau perut
kembung (cor pulmonale); batuk produktif; mengi.8

12
Gejala utama bronkitis kronik adalah batuk berdahak yang menetap. Selama bertahun-
tahun, tidak ada gangguan pernapasan lain, tetapi akhirnya pasien mengalami sesak napas
jika beraktivitas (berolahraga). Dengan berlalunya waktu dan biasanya dengan berlanjutnya
merokok, elemen-elemen lain PPOK mulai muncul, termasuk hiperkapnia, hipoksemia dan
sianosis ringan. Pada kasus yang klasik, bronkitis kronik murni dapat dibedakan dari
emfisema yang menyertai, tetapi banyak pasien PPOK mengalami kedua penyakit ini.
Bronkitis kronik berat yang telah berlangsung lama sering menyebabkan cor pulmonale dan
gagal jantung. Kematian juga dapat disebabkan oleh semakin memburuknya fungsi
pernapasan akibat infeksi bakteri akut berulang.8,9

Dalam spectrum PPOK, dikenal dua gambaran klinis yang ekstrem: tipe A (pink
puffer) dan tipe B (blue bloaters). Dulu dianggap bahwa tipe ini berkolerasi dengan jumlah
relatif emfisema dan bronchitis kronik, khususnya dalam paru, tetapi keadaannya lebih rumit.
Walaupun demikian, penjelasan kedua pola gambaran klinis ini masih berguna karena mereka
mewakili patofisiologi yang berbeda. Dalam praktik, kebanyakan pasien memiliki gambaran
keduanya.8,9

PINK PUFFER BLUE BLOATER


Ukuran tubuh Kurus dan ramping Obese
Penyakit yang mendasari Emfisema Bronkhitis kroniks
Usia 50-75 tahun 40-55 tahun
Sputum Sedikit Banyak
Onset Dyspnea Batuk
PA paru Emfisema panasinar Emfisema sentrilobular
Cor pulmonal (-) (+)
Polisetemia sekunder (-) (+)
Sianosis Sedikit atau (-) (+)
Analisa Gas darah PCO2 rendah PCO2 meningkat

Tipe A = pink puffer (pp) Tipe B = Blue bloater (BB)


Predominan Emfisema Predominan Bronkitis
kronik
Riwayat perokok ada/tidak ada ada
Riwayat keluarga ada pada defisiensi alfa 1 ada pada fibrokistik
antitripsin dan fibrokistik
Riwayat batuk Batuk kering disertai dispnue Batuk kronik sputum
progresif produktif
Pemeriksaan fisik malnutrisi, torak hipersonor, gisi baik, kadang-kadang
suara nafas melemah, sela iga obes, polisitemia, sianosis,

13
melebar, jantung kecil. ronki basah +/-, jantung
besar, cenderung menjadi
corpulmonale.
Foto torak Diafragma mendatar corakan bronkovaskuler paru
hiperlusen, jantung kecil bertambah, jantung
membesar.
Respons bronkodilator tidak ada perbaikan VEP1 ada perbaikan
walaupun sedikit

Dasar patologik tipe A dan B


Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, awalnya diyakini bahwa pasien tipe A sebagian
besar menderita emfisema sementara pasien tipe B terutama menderita bronchitis kronis.
Namun, pernyataan ini terlalu sederhana. Bagian yang membingungkan adalah bahwa kriteria
yang berbeda untuk kedua tipe tersebut telah digunakan oleh dokter yang berbeda. Biasanya,
jika kita membatasi klasifikasi tipe B untuk pasien batuk kronik berat dengan ekspektorasi,
seperti pada deskripsi yang asli, pasien demikian cenderung menunjukkan gambaran
patologik bronchitis kronik. Akan tetapi, luasnya emfisema pada paru sulit untuk
diperkirakan selama hidup.
Beberapa dokter yakin bahwa perbedaan terpenting antara kedua tipe adalah dalam
pengendalian napas. Mereka menyatakan bahwa hipoksemia yang lebih berat dan dampak
insiden cor pulmonale yang lebih tinggi pada pasien tipe B dapat disebabkan oleh dorongan
ventilasi yang berkurang, terutama sewaktu tidur.
Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan petunjuk penting dalam menegakkan


diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu laboratorium rutin, foto
thorax, uji faal paru, analisa gas darah, kultur sputum, uji coba kortikosteroid dan EKG).10

Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti terlihat pada tabel.
Gejala Keterangan
Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Sesak Persisten (menetap sepanjang hari)
Pasien mengeluh berupa Perlu usaha untuk bernapas
Berat,sukar bernapas, terengah engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor Asap rokok,debu,bahan kimia, di tempat kerja,asap dapur

14
resiko

Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri jika salah satu indikator ini ada pada
individu diatas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnosis pasti tetapi
keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK.
Spirometri dilakukan untuk memastikan diagnosis PPOK.10
Klasifikasi PPOK11

Terdapat ketidaksesuaian antara nilai VEP1 dan gejala pasien , oleh sebab itu perlu
diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1.

DERAJAT KLINIS FAAL PARU


Derajat I Gejala batuk kronik dan produksi sputum FEV1 / FVC< 70%
PPOK ringan ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini FEV1 80% prediksi
pasien sering tidak menyadari bahwa faal
paru mulai menurun.
Tidak ada gejala waktu istirahat atau bila
exercise
Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi
gejala ringan pada latihan sedang (misal :
berjalan cepat, naik tangga)
Derajat II Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas FEV1 / FVC < 70%
PPOK dan kadang ditemukan gejala batuk dan 50% < FEV1 < 80% prediksi
Sedang produksi sputum . Pada derajat ini biasanya
pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi mulai
terasa pada latihan / kerja ringan (misal :
berpakaian)
Gejala ringan pada istirahat
Derajat III Gejala sesak lebih berat, penurunan FEV1 / FVC < 70%
PPOK Berat aktivitas , rasa lelah dan serangan 30% < FEV1 < 50% prediksi
eksaserbasi semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien
Gejala sedang pada waktu istirahat
Derajat IV Gejala diatas ditambah tanda tanda gagal FEV1 / FVC < 70%
PPOK napas atau gagal jantung kanan dan FEV1 < 30% prediksi atau

15
Sangat Berat ketergantungan oksigen. Pada derajat ini FEV1 < 50% prediksi disertai
kualitas hidup pasien memburuk dan jika gagal napas kronik.
eksaserbasi dapat mengancam jiwa.
Gejala berat pada saat istirahat

Penatalaksanaan10,11

Tujuan Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi:

Mencegah progresivitas penyakit,


Mengurangi gejala,
Meningkatkan toleransi latihan,
Mencegah dan mengobati komplikasi,
Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang,
Mencegah atau meminimalkan efek samping obat,
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru,
Meningkatkan kualitas hidup penderita,
Menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan menurut derajat PPOK di antaranya adalah :
- Berhenti merokok/mencegah pajanan gas/partikel berbahaya,
- Menghindari faktor pencetus,
- Vaksinasi Influenza,
- Rehabilitasi paru,
- Pengobatan/medikamentosa di antaranya penggunaan bronkodilator kerja singkat
antikolinergik kerja singkat), penggunaan bronkodilator kerja lama (antikolinergik kerja
lama), dan obat simtomatik. Pemberian kortikosteroid dapat digunakan berdasarkan derajat
PPOK,
- Pada PPOK derajat sangat berat diberikan terapi oksigen,
- Reduksi volume paru secara pembedahan atau endoskopi (transbronkial).
1. Medical Mentosa10-12

16
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat
berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaandapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas, bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat
> 20% dan minimal 250 mg.

17
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I : amoksisilin, makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid bar
Perawatan di Rumah Sakit :
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.

f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati
2. Non-Medical Mentosa10-12
a. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan
napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di
rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

ventilasi mekanik dengan intubasi


ventilasi mekanik tanpa intubasi
b. Nutrisi

18
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortality PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
Keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan
pipa nasogaster.
Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil
dengan waktu pemberian yang lebih sering.
c. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK dengan cara : latihan fisik, latihan endurance, latihan
pernapasan, rehabilitasi psikososial. Penderita yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai
simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan kualitas
hidup yang menurun

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga


penatalaksanaan PPOK terbagi atas : penatalaksanaan pada keadaan stabil dan
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
Penatalaksanaan PPOK stabil13

Kriteria PPOK stabil adalah :


- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik,
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan
PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg,
- Dahak jernih tidak berwarna,
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri),
-Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
- Mempertahankan fungsi paru,
- Meningkatkan kualiti hidup,
- Mencegah eksaserbasi,

19
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau
dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.5
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut13

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan


kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah,
- Produksi sputum meningkat,
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
- Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas,
- Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas,
- Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan)
atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut
ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara :
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang
digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser,
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur,
- Menambahkan mukolitik,
- Menambahkan ekspektoran.
1Terapi Pembedahan :

* Bertujuan untuk

- Memperbaiki faal paru,

- Memperbaiki mekanik paru,

- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi,

- Memperbaiki kualitas hidup.

* Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :

20
- Bulektomi

- Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgery (LVRS)

- Transplasntasi paru

Komplikasi

Cor Pulmonal

Cor pulmonal disebabkan oleh peningkatan tekanan darah di arteri paru-paru, pembuluh
yang membawa darah dari jantung ke paru-paru. Hal ini menyebabkan pembesaran dan
kegagalan berikutnya dari sisi kanan jantung.9,10

Eksaserbasi akut PPOK

Secara sederhana, eksaserbasi dapat didefinisikan sebagai memburuknya gejala PPOK.


Banyak orang dengan PPOK menderita beberapa episode eksaserbasi akut tahun, sering
menyebabkan rawat inap meningkat, kegagalan pernapasan dan bahkan kematian.9,10

Hipertensi pulmonal

Hipertensi pulmonal terjadi ketika ada abnormal tekanan tinggi dalam pembuluh darah
paru-paru. Normalnya, darah mengalir dari jantung melewati paru-paru, di mana sel-sel
darah mengambil oksigen dan mengirimkannya ke tubuh. Pada hipertensi paru, arteri
paru menebal. Ini berarti darah kurang mampu mengalir melalui pembuluh darah.11

Pneumotoraks

Pneumotoraks didefinisikan sebagai akumulasi udara atau gas di ruang antara paru dan
dinding dada. Pneumotoraks terjadi karena lubang yang berkembang di paru-paru, yang
memungkinkan udara untuk melarikan diri dalam ruang di sekitar paru-paru,
menyebabkan paru-paru untuk sebagian atau seluruhnya runtuh. Orang yang memiliki
PPOK berada pada risiko lebih besar untuk pneumotoraks karena struktur paru-paru
mereka lemah dan rentan terhadap perkembangan spontan dari jenis lubang.11

Polisitemia sekunder

Polisitemia sekunder diperoleh dari kelainan langka yang ditandai oleh kelebihan
produksi sel darah merah dalam darah. Ketika terlalu banyak sel darah merah yang

21
diproduksi, darah menjadi tebal, menghalangi perjalanan melalui pembuluh darah kecil.
Pada pasien dengan COPD, polisitemia sekunder dapat terjadi sebagai tubuh mencoba
untuk mengkompensasi penurunan jumlah oksigen dalam darah.10,11

Kegagalan pernafasan

Kegagalan pernapasan terjadi ketika paru-paru tidak dapat berhasil mengekstrak oksigen
yang cukup dan / atau menghapus karbon dioksida dari tubuh. Kegagalan pernapasan
dapat disebabkan oleh sejumlah alasan, termasuk PPOK atau pneumonia.11,12

Malnutrisi
Malnutrisi menjadi komplikasi PPOK yang dapat disebabkan karena dispneu, yang
merupakan gejala utama PPOK membuat penderita sangat sulit untuk menyelesaikan
makannya, dan penderita menjadi kehilangan nafsu makan. Tanda dan gejala bisa
bermacam-macam mulai dari yang ringan sampai sangat berat. Gejala umum berupa
kelelahan, pusing, penurunan berat badan, dan kelemahan sistem imun.12

Pencegahan10-12

Berhenti Merokok

Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenarnya merupakan usaha


yang mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progesivitas penyakit. Bila pasien dapat
berhenti merokok maka progresivitas penurunan FEV1-nya dapat diperkecil.

Mengindari polusi udara luar dan ruangan

Polusi udara dapat membuat PPOK buruk. Ini dapat meningkatkan risiko terjadinya flare-up,
atau eksaserbasi PPOK. Ada beberapa hal yang dapat anda lakukan :

cobalah untuk tidak berada di luar ketika tingkat polusi udara tinggi.
memakai masker polusi udara untuk meminimalkan paparan anda.
memiliki ventilasi yang baik di rumah
menjauhkan karpet kering dan dibersihkan secara rutin untuk membantu pengendalian
debu.

Melindungi dari bahaya kerja

22
Jika pekerjaan anda menghadapkan anda pada asap kimia atau debu, gunakan peralatan
keselamatan seperti masker untuk mengurangi jumlah asap dan debu yang anda hirup.

Edukasi13

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
- Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan,
- Melaksanakan pengobatan yang maksimal,
- Mencapai aktivitas optimal,
- Meningkatkan kualitas hidup.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
- Pengetahuan dasar tentang PPOK,
- Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya,
- Cara pencegahan perburukan penyakit,
- Menghindari pencetus (berhenti merokok),
- Penyesuaian aktivitas.
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
bahan edukasi sebagai berikut :
- Berhenti merokok.

Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
karena ini merupakan usaha yang mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi
progesivitas penyakit.

- Pengunaan obat obatan

Macam obat dan jenisnya,

Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebulizer)

Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja)

Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

23
- Penggunaan oksigen

Kapan oksigen harus digunakan,

Berapa dosisnya,

- Tanda eksaserbasi :

Batuk atau sesak bertambah,

Sputum bertambah,

Sputum berubah warna,

- Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi,

- Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

Ringan
Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel,
Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti
merokok,
Segera berobat bila timbul gejala,
Sedang
Menggunakan obat dengan tepat,
Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini,
Program latihan fisik dan pernapasan,
Berat
Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi,
Penyesuaian aktivitas dengan keterbatasan,
Penggunaan oksigen di rumah.
Prognosis

Semakin dini diagnosis bisa ditegakkan, semakin baiklah prognosis penderita, dengan
catatan bahwa etiologinya bisa ditiadakan. Bila etiologi tidak dapat disingkirkan, penderita
bukan saja akan mendapatkan kekambuhan dalam waktu dekat, tetapi juga perjalanan

24
penyakitnya akan melaju terus dengan pesat. Semakin lambat diagnosis ditegakkan, makin
jelek prognosis penderita. Hal ini disebabkan oleh sudah semakin berkurangnya elastisitas
paru, semakin luasnya kerusakan silia secara ireversibel, dan semakin tebalnya mukosa
saluran pernapasan.9-11

Kesimpulan

Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu evaluasi dan
monitoring penyakit, mengurangi faktor resiko, tatalaksana PPOK yang stabil, dan
tatalaksana PPOK dengan eksaserbasi. Selain pendekatan farmakologis, edukasi dan nasihat
pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok, olahraga, kebutuhan nutrisi,
dan perawatan untuk pasien. Manajemen yang tepat dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien PPOK, serta sangat berperan dalam meningkatkan kualitas hidup
pasien.

25
Daftar Pustaka

1. Baldwin D. Sistem pernapasan. Dalam : Houghton AR, Gray D. Chamberlains gejala


dan tanda dalam kedokteran klinis. Cetakan 1. Jakarta : PT.Indeks; 2012. hml 99-125
2. Tania I et al. Paru-paru. Dalam: Mitchell RN et al. Buku saku dasar patologis penyakit
Robbins dan Cotran. Edisi 7. Jakarta : EGC; 2008. Hml 432-7
3. Suyono YJ. Bronkitis kronis dan PPOK. Dalam : Buku saku ilmu penyakit paru. Edisi
2. Jakarta : EGC; 2012.hlm 206-32
4. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus S, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3.
Edisi 5. Jakarta : EGC; 2009. Hml 2225-7
5. Sundaru H. Wheezing. Dalam : Setiati S, Purnamasari D, Rinaldi I, Pitoyo CW. Lima
puluh masalah kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat Penerbit Ilmu
Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.hal 202-12
6. Maranatha D. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam : Wibisono MJ, Winariani,
Hariadi S. Buku ajar ilmu penyakit paru.Cetakan 2. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unair; 2010.hml 37-9
7. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI.
8. Alsaggaf Hood, dkk. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru
FK Unair. Surabaya.
9. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention
of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, Didapat dari :
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
10. Swierzewski, SJ. 2007.Chronic Obstructive Pulmonary Disease.(online)
http://www.pulmonologychannel.com/PPOK/complications.shtml.
11. Danusantoso, Halim. 2005. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates. Jakarta, hal
178-179.
12. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and Blood Institute,
Update 2009.

26

Вам также может понравиться