Вы находитесь на странице: 1из 13

1.

Pendahuluan
2. Definisi
3. Etiologi
4. Epidemiologi
5. Transmisi atau penyebaran kuman TB
6. Gejala dan tanda klinis pada TB paru
7. Patofisiologi TB paru
8. Faktor resiko
9. Komplikasi
10. Pencegahan
11. Terapi farmakologi
12. Prognosis
13. Kesimpulan
14. Working diagnosis
15. Diagnosis Banding : Asma bronkial,, bronchitis, pneumonia
16. TB EKSTRA PARU

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberkulosis yang dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak
diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian. TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5000 tahun sebelum masehi, namun
kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam 2 abad terakhir.
Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama dunia, terutama di negara
berkembang. Sedangkan di Indonesia jumlah pasien TB paru menempati urutan ketiga terbanyak
di dunia setelah India dan Cina. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas
dari angka pandemi infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa datang melihat
semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun. Diantara masalah utama yang
ditemui, yaitu masih kurangnya monitoring pada pasien TB paru, sehingga menyebabkan
pengobatan tidak efektif. Berdasarkan organ tubuh yang terkena: TB paru adalah TB yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus. TB ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Etiologi
Tubekulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok
Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa species Mycobacterium,
antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae, dsb. Yang juga dikenal sebagai
bakteri tahan asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
ang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium
Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi
terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana ideal untuk diagnosis TB. Secara umum
sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah sebagai berikut :
Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron
Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
Memerlukan media khusus untuk biakan, anatara lain Lowenstein Jensen, Ogawa
Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop
Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada
suhu antara 4oC sampai minus 70o C
Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari, dan sinar ultraviolet
Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu
beberapa menit
Dalam dahak pada suhu antara 30oC - 37o C akan mati dalam waktu lebih kurang satu
minggu
Kuman dapat bersifat dormant (tidur atau tidak berkembang biak)

Epidemiologi
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak
berusia kurang dari 15 tahun adalah 4050% dari jumlah seluruh populasi (Gambar). Sekurang-
kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun. Sekitar 200 anak di dunia meninggal setiap
hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia
tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang child-friendly dan tidak adekuatnya
sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak
mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB
pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun
2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%.
Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi.
Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah
kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus
BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun
2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

Patogenesis

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat
kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus.
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag
alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari focus primer, kuman TB
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang
mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar
limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi
pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler. 4 Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi,
uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi
baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah
kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler
terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna
membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami
komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akanmencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus
atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah
dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal,
dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman
TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini
umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus
reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat 5 mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. Bentuk
penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute
generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar
dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6
bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena
tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah
kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran
yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai
butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning
berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen
yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila
suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB
akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara
berulang. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru
kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik
biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis
ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi
pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

Cara penularan / transmisi TB Paru

Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak. Anak yang
terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak tersebut BTA positif
atau menderita adult type TB. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat
penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif Pasien TB
dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan
pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

Diagnosis TB pada anak

A. Penemuan Pasien TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud dengan kontak erat adalah
anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular
adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi
pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam
pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak. Tuberkulosis
merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala
klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan
bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau
tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

2. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam
saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.

3. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin
lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:

1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran KGB multipel
(>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau
konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan
saraf-saraf otak yang terkena.

Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

3. Tuberkulosis sistem skeletal:

Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).

Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah
panggul. Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.

Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin
bridge).

5. Tuberkulosis mata:

Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan
gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan
adanya infeksi TB.

B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di
Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis
pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu
pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan
oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK
Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit
dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum,
induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas
tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi
(PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan
menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

Pengobatan TB pada anak

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis


(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan
pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB
(profilaksis sekunder). Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.

Pemberian gizi yang adekuat.

Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

A. Paduan OAT Anak Prinsip pengobatan TB anak


OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam
obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis
dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan
setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat
tidak diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal
seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial,
meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off
dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Skema Panduan OAT Anak

Catatan : Mengacu kepada upaya Program Nasional Pengendalian TB, setelah pemberian
pengobatan selama 6 bulan, dapat dilaporkan sebagai pasien dengan hasil akhir : Pengobatan
Lengkap.

Tabel . Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya


Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel
tabel berikut ini:

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin
(R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75
mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel . Dosis kombinasi pada TB anak

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis
tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat
badan saat itu
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel
Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus
bersama dan dicampur dalam satu puyer

B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak

Pemantauan pengobatan pasien TB Anak

Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan
kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah
diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan
dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat,
demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian
OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau
tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil
pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak
dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang
positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.

Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif,
pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan
alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.

Efek samping pengobatan TB anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin
B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg
INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari
direkomendasikan diberikan pada
bayi yang mendapat ASI eksklusif,

pasien gizi buruk,

anak dengan HIV positif. Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada
buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.

Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.

Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan terjadinya TB resisten
terhadap obat

Pengobatan ulang TB anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB,
perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil
positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah
mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang

Вам также может понравиться