Вы находитесь на странице: 1из 10

BAB IV

CRITICAL REVIEW EVIDANCE BASED

Pada bab ini penulis melakukan telaah 3 buah jurnal yang berhubungan

dengan asuhan keperawatan yang penulis lakukan kepada Ny. A, adapun pembahasan

dari jurnal tersebut adalah

A. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup Pasien Chronic

Kidney Disease (Ckd) Yang Menjalani Hemodialisis

Uji bivariat menggunakan uji statistic korelasi antara besar penghasilan

dengan kualitas hidup didapatkan hasil nilai r - 0,022 dan p value 0,786 sehingga

dapat disimpulkan bahwa hubungan antara besar penghasilan dengan kualitas

hidup tidak signifikan atau lemah dengan pola hubungan yang negative atau

dengan kata lain tidak ada hubungan yang signifikan antara besar penghasilan

dengan kualitas hidup responden.

Temuan Yuwono (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

faktorfaktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal antara lain

adalah umur, dan jenis kelamin. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian

Yuliaw (2010) bahwa karakateristik individu yang terdiri dari pendidikan,

pengetahuan, umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup pasien CKD.

Namun hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian kedua peneliti

diatas, dimana hasil penelitian ini menemukan variabel umur cenderung tidak

115
116

berhubungan dengan kualitas hidup pasien hemodialisis atau mempunyai

hubungan yang lemah dan tidak signifikan, demikian

juga dengan pendidikan, status pekerjaan, besar penghasilan dan lama menjalani

hemodialisis. Demikian pula model HROQL yang dibangun oleh Wilson &

Cleary (1995) dalam Peterson & Bredow (2004) dimana pada komponen

karakteristik individual disebutkan faktor umur, pekerjaan, pengalaman hidup,

kesehatan fisik dan tingkat ekonomi. Satu-satunya variabel karakteristik

individual yang mempunyai hubungan signifikan adalah penyakit penyerta.

Menurut peneliti ini dapat diidentikkan dengan kesehatan fisik dan status

biologis/fisiologis yang dimaksudkan oleh Wilson & Cleary (1995) dalam

Peterson & Bredow (2004). Menurut Wilson dan Cleary (1995) dalam Peterson

& Bredow (2004) karakteristik individu dan karakteritik lingkungan adalah

faktor yang membangun kualitas hidup seseorang seperti digambarkannya dalam

model HRQOL. Karakteritik individu digambarkan sebagi umur, pekerjaan,

pengalaman hidup, kesehatan fisik dan tingkat ekonomi. Karakteristik individu

akan mempengaruhi status symptom, status fungsional dan persepsi terhadap

kesehatan individu

dimana hal-hal tersebut yang membentuk kualitas hidup seseorang secara

menyeluruh. Penelitian ini telah membuktikan dan memperkuat model konsep

tersebut meskipun hanya satu sub variabel dari karakteristik individu yang

berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup.

Hasil uji statistik bivariat terhadap variabel-variabel karakteritik

lingkungan yaitu dukungan keluarga, dukungan perawat dan dukungan


117

lingkungan social dengan menggunakan independent t-test didapatkan hasil ada

hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup (p value 0,000), tidak

ada hubungan antara dukungan perawat dengan kualitas hidup (p value 0,831),

dan ada hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup (p value 0,017).

Menurut Wilson dan Cleary (1995) dalam Peterson & Bredow (2004)

karakteristik lingkungan dapat berupa dukungan keluarga, lingkungan sosial dan

segala sesuatu diluar diri individu. Meskipun Wilson & Cleary tidak menyatakan

dengan jelas tentang dukungan perawat namun perawat adalah segala sesuatu

yang ada diluar pasien dan setiap 2 kali dalam seminggu pasien hemodialisis

akan bersama perawat setidaknya selama 4 jam setiap kali sesi hemodialisis.

Perawat adalah petugas kesehatan yang secara langsung berinteraksi dengan

pasien hemodialisis dari menyiapkan, monitoring, mengakhiri dan mengevaluasi

setiap sesi dialysis yang dijalani oleh pasien. Dari hasil penelitian didapatkan

bahwa dukungan perawat menurut pasien sangat besar dan dinyatakan melalui

jawaban kuisioner dimana mayoritas responden menyatakan perawat mendukung

pasien dalam menjalani terapi hemodialisis namun secara statistik dukungan

tersebut tidak menunjukkan sebuah hubungan yang signifikan. Berbeda dengan

dukungan keluarga dan dukungan sosial yang secara statistik terbukti signifikan.

Hasil penelitian terhadap karakteristik lingkungan ini membuktikan model

konsep yang dibangun oleh Wilson & Cleary (1995) dalam Peterson & Bredow

(2004) dimana karakteristik individu dan karakteristik lingkungan secara

bersamasama akan mempengaruhi status symptom, status fungsional dan


118

persepsi terhadap kesehatan individu dimana hal-hal tersebut yang membentuk

kualitas hidup seseorang secara menyeluruh.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara umur, tingkat pendidikan, besar penghasilan, pekerjaan, dan

lama menjalani hemodialisis dengan

kualitas hidup pasien Chronic Kidney Disease (CKD) yang menjalani terapi

hemodialisis. Sebaliknya terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit

penyerta, dukungan keluarga, dukungan lingkungan sosial, dan dukungan

perawat dengan kualitas hidup pasien Chronic Kidney Disease (CKD) yang

menjalani terapi hemodialisis di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah

Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2012.

Beradasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar RSUDAM Propinsi

Lampung khususnya ruang hemodialisis untuk tetap mempertahankan kualitas

hidup pasien selama menjalani hemodialisis di unit hemodialisis dengan

mempertahankan dukungan perawat kepada pasien CKD yang menjalani

hemodialisis yang sudah baik berupa kualitas pelayanan yang

semakin meningkat.
119

B. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati Pada Penyakit Ginjal

Kronik

Protein berasal dari bahasa Yunani, yaitu proteos berarti yang utama atau

didahulukan. Jumlah dan jenis protein yang diberikan pada pasien PGK pre

dialisis dalam bentuk diet Rendah Protein sangat penting untuk diperhatikan

karena protein berguna untuk mengganti jaringan yang rusak, membuat zat

antibodi, enzim dan hormon, menjaga keseimbangan asam basa, air, elektrolit,

serta menyumbang sejumlah energi tubuh. Protein dibuat dari 20 asam amino

penyusun protein, 11 diantaranya dapat disintesis oleh tubuh, dan 9 sisanya

disebut asam amino esensial yang diperoleh dari bahan makanan, yaitu Leusin,

Isoleusin, Valin, Triptofan, Fenilalanin, Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin.

Dari asam amino, 8 diantaranya dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan

Histidin dibutuhkan oleh anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Bahan makanan yang mengandung semua asam amino disebut lengkap protein,

seperti telur, daging, ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani

biasa disebut sebagai protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati,

misalnya beras dan kacang-kacangan, mengandung asam amino esensial yang

terbatas atau tidak lengkap. Oleh karena itu, dikatakan mengandung protein

bernilai biologi rendah.

Kedelai dan hasil olahannya, yaitu tempe, tahu dan susu kedelai,

mengandung asam amino esensial walaupun ada 1 asam amino yang kurang,

terbatas fungsinya hanya untuk pemeliharaan, tidak untuk pertumbuhan


120

(Limiting Amino Acid) yaitu metionin. Demikian pula asam amino esensial lisin

kurang pada beras dan triptopan kurang pada jagung, akan tetapi apabila bahan

makanan yang mengandung asam amino terbatas dikonsumsi secara bersamaan

dalam hidangan sehari-hari, dapat saling melengkapi kekurangan dalam asam

amino esensial. Sebagai contoh, nasi yang terbatas lisin dimakan bersamaan

dengan tempe yang terbatas pada metionin didapatkan campuran yang

memungkinkan saling melengkapi dalam asam aminonya untuk pertumbuhan

dan pemeliharaan jaringan tubuh.

Metode penilaian kualitas protein dahulu menggunakan Protein Efficiency

Ratio (PER) yang berdasarkan respon pertumbuhan pada pemberian sejumlah

protein. Saat ini, penilaian mutu protein digunakan Protein Digestibility

Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) yang menggambarkan jumlah asam

amino dari protein dan tingkat daya cernanya pada manusia. Dengan metode ini,

protein kedelai mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan putih telur dan

protein susu, kecuali asam amino methionin yang harus ditambah.

Sumber protein dari kacang-kacangan dan produk kedelai, seperti tempe,

tahu, susu acang juga mengandung kalium dan fosfor yang cukup tinggi,

sehingga untuk mencegah hiperkalemia dan hiperfosfatemia tetap dibutuhkan

pengikat fosfor dan kalium yang adekuat. Produk kedelai cukup aman untuk

selingan pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai

anjuran. Akan tetapi tidak untuk suplemen atau tambahan sehingga melebihi

kebutuhan. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu

sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah mengandung
121

phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan pada

PGK.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapatan protein dari kedelai

dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamato cytokines yang

diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebuh lanjut. Penelitian

lain mengenai diet dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat

menurunkan ekresi urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah

kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien PGK. Pada binatang

percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang diberi casein dibandingkan

dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu didapatkab menunda penurunan fungi

ginjal lebih lanjut.

C. Evidence Based Practice Intradialytic Exercise Untuk Pengelolaan Tekanan

Darah Pada Pasien Chronic Kidney Disease (Ckd) Stage V

Hasil observasi pada pasien yang memiliki tekanan darah yang stabil saat

pre dan post-HD menunjukkan bahwa mereka mengikuti intradialytic exercise

dengan maksimal yakni melakukan gerakan sesuai dengan instruksi yang

diberikan dan teratur setiap 2 kali perminggu. Sedangkan pada pasien yang

memiliki tekanan darah tidak stabil saat pre dan post-HD dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya frekuensi latihan, kondisi stress, dan gangguan tidur.

Frekuensi intradialytic exercise dapat mempengaruhi kestabilan tekanan

darah. Hal ini dikarenakan latihan yang teratur dapat meningkatkan aliran darah
122

otot dan meningkatkan jumlah area kapiler pada otot yang sedang bekerja

sehingga akan menghasilkan aliran urea dan racun-racun yang lainnya dari

jaringan ke area vaskuler yang selanjutnya dipindahkan ke dialiser. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan keteraturan senam sangat

penting untuk mendapatkan hasil penurunan tekanan darah yang lebih baik.

Manfaat penurunan tekanan darah pada frekuensi senam 2 kali perminggu

didapatkan bila dilakukan selama 9-15 minggu berturut-turut. Walaupun senam

sudah dilakukan secara teratur sampai dengan 15 minggu berturut-turut, bila

dilakukan dengan frekuensi kurang dari 2 kali perminggu tidak didapatkan

manfaat penurunan tekanan darah. Hasil wawancara dengan pasien yang

memiliki tekanan darah tidak stabil saat pre dan post-HD, mengaku tidak atau

jarang melakukan latihan maupun olahraga ringan lainnya di rumah misalnya

berjalan kaki cepat.

Ketidakstabilan tekanan darah dapat juga dipengaruhi oleh stres. Keadaan

ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya serta penyesuaian diri

terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan

pasien yang merupakan salah satu pemicu terjadinya stres, yang diidentifikasikan

sebagai stresor. Pasien biasanya menghadapi masalah keuangan, kesulitan dalam

mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi,

khawatir terhadap perkawinan dan ketakutan terhadap kematian. Perubahan yang

dialami pasien hemodialisa juga dirasakan oleh keluarga, karena hemodialisa

akan membutuhkan waktu yang dapat mengurangi pasien dalam melakukan

aktivitas sosial, dan dapat menimbulkan konflik, frustasi, serta rasa bersalah di
123

dalam keluarga (1). Keterbatasan ini menyebabkan pasien hemodialisa rentan

terhadap stres. Stres yang dialami pasien ini akan meningkatkan resistensi

pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas

saraf simpatis.

Selain itu, ketidakstabilan tekanan darah ini juga disebabkan oleh gangguan tidur.

Gangguan tidur sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari

berbagai gangguan fisik, mental dan spiritual. Tidur diatur dalam sebuah

mekanisme, mekanisme ini sangat dipengaruhi oleh RAS (Reticular Activity

System). Bila aktivitas RAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan sadar.

Aktivitas RAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas RAS

ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem

serotoninergik, noradrenergik, kolinergik dan histaminergik. Kualitas tidur yang

buruk berhubungan dengan meningkatnya risiko hipertensi, dengan kata lain

tekanan darah meningkat seiring dengan terjadinya gangguan tidur. Kualitas tidur

yang buruk sering dialami oleh pasien gagal ginjal karena mereka depresi dengan

penyakit yang dialaminya. Depresi ini mempengaruhi sistem kolinergik sentral

yang pada akhirnya berefek pada pemendekan latensi tidur REM.

Berdasarkan evaluasi dari implementasi intradialytic exercise yang telah

dilakukan selama 3 minggu (6 kali latihan) terjadi kestabilan tekanan darah

selama melakukan latihan. Hasil observasi pada pasien yang memiliki tekanan

darah yang stabil saat pre dan post-HD menunjukkan bahwa mereka mengikuti

intradialytic exercise dengan maksimal yakni melakukan gerakan sesuai dengan

instruksi yang diberikan dan teratur setiap 2 kali perminggu. Sedangkan pada
124

pasien yang memiliki tekanan darah tidak stabil saat pre dan post-HD dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya frekuensi latihan, kondisi stres, dan

gangguan tidur.

Adapun faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi ketidakstabilan

tekanan darah selama latihan antara lain: durasi intradialytic exercise dan

intensitas latihan, peran obat anti hipertensi, dan ada tidaknya penyakit lain,

menyebabkan hasil penerapan latihan ini belum sepenuhnya menunjukkan efek

dari intradialytic exercise terhadap kestabilan tekanan darah yang sebenarnya

pada populasi. Bagi pasien disarankan untuk melakukan latihan secara rutin saat

hemodialisis sehingga dapat terjadi penurunan tekanan darah yang mendekati

normal atau nilainya stabil. Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai intradialytic exercise dan

pengaruhnya terhadap nilai ureum kreatinin, kestabilan berat badan, serta

kebugaran fisik dan psikis pasien.

Вам также может понравиться