Вы находитесь на странице: 1из 8

Cintaku di Kampus Biru

Aku melangkahkan kaki dengan cepat, terburu-buru bersama tentengan ransel eh salah
maksudku plastik-kresek di pundakku. Kardus-kardus name-tag bertuliskan namaku
terpampang jelas di depan dan belakang tubuhku. Tali-temali plastik berwarna-warni juga
tidak lepas dari semrawutnya penampilanku kala itu. Jadi pusat perhatian? Tentu saja.... dan
inilah yang terjadi dengan ribuan mahasiswa lain yang juga melaksanakan ospek hari ini.
Untungnya ribuan ya....
Aku memasuki gerbang lebar, yang dijaga ketat oleh sekelompok orang-orang berbaju
hitam. Yah, tahulah siapa. Merekalah Korps Penegak Disiplin (KPD). Senyum? Jangan
harap. Otot wajah mereka sudah dilatih untuk tidak membuang senyum kepada siapa saja.
Mau coba menggodanya? Jangan harap bakal berhasil. Mereka punya tameng yang lebih dari
sekedar pelindung.
Pagi Kak...
Hmm... mana barang bawaanmu?setengah membentak
Ini Kak Kataku pelan. Maklumlah, aku junior. Tidak mungkin aku melawan. Dan
inilah salah satu cara menghargai senior. Thats okay. Siapa tahu saja... Ooow... kembali ke
laptop. Aku berhasil digeledah. Tapi sayangnya, mereka harus meloloskanku karena aku
termasuk salah satu mahasiswa baru (maba) yang disiplin. Hehehehe.... Bye...bye Kakak...
kataku setengah tertawa dalam hati.
Aku berjalan cepat setengah berlari menuju tempat kami berkumpul untuk
didadar. Beberapa orang teman sekelompokku memanggilku kala melihat batang hidungku
menghampiri mereka.
Ve... !!! teriak mereka serentak. Tampaknya wajah senang mereka tidak bisa
disembunyikan. Mungkin mereka bahagia melihat aku berhasil lolos dari sergapan KPD.
Hehehehe.... Aku menghampiri mereka, membalas sapaan mereka satu per satu, dan
bercengkerama dengan menunggu waktu-waktu dimulainya ospek. Yah, seperti setiap maba
lain dengan gerombolan kelompoknya masing-masing yang diberi judul sesuai minat ilmu
dalam jurusan kampusku. Dan kelompok-kelompok yang kami bentuk bagai volvox yang tak
mampu hidup di luar koloni. Terang saja. Kami tidak ingin dimangsa KPD.
***
Waktu berlalu.Ospek dimulai dengan teriakan anggota KPD yang jumlahnya belasan
memasuki lapangan tempat kami berdiri. Astaga... bentakkan mereka begitu keras. Kalau
dipikir, apa nggak boros energi, Mas dan Mba? Kita dengerin kok. Aturan demi aturan
terlontar satu per satu dari bibir mereka masing- masing. Beberapa diantara mereka
menyusuri barisan dan berusaha memperbaiki kesalahan sekecil apapun yang dibuat
maba. How perfect they were. Tapi tetap... kali ini aku lolos dari raungan mereka.
Bangganya...
Siang ini aku dan teman-temanku akan mengadakan tour-lab, mengelilingi beberapa
laboratorium yang ada di kampus. Perasaanku? Mmm... luaar biasa. Ini kali pertamanya aku
benar-benar berkeliling selasar kampus, menembus lorog-lorong berdinding putih yang tebal,
mengetukkan kakiku pada tiap anak tangga yang menjadi jalan ke beberapa laboratorium di
sana, dan merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswa laboatorium untuk waktu sigkat
ini...
Langkah kaki dan canda tawa yang tersembunyi dalam bisik-bisik pendek di antara
kelompokku mendadak sirna. Kami tiba di depan sebuah ruangan dengan papan nama di
depannya bertuliskan: Laboratorium Genetika. Wow... what was that? Inikah laboratorium
kebanggaan itu? Aku sering sekali mendengarkan acara di televisi yang menyuratkan
laboratorium genetika kampusku itu sebagai tempat uji dan analisis sampel untuk masalah
terkait genetik.Waktu berjalan lambat dengan dihiasi rasa penasaranku yang makin dalam.
Kami masuk ke dalam lab dan duduk menghadap meja-meja berisi hasil terobosan baru
laboratorium di sana. Hmmm... ada aroma yang tidak mungkin kulupakan. Aroma melodi-
melon yang jadi kebanggaan fakultas kami. Sebut saja Melon-Pak Yadi. Yups... semua
orang tahu itu. Kultivar varietas melon yang sedang booming kala itu.
Beberapa saat kemudian,seeorang berperawakan tinggi berkacamata dengan
mengenakan jas lab putih keluar dari ruang asisten berdampingan dengan dosen genetika
yang kuketahui kala itu. Deg... aku terpaku kala melihatnya. Deret waktu yang berjalan
seakan tidak tersentuh pikiranku. Siapa dia? Tanyaku dalam hati. Refleks efektorku bekerja,
mengendalikan mataku untuk sekali-kali tidak berkedip padanya.
Ok, Adik-adik... sebelum kita mulai, perkenalkan dosen pemgampu genetika sekaligus
penemu melodi-melodi di hadapan kalian ini, Pak Yadi... katanya dengan seulas senyum,
menampakkan deretan giginya yang putih. Astagaa... ayolah... konsentrasi...pikirku.
Mm, dan saya sendiri, Ardian Mahendra, untuk sementara akan membantu adik-adik
sebagai asisten di laboratorium ini. Ok langsung saja... kalian lihat melon-melon di hadapan
kalian? Coba sebutkan apa perbedaannya? tanyanya, melemparkan pandangan matanya ke
jajaran maba yang duduk dan terpesona memandanginya. Tidak ada yang menjawab. Aku
tahu mereka diam bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi tidak tahu cara menjawabnya.
Hhh... Bukan cuman aku ternyata... ckckck...
Warnanya, Kak? seseorang menyeletuk
Bukan, bentuknya mungkin yang lain menimpali.
Hmm.... mungkin rasanya, Kak... Pakai cinta aku belum berkedip saat menyeletukkan
kata-kata itu disambut hura teman-teman.
Hahaha... Ok, tidak ada yang salah. Baiklah, saya akan menjelaskan lebih lanjut.
katanya sembari tersenyum memandangi kami.Nah, ini adalah kulitvar melon hasil perakitan
fakultas kita dengan ciri unggul seperti dagingnya yang berwarna orange, bisa dilihat yaa,
beda dengan melon pada umumnya... terus aromanya yang menggoda lanjutnya. Dan tentu
saja, rasanya...
Dan yang terpenting, melon ini tahan terhadap serangan penyakit jamur tepung
(powdery mildew) sehingga dapat mendukung pengembangan lingkungan yang sustain
karena memungkinkan para petani untuk tidak menggunakan pestisida lagi yang dapat
merusak lingkungan. Jelasnya kemudian sembari menawarkan melon-melon itu untuk kami
cicipi. Luar biasa, manisnya kamu.... eh salah. Manisnya melon ini maksudnya....
Setelah semuanya, ada percabangan khusus pikiranku yang selalu tertuju padanya. Dan
itulah salah satu motivasi yang kumasukkan dalam list menuju sukses di kampus biru.
Hehehe.... terserah dong. Ini hidupku.
****
Waktu berjalan, menggulirkan peristiwa-peristiwa yang datang dan pergi
melingkupiku. Dan tentu saja, ada waktu yang singgah untuk menitipkan peristiwa dimana
aku masih terpaku pada dia, pujaan hatiku saat itu. Dan tidak disangka-sangka,
waktu mengijinkan aku bertemu dengannya suatu kali. Di perpustakaan... tentu saja
kebetulan.
Bu, tolongin dong... masa kartu perpus saya tidak bisa dipakai? Ayolah, Bu... saya
butuh buku ini. Sebentar lagi ada praktikum Bu... dengan tidak sabar aku meminta seorang
ibu yang menjaga bagian sirkulasi perpustakaan itu untuk membantu menyelesaikan
masalahku.
Aduh, Mba... piye toh iki ? Servernya nggak bisa baca... Udah ta coba e, Mba...
Aduh, gimana dong ini, Bu..? aku memelas
Mungkin Mbaknya langsung aja menghubungi bagian aktivasi pusat. Iki ra iso
e soalnya...
Ya ampun, Bu... saya kan nggak punya banyak waktu lagi... aku mengeluh,
memelas sekali lagi...
Ehem... Bu, ini.... coba pakai kartu saya saja. Gelombang suara yang berkarisma itu
bergaung di telinga kananku. Aku menoleh. Deg... pujaan hatiku... oh, maksudnya Mas
Ardian....
Hahh? aku masih terdiam, terpaku, dan mungkin terharu...
Oh, iya kalo begitu... Mas Ardian Mahendra ya? tanya ibu itu sembari membaca
nama yang terpampang jelas di sana.
Buku ini kan, Mba? ibu itu bertanya padaku. Dan sekelabat kabut pandanganku tiba-
tiba saja hilang.
I...iya... Bu... Kataku.
Oh iya... kamu mahasiswa baru kan di sini? tanya sosok itu. Dengan suara yang
lembut dan berwibawa. Aku hanya mengangguk. Mulutku terkatup rapat tak bisa membalas
pertanyaannya.
Oh, iya... siapa nama kamu? tanyanya..
Eemm... Ve.. Vergian Kak... Vergian Maheswari... kataku memperkenalkan diri. Aku
gugup di depannya. Bahkan hatiku bergetar kala ia menyodorkan tangannya untuk
bersalaman. Oh No.... dia pasti tahu telapak tanganku berubah dingin setengah mati kala
menyentuh efektor sentuhan telapak tangannya. Deg... ia tersenyum. Beku rasanya tubuhku.
Ini, Mba... batas pengembaliannya tanggal 29 nanti ya... kata ibu yang sedari tadi
berkutat bersama komputer server di depannya. Tentu saja ia mengagetkan aku.
Ooh.. iya Bu... terima kasih banyak... Mmm... Kak Ardian... bagaimana saya
ngembaliin bukunya nanti? Inikan dipinjam atas nama Kakak.... tanyaku.
Mm, begini saja... ini aku kasih nomorku, nanti kalau kamu mau ngembaliin buku-
buku ini, kamu hubungi saja aku. 0872... Ia menyebutkan nomor ponselnya padaku saat
itu. Disave? Terang saja... tidak mungkin tidak. Dan parahnya, aku sudah kecanduan, bagai
mengonsumsi Papaver somniferum yang kemudian membuatku tidak berkedip, dan selalu
mengulang nomornya dalam memoriku. Refrain. Aku punya daya ingat yang nonvolatil jika
berurusan dengan perasaan ini.
Wah... terima kasih banyak Kak bantunnya... terima kasih... terima kasih... terima
kasih... kataku berulang sembari berjalan mundur ke arah pintu. Jeduug.... tubuhku
menabrak pintu kaca yang tidak terlihat sebagai pintu. Bening. Akh, sial... pasti pakainya
merek pembersih kaca yang sering diiklankan di TV. Tapi maaf, aku tidak dibayar untuk
menjadi ambassadornya. Duh, malunya.... pujaan hatiku itu hanya menoleh ke arahku dengan
senyuman, sambil sesekali menggelengkan kepala melihat tingkahku.
Aku berjalan keluar, menyusuri jalanan setapak di depan perpustakaan. Tampak bagiku
berbuket-buket mawar di sana walau sebenarnya hanya bunga pagar biasa, juga
segerombolan kupu-kupu yang terbang beriringan walau sebenarnya hanya rombongan
nyamuk jantan yang mencari nektar di siang hari. Hhh... perasaaan ini.... Wajahku memanas.
Mungkin memerah padam kalau saja ada yang memperhatikan. Mulutku terkatup rapat oleh
senyuman. Ada perasaan melonjak-lonjak dalam hatiku. Seperti ribuan kupu-kupu dalam
perutku yang siap terbang jika aku membuka mulut. Yah...seperti yang sering kudengarkan
dalam drama-drama asia, saat itu terjadi, mungkin kamu sedang... jatuh cinta.... Langit seakan
menampakkan pelanginya walau panas terik terasa menusuk kulitku. Persetan... yang penting
waktu yang baru saja berlalu telah mengijinkan aku mendefinisikan perasaanku sendiri.
Perasaan kejatuhanku, jatuh cinta kepadanya.
****
Semua waktu yang berlalu semakin berwarna. Walau aku jarang memandangi wajah
sejuknya, aku yakin dia tidak akan melupakan aku. Yahh, sebenarnya karena buku yang
kupinjam belum kukembalikan sampai saat ini. Aku masih belum berani menyatakan kata
hi lewat ponselku kepadanya. Canggung aku dibuatnya setiap kali menatap kembali layar
ponsel bertuliskan nomor dan namanya. 27 Oktober... Ya ampun... dua hari lagi. Waktu
serasa terlalu cepat. Apakah setelah dua hari nanti dia akan melupakan aku? Maksudku,
melupakan seseorang yang secara kebetulan meminjam buku-buku perpustakaan atas
namanya? Duh, moga saja tidak. Aku berharap dalam hati.
Beberapa lama terdiam bersama kertas-kertas folio berserakan di kamarku, akhirnya
kuputuskan untuk menghubunginya.selamat malam
Kak Ardian... ini Vergia.
Maaf baru bisa menghubungi Kakak
aku mau memberi tahu soal pengembalian buku-buku itu lho Kak...
kira-kira, kapan kakak punya waktu untuk bertemu?
Dan kemudian jari-jariku yang kaku bergerak perlahan ke arah tuts di bagian tengah
LCD ponselku. Send....
Huffft.... ayolah... aku bahkan tidak bisa fokus pada laporan Kimia Organik karena
menunggu notifikasi pesan darinya. Dan Jeeeng... jeng... You have one message received.
Oh maann....
Sender: Kak Ardian
Oh, Iya Dek Vergi....Kamu sudah selesai?
Ya udah... besok jam 9an di kampus ya...
Aku tertegun di depan layar ponsel. Waahh... dia membalasnya... Hihihi... senangnya...
perhatianku sepenuhnya teralihkan pada ponsel, pada dia tepatnya. Tidak lagi pada Material
Savety data Sheet yang menjadi bagian lampiran laporanku. Aku membalasnya.
Oh, ya udah Kak...Maaf kelamaan ngembaliinnya...
Send...
Aku berusaha bersikap biasa-biasa saja. Masih menyembunyikan lonjakan
kegiranganku di balik kata- kata pesan singkat itu. Hanya dalam beberapa menit, aku
mendapatkan lagi balasannya.
Ya... nggak apa-apa kok, Dek.
Singkat seperti tittlenya- pesan singkat... tapi sudah cukup membekaskan ingatanku
tentangnya di pikiran ini.
Ok.. Terima kasih banyak ya Kak....
Aku membalasnya, dan kemudian kembali mencoba menarik semua pikiranku untuk
dipusatkan kembali pada MSDS. Hmm.. malam sudah larut dan aku rasa aku juga harus
mengakhiri hari ini dengan tidur. Dalam hayalku moga aku memimpikan dia....
****
Pagi yang cerah untuk jiwa yang banyak berharap. Aku bangun dengan semangat
mengepul dari ubun-ubunku. Terlebih saat mengingat hari ini aku akan bertemu dengan
pujaan hatiku, objek cinta tak terucap ini. Segera kusiapkan segalanya, dan melangkah
pergi...Satu- per satu jam kuliah berlalu... dan ini yang terakhir untuk hari ini. Biologi Umum.
Berakhir tepat pukul 08.50. Akhirnyaa... rentetan teori transformasi energi dan jalur-jalur
metabolik yang sedari tadi didengungkan dalam diskusi mencapai titiknya. Finish...
Aku beranjak keluar, ke selasar kelas dan segera merangkai kata di aplikasi message
ponselku.
Kak Ardian... aku sudah selesai kuliah.
Kakak dimana? Send...
Tak berapa lama kemudian, aku mendapatkan balasannya.
Dek Vergi kesini aja.
Di Foodcourt MU ya..
Aku segera melangkahkan kaki beranjak ke tempat dimana mahasiswa-mahasiswa lapar
merecharge energi mereka. Berjalan melewati jalan taman biologi yang jauh dari keramaian.
Berlalu di antara guguran daun kemuning yang seakan menyambutku di sepanjang jalanan
berhiaskan juntai juntai dedaunan hijau yang sibuk berfotosintesis menambah kesejukan
dalam hatiku yang diliputi cinta. Perasaan indah ini bertambah kala mengingat nama itu...
pujaan hatiku yang beberapa langkah lagi akan kutemui. Dalam jarak beberapa meter, radar
hatiku mampu menangkap sosoknya yang sedang asyik menikmati santapan di hadapannya...
Selamat pagi, Kak.... Sapaku. Kulihat ia berbalik dan tersenyum.
Oh, Vergi... selamat pagi juga... Duduk yuk di sini pintanya sembari menyodorkan
sebuah bangku hijau di sampingnya.
Iya... makasih Kak. Aku duduk dan meletakkan ranselku.
Udah makan siang belum?
Mm, belum Kak... nanti aja deh... aku mau balikin buku-buku ini dulu ke Kakak.
Ooh... nyante aja kali Ve.... Kamu pesan makan aja dulu. Pintanya kamudian. Tiba-
tiba seseorang datang dan duduk di hadapannya. Di sebuah bangku kuning yang sedari tadi
kosong
.Iya... nanti aja... lagian aku juga udah sarapan Kok, Kak... kataku kemudian...
Ooh... ya sudah kalo gitu. Eh, iya Ve... ini sekalian aku mau kenalin kamu sama dia
Kak Ardian mengarahkan tangannya pada sosok di hadapannya. Seorang perempuan
berwajah mulus dengan seulas senyum manis bagai bidadari. Ia tersenyum ke arahku.
Dia Denita... pacar Kakak... kenalan dong kalian... Den, ini Vergi, adik angkatan aku
yang baru masuk... katanya. Deg... dalam batinku serasa jugkir balik tubuh ini
dibuatnya. Whaat? Pacar? Aku masih terdiam. Namun tangan halus itu tersodorkan ke
arahku. Dengan senyum manis yang menyertainya.
Oh, Dek Vergi... salam kenal... Gimana kuliahnya? tanyanya dengan lembut. Aku
termangu sendiri. Masih belum bisa menjawab pertanyaannya. Entahlah apa yang sedang
kupikirkan.
Eem... Ba..baik kok, Kak... Lancar... kataku lewat bibir yang rasanya enggan
menyimpulkan suatu senyum manis. Garing. Obrolan mengalir di antara kami. Eh tidak...
lebih tepatnya di antara mereka. Objek yang mereka bicarakan mungkin sangat berhubungan
denganku, tapi keterlibatanku langsung dalam komunikasi ini nope... tidak pernah terjadi.
Kalaupun ada, aku hanya cenderung memilih to talk nonsense. Berharap waktu ini cepat
berlalu. Akhirnya kuputuskan untuk beranjak pergi.
Oh, iya Kak... jam sepuluh nanti aku ada kumpul bareng sama temen-temen di Matoa
(tempat nongkrong anak-anak fakultas sambil menunggu jam kuliah berikutnya) kataku
membubarkan percakapan monolog antara aku dan mereka.
Oo..oh.. Iya Kalo gitu... Beneran kamu nggak mau makan dulu, Dek? tanya Kak
Ardian.
Ngg..nggak usah Kak... nggak perlu... aku ke sana ya... kataku sembari tersenyum
hambar pada mereka berdua. Huffttt... aku menyeret kursi hijau yang baru kududuki, berdiri
dan berbalik pergi.
Mungkin aku harus menelaah ulang check list sukses di kampus biru yang sedari awal
kucanangkan. Aku mungkin akan mengeliminasi point ketiga : Rajin ke kampus, sering ke
perpus, lihat Kak Ardian lagi....is now DELETED.
Kembali dengan langkah yang sama aku berlalu melewati jalan taman biologi. Dan kali
ini dengan perasaan yang berbeda. Serasa semuanya biasa- biasa saja. Daun hijau berguguran
karena waktunya, dan bukan karena menyambutku dengan perasaan cinta. Itu sudah bagian
dari senescence. Juga pucuk-pucuk hijau yang berfotosintesis karena menurut pada principles
of conservation energy yang sejam lalu didengungkan di kelas kuliahku : Energi dapat
ditransfer dan di transformasi, namun tidak dapat diciptakan ataupun dihilangkan.
Semuanya di semesta ini konstan. Seharusnya demikian pula dengan hatiku. Tidak boleh ada
fluktuasi akibat cinta bertepuk sebelah tangan ini. Aku berlalu...sempat tersirat dalam
benakku.....
Ah, sayang sekali.... cintaku yang tercipta untukmu hanya berhenti bagai organisme
berupa protozoa, amoeba tepatnya. Tidak lebih dari itu. Bentuk cintaku untukmu mungkin
tidak akan terlihat. Juga tidak akan jelas terdeteksi. Namun aliran perasaanku bagai denyut
sitoplasma amoeba, yang senantiasa mengedarkan perasaanku mengelilingi sekujur tubuh ini.
Untuk meyakinkan aku tetap hidup dalam anganku sendiri, dan berharap dalam batinku
tentangmu di luar sana... Setelah suatu waktu, bentuk amoeba ini mungkin tidak akan sama.
Tapi perasaan ini masih sama... Meski aku tahu, seperti amoeba dengan hanya pseudopodia
untuk terus bergerak dan tidak memiliki flagela atau silia, demikian pula teori universal
tentang cinta yang tidak selamanya harus memiliki... Ya.... sudahlah....

Jogja, Oktober 2012

Вам также может понравиться