Вы находитесь на странице: 1из 19

GP Ansor NU dari Masa ke Masa

TERBENTUKNYA GP ANSOR (Pra Kemerdekaan)

Sejarah lahirnya GP Ansor tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kelahiran dan
gerakan NU itu sendiri. Tahun 1921 telah muncul ide untuk mendirikan organisasi pemuda
secara intensif. Hal itu juga didorong oleh kondisi saat itu, di mana -mana muncul
organisasi pemuda bersifat kedaerahan seperti, Jong Jafa, Jong Ambon, Jong Sumatera,
Jong Minahasa, Jong Celebes dan masih banyak lagi yang lain.

Dibalik ide itu, muncul perbedaan p endepatan antara kaum modernis dan tradisioonalis.
Disebabkan oleh perdebatan sekitar tahil, talking, taqlid, ijtihad, mashab dan masala h
furuiyah lainnya. Tahun 1924 KH. Abdul Wahab membentuk organisasi sendiri bernama
Syubbanul Wathan (pemuda tanah air). Organisasi baru itu kemudian dipimpin oleh
Abdullah Ubaid (Kawatan) sebagai Ketua dan Thohir Bakri (Peraban) sebagai Wakil Ketua
dan Abdurrahim (Bubutan) selaku sekretaris.

Setalah Syubbanul Wathan dinilai mantap dan mulai banyak remaja yang ingin bergabu ng.
Maka pengurus membuat seksi khusus mengurus mereka yang lebih mengarah kepada
kepanduan, dengan sebutan ahlul wathan. Sesuai kecendrungan pemuda saat itu pada
aktivitas kepanduan sebagaimana organisasi pemuda lainnya.

Setalah NU berdiri (31 Januari 1 926), aktivitas organisasi pemuda pendukung KH. Abdul
Wahab (pendukung NU) agak mundur. Karena beberapa tokoh puncaknya terlibat kegiatan
NU. Meskipun demikian, tidak secara langsung Syubbanul Wathan menjadi bagian
(onderbouw) dari organisasi NU.

Atas inisiatif Abdullah Ubaid, akhirnya pada tahun 1931 terbentuklah Persatuan Pemuda
Nahdlatul Ulama (PPNU). Kemudian tanggal 14 Desember 1932, PPNU berubah nama
menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Pada tahun 1934 berubah lagi menjadi Ansor
Nahdlatul Oelama (ANO ). Meski ANO sudah diakui sebagai bagian dari NU, namun secara
formal organisasi belum tercantum dalam struktur NU, hubungannya masih hubungan
personal.

Baru pada muktamar NU ke -9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 21 -26 April 1934,
ANO diterima dan disa hkan sebagai Departemen Pemuda NU, satu tingkat dengan bagian
dawah, ekonomi, mubarrot dan maarif. Adapun struktur ANO pertama: President: H.M.
Thohir Bakri; vice President: Abdullah Oebaid; dan secretaris : H. Acmad Barawi,
Abdussalam

Kongres I di Surabaya

Kongres pertama di Surabaya baru dihadiri 8 Cabang dari Jawa Timur dan 2 Cabang dari
Jawa Tengah. Disebabkan karena saat itu sebagian besar cabang NU bukan belum
memiliki inisiatif, tetapi juga masih muncul pro -kontra pendirian ANO. Pada saat Muktamar
NU ke-11 (9-13 Juni 1936), baru kemudian merekomendasikan agar masing -masing NU
membentuk ANO.

Kongres II di Malang

Setelah ANO berdiri di berbagai daerah, PB ANO kemudian mengambil insiatif untuk
melaksanakan Kongres II. Salah satu keputusan penting kongr es adalah mendirikan Banoe
(Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kemudian disebut Banser. Selain itu juga
menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama menyangkut Banoe.

Kongres III 1938

Langkah ANO sebagai organisasi pemuda semakin berkembang, dan Kon gres III ini
dianggap sebagai Kongres paling bersejarah dan menyedot perhatian luas. Waktu itu,
setiap peserta kongres mengenakan pakaian seragam kebesaran. Sementara Banoe
menunjukkan keterampilannya dalam baris berbaris dan olah raga pencak silat, terkes an
solid dan tema yang diangkat sangat aktual. Memutuskan beberapa hal penting: (1)
meningkatkan pengamalan reglement; (2) memperingati hari lahir ANO setiap tahun di
semua cabang; (3) mendirikan banoe di semua cabang dan mengaktifkan Riyadlatul
Badaniyah serta latihan baris berbaris; (4) mengusahakan terwudnya taman bacaan di
setiap cabang; (5) mengesahkan Mars ANO al iqdam; (6) berusaha bersama NU
mendirikan poliklinik; (7) menginstruksikan kepada setiap cabang untuk mengaktifkan
confrentie found; (8) mengutus Thohir Bakri dan Abdullah Ubaid ke Muktamar NU ke -13 di
Menes, Banten.

Kongres IV: Gabungan 1939

Bahwa kongres ANO IV rencananya dilaksanakan di Madura (Pemekasan), oleh Muktamar


NU ke-13 di Menes, agar digabung dengan Muktamar NU ke -14 di Magelang (15-21 Juli
1939). Pada kongres kali ini, pro kontra tentang eksistensi ANO sudah bisa dikatakan
berakhir.

GP ANSOR PASCA KEMERDEKAAN

Seperti diketahui bahwa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tersiar berita
bahwa pemerintah Inggris dan keraja an Belanda telah sepakat bahwa panglima tentara
pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah
Belanda. Persetujuan tersebut terkenal dengan nama Civil Affair Agreement.

Atas dasar itu, PBNU kemudian membuat undangan kepada ko nsul NU di seluruh Jawa dan
Madura. Dalam undangan tersebut disebutkan agar tanggal 21 Oktober 1945, para
undangan datang ke Kantor PBNU di Jl. Sasak, No.23. Malamnya, 23 Oktober 1945, rapat
PBNU yang dihadiri seluruh konsul NU se -Jawa dan Madura dimulai. Rais Akbar KH.
Hasyim Asyarie menyampaikan amanatnya berupa pokok kaidah kewajiban umat islam
dalam berjihad membela tanah air. Rapat yang dipimpin Ketua Besar KH. Abdul Wahab
Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi, yang
diberinama Resolusi Jihad Fii Sabilillah. Intinya, mewajibkan setiap umat Islam (Fardlu
Ain) mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan musuh.

Resolusi jihad tersebut telah membakar semangat perjuangan arek -arek Suroboyo dan
menjadi sumber inspi rasi dan motifasi dalam mengusir penjajah, peristiwa 10 Nopember
1945 tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, ANO kembali konsentrasi memikirkan persoalan


internal oragnisasi. Mohammad Chusaini Tiway (Tokoh ANO Surabaya) yang pertama kali
melempar ide untuk mengadakan reuni Pemuda bekas ANO. Waktu itu, Chusaini baru saja
kembali dari medan tempur menghadapi agresi II Militer Belanda di seputar Jombang,
Mojokerto dan Tuban. Pada tanggal 14 Desember 1949 reuni yang direncanakan itu pun
berlangsung semarak di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan bersejarah
itu dihadiri oleh menteri agama RIS KH.A. Wahid Hasyim. KH.A Wahid Hasyim
mengemukakan pentingnya membangun kembali organisasi Pemuda Ansor kare na dua hal:
(1) Untuk membentengi perjuangan umat Islam Indonesia; (2) Untuk mempersiapkan diri
sebagai kader penerus NU.

Dari pengarahan KH.A. Wahid Hasyim kem udian lahir kesepakatan: Membangun kembali
organisasi ANO dengan nama baru: Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor, hanya
kemudian dipergunakan GP Ansor karena lebih populer, disepakati Pucuk Pimpinan
berkedudukan di Surabaya.

Perubahan ANO menjadi Ansor itu juga tercermin dalam Anggaran Dasar (AD), pasal I
sebagai berikut: Organisasi ini bernama Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor
didirikan kembali di Surabaya pada tanggal 14 Desember 1949 sebagai kelanjutan dari
ANSOR NAHDLATUL ULAMA yang did irikan pada tanggal 10 Muharram 1353 atau tangal 24
April 1934.

Karena itu, setelah terjadi kesepakatan, beberapa tokoh menghubungi aktivis Ansor di
daerah agar segera membangkitkan kembali organisasinya, mulai dari tingkat ranting,
Anak Cabang, Cabang dan Wilayah atau Daerah. Dalam hal ini, PBNU juga tidak tinggal
diam, kendati secara organisatoris, GP Ansor bukan lagi merupakan bagian (departemen)
pemuda NU, melainkan sudah menjadi badan otonom yang dengan sendirinya, memiliki
aturan rumah tangga sendiri.

Namun demikian, induk organisasi ini tak henti -hentinya memberikan bimbingan dan
panutan. Guna mempercepat proses konsolidasi organisasi pada tahap awal itu, Ketua
PBNU (KH.M.Dachlan) membentuk sebuah Tim beranggotakan tiga orang: Chamid Widjaja,
Chusaini Tiway, dan A.M.Tachjat.

Tim ini diberi tugas untuk menyusun pengurus PP GP Ansor secepat mungkin. Setelah
melalui berbagai diskusi, akhirnya Tim berhasil memilih Chamid Widjaja sebagai ketua
umum PP GP Ansor periode pemula itu.

Dengan terpilihnya Chamid Widjaja, berarti masa kebangunan kembali GP Ansor telah
dimulai. Langkah berikutnya, menurut catatan Moh. Saleh, pada awal tahun 1950 hampir
seluruh jajaran Ansor, mulai dari tingkat Ranting hingga wilayah sudah terbentuk. Bahkan
pada tahun yang sama, Cabang Istimewa Singapura juga berhasil didirikan.

Kongres Ansor 1951

Pesatnya perkembangan organisasi ini mendorong Ketua Umum Chamid Widjaja untuk
secepatnya mengadakan kongres. Sebab, hanya dengan kongreslah masa depan Ansor
dapat dibicarakan secara mendalam , maka pada tahun 1951 diadakan kongres pertama
dikota Surabaya. Berbagai masalah, baik yang menyangkut AD/ART, program kerja
maupun arah kegiatan serta target yang ingin dicapai, berhasil dirumuskan. Lebih dari itu,
kongres juga berhasil menyusun risalah Ansor I dan II (berisi riwayat singkat organisasi),
membuat tuntunan Kepanduan Ansor dan memilih kembali Chamid Widjaja sebagai Ketua
Umum PP GP Ansor periode dua tahun mendatang.

Persetujuan Bersama PBNU -PP GP Ansor

Roda organisasi terus berputar. Semua j ajaran, mulai dari Ranting Anak Cabang, Cabang
dan Wilayah, juga terus berkembang. Namun, suatu ketika, ternyata macet lagi. Penyakit
lama (kesalahpahaman antara anak dan bapak) rupanya kambuh lagi dan sempat
menyumbat roda organisasi. Sebab -musababnya kambuh, juga tak jelas. Yang terang,
kedua belah pihak kemudian sepakat mencari resep. Maka lahirlah Persetujuan Bersama
PBNU-PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951.

Persetujuan bersama ini menunjukkan adanya keretakan hubungan antara NU dan Ansor.
Tapi tidak sampai berlarut-larut karena cepat diatasi dengan persetujuan yang
ditandatangani bersama antara KH.Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH. M.
Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP.Ansor). Adapun isi
persetujuan itu seperti berikut ini:
1. Bahwa dalam bidang politik GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum
apapun tunduk kepada PB Syuriah.
2. Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU
3. Bahwa GP. Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang
bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama
Ahlussunnah Wal jamaah.

Dilihat dari isi persetujuan, agaknya pada masa itu dikalangan GP Ansor mulai tumbuh
benih-benih ketidaksetiaan kepada partai. Atau paling tidak, berbeda persepsi politik.
Sehingga jika dibiarkan justru menjadi blunder bagi NU yang tegah berhitung dengan
Masyumi. Agar perhitungan dengan Masyumi berjalan dengan mulus, maka diperlukan
kondisi interen yang sehat.

Kongres IV 1956

Kongres IV berlangsung pada 29 Oktober 2 November 1959 di kota Malang. Kota dingin
itu tidak mampu meredam suasana kongres. Seperti tadi disinggung, medan kongres telah
menjadi ajang pertarungan memperebutkan pengaruh untuk kedudukan. Keadaan ini
terbaca jelas dari sambutan Ketua GP Ansor Jaw a Timur, Moh Saleh yang wanti -wanti agar
suasana kongres tidak dirusak oleh penyakit hub-bur-riasah dan hub-bul-jaah .

Penyakit gila pangkat kedudukan, agaknya tengah terjangkit dikalbu Pemuda Ansor waktu
itu. Sehingga, Moh Saleh, merasa perlu mengemukakan pandangannya agar semua pihak
menahan diri. Ia juga menyarankan, hendaknya pembicaraan dan perdebatan dalam
kongres dititik beratkan pada masalah program kerja bagi meningkatkan kualitas anggota
gerakakan. Lebih jauh ia mengingatkan, bahwa GP Ansor bukan l agi organisasi kecil,
melainkan sudah menjadi organisasi pemuda terbesar di Tanah Air ini. Karenanya,
pengurus GP Ansor di semua jajaran hendaknya insafi akan dirinya bakal memikul amanat
ummat yang kini tengah berada di pundak NU.

Kongres VI 1963

Kongres VI GP Ansor berlangsung pada 20-25 Juli 1963 di Surabaya. Namun seperti telah
disinggung, sebelum memasuki medan kongres ini grafik Ansor justru meluncur ke bawah.
Di bidang politik, kritik-kritik panas dikemukakan buat mengoreksi realitas politik NU.
Sehingga penampilan Ansor terlihat lesu dalam aktivitas, tapi segar dalam menyuguhkan
kritik maupun koreksi.

Perkembangan politik sebelum dan sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menuntut NU
untuk lebih berhati-hati, dan lebih banyak menggunakan pertimbangan p olitis, tanpa
mengorbankan prinsip sebagai gerakan Islam. Misalnya, peristiwa politik (sebelum Dekrit)
mundurnya Drs. Mohammad Hatta dari jabatan Wakil Presiden (1 Desember 1956) disusul
sikap politik Masyumi menarik menteri -menterinya dari kabinet Ali-Roem-Idham (21
Januari 1957) dan, selanjutnya (14 Maret 1957) kabinet Ali -Idham menyerahkan mandat
kepada Presiden Soekarno. Semua peristiwa itu, sungguh mebikin panik partai NU.

Pihak yang kontra (KH. Bishri Syansuri, KH. M. Dachlan, Imron Rosyadi dan Achmad
Siddiq) mendasarkan alasannya bahwa, lembaga tersebut dibentuk secara demokratis dan
tidak memberi kesempatan golongan oposisi. Karena itu, aliran kontra ini berpendapat :
NU lebih baik berada di luar dulu, jangan keburu masuk.

Sedangkan pihak yang pro (K H. Wahab Hasbullah, KH. Masykur KH. Idham Chalid, Zainul
Arifin, Saifuddin Zuhri dan H.A.Syaikhu), mendasarkan alasan bahwa kalau berada di luar
justru tidak bisa melakukan hak control dan amar maruf nahi mungkar. Oposisi di luar
lembaga jelas tak mungkin , dan salah-salah bisa dicap reaksioner dan dibubarkan. Lebih
baik masuk dulu, lalu manggil Dewan Partai bersidang. Kalau Dewan memutuskan setuju
masuk, kita sudah di dalam. Tapi, jika Dewan Partai tidak setuju apa susahnya menarik
keluar?

Dekalarasi Sala 1962

Guna melicinkan jalan ke kongres VI, PP. GP.Ansor mengadakan konferensi Besar
(Kombes) 26-27 Desember 1962 di kota Sala. Dalam konbes ini berbagai kendala yang
menghadang aktifitas Ansor dikaji secara cermat. Hubungan Ansor -NU yang cenderung
memburuk dan diliputi berbagai prasangka ketidak setiaan Ansor terhadap induknya, juga
dibahas secara mendalam.

Nama-nama tokoh pucuk Pimpinan yang hadir dalam konbes antara lain, Yusuf Hasyim
(Ketua II PP.GP Ansor) Aminuddin Aziz (Ketua III) Chalid Mawardi (Sekret aris Umum),
Mahbub Djunaidi (anggota) Ansori Syam (anggota), Danial Tanjung (Anggota) dan H.
Qosim A. Gani (Anggota). Sedangkan dari pimpinan Wilayah yang hadir tercatat 17
Propinsi, antara lain: Sumatera (semua wilayah ), Kalimantan (semua wilayah), Sulaw esi
(semua wilayah), Djambi, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.

Konbes kemudian mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Deklarasi Sala, yang
isinya memperkuat kembali persetujuan bersama PBNU PP GP Ansor tertanggal 2
September 1951, yang ditandatangani KH. Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH.M
Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP Ansor).

Inti dari persetujuan bersama itu terdiri dari tiga point: (1) Bahwa dalam bidang politik
GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB
Syuriah; (2) Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU; dan (3) Bahwa GP. Ansor tetap
taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU
(saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah wal jamaah.

Deklarasi tertanggal 27 Desember 1962 itu, ditanda tangani Yusuf Hasyim, Moh. Saleh dan
Chalid Mawardi atas nama Konferensi Besar.

Dengan demikian, dalam masa 11 tahun (1951 -1962) Ansor telah dua kali mengatakan
Ikrar: tunduk, taat dan patuh kepada NU, Ibarat seorang anak, maka dalam kurun waktu
11 tahun Pemuda Ansor berlaku banal. Bahkan berkat kebinalannya itu timbul prasangka
sementara kalangan (baik di dalam maupun di luar Partai NU) akan kesetiaan Ansor
terhadap NU. Sehingga, ia harus menyatakan kembali komitmen dasarnya, yakni sebagai
kader NU dan kader Ahlussunnah wal jamaah.

Di Tengah Masa Sulit

Peristiwa G/30/PKI merupakan sejarah suram bangsa yang tidak bisa dilupakan oleh Ansor
terutama NU. Sebab, pengalaman pahit yang menimpa warga NU (Pemuda Ansor) dalam
aksi PKI di Madiun 1948, puluhan bahkan ratusan warga NU menjadi korban keganasan
palu arit. Karma itu seperti dikemukaka n oleh KH.Saefuddin Zuhri, Perlawanan NU
terhadap PKI di lakukan di semua medan juang.

Antara PKI dan NU berhadapan sebagai lawan. PKI menggerakkan massanya, NU


mengorganisasi Pemuda Ansor dan Banser -nya. PKI mengerakkan Lekranya, NU
mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyajikan lagu Genjer -genjer yang penuh hasutan dan
sindiran, NU mengobarkan Salawat Badar. NU mengobarkan semangat perlawanan
terhadap PKI sebagai kelanjutan peristiwa aksi PKI di Madiun 1948.
Di Jawa Timur misalnya, aksi sepihak PKI selalu gagal, Pemuda Ansor dan Banser (Barisan
Ansor Serbaguna)-nya senantiasa selalu berada di barisan paling depan dalam menghalau
aksi PKI seperti di kemukakan oleh Haji Yoesoef Zakaria. Bahwa sejak 1961, GP. Ansor
Jawa Timur di bawah pimpinan Hizbullah Huda, mengad akan kosolidasi organisasi secara
intensif. Bahkan sampai dengan tahun 1963, hampir seluruh Ranting Ansor memiliki
pasukan drumband dan Banser.

Peristiwa G/30/S/PKI di tahun 1960 -an dipahami oleh banyak pihak, sebagai gerakan
terselubung yang berlindung di balik nama besar Bung Karno. Para kader dan anggota Biro
Khusus menyusup kedalam organisasi politik. Kader lainnya mengerakkan organisasi buruh
di berbagai bidang profesi dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia)
sebagai wadah induk. Lemba ga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) juga tak putus -putusnya
mengeluarkan semboyan menarik; Seni Untuk Rakyat, Seni Untuk Revolusi.

Bahkan dalam buku Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia , bahwa


saat itu PKI memainkan kartu As, sutradara politik yang memainkan hampir semua
kekuatan untuk mendukung cita -citanya. Infiltrasi politik di tubuh PNI misalnya,
berlangsung mulus hingga partai terbesar itu terbelah menjadi dua: PNI ASU (Ali
Surachman) dan PNI Osa-Usep. Keduanya saling berhadapan, bertarung dalam
menghadapi setiap isu-isu politik yang, notabene, diciptakan oleh PKI.

PKI benar-benar di atas angin, Bung Karno berhasil dikuasai. Partai politik saat itu tidak
bisa berbuat banyak lantaran takut terkena cap sebagai kontra revolusioner. Golongan
atau kekuatan apa saja yang menghalagi PKI di cap kontra revolusi. Akibatnya tentu saja,
dimusuhi Bung Karno, jika tidak dihabisi atau diberangus seperti lembaga kebudayaan
asing dan pencetus Manifes Kebudayaan tadi.

Masyarakat Indonesia sangat tidak sepakat dengan dasar-dasar pikiran PKI. Kalimat DN
Aidit yang selalu di jadikan pegangan, ketika DN Aidit berpidato di depan peserta
Pendidikan Kader Revolusi (1964), antara lain DN Aidit mengatakan bahwa sosialisme jika
sudah tercapai di Indonesia, maka Pancasil a tidak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu.
Padahal, Pancasila bagi kebanyak masyarakat Indonesia adalah dasar Negara yang masih
tetap ideal.

Secara perlahan dan pasti masyarakat juga curiga dengan Sukarno, karena dianggap
manuver politik PKI tidak jau h beda dengan pikiran Bung Karno. Sebagaimana isi pidato
Bung Karno dalam Kongres X PNI (28 Agustus -1 September 1963) di Purwokerto, antara
lain Bung Karno menegaskan: Marhaenisme dan Marxisme yang diterapkan di Indonesia,
yang intinya adalah sosialisme In donesia Marhaenisme macam inilah yang akan dijadikan
dasar perjuangan.

Karena aksi massa PKI tidak terbendung lagi dan membuat masyarakat merasa khawatir.
Membuat ormas-ormas NU termasuk GP Ansor seperti yang telah dikemukakan Chalid
Mawardi juga khawatir dengan manuver PKI. Maka tidak heran jika bangkit mengimbangi
aksi-aksi itu. Kendati dengan resiko perkelahian, penculikan dan pembunuhan. Kontra aksi
massa dari ormas NU dipelopori oleh GP Ansor dengan backing massa dari Pertanu
(Persatuan Tani NU), Sarbumusi (Sarekat Buruh NU) dan Lesbumi (Lembaga Seni Budaya
NU) di bidang kebudayaan.

NU (termasuk didalamnya GP Ansor) semakin menemukan kebenaran perhitungan


politiknya, setelah RRI kembali menyiarkan berita bahwa Panglima KOSTRAD, Mayor
Jenderal Soeharto dan RPKAD berhasil merebut kembali RRI dan kantor telekomunikasi
serta berhasil mengiring para pelaku G 30 S/PKI ke Lubang Buaya, yang lebih
menyakinkan lagi adalah penegasan Mayjen Soeharto, bahwa Gestapu PKI adalah
perbuatan Kontra Revolusi yang harus dib erantas. (pengumuman dikeluarkan pada malam
tanggal 1 Oktober 1965).

Sejak itu PKI mulai kedodoran. Operasi penumpasan G 30 S/PKI digerakkan di mana -
mana. Tidak terkecuali juga dilakukan di lingkungan NU, tepatnya tanggal 2 Oktober,
pimpinan muda NU HM. Subchan ZE, membentuk organisasi Komando Aksi Pengganyangan
Kontra Revolusioner Gerakan 30 September disingkat dengan KAP GESTAPU. Menyusul
kemudian kesatuan-kesatuan aksi hingga melahirkan Front Pancasila. Di dalamnya
bergabung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indon esia atau KAMI (berdiri 25 Oktober) disusul
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)
dan Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), serta kesatuan -keasatuan lainnya yang anti
komunis.

Kemudian, pada 5 Oktober 1965, NU dan semua ormas pendukungnya terutama GP.Ansor
mengeluarkan pernyataan resmi: Mendesak Presiden Soekarno untuk segera membubarkan
PKI dan antek-anteknya; Mencabut Surat Izin Terbit (SIT) semua media cetak langsung
maupun tak langsung membantu Gestapu PK I; menyerukan kepada seluruh Ummat Islam
agar sepenuhnya membantu kepada ABRI dalam upaya memulihkan keamanan akibat
Gestapu PKI.

Agaknya dikalangan Ormas Pemuda Gerakan Pemuda Ansor yang tak mungkin bisa
melupakan perannya ketika menumpas PKI. Sebab tidak sedikit anggota gerakan yang
gugur. Peristiwa Banyuwangi misalnya, menelan korban mati 40 anggota Ansor. Satu
kampung dikepung oleh PKI yang rata -rata dipersenjatai. Terjadilah pertempuran berdarah
hingga banyak menelan korban. Pertempuran penumpasan sisa -sisa PKI terus berlangsung
di semua daerah di Jawa Timur. Dan setiap penumpasan, GP.Ansor merupakan tulang
punggungnya. Tulang punggung bukanlah yang menumpang dipunggung. Karena itu, jasa
Ansor seringkali tidak terlihat kendati tak satu pun yang berani m enginkari peran Ansor
kala itu. Dan bukan penghargaan yang dicari, melainkan yang utama adalah komunis tetap
musuh agama. Dan harus diberantas.

Aparat keamanan segera mengkoordinasikan kekuatannya. Ansor tentu tak ketinggalan.


Kapten Hambali Pasi I Kodim B litar menemui Kayubi Komda GP. Ansor Kediri diruang BPH
Blitar. Hambali meminta agar GP.Ansor bersedia mengenakan pakaian Hansip dan ikut ke
Blitar Selatan membantu Operasi Trisula. Mengapa Ansor? Jawab Hambali. Sebab Pemuda
Ansor tidak diragukan lagi ke -pancasilaannya. Kalau menggunakan hansip regular, masih
perlu penyaringan. Dan itu sulit, Kayubi segera memberangkatkan Banser -nya ke gunung-
gunung batu di selatan sungai Brantas, di wilayah Blitar Selatan.
Catatan :

Bahwa kekerasan yang pernah dilakukan oleh Ansor tidak perlu menjadi kebanggan bagi
pengurus dan warga GP Ansor, sebab bagaimanapun juga yang dilakukan oleh Ansor
adalah suatu tindak kekerasan, yang dilakukan karena upaya balas dendam gerakan PKI.
Bahkan sekalipun pemberontakan PKI diakui oleh banyak pihak telah nyata -nyata
melakukan pelanggaran terhadap konstitusi RI.

Sebagaimana sikap kemanusiaan yang lebih humanis ditampilkan Gus Dur berhubungan
dengan pertistiwa 30 September 1965 bisa menjadi contoh bua t keluarga besar NU. Bahwa
Gus Dur secara ikhlas meminta maaf kepada keluarga PKI terhadap peristiwa 30
September 1965, termasuk keterlibatan NU dalam pembantaian PKI.

Sikap kesatria Gus Dur bukan untuk mengakui kebenaran PKI dan menyalahkan kelompok
lain, tetapi semata-mata dilandasi dengan pemikiran yang lebih rasional, bahwa kekerasan
yang pernah dilakukan dengan sesama warga bangsa karena bingkai konflik poltik, tidak
perlu terulang lagi apalagi menjadi kebanggaan warga yang melekat di ingatan warga
Ansor.

GP ANSOR DALAM SEJARAH ORDE BARU

Mencoba Berpolitik Praktis

Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepa da Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu
disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan
kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.

Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Rib uan utusan
yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde
Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi
Indonesia.

Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, r asa tak puas dan
kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat
untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G -30 S/PKI dan penumbangan
rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa
kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.

Kongres VII 1967


Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres
tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se -
Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat
Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Id ham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil
Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh.
Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)

Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang
timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan
menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan
gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Penegasan Politik Gerakan

Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan
Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan
leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam
manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d)
mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945.
Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut -
penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik l uar negeri yang bebas aktif, anti
penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.

Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai


situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga menganti sipasi
perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu
pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.

Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut
di dalamnya dalam pen umpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis.
Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan
yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan
kepalsuannya.

Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan
sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor
waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas
suksenya operasi ter sebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut
bermotif ideologis dan strategis.

Menolak Kembalinya Kekuasaan Totaliter

Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal
timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya
pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya
memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar -mimbar ilmiah.
Tapi, demokrasi diartikan sebagai suat u Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir
pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam
buku Asian in the Balance , bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan
muncul authoritarianism.

Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang
korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak
bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan
kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerin tahan otoriter. Begitulah kira -kira Michael
Edwards.
Masalah Toleransi Agama

Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama.
Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan
dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut
agama lain.

Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama
sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana -mana. Akibatnya
timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada
waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam
maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah -dakwah semakin di batasi
bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan
di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam.

Dalm Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai


masalah politik dan ekonomi. Dan isi da ri memorandum tak lain adalah manifestasi dari
komitmen Ansor terhadap ideology Pancasila.

Bidang Organisasi

Dalam hal penyempurnaan organisasi, Jahja Ubaid mengemukakan, Ansor hanya


bergantung pada kekuatan Gerakan Sendiri. Tekad untuk mandiri ini sesungguhnya suda h
tercetus sejak Kongres VII. Jika kini GP.Ansor selalu menyatakan gagasan
kemandiriannya, sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tekad yang telah dikobarkan
sejak lama itu.

Tekad itu tercermin dari beberapa keputusan, baik mengenai pember ian wewenang
maupun otonomi Pimpinan Wilayah dan Cabang serta upaya pembentukan badan usaha
Ansor. Sejak Kongres VII Pimpinan Wilayah diberikan wewenang mengesahkan pengurus
departemen di tingkat cabang, dan begitu pula Pimpinan Cabang terhadap pengurus
(departemen) di bawahnya. Selain itu, Pimpinan Wilayah di beri hak mengeluarkan kartu
anggota di wilayah masing -masing dengan petunjuk dari pucuk pimpinan (untuk
keseragaman).

Di bidang dana, Pimpinan Wilayah diperbolehkan mendirikan badan usaha untuk


menghidupi organisasi, sedang, di Pucuk Pimpinan telah dibentuk Yayasan Dharma
Pemuda yang akan mengusahakan dana bagi pembiayaan PP GP Ansor. Sedangkan
pengurus yayasan adalah: H. Anwar Hadisujanto (ketua), HA. Chalid Mawardi (Wakil
Ketua), H.Abdul Aziz (Wakil Ketua), H.M. Danial Tanjung (Sekretaris), Hadi Wurjan SH
(Wakil Sekretaris), dan Drs. Djawahir (Bendahara).

Federasi Pemuda Indonesia

Seperti di ketahui bahwa saat penumpasan G 30 S/PKI, Ketua Umum GP Ansor, Jahja
Ubaid adalah juga Ketua Presidium Front Pemuda Pusat. Beranggotakan sembilan
organisasi pemuda. Dalam kongres VII sikap kepeloporan Ansor bagi pembentukan wadah
federatif itu dipertegas kembali. Kongres mengamanatkan kepada PP GP Ansor agar secara
terus menerus meningkatkan kepeloporannya dalam mempersatukan pemuda Indonesia.

Bertolak dari amanat itu, maka pada tanggal 28 -30 Januari 1968 di Jakarta diadakan rapat
kerja Presidium Front Pemuda pusat. Hasilnya, nama front Pemuda yang berbau
revolusioner itu diubah menjadi Federasi Gerakan Pemuda Ind onesia. Jahja Ubaid terpilih
kembali sebagai ketua umumnya. Sedangkan sembilan organisasi yang membentuk
federasi itu adalah: Pemuda Ansor, pemuda Pancasila, pemuda Muhammadiyah, Pemuda
Khatolik, Pemuda Muslimin, P31/Soksi, GAMKI, Pemuda Islam dan Pemuda M arhaenis.
Adalah fakta bahwa Ansor merupakan pelopor terbentukannya federasi Pemuda Indonesia.
sebuah federasi yang tentunya menjadi embrio KNPI. Sebagai organisasi pemuda, dengan
demikian, GP Ansor telah mengimplementasikan komitmen kepemudaannya, yakni p emuda
Indonesia.

Konverensi Besar 1969

Tidak banyak yang dilaporkan pada konbes, kecuali mengulangi penegasan politik gerakan
yang diputuskan di kongres. Hal menarik, agaknya, soal hubungan Ansor dengan NU.
Dalam laporan kebijaksanaan politik GP Ansor pada konbes disebutkan, antara lain,
pengulangan ikrar GP Ansor, pembela dan penjunjung tinggi yang setia dan terpercaya
dan cita-cita partai NU, dan arena itu ia harus ikut menentukan garis politik Partai NU.

Atas dasar itu, Pucuk Pimpinan tak henti -hentinya menyampaikan appeal kepada Ketua
PBNU. Juga dalam setiap pertemuan dengan NU, PP GP Ansor senantiasa berupaya untuk
mencapai dua sasaran: a) menghilangkan syakwasangka yang mungkin ada terhadap
gerakan dan dengan demikian berusaha menyakinkan ata maksud ba ik Gerakan; b)
menyarankan agar tetap menjaga kepemimpinan yang kompak dan kolegial dalam PBNU.

Konverensi Besar 1979

Lingkungan internal, mendorong GP Ansor untuk tampil sebagai pembela dan penjunjung
tinggi cita-cita partai NU. Sebagai pembela, tentu men gerahkan segala daya untuk
keselamatan yang dibela. Bahkan dalam segala peristiwa apapun, si pembela harus
mampu menunjukkan kesungguhannya sebagai pembela. Bila perlu, ia harus melawan
tuntutan jaksa.

Lingkungan eksternal waktu itu, hanya menginginkan kok ohnya pemerintahan Orde Baru.
hal ini wajar karena kesalahan pemerintah Orde lama menuntut pembenahan secepatnya
di segala sektor. Untuk itu, sejak pengukuhan Jenderal Soeharto sebagai Presiden (Maret
1968), format politik mulai ditata. Menurut Alfian, dal am menciptakan format politik baru
itu, Soeharto banyak berorientasi pada pengalaman sejarah.

Harus diakui bahwa perjalanan memantapkan format politik baru itu, banyak terjadi
benturan keras terutama dari NU. Puncaknya pada pemilu 1971 (3 Juli) di mana
NU berhadapan dengan GOLKAR, selanjutnya disusul pembentukan KORPRI (29 November
1971) dan seterusnya (5 Januari 1973) fusi 5 Partai Islam menjadi PPP, maka lengkaplah
penderitaan NU dan tentu juga GP.Ansor.

Sebagai ilustrasi, peran GP.Ansor sebagai p embela patut dipertanyakan. Sebab, nyatanya,
bukan yang dibela saja yang tergulung, tapi juga dia sendiri ikut pingsan. Setelah fusi
menjadi PPP, eksistensi organisasi NU maupun GP.Ansor seperti lenyap bahkan dimana -
mana (termasuk dikalangan pemerintah) mu ncul anggapan bahwa NU maupun GP Ansor
sudah tiada. Masyarrakat takut menyebut dirinya NU, mengaku dirinya Ansor. Inilah
zaman NU phobi dan Ansor phobia.

Kongres IX 1985

Kongres IX ini berlangsung sejak tanggal 19 -23 Desember 1985 di Bandar Lampung.
Seperti telah disinggung, bahwa Kongres GP Ansor tak pernah sepi dari konflik
memperebutkan kedudukan Pucuk Pimpinan. Tidak terkecuali Kongres IX, persaingan itu
berlangsung begitu ketat. Baru berakhir setelah kongres memilih Drs.Slamet Effendi Yusuf
sebagai Ketua Umum. Terpilihnya Drs. Slamet Effendi Yusuf (sebelumnya Wakil Sekjen)
adalah jawaban dari adanya konflik.

Meski begitu, bukan berarti kongres pasca asas tunggal ini hanya didominasi konflik.
Beberapa keputusan penting, baik yang menyangkut program kerja , penyempurnaan
AD/ART (penetapan pancasila sebagai asas organisasi) dan pokok -pokok pikiran tentang
ideologi, pemilihan umum, pendidikan dan kepemudaan berhasil dirumuskan. Bahkan sikap
GP.Ansor terhadap ketiga kekuatan social politik pun digariskan denga n istilah popular
eguil-distance. Membikin jarak yang sama (dekat atau jauh) secara aktif.

Hal menarik dari kongres IX adalah dikukuhkanya Deklarasi Semarang dan Triprasetya
Ansor, dalam pokok program GP.Ansor periode 1985 -1989 pada bidang doktrin da n
kepribadian. Ini berarti arah gerakan akan senantiasa mengacu pada tiga komitmen dasar
tadi. Konsekuensinya terhadap pengelolaan organisasi mesti ditempuh secara profesional
kepemudaan. Artinya, semua pengurus Gerakan di setiap eselon harus bersungguh -
sungguh mengelola organisasi, tapi tetap berpijak pada kepentingan kepemudaan, ke -
Indonesiaan dan ke - Islaman atau keagamaan. (Diambil dari Buku Choirul Anam Mantan
(Ketua PW Ansor Jawa Timur), dengan judul Gerak Langkah Pemuda Ansor; Sebuah
Percikan Sejarah Kelahiran, Oleh: Tim Redaksi GP -Ansor Online)

PERAN GERAKAN PEMUDA ANSOR PADA MASA REFORMASI / TRANSISI (1999


Sekarang)

GP Ansor pada masa reformasi menghadapi tantangan yang sangat berat, berada di
tengah situasi eksternal organisasi yang berkembang de ngan dinamika dan dialektika yang
sangat rumit sehingga tidak mudah untuk diikuti. Di satu pihak, geopolitik dunia sedang
mengalami pergeseran signifikan setelah terjadi serangan terorisme terhadap Pentagon
dan Menara Kembar di Amerika Serikat. Gerakan Int ernational memberantas terorisme,
telah merubah peta politik dan ekonomi internasional yang kurang menguntungkan bagi
umat Islam, karena kampanye anti terorisme tersebut oleh sebagian pihak telah
dimanfaatkan sebagai sentimen anti Islam.

Gerakan Keagamaan Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia menghadapi


trauma. Jika kurang berhati -hati tentu akan terkena stigma teroris yang sedang menjadi
musuh dunia. GP Ansor tak luput dari stigma tersebut, meskipun kita senantiasa
mengembangkan paham Islam A hlussunnah wal jamaah yang mengedepankan prinsip
toleransi, keseimbangan, jalan tengah dan prinsip keadilan.

Salah satu ensiklopedi yang terbit di Perancis bahkan nyata -nyata menyebut bahwa Banser
adalah organisasi teroris. Tentu kita melayangkan protes ke ras kepada Pemerintah
Perancis seraya mendesak agar ensiklopoedi tersebut ditarik dari peredaran, karena
senyatanya GP Ansor dan Banser adalah bagian dari komunitas gerekan Islam Indonesia
yang senantiasa menyerukan perdamaian dan menghindari rasa permusuh an. Dalam hal ini
Sahabat Rofiq, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, kita tugaskan ke Perancis khusus untuk
menjelaskan tentang posisi Ansor dan Banser sebagai bagian dari gerakan Islam yang
cinta damai dan toleran.

Dipihak lain, dari dalam negeri kita sendiri G P Ansor menghadapi masalah yang tidak
kalah rumitnya. Krisis multi -dimensi terus terjadi dan mengakibatkan berbagai kerawanan
dan ancaman. Begitu tidak pastinya situasi di dalam negeri, sampai -sampai kepengurusan
Ansor periode 2000-2005 telah mengalami 3 k ali pergantian kepemimpinan nasional, yakni
sejak Presiden BJ. Habibie, Presiden KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati
Soekarnoputri dan Presiden ini Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

Situasi transisional yang dihadapi bangsa ini telah menimbulkan berbag ai masalah serius
dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam kehidupan sosial politik, telah terjadi konflik
horisontal antar sesama kelompok masyarakat, terjadi antagonisme regional sebagai
dampak dari penerapan sistem otonomi daerah, terjadi gejolak disinteg rasi untuk
memisahkan diri dari pangkuan NKRI dan terjadi berbagai kasus anarkhisme dan
pemaksaan kehendak yang mencedarai proses transisi menuju demokrasi.

Meskipun berbagai perubahan tak jarang membuat GP Ansor dihadapkan pada situasi sulit,
namun secara umum perubahan konstelasi nasional justru semakin kondusif bagi
pengembangan GP Ansor saat ini maupun ke depan, dibandingkan 5 atau 25 tahun silam.
Kondisi makro yang makin menguntungkan organisasi massa besar seperti Ansor adalah
semaking meningkatnya ke lembagaan demokrasi di Indonesia. Kemajuan besar tatatanan
demokrasi tampak jelas dari pergeseran aturan main pemilihan presiden hingga Kepala
Daerah yang semula dipilih melalui Perwaklan (Parlemen) kini dipilih langsung oleh rakyat.
Bagi GP Ansor, semakin terlembaganya tatanan politik partisipatoris yang diwujudkan
dalam pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, merupakan
perkembangan sangat positif, sebab, kekuatan Ansor selama ini memang terletak pada
jumlah pendukung yang besar. Kendati Ansor bukan organisasi politik, mau tidak mau
dalam tatanan yang demokratis seperti itu mereka yang punya latar belakang organisasi
massa besar seperti Ansor memiliki nilai tawar yang besar dalam proses pemilihan pejabat
publik secara langsung.

Diantara manfaat yang telah dirasakan GP Ansor dari kondisi tersebut, adalah tersebarnya
kader GP Ansor di banyak posisi strategis. Kondisi ini berbeda dengan era 1970 -an sampai
1990. Pada era tatanan politik yang monolitik itu sangat sulit menemukan kader An sor
mendapat posisi strategis di Pusat atau di daerah. Paling banter kader Ansor menduduki
jabatan di Departemen Agama atau menjadi anggota DPR dengan jumlah yang sedikit dan
itupun sekedar pinggiran.Tapi kini di era demokrasi yang terbuka, kader Ansor san gat
mudah ditemukan memegang jabatan penting seperti Bupati/Wakil Bupati, anggota DPR
atau DPRD dan lain-lain.

Dalam wilayah politik praktis efek penyebaran ini terlihat dari terekrutnya kader Ansor di
hampir semua partai besar hasil Pemilu 2004. Penyebara n kader Ansor juga dapat
diartikan sebagai tingginya kepercayaan masyarakat terhadap organisasi kepemudaan NU
ini yang senantiasa konsisten menjaga jarak dengan semua kekuatan politik yang ada.
Berbagai perkembangan positif ini tidak membuat GP Ansor terle na. Sebaliknya, ini
memacu Ansor untuk meningkatkan potensi diri dan mengembangkan kiprah
pengabdiannya di masyarakat. Di sinilah kita semua menyadari bahwa peningkatan
kualitas sumberdaya manusia kader Ansor masih banyak yang perlu ditingkatkan. Para
kader yang lebih banyak berbasis di daerah, memiliki kelemahan dalam hal kualitas
sumberdaya manusia dan kelemahan dalam hal penguasaan sumberdaya ekonomi.

Kualitas sumberdaya manusia di tingkat Pimpinan Cabang, Wilayah dan Pusat memang
menunjukan gejala peningkatan. Bahkan tidak sedikit jajaran pengurus yang menempuh
jenjang pendidikan Pasca Sarjana. Mereka tentu membawa berbagai kemajuan baik
ditingkat pengayaan wacana maupun pelaksanaan program kerja, meskipun potensi yang
cukup baik tersebut belum dapat dim anfaatkan secara optimal oleh Ansor.

Untuk mengatasi berbagai kelemahan dan kekurangan tersebut, selama 5 tahun terakhir
GP Ansor telah merealisasikan berbagai program yang diarahkan pada peningkatan
kualitas sumberdaya manusia kader Ansor, dengan tujuan u tama untuk mendukung
eksistensi dan peranan Ansor agar dapat terus mengkhidmatkan diri bagi upaya perbaikan
peri kehidupan bersama dalam bingkai negara yang bersatu dan bersaudara.

Sementara untuk mengimbangi masa transisi demokrasi yang berjalan cepat sel ama masa
5 tahun terakhir, GP Ansor melalui aksi -aksi nyata dan pengayaan wacana berusaha turut
menjaga agar perubahan itu dapat berjalan dinamis dan konstruktif. Ansor senantiasa
berada dalam posisi menjaga keseimbangan diantara berbagai keeseimbangan dia ntara
berbagai kesikap berimbang sulit ditemukan kejernihan dan kearifan dalam menyikapi
perubahan, sehingga bukan tidak mungkin wahana -wahana kebebasan yang diberkan oleh
zaman berubah menjadi lahan anarkhirme yang merusak tatanan hukum dan tatanan
kemasyarakatan kita.

Atas dasar kearifan dan kejernihan sikap Ansor, dan tentu saja komponen masyarakat
yang lain, akhirnya kita bersyukur bahwa kita semua dapat melewati masa -masa sulit
tersebut dengan tanpa pernah mengorbankan harga diri dan komitmen -komitmen dasar
organisasi.

Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pengurus PP GP Ansor masa khidmat 2000 -
2005 senantiasa bertumpu pada hasil -hasil permusyawaratan pada Kongres XII GP Ansor
di Surakarta tahun 2000, yang terangkum dalam Sapta Khidmat GP Ansor yan g merupakan
pokok-pokok program pengkhidmatan GP Ansor selama lima tahun masa kepengrusan
kami. Sapta Khidmat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Meningkatan pelaksanaan kesadaran dan tanggungjawab berwarganegara dalam wadah


NKRI.
2. Pengembangan partisipa si aktif dalam pelaksanaan otonomi daerah.
3. Peneguhan pelaksanaan khittah nahdliyah secara utuh, konsisten dan konsekuen.
4. Pemberdayaan sumberdaya manusia dibidang ekonomi, politik, Iptek, sosial budaya dan
hukum.
5. Penguatan dan pengembangan institus i serta peningkatan kualitas organisasi dan
kader.
6. Pengembangan paham ahlussunnah wal jamaah yang sesuai dengan perubahan zaman
dan peradaban umat manusia.
7. Perintisan pembuatan jaringan kerjasama dan pelaksanaan program kerjasama dengan
badan-badan internasional di bawah naungan PBB serta Ormas dan LSM luar negeri.

Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang pertama, GP Ansor menjalankan kiprahnya


dengan mengedepankan hakekat keberadaan kita sebagai ummatan wasatho atau kaum
yang berdiri di tengah dan mempe rsatukan semua golongan masyarakat. Kita senantiasa
berupaya sekuat tenaga turut mewujudkan persatuan dan persaudaraan kebangsaan yang
menurut hemat kami sedang mengalami ancaman serius dari dampak euforia reformasi,
yang bukan tak mungkin mengarah pada di sintegrasi dan konflik komunal yang tak
kunjung berhenti. Oleh karena itu selama lima tahun kepemimpinan saya GP Ansor
senantiasa bergelut dengan situasi sulit lengkap dengan sejumlah masalah yang
dihadapinya, dengan tetap menjaga kebersamaan, persatuan da n persaudaraan dengan
komponen-komponen masyarakat lainnya.

Dalam melaksanakan Sapta Khidmat kedua, Pimpinan Pusat berusaha konsisten mengikuti
semangat dan kehendak politik bangsa ini untuk mewujudkan otonomi daerah tidak saja
dalam konteks desentralisasi administratif beberapa kewenangan pemerintah ousat ke
pemerintah daerah, melainkan juga berupaya sekuat tenaga mewujudkan kemandirian dan
otonomi masyarakat daerah untuk menyelesaikan masalah -masalah mereka sendiri,
dengan cara turut merangsang tumbuhnya atmosfer sosial yang aman dan daman,
sehingga proses peralihan kewenangan tersebut dapat berjalan dengan menghindari
semaksimal mungkin timbulnya antagonisme regional dan konflik horisontal antar kekuata -
kekuatan masyarakat di daerah itu sendiri.

Dalam kaitan ini, Pimpinan Pusat telah melaksanakan kajian dan evaluasi pelaksanaan
otonomi daerah pada forum diskusi di Kantor PP GP Ansor, dan melaksanakan Rakor
Regional GP Ansor se -Kalimantan dengan tema Meningkatkan Partisipasi Aktif GP Ansor
dalam Pelaksanaa n Otonomi Daerah yang antara lain dihadiri oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan, Rokhmin Dahuri dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo
Yusgiantoro.

Dalam pelaksanaan Sapta Khidmat yang ketiga, selam lima tahun Pimpinan Pusat
senantiasa berupaya sekuat tenaga menjaga netralitas sikap institusional GP Ansor di
tengah berbagai tarik-menarik kepentingan politik yang berkembang dinamis di tengah
situasi transisional. Hal ini kami lakukan untuk memperteguh kepu tusan Muktamar NU di
Lirboyo tahun 2000 dan Muktamar NU di Surakarta tahun 2005, yang menggariskan agar
NU (dan tentu saja termasuk didalamnya GP Ansor) menjaga hubungan yang sama dengan
semua partai politik sebagai implementasi dari khittah 1926.

Sebagai pelaksanaan khittah ini GP Ansor tidak saja menjaga jarak yang sama dengan
semua partai politik, melainkan juga menjaga jarak yang sama dengan kekuasaan dan
pemerintahan demi pemerintahan yang telah berganti selama era reformasi. Ketika KH.
Abdurrahman Wahid masih menjabat sebagai Presiden RI, GP Ansor tak pernah
menempatkan diri sebagai anak emas pemerintahan meskipun kita semua mengetahui
bahwa beliau adalah mantan Ketua Umum PBNU.

Demikian pula ketika era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ti ba. Meskipun
saat itu diri saya masih menjadi anggota DPR dari F -PDIP, GP Ansor tetap berupaya
bersikap netral dan kritis terhadap pemerintah. Ketika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menduduki jabatannya sejaka lima bulan yang lalu dimana saya diberi
kepercayaan untuk menjadi salah seorang anggota Kabinet Indonesia Bersatu, sikap GP
Ansor insya Allah tetap terjaga untuk senantiasa taat dan patuh pada amanat khittah
tersebut.

Netralitas dan sikap kritis GP Ansor terhadap kekuasaan niscaya kita lakukan mengi ngat
GP Ansor didirikan dan dibesarkan oleh sejarah bukan untuk mendukung atau
menjatuhkan kekuasaan politik, melainkan sebagai bagian dari upaya dan cita -cita NU
untuk berkhidmah kepada perjuangan bangsa dan negara dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peran politik GP Ansor adalah sebuah keniscayaan, namun peran tersebut dilaksanakan
dalam kerangka politik kebangsaan, yakni matra politik yang tidak ditujukan untuk
mencapai kepentingan golongan maupun kepentingan sesaat, melainkan mat ra politik
yang bertujuan jangka panjang melaksanakan amanat Pembukaan PD/PRT GP Ansor yang
mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang -Undang Dasar 1945 serta mengembangkan ajaran
Islam ahlussunnah wal jamaah.

Terhadap Sapta Khidmat keempat, Pimpinan Pusat berupaya semaksimal mungkin


menjalankan tugasnya dalam kerangka pencapaian salah satu tujuan organisasi, yakni
membentuk dan mengembangkan generasi muda Indonesia sebagai kader bangs a yang
tangguh, memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, berkepribadian luhur, berakhlak
mulia, sehat, terampil, patriotik, ikhlas dan beramal sholeh. Hal ini kita lakukan dalam
berbagai bentuk kegiatan riil seperti penguatan dan pemberdayaan Koperasi Wirausaha
Nasional (Kowina) baik ditingkat pusat maupun di beberapa wilayah dan cabang,
menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Nasional Manajemen Koperasi, diskusi bulanan
untuk umum yang membahas berbagai tema dan penyelenggaraan kegiatan peringatan
hari besr keagamaan Islam secara kontinyu.

Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang kelima, Pimpinan Pusat meletakan masalah
konsolidasi organisasi sebagai sesuatu yang utama. Dalam lima tahun masa khidmat ini
tidak kurang dari 180 kegiatan konsolidasi ke daerah te lah kami lakukan sehingga jika
dihitung secara statistik maka rata -rata dalam setiap bulan terdapat tiga kali kunjungan
ke daerah. GP Ansor juga telah menyelesaikan perumusan modul pelatihan kader dan
penyempurnaan perangkat aturan serta moedul pelatihan B anser. Berbagai peraturan
organisasi juga telah diputuskan pada forum Konferensi Besar di tempat ini pula pada
bulan April 2002 guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi yang kita cintai ini.
Diatas semua itu, seiring dengan pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten/kota di
beberapa daerah di Indonesia, GP Anspr telah berhasil membentuk 93 Pimpinan Cabang
baru dan 5 Pimpinan Wilayah yang baru (Banten, Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
Gorontalo dan Maluku Utara). Dua Pimpinan Wilayah baru sekarang dalam p roses
pembentukan, yaitu Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat. Alhamdulillah, seluruh Cabang
dan Wilayah baru tersebut saat ini dapat berada di tengah -tengah kita semua dan menjadi
peserta penuh Kongres XIII karena telah memenuhi kualifikasi sebagaimana per aturan-
peraturan yang berlaku.

Dalam melaksanakan Sapta Khidmat keenam, Pimpinan Pusat senantias menghadapi setiap
perubahan kehidupan kemasyarakatan yang beberapa waktu lalu diwarnai oleh konflik
horisontal bernuansa keagamaam di beberapa daerah, dengan t etap mempertahankan
sikapnya yang anti kekerasan dan menghindari pemaksaan kehendak yang
mengatasnamakan agama.

Pimpinan Pusat berkali-kali mengeluarkan seruan dan pernyataan sikap agar seluruh
warga GP Ansor pada khususnya dan umat Islam Indonesia pada um umnya
mengembangkan kehidupan beragama Islam yang toleran, damai, mengutamakan
kebersamaan, sesuai dengan faham ahlussunnah wal jamaah yang mengutamakan prinsip
dasar keseimbangan, toleransi, jalan tengah, dan prinsip keadilan. Pimpinan Pusat
senantiasa me njaga agar kita semua senantiasa berdiri di tengah masyarakat Indonesia
yang pluralistik ini dengan tanpa pernah memandang perbedaan -perbedaan primordialisme
keagamaan dan kesukuan.

Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang ketujuh, GP Ansor tidak saja menjali n hubungan
sinergis dan dialogis dengan kekuatan -kekuatan masyarakat yang lainnya, melainkan
bahkan kita telah berkali-kali melaksanakan kegiatan bersama organisasi -organisasi
kepemudaan yang lain. Bersama Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), GAMKI, Peradah, Gema Budhi dan lain -lain GP Ansor
melaksanakan program Pelatihan Resolusi Konflik yang bekerjasama dengan Kedutaan
Besar Inggris.

Pimpinan Pusat juga telah melaksanakan kegiatan Dialog Politisi Muda Indones ia Amerika
dan berbagai kegiatan kunjungan ke kedutaan besar negara -negara sahabat seperti
Kedutaan Besar Qatar, Australia, Amerika Serikat, China, Inggris dan lain -lain.
Disamping melaksanakan program dengan berpedoman pada Sapta Khidmat GP Ansor hasil
Kongres XII di Surakarta, Pimpinan Pusat juga melaksanakan beberapa program
improvisasi sebagai apresiasi GP Ansor atas berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini,
khususnya terhadap keadaan darurat dan bencana alam. Dalam hal ini, segera setelah
terjadi bencana gempa bumi dan gelombang tsunami dahsyat yang menimpa saudara -
saudara kita di Nanggaro Aceh Darussalam, Pimpinan Pusat berupaya semaksimal mungkin
turut meringankan saudara -saudara kita yang tertimpa musibah dengan cara mengirimkan
bantuan pangan, bantuan obat-obatan, bantuan dana dan mengirim ratusan personel
Banser secara periodik selama beberapa angkatan ke beberapa daerah pusat bencana.

Sumber : www.gp-ansor.org

Вам также может понравиться