Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
neuron kortikal secara berlebihan.1 Sedangkan epilepsi pasca trauma adalah epilepsi yang
terjadi sebagai akibat komplikasi dari trauma kepala. Epilepsi tidak harus terjadi langsung
setelah trauma kepala, namun dapat terjadi dalam jangka waktu 5 tahun setelah trauma
kepala. Epilepsi dikatakan pasca trauma apabila terjadi 2 atau lebih kejang tanpa
1000 orang. Epilepsi sering muncul pada anak-anak atau pada usia tua lebih dari 60
tahun.3 Untuk epilepsi pasca trauma, dihubungkan dengan angka kejadian trauma kepala.
Di US, angka kejadian trauma kepala tiap tahunnya yaitu 200 dari 100.000 populasi,
kejang segera setelah trauma kepala yaitu >10-15% pada usia dewasa dan >30-35% pada
anak-anak.6
Kemungkinan untuk terjadinya epilepsi pasca trauma kepala dihubungkan dengan
berat ringannya trauma kepala, dimana munculan kejang dalam 5 tahun pasca trauma
kepala berkisar 0,7% pada trauma kepala ringan, 1,2% pada trauma kepala sedang, dan
10% pada trauma kepala berat.5 Dengan semakin meningkatnya kasus kecelakaan berlalu
lintas yang menyebabkan semakin tingginya kejadian trauma kepala, secara tidak
kemudian harinya.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari epilepsi, baik itu epilepsi pasca trauma
ataupun epilepsi secara umum yaitu dalam hal psikososial berupa rasa cemas, depresi, dan
percobaan bunuh diri yang lebih sering muncul daripada populasi umum yang normal di
1
samping komplikasi akibat penggunaan obat anti epilepsi jangka panjang yang
menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan daya ingat. Jika hal ini terjadi pada anak-
anak, akan terjadi gangguan dalam hal belajar. Tentu komplikasi ini secara langsung akan
ketajaman berpikir dalam mendiagnosa pasien yang dicurigai epilepsi. Diagnosa epilepsi
yang salah dapat menyebabkan kerusakan berlajut dari sistem saraf, sama halnya dengan
akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan obat epilepsi jangka panjang. Jika pasien telah
didiagnosa dengan epilepsi, semua pasien usia dewasa yang menderita epilepsi tersebut
harus direncanakan terapi komprehensif, mulai dari modifikasi gaya hidup hingga
medikamentosa.3
Makalah ini membahas mengenai epilepsi yang muncul pasca trauma kepala.
Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu pada
berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun
dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan.1 Manifestasi biologiknya berupa gerak
otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan
muatan listrik. Jika neuron daerah somatosensorik yang melepaskan muatan, maka timbul
perasaan protopatik atau propioseptif. Apabila korteks panca indra yang melepaskan
parestesia yang mendadak, belum boleh di anggap sebagai manifestasi epileptik. Tetapi
suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik apapun yang timbulnya
yang tidak terkendali dari sebagian atau seluruh sistem saraf pusat. Orang yang memiliki
faktor predisposisi munculnya epilepsi akan mendapat serangan bila nilai basal
eksitabilitas sistem saraf (atau bagian yang peka terhadap keadaan epilepsi) meningkat di
atas nilai ambang kritisnya. Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga di bawah nilai
trauma kepala. Epilepsi tidak harus terjadi langsung setelah trauma kepala, namun dapat
provokasi pada pasien yang mengalami trauma kepala. Apabila kejang terjadi dalam 7
3
- Terjadi pada 5% dari total trauma kepala tertutup intensitas sedang-berat tanpa
trauma yaitu:
a. Trauma kepala ringan, terjadi kehilangan kesadaran, amnesia post trauma <30
menit, tanpa adanya fraktur pada tulang tengkorak. Resiko terjadinya kejang
dalam waktu 30 menit hingga 24 jam atau disertai fraktur pada tulang
kehilangan kesadaran atau amnesia post traumatik dalam waktu >24 jam.
dengan istilah kriptogenik. Hal ini karena sudah sedikit demi sedikit diketahui sebab
epilepsi, walaupun masih bersifat fragmentaris. Dalam bidang biokimia, epilepsi yang
hingga kini di anggap sebagai epilepsi idiopatik adalah kurangnya jumlah zat GABA
(gama-aminobutyric acid) pada sel neuron. Substansi serebral itu dapat dianggap
sebagai antikonvulsan alamiah. Pada orang-orang tertentu zat itu kurang cukup,
dikenal sebagai febrile convulsion, yaitu kejang umum yang timbul pada waktu bayi
atau anak kecil yang mendapat demam. Pada satu anak, kejang muncul saat suhu
tubuh di atas 40C, tetapi pada anak yang lain, kejang umum sudah muncul pada
4
demam 37,8C. Demam merupakan keadaan dimana ambang lepas muatan listrik
pelepasan muatan listrik menjadi lebih cepat. Menurunnya potensial membran neuron
merupakan zat yang dapat merendahkan potensial membran post sinaps. Kondisi ini
akan menyebabkan pelepasan muatan listrik segera pada otak yang akhirnya
memunculkan kejang.1
Pengaruh tumor terhadap pelepasan muatan listrik tidak terjadi secara terus
manifestasi klinis nya pun juga sewaktu-waktu. Hal ini karena acetylcholine setempat
membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Oleh karena itulah fenomena
yang disertai penurunan kesadaran lebih dari 30 menit, amnesia post-trauma yang
lebih dari 30 menit, dan adanya temuan radiologi yang menunjukkan adanya
diantaranya salah diagnosis sebagai epilepsi. Epilepsi sering muncul pada anak-anak atau
pada usia tua lebih dari 60 tahun. Epilepsi lebih sering terjadi pada orang-orang dengan
5
gangguan belajar. Lebih dari 200 kelainan genetik dapat menyebabkan epilepsi, dan
jumlah tersebut, 2-5% diantaranya mengalami kejang segera setelah trauma kepala
(provokated seizure), dan jika dilihat dari usia, lebih banyak mengenai anak-anak
dibandingkan usia dewasa. Angka kejadian kejang segera setelah trauma kepala yaitu
digunakan oleh segenap dokter di seluruh dunia. Istilah yang dianjurkan oleh klasifikasi
internasional itu adalah kejang tonik klonik umum, sedangkan sebagian klinisi masih
menamakannya grand mal. Epilepsi absens dipakai untuk menamakan petit mal. Kejang
parsial kompleks digunakan untuk menjuluki epilepsi psikomotor atau epilepsi lobus
temporalis. Dan dikenal istilah epilepsi parsial sederhana untuk menamakan epilepsi
fokal.1
Pada tahun 1972, komisi ILAE menyusun kembali klasifikasi epilepsi dalam
6
2. Epilepsi umum sekunder (baik yang simptomatik, lesional atau ganas) pada
atau jinak) pada masa anak lebih 10 tahun dan masa remaja
b. Epilepsi parsial sekunder (yang berrati simptomatik, lesional atau ganas)
ini akan menyebabkan bergesernya lapisan lemak pada membran sel yang berada pada
ekstrasel dan masuknya ion kalsium ke dalam intra sel. Dalam waktu yang bersamaan,
terjadi kerusakan barier darah otak, yang mengakibatkan pelepasan molekul adhesi
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi yang berujung pada gangguan pompa ion.4
Kadar kalsium yang tinggi pada intrasel menyebabkan aktifasi enzim
pelepasan asam lemak bebas dan radikal bebas. Asam lemak bebas kemudian akan
merusak barier darah otak dan radikal bebas merusak DNA pada inti sel.4
Selain menyebabkan pelepasan asam lemak bebas dan radikal bebas, kadar
kalsium yang tinggi pada intra sel juga akan menyebakan kerusakan protein
sitoskeletal sel seperti tubulin dan spektrin. Dan terakhir, kalsium juga akan merusak
7
struktur mkitokondria sel, yang kemudian menyebabkan kegagalan pada proses
terjadinya perubahan pada lingkungan ionik sel saraf seperti telah dijelaskan di atas.
kalium ini akan dihancurkan oleh kehadiran sel glial. Namun pada kondisi pasca
b. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal terjadi sebagai akibat penumpukan acetylcholine pada neuron-
neuron yang berada disekitar lesi, sehingga manifestasi yang muncul tergantung pada
lokasi terjadinya lesi. Dari manifestasi yanng muncul, kita dapat memperkirakan
Lesi semacam ini dapat menyebabkan pelepasan impuls yang sangat cepat
pada neuron setempat. Bila kecepatan pelepasan impuls ini melebihi beberapa ratus
per detik, gelombang sinkron akan mulai menyebar di seluruh regio kortikal di
dekatnya.Gelombang ini mungkin berasal dari sirkuit setempat yang secara bertahap
membuat area korteks di dekatnya menjadi zona lepas-muatan epileptik. Proses ini
8
Bila gelombang eksitasi menyebar ke seluruh korteks motorik, gelombang ini
menyebabkan deretan kontraksi otot yang progresif di seluruh sisi tubuh yang
berlawanan, yang secara khas dimulai dari regio mulut dan secara progresif beruntun
menjalar ke bawah sampai ke tungkai, namun pada saat lain dapat menjalar ke arah
Serangan epilepsi fokal dapat terbatas hanya di suatu area otak, namun pada
sebagian besar kasus, sinyal yang kuat dari daerah korteks yang mengalami kejang
c. Epilepsi Grandmal
Seorang penderita grandmal akan memperlihatkan serangan sebagai berikut.
Secara tiba-tiba penderita akan hilang kesadaran dan langsung dalam waktu yang
singkat muncul kejang. Kejang bersifat umum, akibat pelepasan muatan listrik di
seluruh neuron kortikal. Tetapi hilang kesadaran bukanlah sebagai akibat pelepasan
talami, yang juga dikenal sebagai inti centrecephalic. Inti tersebut merupakan
terminal dari lintasan asendens aspesifik. Input korteks serebri yang melalui lintasan
aferen aspesifik tersebut menentukan derajad kesadaran. Bilamana sama sekali tidak
ada input, maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh karena sebab yang belum dapat
dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara
pembina kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar, sehingga kesadaranpun
hilang.1
d. Epilepsi Petitmal
9
Petit mal ditandai dengan hilangnya kesadaran sejenak tanpa disertai kejang-
kejang pada otot skeletal. Hal ini terjadi karena substansi retikularis di bagian rostral
sehingga kesadaran hilang sejenak. Pada EEG akan tampak adanya gelombang lambat
yang terkait pada gelombang runcing spikewave yang muncul 3 kali dalam satu
detik. Gelombang lambat yang terkait pada gelombang runcing itu merupakan
gelombang inhibisi. Sedangkan gelombang runcing atau tajam yang muncul sebagai
kejang parsial. Namun kejang umum petit mal tidak disebabkan oleh trauma kepala.
Kejang yang muncul segera (early onset seizure) setelah trauma kepala biasanya
adalah kejang umum tonik-klonik, sedangkan kejang yang muncul setelah fase akut
kepala, dimana 18 bulan pertama merupakan waktu yang paling beresiko untuk
munculnya kejang. Pasien yang mengalami kejang berulang pasca trauma kepala pada
satu tahun pertama setelah trauma memiliki kemungkinan untuk remisi lebih kecil.10
b. Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan pelepasan muatan listrik yang berlebihan
dari neuron ke seluruh area otak- dalam konteks serebri, di bagian dalam serebrum,
dan bahkan di batang otak.Juga, batang listrik yang dijalarkan melalui semua jaras ke
serta menjelang akhir serangan yang diikuti oleh kontraksi otot-otot tonik dan
kemudian spasmodik secara bergantian, yang disebut kejang tonik-klonik. Sering kali
pasien menggigit atau mengunyah lidahnya dan dapat mengalami kesulitan dalam
10
bernafas, yang terkadang menimbulkan sianosis. Sinyal yang dijalarkan dari otak ke
Munculnya peristiwa ngompol pada pasien dengan epilepsi grdand mal terjadi
karena gerakan tonik klonik otot dari kandung kemih yang menyebabkan kandung
kemih yang penuh dengan urin mengeluarkan isinya. Begitu juga buih tampak keluar
dari mulut penderita grand mal, karena air liur yang terkumpul di ruang mulut
menit. Kejang ini juga ditandai dengan keadaan depresi pascakejang di seluruh sistem
saraf; pasien tetap dalam keadaan stupor selama satu sampai beberapa menit sesudah
serangan kejang berakhir dan kemudian seringkali tetap lelah dan tertidur selama
berjam-jam sesudahnya.2
Pada hewan percobaan dan bahkan pada manusia, serangan gland mal ini
dengan cara mengalirkan listrik langsung melalui otak.Perekaman listrik pada talamus
serta pada farmasio retikularis batang otak selama serangan gland mal, menunjukkan
gambaran aktifitas bervoltase tinggi yang khas di kedua area tersebut, yang serupa
dengan gambaran rekaman dari korteks serebri.Oleh karena itu, mungkin, serangan
gland mal ini tidak hanya disebabkan oleh aktifitas yang abnormal pada talamus dan
korteks serebri tetapi juga disebabkan oleh aktifivasi yang abnormal di bagian batang
otak pada sistem aktivasi otak itu sendiri yang terletak di bawah talamus.2
Sebagian besar pasien yang mengalami serangan grand mal mempunya faktor
predisposisi herediter untuk epilepsi, yakni kira-kira 1 dari setiap 50 sampai 100
11
eksitabilitas sirkuit epileptogenik abnormal yang cukup untuk menimbulkan
serangan meliputi (1) rangsangan emosi yang hebat, (2) alkalosis akibat pernapasan
yang berlebihan, (3)obat-obatan, (4) demam, dan (5) suara bising atau cahaya yang
menyilaukan.2
genetik, lesi traumatik dengan jenis tertentu di hampir setiap bagian otak dapat
menimbulkan kelebihan eksitabilitas di area otak setempat, yang akan kita bicarakan
grand mal mungkin disebabkan oleh aktivasi simultan yang masif di sebagian besar
jaras saraf yang terjalin satu sama lain di seluruh otak.Faktor utama yang dianggap
kedua yang mungkin adalah inhibisi aktif oleh neuron-neuron inhibitor yang
otak. Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar (atau
penurunan kesadaran) selama 3 sampai 30 detik, dan selama waktu serangan, pasien
merasakan kontraksi otot seperti kedutan (twitch-like), yang biasanya terjadi di daerah
kepala, terutama pengedipan mata; keadaan ini selanjutnya diikuti dengan kembalinya
serangan seperti ini satu kali dalam beberapa bulan atau, pada kasus yang jarang,
dapat mengalami serangkaian serangan yang cepat, yaitu satu serangan diikuti dengan
12
serangan yang lainnya.Serangan petit mal biasanya terjadi pertama kali pada anak-
anak masa akil balik dan menghilang pada umur 30 tahun.Kadangkala, serangan
Epilepsi petit mal dinamakan sebagai epilepsi absens karena terjadi kehilangan
kesadaran yang hanya sejenak. Dikatakan sebagai epilepsi absens primer karena
serangan absens muncul pada anak-anak yang berusia 4 sampai 10 tahun dan lenyap
d. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regio setempat
pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang
otak. Epilepsi fokal paling sering disebabkan oleh lesi organik setempat atau adanya
kelainan fungsional.2
- Aura
Ada tipe lain epilepsi fokal yang disebut kejang psikomotor, yang dapat
menyebabkan timbulnya (1) periode amnesia singkat; (2) serangan kemarahan yang
abnormal; (3) ansietas, rasa tak nyaman, atau rasa takut yang timbul mendadak;
dan/atau (4)bicara inkoheren yang singkat atau bergumam dari ungkapan yang
13
kejang tipe ini seringkali melibatkan bagian limbik otak, seperti hipokampus,
Serangan jenis epilepsi ini terdiri atas hilangnya kesadaran sejenak yang
disertai oleh mioklonia pada otot-otot proksimal. Dan mioklonia adalah gerak klonik
Terjadi serangan hilang kesadaran sejenak pada remaja atau orang dewasa
muda yang mendahului timbulnya kejang tonik klonik umum atau yang timbul setelah
pemeriksaan fisik yang khas untuk epilepsi. Menyaksikan sendiri timbulnya serangan
epileptik atau aloanamnesis yang sesuai dengan jenis-jenis serangan epileptik merupakan
hati dan kimia urin, dibutuhkan untuk mencari tau penyakit yang mendasari kejang.3
2. EEG
EEG dapat menyumbangkan informasi untuk menegakkan diagnosis epilepsi,
namun EEG tidak boleh dijadikan alat yang menyodorkan diagnosis dan juga tidak
14
Adapun pola-pola EEG yang khas untuk epilepsi dengan berbagai etiologi
gelombang runcing lambat atau gelombang tajam lambat, yang khas untuk
grand mal.
2. Disritmia derajad 3, berupa gelombang tajam fokal yang mengarah pada
mioklonik epileptik.1
Stimulasi cahaya dan hiperventilasi tetap merupakan prosedur standar untuk
pemeriksaan EEG. Pasien tetap dalam kondisi sadar dan dijelaskan kepada pasien bahwa
prosedur tersebut dapat memicu timbulnya kejang. Pemeriksaan EEG tidak dapat
3. Neuroimaging
struktural yang mendasari kejadian epilepsi. MRI merupakan pilihan utamanya. MRI
pertama.3
4. Video, yang dipasang oleh keluarga pasien atau teman pasien saat serangan kejang
muncul agar diagnosa epilepsi lebih mudah ditegakkan. Namun, hal ini tetap harus
15
5. EKG, dianjurkan pada pasien yang disertai penurunan kesadaran, terutama pada
pasien-pasien usia tua dan pasien yang mengalami aritmia jantung sebagai pemicu
epilepsi.3
- Masalah psikososial: cemas, depresi, dan percobaan bunuh diri lebih sering muncul
- Penurunan fungsi kognitif dan daya ingat akibat penggunaan obat anti epilepsi
jangka panjang.3
disebabkan oleh suatu proses aktif harus ditindak. Seperti halnya dengan tumor serebri,
hematom subdural dan abses serebri. Hal-hal tersebut tentu harus ditatalaksana melalui
tindakan operasi.1 EEG seringkali dipakai untuk menentukan tempat asal dari gelombang
paku abnormal, yang terdapat pada kelainan otak organik yang merupakan faktor
predisposisi serangan epilepsi fokal.Bila tempat ini dapat ditemukan, tindakan eksisi
Tetapi epilepsi simptomatik yang disebabkan oleh suatu proses yang tidak aktif
lagi seperti yang timbul karena ensefalitis atau meningitis yang sudah berlalu, kendatipun
sifatnya simptomatik, tindakan terapeutik yang layak diberikan adalah dengan terapi
medikamentosa. Sebaliknya pada epilepsi yang dianggap idiopatik tidak ditindak secara
kausatif.1
16
a. Operatif
penelitian yang dilakukan oleh Peter A Winkler, dari 1 Agustus 1993 hingga 13 maret
2013, dari 22 pasien yang menjalani pembedahan, 12 pasien menjadi bebas kejang, dua
b. Medikamentosa
epilepsi, gaya hidup, dan kemampuan pasien untuk patuh dalam berobat. Diagnosa
epilepsi perlu dievaluasi ulang jika gejala kejang tetap berlanjut meskipun telah
mendapat AED lini pertama dosis optimum. Pengobatan AED harus dimulai dari dosis
tunggal. Jika terapi inisial ini tidak berhasil, maka dapat dicoba monoterapi dari obat
yang lain. Obat kedua diberikan mulai dari dosis maksimum, sementara obat pertama
dapat diberikan segera setelah serangan kejang pertama tanpa provokasi, asalkan:
a. Edukasi pasien dan keluarganya mengenai kondisi pasien saat ini dan
17
b. Menghilangkan stigma yang muncul berhubungan dengan penyakit
c. Menggunakan regimen terapi sesimple mungkin
d. Hubungan yang baik antara petugas kesehatan, pasien epilepsi dan
keluarganya.3
Dosis obat antiepilepsi parenteral7
klonazepam 1 mg IV atau SC
1200 mg/hari SC
fenitoin karena eficacy dan bioabilitas nya. Pada kondisi pasca trauma, terjadi
perubahan fisiologik tubuh seperti asidosis metabolik, peningkatan aliran darah otak
tiba-tiba, dan peningkatan tekanan intrakranial. Oleh karena itu, digunakan fenitoin
sebagai obat pilihan utama. Selain karena efeknya kerjanya yang lebih efektif dalam
mengontrol kejang yang muncul pada 1 minggu pertama setelah trauma kepala
18
direkomendasikan untuk kejang tanpa provokasi setelah trauma kepala. Diperlukan
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki berusia 19 tahun datang ke IGD RSUP Dr M Djamil Padang
Identitas
Nama : Tn. B
Jenis kelamin : Laki-laki
19
Usia : 19 tahun
Alamat : Mentawai
Pekerjaan : Mahasiswa
Keluhan utama :
- Kejang berulang sejak 1,5 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang diawali kaku pada
kedua tangan dan kaki selama lebih kurang 15 detik, kemudian diikuti kelonjotan
seluruh tubuh selama lebih kurang 30 detik. Saat kejang mata mendelik ke atas, mulut
berbusa dan pasien mengompol. Frekuensi kejang terjadi lebih kurang 2 kali dalam
waktu 2 jam. Pasien tidak sadar setelah kejang selama lebih kurang 1-2 menit.
- Kelemahan anggota gerak tidak ada
- Demam tidak ada
- Riwayat batuk lama, keringat malam, dan penurunan berat badan tidak ada.
- Nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah menyemprot tidak ada.
- Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada.
- Pasien memiliki riwayat trauma kepala sekitar 1 tahun yang lalu. Pasien tidak sadar
setelah trauma dan hilang ingatan selama lebih kurang 1 hari setelah kejadian. Pasien
- Riwayat batuk lama dan mengkonsumsi obat selama 6 bulan tidak ada
20
Riwayat Penyakit Keluarga
Pemeriksaan Fisik
BB : 65 kg
TB : 170 cm
Status Internus
Keadaan regional
21
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Status Neurologis
1. GCS 15 E4M6V5
2. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Tanda Kernig : (-)
3. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial (-)
Pupil isokor, diameter 3mm/3mm , reflek cahaya +/+, papil edema (-), muntah proyektil
N.II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
22
Tajam Penglihatan Visus 5/5 Visus 5/5
Lapangan Pandang Normal Normal
Melihat warna (+) (+)
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N.III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola Mata Bulat Bulat
Ptosis (-) (-)
Gerakan Bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/Endopthalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat, isokor Bulat, isokor
Refleks Cahaya (+) (+)
Refleks Akomodasi (+) (+)
Refleks Konvergensi (+) (+)
N.IV (Troklearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia (-) (-)
N.VI (Abdusens)
Kanan Kiri
Gerakan mata kemedial bawah (+) (+)
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia (-) (-)
N.V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakan rahang (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Sensorik
- Divisi Oftlamika
Refleks Kornea (+) (+)
Sensibilitas Baik Baik
-Divisi Maksila
Refleks Masseter (+) (+)
Sensibilitas Baik Baik
-Divisi Mandibula
23
Sensibilitas Baik Baik
N.VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris
Sekresi air mata (+) (+)
Menggerakan dahi (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Mencibir/bersiul (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)
Sensasi lidah 2/3 belakang Baik Baik
Hiperakusis (-) (-)
N.VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik (+) (+)
Detik Arloji (+) (+)
Nistagmus (-) (-)
Rinne Test (+) (+)
Weber Test Tidak ada lateralisasi
Scwabach Test Sama Sama
Pengaruh posisi kepala (-)
N.IX (Glosofaringeus)
Kanan Kiri
Sensasi Lidah 1/3 belakang (+) (+)
Refleks muntah (gag refleks) (+)
N.X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Simetris
Menelan Baik
Artikulasi Jelas
Suara (+)
Nadi Teratur
N.XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh kekanan (+)
Menoleh kekiri (+)
Mengangkat bahu kanan (+)
Mengangkat bahu kiri (+)
N.XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Normal
Kedudukan lidah dijulurkan Normal
24
Tremor (-) (-)
Fasikulasi (-) (-)
Atropi (-) (-)
Pemeriksaan Koordinasi
Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas (+) Sensibilitas (+)
taktil kortikal
Sensibilitas (+) Stereognosis (+)
nyeri
Sensibilitas (+) Pengenalan 2 titik (+)
termis
Sistem Refleks
A. Fisiologis Kana Kir Kana Kiri
n i n
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Berbangkis Triseps (++) (++)
Laring KPR (++) (++)
Masseter APR (++) (++)
25
B. Patologis Kana Kir Kana Kiri
n i n
Lengan Tungkai
Fungsi Otonom
1. Miksi : neurogenic bladder tidak ada
2. Defekasi : normal
3. Keringat : baik
Fungsi Luhur
Kesadaran Baik Tanda Demensia (-)
Reaksi bicara Baik Refleks glabela (-)
Refleks (-)
Memegang
Refleks (-)
palmomental
Pemeriksaan Laboratorium
1. EEG
2. Konsul bedah saraf
26
Diagnosis :
Terapi :
Umum
Elevasi kepala 300
O2 3 liter permenit
IVFD NaCL 0,9% 12jam/kolf
Khusus:
Fenitoin 3 x 100 mg IV
Ranitidin 2 x 50 mg IV
Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia ed bonam
Quo ad sanam : Dubia ed bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ed bonam
BAB IV
DISKUSI
27
Telah dirawat seorang pasien laki-laki, 19 tahun pada tanggal 10 September
2015 di Bangsal Neurologi RSUP Dr M Djamil Padang dengan diagnosis kerja epilepsi
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa, rekan pasien mengatakan pasien
mengalami kejang sejak 1,5 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang telah terjadi
sebanyak 2 kali, terjadi pada seluruh tubuh, mulut berbusa dan pasien mengompol.
Kejang berlangsung selama lebih kurang 3o detik dan terjadi penurunan kesadaran
selama lebih kurang 1-2 menit. Dari gambaran kejang tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa pasien mengalami kejang umum tonik klonik. Lamanya kejang 30 detik
Kejang bukan merupakan suatu diagnosa tunggal, tapi merupakan suatu gejala
yang muncul akibat banyak penyebab. Berdasarkan literatur, penyebab kejang bisa
karena faktor genetik, tumor, meningitis, ensefalitis, trauma kepala, iskemia otak, dll.
Dari anamnesa didapatkan bahwa tidak ada riwayat keluarga yang menderita kejang
berulang seperti yang di alami pasien, menyingkirkan adanya peranan faktor genetik.
Pasien juga tidak mengalami demam, batuk (khusunya batuk lama), riwayat keluar cairan
dari telinga, dan penurunan berat badan, yang berarti untuk sementara telah
Dari pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya kelainan baik dari status
berupa gula darah, elektrolit dan fungsi ginjal. Dari hasil pemeriksaan tersebut, didapati
semua dalam batas normal, yang berarti menyingkirkan kemungkinan penyebab kejang
28
akibat hipoglikemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Kemudian dari riwayat penyakit
dahulu, pasien menyebutkan bahwa lebih kurang 1 tahun yang lalu, pasien pernah
mengalami trauma kepala. Pasien tidak sadar setelah trauma dan sempat mengalami
hilang ingatan selama lebih kurang 24 jam setelah trauma. Ini mngarahkan pada trauma
kepala berat, dimana jika dihubungkan dengan kejang nya saat ini, tidak menutup
kemungkinan bahwa penyebab yang mendasari kejangnya adalah riwayat trauma kepala
1 tahun yang lalu. Akhirnya berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang ini penulis merumuskan suatu diagnosa kerja epilepsi grand mal pasca trauma.
Pada pasien ini diberikan fenitoin 3 x 100mg IV dan Ranitidin 2 x 50mg IV.
Fenitoin hanya dapat digunakan sebagai pengontrol kejang di saat serangan. Obat ini
tidak dapat digunakan sebagai profilaks jangka panjang epilepsi tanpa provokasi. Khusus
untuk kasus ini, pilihan utama terapi adalah melalui tindakan bedah. Untuk itu pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. DIAN RAKYAT. Jakarta.
2012: hal 439-50.
2. Hall, Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2007: hal 780-83.
29
3. Tidy, Colin, Cathy Jackson. Epilepsy in Adults. patient.info/doctor/epilepsy-in-adults.
2015 Jun.
4. Sahoo, Mathai, Ram das, Swamy. The Pathophysiology of Post Traumatic Epilepsy.
Indian Journal of Neuro Trauma. 2007; Vol 4; No.1: p11-4.
5. Chen, W. Y. James. Post Traumatic Epilepsy and Treatment. Associate Professor of
Neurology. 2012 May.
6. Gupta, Y K, Madhur Gupta. Post Traumatic Epilepsy: A Review of Scientific Evidence.
Indian J Physiol Pharmacol. 2006; 50 (1): 7-16.
7. Voltz R, Borasio GD. Palliative therapy in the terminal stage of neurological disease. J
8. Gallagher, Denise. Post Traumatic Epilepsy: An Overview. Einstein Quart. J. Biol. Med.
10 Cesnik, Edward, Ilaria Casetta, Enrico Granieri. Post Traumatic Epilepsy: Review. J
30