Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH :
Utami Murti Pratiwi
(P1503216006)
Dosen Pengampuh :
DR. dr. Haerani Rasyid, M.Kes, Sp.GK, SP.PD-KGH
Ikatan dengan reseptor (cross-link) pada membra sel akan bertambah kuat apabila
Kristal urat berikatan sebelumnya dengan opsonin, misalnya berikatan dengan
immunoglobulin (Fc dan IgG) atau dengan komplemen (C1q C3b). Kristal urat
mengadakan ikatan cross-link dengan berbagai resptor, seperti resptor adhesion
molecule (integrin), non-tyrosin kinase, reseptor FC, komplemen dan sitokin. Aktivasi
resptor melalui tiroksin kinase dan second messanger akan mengaktifkan
transcription factor. Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai
mediator kimiawi antara lain IL-1. Telah dibuktikan neutrophil yang diinduksi oleh
Kristal urat menyebabkan peningkatan mikrokristal fosfolipase D yang penting dalam
jalur transduksi sinyal. Pengeluaran berbagai mediator akan menimbulkan reaksi
radang local maupun sistemik dan menimbulkan kerusakan jaringan. (Edward, 2009)
Pada pasien dengan serangan berulang dari gout akut, deposito jaringan kristal
MSU dikelilingi oleh peradangan granulomatosa yang dikenal sebagai tophi
ditemukan di berbagai jaringan selain sendi dan kulit, termasuk ginjal dan laring.
Tophi berhubungan dengan kerusakan tulang rawan dan tulang di sekitarnya yang
disebabkan oleh interaksi membran sel kristal-kondrosit. Ini termasuk aktivasi
kondrosit, dan diinduksi nitrat oksida sintase (iNOS), yang mengarah ke pelepasan
oksida nitrat melalui TLR2 sinyal melalui MyD88, IRAK1 (IL-1 receptorassociated
kinase 1) dan TRAF-6 (TNF reseptor terkait faktor-6) yang mengakibatkan NFkB
( faktor nuklir kappa B) aktivasi dan berlebih dari MMPs (matrix metalloproteinase)
(Saigal R.,Agrawal A., 2015).
IV. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout dan gout
menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat
deposisi yang progresif Kristal urat.
Stadium Artritis Gout Akut
Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Kehadiran akut
monoarthitis melibatkan metatarsophalangeal pertama, di mana puncak
peradangan dalam 24 jam, dan mungkin melibatkan midtarsal, pergelangan
kaki, lutut, pergelangan tangan atau sendi siku (Saigal R.,Agrawal A., 2015).
Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang
hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan
keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala
sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling
sering pada MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit
berlanjut, dapat terkena sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut, dan
siku. Pada serangan akut yang tidak berat, keluhan dapat hilang dalam
beberapa jam atau hari sampai beberapa minggu. Faktor pencetus serangan
akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stress,
tindakan operasi, pemakaian obat diuretic atau penurunan dan peningkatan
asam urat. Penurunan asam urat secara mendadak dengan allopurinol atau
obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan. (Edward, 2009)
Stadium Interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode
interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak dapat ditemukan tanda-
tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini
menunjukkan bahwa proses peradangan masih terus berlanjut, walaupun tanpa
keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu ata beberapa kali pertahun, atau dapat
sampai 10 tahun tanpa serangan akut lebih sering yang dapat mengenai
beberapa sendi atau biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak baik, maka
keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan
pembentukan tofi. (Edward, 2009)
Stadium Artritis Gout Menahun
Stadium ini umumnya terdapat pada pasien yang mampu mengobati dirinya
sendiri (self medication). Sehingga dalam waktu lama tidak mau berobat
secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang
banyak dan poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat,
kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang paling sering
pada aurikula, MTP-1, olekranon, tendon achilles dan distal digiti. Tofi sendiri
tidak menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi disekitarnya, dan
menyebabkan destruksi yang progresif pada sendi serta dapat menimbulkan
deformitas. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih
sampai penyakit ginjal menahun. (Edward, 2009)
V. DIAGNOSIS
Dengan menemukan Kristal urat dalam tofi merupakan diagnosis spesifik untuk
gout. Akan tetapi tidak semua pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostic ini
kurang sensitive. Oleh karena itu kombinasi dari penemuan-penemuan dibawah ini
dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis : (Saigal R.,Agrawal A., 2015)
Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikular khusus pada sendi MTP-1;
Diikuti oleh stadium interkritik di mana bebas symptom;
Resolusi synovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin;
Hiperurisemia.
Selain beberapa kriteria diagnosis diatas, berikut disebutkan oleh American
College of Reumathology tentang kriteria klasifikasi 2015 artritis gout.
Gambar 3 : Kriteria Klasifikasi Artritis Gout menurut ACR (Neogi, et al 2015)
Selain itu, beberapa pemeriksaan juga dibutuhkan untuk membantu dalam
menegakkan diagnosis artritis gout, yaitu :
Estimasi Serum Asam Urat
Serum asam urat biasanya meningkat, tetapi mungkin normal di sekitar 30%
pasien selama serangan akut karena IL-6 dan sekresi kortisol endogen, yang
uricosuric sehingga harus diulang setelah 2 minggu. (Saigal R.,Agrawal A.,
2015)
Pemeriksaan Sinovial Fluid (SF)
Sampel segar SF harus disedot untuk menunjukkan keberadaan monosodium
urat (MSU) kristal untuk diagnosis pasti dari gout. SF jika tidak diperiksa
segera dapat didinginkan selama hari ke bulan. Identifikasi kristal MSU
dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis. Kristal MSU yang berbentuk
jarum kristal negatif birefringent, mudah dideteksi oleh mikroskop polarisasi
biasa. (Saigal R.,Agrawal A., 2015)
Gambar 1 : Jarum berbentuk Kristal dilihat dibawah mikroskop cahaya (Saigal R.,Agrawal A., 2015)
USG
Sebuah singkat 4-sendi (termasuk kedua lutut dan sendi-sendi MTP pertama) ,
klinis Dua kontur (DC) tanda sangat spesifik untuk non-tophaceous kristal
urat deposisi pada tulang rawan artikular. Sensitivitas dan spesifisitas dari DC
dalam mendiagnosis gout diperkirakan 43,7% dan 99%, Erosi respectively.21
yang paling sering ditemukan pada sendi MTP pertama (permukaan medial) .
22 tanda-tanda sinovial lain di AS khusus untuk gout adalah erosi,
hyperechogenicity intrasynovial, daerah hyperechoic dan dibintiki cerah fokus
(badai salju). (Saigal R.,Agrawal A., 2015)
Gambar 2 : Double Contour Sign in Gout. Panah putih : tulang rawan anechoic, panah hitam: MSU
deposisi kristal tulang rawan. (Saigal R.,Agrawal A., 2015)
VI. MANAGEMEN TERAPI
Secara umum, penanganan gout arthritis adalah memberikan edukasi, pengaturan
diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak
terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain. (Edward, 2009)
Gambar 5 ; Kombinasi terapi pada pasien artritis gout (Khana et al, 2012)
Pilihan agen farmakologis harus didasarkan pada keparahan nyeri dan jumlah
sendi yang terlibat (Gambar 4). Untuk serangan ringan / sedang gout keparahan (6
dari 10 pada 0-10 nyeri VAS) terutama yang melibatkan 1 atau beberapa sendi kecil
atau 1 atau 2 sendi besar, pilihan yang tepat adalah memulai monoterapi, dengan
pilihan direkomendasikan menjadi nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID),
kortikosteroid sistemik, atau colchicine oral. Terapi kombinasi juga merupakan
pilihan yang sesuai untuk dipertimbangkan ketika serangan gout akut yang ditandai
dengan nyeri hebat, terutama dalam serangan gout polyarticular akut atau serangan
yang melibatkan 1-2 sendi-sendi besar. (Khana et al, 2012). Aplikasi es secara topical
juga dibutuhkan sebagai terapi non-pharmacological untuk mengurangi serangan
gout akut. (Saigal R.,Agrawal A., 2015)
Gambar 6 : Pilihan monoterapi pada pasien artritis gout serangan akut (Khana, et al,2012)
Untuk NSAID, Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan NSAID
dalam dosis penuh sebagai antiinflamasi / analgesik untuk pengobatan nyeri akut
dan / atau pengobatan asam urat akut. FDA telah menyetujui naproxen, indometasin
(bukti A), dan sulindac (bukti B) untuk pengobatan gout akut. Namun, dosis analgesik
dan antiinflamasi NSAID lainnya mungkin sama efektifnya. Sebagai pilihan pada
pasien dengan kontraindikasi gastrointestinal atau intoleransi terhadap NSAID
diberikan siklooksigenase 2 (COX-2) inhibitor, kemanjuran etoricoxib dan
lumiracoxib telah dibuktikan, namun agen ini tidak tersedia di AS, dan lumiracoxib
telah ditarik dari penggunaan di beberapa negara karena hepatotoksisitasnya.
Direkomendasikan celecoxib sebagai pilihan untuk gout akut dengan memperhatikan
kontraindikasi dan intoleransi pasien terhadap NSAID (Khana et al, 2012). Dosis
tergantung dari jenis OAINS yang dipakai. Disamping efek anti inflamasi obat ini
juga mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS yang banyak dipakai pada artritis gout
aut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan
dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya atau sampai nyeri atau
peradangan berkurang. (Edward, 2009)
Kolkisin direkomendasikan sebagai salah satu pilihan modalitas utama yang
sesuai untuk mengobati asam urat akut, tapi hanya untuk serangan gout dimana onset
itu tidak lebih dari 36 jam sebelum memulai pengobatan. Gout akut dapat diobati
dengan dosis 1,2 mg kolkisin diikuti dengan 0,6 mg 1 jam kemudian, dan rejimen ini
kemudian dapat diikuti dengan profilaksis dosis 0,6 mg sekali atau dua kali sehari
(kecuali penyesuaian dosis diperlukan) 12 jam kemudian, sampai serangan gout
selesai, maksimum untuk gout akut 2 mg kolkisin per hari. Dianjurkan pengurangan
dosis untuk penyakit ginjal kronis yang parah (CKD), dan pengurangan dosis kolkisin
(atau menghindari penggunaan colchicine) dengan interaksi obat dengan moderat
untuk potensi tinggi inhibitor sitokrom P450 3A4 dan P-glikoprotein; terutama
interaksi obat colchicine dengan klaritromisin, eritromisin, siklosporin, dan
disulfiram. Kolkisin juga tidak dapat diberikan pada orang yang memiliki kelainan
hati dan ginjal. (Saigal R.,Agrawal A., 2015)
Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif
atau merupakan kontraindikasi. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout akut
yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pemakaian kortikosteroid pada gout
dapat diberikan oral atau parenteral (Edward, 2009). Ketika memilih kortikosteroid
sebagai terapi awal, dianjurkan untuk pertama mempertimbangkan jumlah sendi
dengan arthritis aktif. Untuk keterlibatan 1 atau 2 sendi, direkomendasikan
penggunaan kortikosteroid oral, untuk gout akut 1 atau 2 sendi-sendi besar
direkomendasikan pilihan kortikosteroid intraartikular. Untuk terapi kortikosteroid
intraartikular pada artritis gout akut, dianjurkan bahwa dosis didasarkan pada ukuran
sendi yang terlibat, dan bahwa modalitas ini dapat digunakan dalam kombinasi
dengan kortikosteroid oral, NSAID, atau kolkisin. Terapi kortikosteroid intraartikular
tidak praktis sehingga tidak begitu direkomendasikan. Dosis awal prednisone, atau
prednisolon minimal 0,5 mg / kg per hari selama 5-10 hari, yaitu 2-5 hari dengan
dosis penuh, diikuti oleh pengurangan selama 7-10 hari, kemudian penghentian.
(Saigal R.,Agrawal A., 2015)
VII. MANAGEMEN DIET
Manajemen gout memerlukan pendekatan multifaset. Tujuan utama para
rheumatologist yaitu dengan pengurangan konsentrasi serum asam urat <360 umol /
l (6 mg / dl) jangka panjang, sehingga dapat memnyebabkan penghancuran kristal dan
mencegah pembentukan kristal yang baru. Cara awal adalah dengan diet dan
perubahan gaya hidup yaitu dengan : mencapai berat badan ideal; berhenti merokok ;
diet sehat dan olahraga yang optimal serta hidrasi yang baik. (Saigal R.,Agrawal A.,
2015) Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah menurunkan
kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan
kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat
alupurinol bersama obat urikosurik yang lain. (Edward, 2009)
Beberapa study epidemiology telah meneliti hubungan antara dietary factor
dengan kadar asam urat. Peningkatan factor resiko spesifik terjadi pada pasien yang
mengkomsumsi daging, pork, dan makanan laut (Harrold, R, et al, 2012). Sementara
itu mengkomsumsi lebih banyak produk-produk olahan susu mengurangi risikonya.
Mengkomsumsi sayuran yang kaya akan purin dalam jumlah yang sedang (misalnya
tomat, jamur, bayam, asparagus, kembang kol) atau kacang dan polong tidak
berhubungan dengan resiko gout. (Katsilambros, N., et al, 2002 ; Harrold, R, et al,
2012). Namun melihat studi oleh Lessie dkk bahwa rata-rata pasien percaya bahwa
mengkomsumsi sayuran yang kaya akan purin lebih menjadi factor resiko daripada
mengkomsumsi makanan laut dan daging. Hal ini membuktikan bahwa tingkat
pengetahuan pasien tentang pencetus dari artiritis gout itu sangat kurang. (Harrold, R,
et al, 2012)
Pasien dengan gout dianjurkan diet untuk mengurangi risiko dan frekuensi
serangan gout akut dan menurunkan kadar asam urat serum, tetapi penekanan utama
adalah diet dan gaya hidup pilihan untuk pemeliharaan kesehatan yang ideal dan
pencegahan serta manajemen yang optimal dari komorbiditas yang mengancam jiwa
pada pasien gout, termasuk penyakit arteri koroner dan obesitas, sindrom metabolik,
diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan hipertensi. (Khana et al, 2012) Anjuran diet
yang umum diberikan bagi mereka yang berisiko menderita hiperurisemia atau gout
adalah membatasi komsumsi daging organ (hati, ginjal, empal), ekstrak daging, kuah
daging serta ikan teri, sarden dalam minyak, telur ikan, haring. Pada orang obese
pengelolahan berat badan dengan terkendali berpotensi menurunkan uat serum
dengan cara yang secara kuantitatif sama dengan diet rendah purin yang tidak
bercitra rasa. (Katsilambros, N., et al, 2002)
Rekomendasi diet dikelompokkan menjadi 3 kategori kualitatif sederhana, disebut
"menghindari (avoid)", "batas (limit)", dan "mendorong (Encourage)". (Khana et al,
2012)
Gambar 5 menjelaskan tentang rekomendasi nonfarmakologis untuk pasien gout,
termasuk program diet dan gaya hidup dengan berbagai langkah-langkah. Rekomendasi
tersebut mencakup dimana langkah-langkah tidak hanya untuk mengurangi risiko dan
frekuensi serangan gout akut dan menurunkan serum urat, tetapi juga dengan penekanan
utama pada pemeliharaan kesehatan yang ideal dan pencegahan dan manajemen terbaik
dari penyakit kardiovaskular dan metabolisme. Rekomendasi diet dikelompokkan
menjadi 3 kategori kualitatif sederhana, disebut "menghindari (avoid)", "batas (limit)",
dan "menganjurkan (Encourage)". (Khana et al, 2012)
Avoid (Menghindari) : daging organ kaya purin, (hati dan ginjal, timus dan pankreas
sapi dan domba, makanan laut), minuman kaya akan fruktosa (sirup jagung, manis
minuman ringan, es krim) dan buah-buahan (apel, jeruk); alkohol (Saigal R.,Agrawal
A., 2015)
Gambar 5 : Rekomendasi diet dan perubahan gaya hidup untuk pasien gout (Khana et al, 2012)
Limit (Membatasi) : Daging sapi, domba, babi, dan makanan laut (kerang dan
sarden); gula alami, makanan penutup dan garam meja. Membatasi alkohol (misalnya
bir, juga anggur dan roh) pada semua pasien gout untuk <2 porsi / hari untuk pria dan
<1 porsi / hari untuk wanita. (Saigal R.,Agrawal A., 2015
Encourage (Menganjurkan) : makanan rendah lemak atau produk susu non-lemak dan
sayuran. produk susu menurunkan MSU oleh efek uricosuric. Fraksi susu
glycomacropeptide dan ekstrak lemak susu menghambat dari inflamasi oleh kristal
urat dengan demikian juga mungkin memiliki efek anti-inflamasi. (Saigal R.,Agrawal
A., 2015
Asupan makanan dari sayuran, vitamin C dan kopi telah dikaitkan dengan penurunan
kadar urat serum dan mengurangi factor resiko dari urolitiasis karena urat. (Saigal
R.,Agrawal A., 2015
VIII. INTERAKSI DIET OBAT
a. Interaksi Obat dengan Obat (Helmiyati, S, et al, 2014)
Interaksi obat adalah peristiwa aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi
oleh obat atau senyawa lain yang diberikan secara bersamaan. Interaksi obat
dan obat mengakibatkan perubahan efek dari satu obat karena adanya obat
jenis lain.
Interaksi obat berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi tiga
golongan besar, yaitu interaksi farmasetik, farmakokinetik dan
farmakodinamik:
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi ini merupakan interaksi fisiko-kimiawi antara satu obat
dengan obat lain sehingga mengubah )menghilangkan atau menaikkan)
aktivitas farmakologik obat, misalnya antara cairan infus dan obat
suntkan.
2. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi ini terjadi apabila suatu obat mempengaruhi atau mengubah
proses absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi dari obat lain.
Mekanisme ini dapat diberdakan menjadi interaksi proses absorbs,
distribusi, metabolism dan eksresi.
Interaksi Pada Proses Absorbsi
Biasa terjadi pada obat-obatan oral. Terdapat banyak factor
yang mempengaruhi absorbsi, yaitu cara pemberian, sifat kimia
dari obat, dosis, lingkungan di tempat absorbs seperti pH,
aliran darah dan sebagainya. Obat yang bersifat asam lemah
akan diabsrobsi di lambung, obat yang bersifat basa akan
diabsorbsi di usus halus. Contoh interksi pada proses absorpsi
yaitu penggunaan antasida, yang akan menyebabkan saluran
cerna menjadi alkalis, suasana alkalis ini mampu meningkatkan
kelarutan obat yang bersifat asam (misalnya aspirin) juga dapat
menurunkan kelarutan obat yang bersifat basa (misalnya,
tetrasiklin)
Interaksi Pada Proses Distribusi
Obat yang masuk ke dalam tubuh akan didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui darah. Interaksi ini terjadi bila suatu
obat dengan ikatan protein lebih kuat menggusur obat lain
dengan ikatan protein lebih lemah dari tempat ikatannya
dengan protein plasma. Akibatnya kadar obat dapat tergusur ke
dalam darah sehingga dapat pula meningkatkan efek toksik
nya. Efek yang sama juga ini dapat terjadi pada pasien
malnutrisi.
Interaksi Pada Proses Metabolisme
Metabolism obat terjadi hamper banyak di hati , sehingga
gangguan fungsi hati dapat mengganggu metabolit obat.
Terdapat dua kemungkinan proses interaksi yang mengganggu
metabolism, yaitu enzyme induction dan enzyme inhibitor.
Enzyme Inducer Enzim Inhibitor
Rifampicin Kloramfenikol Propoksifen
Antiepileptika ; Isoniazid Disulfiram
fenitoin, Simetidin Fluconazol
karbamasepin,
fenobarbital
Aminoglutetimida Propanolol Fluoksetin
Dikloralfenazon Eritromisin Ketokonazol
Antipirin Fenilbutason Metronidazole
Asap Tembakau Alopurinol Verapamil
Tabel 1 : Beberapa obat sebagai Enzyme Inducer dan Enzyme
Inhibitor
Interaksi Pada Proses Eksresi
Terdapat beberapa organ yang terlibat dalam system eksresi
obat, yaitu ginjal, paru, kulit dan kelenjar lain. Hati memegang
perananpenting dalam proses ini dengan mengatur homeostatis
obat di sirkulasi melalui proses yang berifat pasif (filtrasi)
ataupun aktif (proses yang melibatkan sekresi dan resorpsi zat-
zat dari plasma).
3. Interaksi Farmakodinamik
Yang terjadi pada tahap interaksi ini adalah perubahan efek
obat yang disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya
pada tempat kerja obat. Interaksi ini dapat dibedakan menjadi
interaksi langsung dan tidak langsung.
Interaksi langsung terjadi apabila dua obat atau lebih
bekerja pada tempat atau reseptor yang sama, atau bekerja pada
tempat yang berbeda, tetapi dengan hasil efek akhir yang sama
atau hamper sama. Interaksi ini terbagi menjadi dua, yaitu
antagonism dan sinergisme. Antagonism adalah suatu keadaan
dimana efek dua obat pada tempat yang sama saling berlawanan
atau menetralkan. Sedangkan sinergisme adalah interaksi jika efek
dua obat saling memperkuat.
Interaksi tidak langsung terjadi apabila obat presipitan
mempunyai efek yang berbeda dengan obat objek, tetapi efek obat
presipitan tersebut akhirnya dapat mengubah efek obat objek.
Contohnya adalah obat-obatan seperti asam mefenamat, aspirin,
indometasi (golongan NSAIDs) menyebabkan perlukaan
gastrointenstinal sehingga tidak dapat diberikan pada pasien yang
sedang mendapat terapi antioagulan. Juga jika diberikan bersama
dengan diuretic seperti furosemide akan menyebabkan
penghambatan sintesis prostaglandin yang justru diperlukan untuk
menimbulkan efek diuretika furosemide.
Jika ditinjau dari penyakit artritis gout, penggunaan kolkisin dianjurkan untuk
memperhatikan interaksi obat dengan klaritromisin, eritromisin, siklosporin, dan
disulfiram. Karena obat tersebut memiliki juga potensi tinggi sebagai inhibitor
sitokrom P450 3A4 dan P-glikoprotein sehingga akan menghambat metabolism
dari kolkisin. Kolkisin juga tidak dapat diberikan pada orang yang memiliki
kelainan hati dan ginjal. (Saigal R.,Agrawal A., 2015 ; Helmiyati, S, et al, 2014).
Obat yang mengikat sitokrom P450 3A4 akan mempengaruhi farmakokinetik
colchicine dan farmakodinamiknya. Inhibitor CYP3A4 dapat meningkatkan kadar
/ efek colchicine, misalnya diklofenak diberikan sebagai pengobatan lini pertama
untuk gout akut dan obat ini menghambat CYP3A4 sehingga menambah toksisitas
dari kolkisin. Konsentrasi obat yang tinggi di dalam darah dapat menyebabkan
efek samping yang tidak diharapkan, termasuk efek toksisitasnya. Multidrug
transporter Pglycoprotein, dan obat-obatan yang mengikat untuk itu, juga dapat
mempengaruhi farmakologi dari colchicine. P-glikoprotein adalah ATP dependent
phospho-glikoprotein yang terletak di membran sel dan berinteraksi dengan
berbagai obat-obatan. Ketika obat yang mengikatnya yang diresepkan dalam
kombinasi, perubahan aktivitas P-glikoprotein dapat menyebabkan akumulasi
intraseluler colchicine contohnya adalah prednisolone. (Zagler, et al, 2009 ;
Helmiyati, S, et al, 2014).
Non-steroidal anti-inflammatory drugs(NSAIDs) dan kortikosteroid adalah
terapi yang digunakan dalam terapi gout dan seringkali di kombinasikan dengan
kolkisin. Toksisitas gastrointenstinal dari kolkisin dapat diperberat dengan
penambahan obat-obat lainnya. Dosis maksimal dari kolkisin adalah 6mg yang
merupakan therapeutic window yaitu dosis minimal untuk toksisitas
gastrointenstinal (Zagler, et al, 2009)
b. Interaksi Obat dan Makanan (Helmiyati, S, et al, 2014)
Efek Makanan / Zat Gizi terhadap Obat
Makanan dapat berpengaruh pada obat, baik tahap absorbs maupun
metabolism obat di dalam tubuh. Misalnya buah anggur, dapat
meningkatkan bioavabilitas beberapa obat jenis cyclosporine, calcium
channel antagonist melalui penghambatan pada sitokrom P450 3A4 di usus
halus dan P-glycoprotein yang merupakan pembawa obat dari enterosit ke
lumen usus. Namun efek anggur ini berbeda-beda untuk setiap orang
karena adanya perbedaan kadar CYF3A4 di usus.
Makanan/zat gizi dapat mempengaruhi absobsi obat melalui pengaruh
terhadap waktu transit( motilitas GI), sekesi, kelasi atau uptake pembawa.
Contohnya, antibiotic eriromisin, dan penisilin, captopril hanya
dikomsumsi dengan air tidak boleh mengkomsumsi makanan paling sedikit
1 jam setelahnya.
Perubahan metabolisme dan ekskresi zat gizi. Komsumsi jus jeruk
dapat menurunkan isozyme dari sitokrom P450 yang dikenal sebagai CYP
3A4, enzim ini secara normal memulai metabolism sel usus pada bebeapa
obat, contohnya adalah kolkisin. Konsekuensinya, penurunan enzim ini
karena komsumsi jus jeruk menyebabkan obat diabsorbsi tanpa
dimetabolisme dan dapat menyebabkan konsentrasi obat tersebut di dalam
darah akan lebih tinggi daipada yang diharapkan. Konsentrasi obat yang
tinggi di dalam darah dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diharapkan, termasuk efek toksisitasnya.
Efek makanan terhadap eksresi obat ditemukan pada komsumsi
sodium yang berkompetisi jika diberikan bersamaan dengan lithium, karena
sodium dan litium sama-sama direabsorbsi menuju tubulus ginjal. Oleh
karena itu komsumsi sodium yang tinggi dapat meningkatkan eksresi litium
sehingga mengurangi pengaruh obat.
Efek Obat terhadap Makanan/Zat gizi
Perubahan asupan makanan akibat perubahan nafsu makan, perubahan
pada indra pengecapan dan penciuman, atau mual dan muntah. Golongan
steroid seperti steroid anabolic (Oksandrolon) dan glukokortikoid
(deksamentason, metilprednisolon adalah contoh obat yang mempengaruhi
nafsu makan dengan meningkatkan nafsu makan.
OBAT INTERAKSI ZAT GIZI
Obat Arthtritis 1. Aspirin dapat menghambat masuknya Vitamin C
Aspirin vitamin C ke dalam sel. Sebaiknya
Anacin komsumsi aspirin diimbangi dengan
Ascriptin peningkatan intake vitamin C.
2. Kadar asam folat akan menurun
Bufferin Asam Folat
ketika seseorang mengkomsumsi
Exedrin, dll
aspirin, sehingga komsumsi aspirin
membutuhkan suplementasi asam
folat agar kebutuhannya tercukupi
3. Darah di sekitar lambung secara
Fe
teratur akan berkurang dalam jumlah
kecil ketika mengkomsumsi aspirin,
akibatnya Fe tubuh akan berkurang.
Pada penderita jantung berkurangnya
Fe ini menguntungkan karena akan
mengurangi risiko serangan jantung.
Hal ini dapat menjelaskan bagaimana
aspirin dalam melindungi jantung.
Namun pada penderita anemia
diperlukan suplemen Fe.
Indometashin Indometasin dapat menyebabkan iritasi pada Fe
Indocin saluran lambung dan mengakibatkan darah
berkurang sehinngga Fe darah juga berkurang.
Kolkisin Penyerapan dari beberapa za gizi akan Vitamin B12
ColBenemid terhambat akibat pemberian kolkisin. Beta Karoten
Agnesium
Kalium
Kortikosteroid Obat ini dapat menurunkan kadar vitamin D3 Kalsium
dalam tubuh dan mengurangi penyerapan dan Vitamin D3
metabolism kalsium. Penggunaan dalam jangka Kalium
panjang akan menyebabkan kerapuhan tulang. Vitamin B6
Juga dapat menurunkan kadar kalium, vitamin Vitamin B12
B6, B12, maupun asam folat. Asam Folat
Tabel 2 : Interaksi beberapa obat dan zat gizi (Helmiyati, S, et al, 2014).
IX. REFERENSI
Edward, ST. 2009. Artritis Pirai (Gout) dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Interna Publishing. Jakarta. p:2556-2560
Harrold, L., et al. 2012. Patients knowledge and beliefs concerning gout and its
treatment: a population based study. BMC Musculoskeletal Dissorders.
University of Massachusetts Medical School, Worcester, MA, USA
Helmiyati, S., Rahmawati, NF., Purwanto., Yuliati, E. 2014. Interaksi Obat dalam
Buku Saku Interaksi Obat dan Makanan. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press. p:49-56
Helmiyati, S., Rahmawati, NF., Purwanto., Yuliati, E. 2014. Interaksi Obat dan
Makanan dalam Buku Saku Interaksi Obat dan Makanan. Yogyakarta.
Gadjah Mada University Press. p:57-86
Katsilambros, N., Dimosthenopoulos, C., Kontogianni, M., Manglara, E., Pouliam
KA. 2002. Gout dalam Asuhan Gizi Klinik. EGC. p:183-184
Kenneth, L., et al. 2013. Uric acid as a danger signal in gout and its comorbidities.
Nature Reviews Rheumatology. Vol 9, p: 13-23
Khana, et al. 2012. American College of Rheumatology Guidelines for Management of
Gout. Part 1: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty
Arthritis. Amerika.
Khana, et al. 2012. American College of Rheumatology Guidelines for Management of
Gout. Part 2: Systematic Nonpharmacologic and Pharmacologic
Therapeutic Approaches to Hyperuricemia. Amerika.
Neogi, T., et al. 2016. Gout Classification Criteria. American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Vol 67. p:2557-2568
Neogi, T., Miskuls, TR., .2017. To Treat or Not to Treat (to Target) in Gout. Annal of
Internal Medicine. American Collage of Physicians.
Philip, CR., Horsbugh, S. 2014. Gout: Joints and beyond, epidemiology, clinical
features, treatment and co-morbidities. Journal of the European
Menopause & Andopause Society. Vol 78, p:25-251
Saigal, R. et al. 2015. Pathogenesis and Clinical Management of Gouty Arthritis.
Journal of The Association of Physicians of India. Vol. 6. India. p:56-62
Sukarmin. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kadar Asam Urat Dalam
Darah Pasien Gout Di Desa Kedungwinong Sukolilo Pati dalam
University Research Coloquium.
Tjokorda, RP. 2009. Hiperurisemia dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Interna Publishing. Jakarta. p:2550-2555
Zagler, B., et al. 2009. Patient risk factors and adverse drug interactions in the
treatment of acute gouty arthritis in the elderly: a case report. Division of
Internal Medicine. Central Hospital of Bolzano. Italy
Zuljasri, A. 2015. Gout : Diagnosis and Management. Rheumatology division,
Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of
Indonesia, Jakarta, Indonesia