Вы находитесь на странице: 1из 3

Jaksa Penuntut Umum: Ahok Tidak Terbukti Melakukan Penodaan Agama,

lalu mengapa tetap dituntut 1 tahun penjara ?

Kira-kira 4 (empat) bulan yang lalu saya pernah menulis tentang kasus Ahok. Dengan tajuk : Menyoal
Kasus Ahok Adakah Kesengajaan ?, saat itu saya berkesimpulan tidak terpenuhi unsur kesengajaan
(Prof. Edy Hiariej menggabungkannya dengan Niat), sehingga tuduhan penodaan agama yang diarahkan
pada Ahok sejatinyalah tidak terbukti. Berjalannya waktu ditengah hiruk-pikuk Pilkada di Jakarta yang
begitu dinamis, kemarin Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah membacakan tuntutannya. Menengok kembali
ke belakang, kita pahami Ahok didakwa dengan 2 (dua) dakwaan alternatif yaitu (i) Pasal 156 KUHP
tentang perbuatan menyatakan perasaan permusuhan atau penghinaan terhadap suatu golongan rakyat
Indonesia dengan ancaman pidana 4 tahun penjara ATAU (ii) Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama
dengan ancaman pidana 5 tahun penjara. Dalam tuntutannya, JPU menyatakan Ahok tidak terbukti
melakukan perbuatan penodaan agama sebab perbuatan yang terbukti adalah penghinaan terhadap suatu
golongan rakyat Indonesia dan oleh karenanya menuntut Ahok dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun
dengan masa percobaan 2 tahun.

Sejalan dengan asas opportunitas maka JPU berwenang untuk menuntut pidana dengan syarat atau tanpa
syarat. Dalam konteks demikian, maka jelas KUHAP memberikan kewenangan kepada JPU untuk
melakukan penuntutan. Bagi JPU, dakwaan yang terbukti adalah perbuatan menghina suatu golongan
tertentu sebagaimana Pasal 156 KUHP, dimana ucapan Ahok di Kepulauan Seribu yang menyatakan
jangan mau dibohongi pakai Surat ... adalah bentuk perbuatan penghinaan suatu golongan tertentu. Ahok
dalam bukunya yang berjudul Merubah Indonesia menyatakan subjek pengguna Al Maidah 51 yang ia
maksud adalah para oknum elit politik yang acap kali menggunakan surat tersebut dalam persaingan
pilkada. Namun walaupun Ahok telah menyatakan subjek yang dimaksudnya adalah para elit politik, namun
JPU agaknya memberi kesimpulan yang berbeda. JPU menyatakan karena subjek yang dimaksud adalah
pengguna Al Maidah dan umat Islam adalah kategori pengguna Al Maidah 51 maka Ahok diduga telah
melakukan penghinaan terhadap umat Islam. Jadi, ada perbedaan disini, bagi Ahok subjek yang ditujunya
adalah para elit politik yang menggunakan ayat tersebut dan namun bagi JPU subjek pengguna yang
dimaksud Ahok tidak hanya hanya elit politik melainkan juga umat Islam yang mengimani Surat Al Maidah
51. Bagi saya sih, terlalu rapuh tuntutan yang menyatakan Ahok menghina suatu golongan tertentu (dalam
hal ini umat Islam), karena sebagaimana fakta-fakta persidangan tidak pernah dapat ditunjukkan lisan
maupun tulisan Ahok yang nyata-nyata mengarahkan kalimatnya kepada umat Islam. Yang ada adalah
kalimat Ahok ditujukan pada elit politik namun kemudian ditafsir-tafsir sedemikian rupa sehingga subjek
yang semula hanya merupakan elit politik menjadi golongan umat Islam dalam arti luas. Namun demikian,
setidaknya satu hal penting yang menjadi catatan, bagi JPU tuduhan penodaan agama yang selalu
diarahkan pada Ahok tidak terbukti, dan oleh karenanyalah JPU menuntut Ahok dengan Pasal 156 tentang
penghinaan terhadap golongan tertentu dan bukan Pasal 156a tentang penodaan agama. Lantas,
mengapa Pasal 156a tidak terbukti ?.

Pasal 156a KUHP secara tegas mensyaratkan adanya kesengajaan, bahkan dalam penjelasan Pasal
156a tersebut dinyatakan tindak pidana tersebut adalah semata-mata ditujukan pada niat untuk menghina.
Artinya, harus ada kesengajaan atau niat Ahok untuk menghina agama Islam melalui ucapannya di
Kepulauan Seribu. Kesengajaan yang diatur dalam Pasal 156a ini jelas merupakan corak kesengajaan
dengan maksud, sehingga tidak boleh ditafsir-tafsir sebagai sengaja kepastian apalagi sengaja
kemungkinan. Ini berarti jika JPU mendakwa Ahok dengan pasal penodaan agama harus dibuktikan
adanya kesengajaan dalam diri Ahok untuk dengan maksud menodai agama Islam. Berbagai dalil telah
dikemukakan oleh JPU maupun Penasehat Hukum dalam persidangan terkait pasal ini. Faktanya, konteks
pidato Ahok di Kepulauan Seribu adalah soal budidaya ikan sehingga tidak ada hubungannya dengan niat
atau kesengajaan untuk menodai agama Islam. Pada akhirnya, dengan tuntutan yang hanya menggunakan
Pasal 156 KUHP menunjukkan, JPU pun menyadari dan meyakini tuduhan penodaan agama kepada Ahok
tidak terbukti. Lalu kalau tidak terbukti menodai agama, mengapa tetap dituntut 1 tahun ?

Tentulah tuntutan 1 tahun tersebut adalah kaitannya dengan Pasal 156 KUHP. Bagi JPU, Ahok terbukti
bersalah menghina golongan tertentu dan karenanya dituntut 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2
tahun. Artinya, jika nanti hakim sependapat dengan JPU dan menyatakan Ahok bersalah melakukan
penghinaan golongan tertentu, maka Ahok tidak perlu menjalani masa pidana tersebut di Lembaga
Pemasyarakat dengan syarat selama 2 tahun Ahok tidak boleh melakukan tindak pidana. Kalau Ahok
melakukan tindak pidana, maka secara otomatis ia harus masuk sel untuk menjalani masa pidananya
selama setahun. Namun demikian, ada juga yang berpendapat JPU gagal paham dengan menyampaikan
tuntutan yang diiringi dengan masa percobaan tersebut. Bagi sebagian pihak ketentuan Pasal 14a ayat 1
KUHP merupakan otoritas hakim. Betul, tapi dalam konteks menjatuhkan pidana. Namun dalam konteks
penuntutan, JPU berhak melakukan penuntutan dengan masa percobaan, disinilah letak asas oportunitas
tersebut, dimana JPU berwenang untuk menuntut pidana dengan syarat atau tanpa syarat. Lalu,
bagaimana sikap hakim ? Ya tentu saja, kita harus menunggunya dalam sidang putusan kelak. Setidaknya
beban penasihat hukum Ahok tentulah lebih ringan karena tangkisan tinggal diarahkan pada tuduhan
penghinaan golongan tertentu, dan tidak lagi pada tuduhan penodaan agama sebagaimana gencar
didengung-dengungkan terus-menerus khususnya pada masa pilkada. Bagi saya, kita mesti jujur pada diri
kita sendiri, adakah benar Ahok menodai agama sehingga harus didemo secara bertubi-tubi ?. Saya ragu
akan ada demo besar-besaran pasca tuntutan Ahok kemarin. Kenapa ? Ya sederhana, toh Ahok sudah
kalah dalam pilkada.

Terakhir, hendaknya juga kita tidak dengan mudah menuduh orang telah bersalah tanpa pembuktian di
persidangan. Tak ada satu orangpun yang tau kapan ia akan menjadi tersangka/terdakwa. Bersikap tenang
dan tidak overdosis adalah sikap yang jauh lebih bijak. Labelisasi orang pasti bersalah sebelum diadili
sejatinya sangatlah membahayakan sebab bukan satu dua kasus orang didakwa melakukan tindak pidana,
namun kemudian divonis bebas. Kalau kita terlalu dini menganggap orang pasti bersalah, ya buat apa
pengadilan itu. Pengadilan bukan tempat untuk menstempel orang sebagai terpidana, namun untuk
mengadilinya, apakah ia bersalah atau tidak. Lembaga peradilan kita namanya pengadilan kan, bukan
penghukum kan ?. Jika kelak Ahok dinyatakan tidak bersalah dan oleh karenanya harus dibebaskan,
siapakah yang bertanggungjawab atas labelisasi penoda/penista agama yang ditujukan pada Ahok ?. Kita
bisa jawab dalam hati kita masing-masing.
Samuel Hutasoit

21 April 2017

Вам также может понравиться