Вы находитесь на странице: 1из 24

PRESENTASI KASUS

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian

Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:

Krisna Muhammad

20090310079

Diajukan Kepada:

dr. Suryo Habsara, Sp. B

SMF BEDAH

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

2013
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Bedah
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:

Krisna Muhammad

20090310079

Telah disetujui oleh:

Dokter Penguji

dr. Suryo Habsara, Sp. B


BAB I

PENDAHULUAN

Hiperplasia prostat jinak merupakan kondisi yang sangat berkaitan dengan usia. 1

Walaupun sifatnya tidak mengancam jiwa, manifestasi klinis yang timbul sebagai gejala

salurah kemih bawah (lower urinary tract symptoms, LUTS) dapat mengurangi kualitas hidup

pasien.2
3
LUTS yang bermasalah dapat terjadi hingga 30% dari pria berumur di atas 65 tahun.

Di Amerika, hasil survey Olmstead County, dengan sampel acak pria Kaukasia berumur 40

hingga 79 tahun, menunjukkan bahwa gejala sedang-berat dapat terjadi pada 13% pria

berumur 40-49 tahun dan pada 28% pria berumur di atas 70 tahun.1 Studi multisenter di

beberapa negara di Asia menunjukkan presentase terkait umur dari pria dengan gejala

sedanghingga berat lebih tinggi daripada di Amerika.5,6 Prevalensi meningkat dari 18% untuk

pria umur 40an hingga 50% pada pria berumur 70an.5

Makalah presentasi kasus ini akan membahas tentang seorang pasien dengan BPH.

Dengan besarnya angka prevalensi BPH di Asia, presentasi kasus ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai gejala klinis, cara diagnosis, serta penatalaksanaan yang

tepat pada penderita BPH.


BAB II

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
No RM : 342606
Nama : Mardi Wijoyo
Umur : 60 tahun
Alamat : Karangtalun RT 06 Karangtalun, Imogiri, Bantul
Agama :
Pekerjaan :
Tanggal masuk RS: 11 Desember 2013
Ruang perawatan : Melati kelas 3

A. ANAMNESA
1. Keluhan Utama :
2. Keluhan Tambahan :
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit :
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit paru-paru :
- Riwayat penyakit jantung : tidak ada
- Riwayat hipertensi : positif
- Riwayat DM : tidak ada
- Riwayat asma : tidak ada

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
- Keadaan umum :
- Vital sign: TD =
N = x/menit
R = x/menit
S = 0C
- Kepala :
- Mata : Conjungtiva anemis (..), sklera ikterik (..), oedem palpebra (..).
- Hidung :
- Telinga :
- Mulut :
- Leher :
- Thoraks
Jantung: I =
Pa =
Pe =
A=
Pulmo: I =
Pa =
Pe =
A=
Ekstermitas :
Status Urogenital :
Rectal Toucher :

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Rontgen pulmo dan thorax
- Cystografi
Hasil :
Kesan :
- USG Prostat
Hasil :
Kesan :
- Laboratorium Darah Lengkap ( .... Desember 2013)
Hb : gr%
AL : /uL
AE : /uL
AT : /uL
HMT : %
Lekosit Segmen :
Gol. Darah :
PPT : detik
APTT : detik
Control PPT : detik
Control APTT : detik
GDS : mg/dl
Ureum darah : mg/dl
Kreatin darah : mg/dl
Protein total : mg/dl
Albumin : mg/dl
Globulin : mg/dl
Natrium : mg/dl
Kalium : mg/dl
Chlorida : mg/dl
HbsAg :

D. DIAGNOSIS
Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Differential diagnosis :

E. PENATALAKSANAAN

F. FOLLOW UP
.... Desember 2013
Laporan operasi:
Instruksi pasca operasi :
- Pengawasan :
- Infus :
- Medikasi :
...... Desember 2013 jam 06.00
- S:
- O:
Vital sign: TD =
N = x/menit
R = x/menit
S = C
Kepala :
Thorax: P :
C:
Abdomen :
Ekstremitas :
- A:
- P:
- Tx :
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostate Hyperplasia, BPH)


3.1.1. Anatomi

Kelenjar prostat dan vesika seminalis merupakan bagian dari sistem reproduksi pria.

Prostat berfungsi untuk membentuk komposisi semen. Pada orgasme, otot prostat

berkontraksi dan membenatu dorongan ejakulasi keluar dari penis. Struktur prostat

mengelilingi uretra proksimal, yang disebut juga uretra pars prostatika. McNeal membagi

kelenjar prostat menjadi tiga bagian oleh McNeal, yaitu zona sentral, perifer, dan transisional.
Zona transisional (5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari prostat yang

membesar pada hiperplasia prostat jinak, sedangkan sebagian besar kanker prostat

berkembang dari zona perifer (75% volume prostat normal).7,8,9

GAMBAR 1. Penampang Prostat Normal10

Prostat adalah berbentuk seperti buahkemiri dengan ukuran kira-kira 4 x 3 x 2,5 cm

dan beratnya kurang lebih 20 gram pada keadaan normal. Secara histopatologik kelenjar

prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiriatas otot

polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yanglain.Prostat

menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponendari cairan ejakulat. Cairan

ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuaradi uretra posterior untuk kemudian

dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat

merupakan 25% dari seluruhvolume ejakulat.Prostat mendapatkan inervasi otonomik

simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus)

menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S 2-4 dan simpatik dari

nervushipogastrikus ( T 10 L 2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar


pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluarancairan prostat

ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistemsimpatik memberikan inervasi

pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli buli. Di tempat tempat itu banyak

terdapat reseptor adrenergik .Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot

polos tersebut.

Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron,yang di dalam

sel sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi 2 metabolit aktif dihidrotestoteron

(DHT) dengan bantuan enzim 5-reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung

memacu m RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor

yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.

3.1.2. Etiologi

Pada BPH, istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya

adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang sebenarnya ke

perifer dan menjadi simpai bedah. Disebut hiperplasia karena secara histopatologi pada BPH

terjadi peningkatan jumlah sel epitelial dan stromal pada area periuretral dari prostat, hal ini

terjadi mungk karena proliferasisel epitelial dan stromal atau terganggunya proses kematian

sel terprogram (apoptosis) yang mengakibatkan akumulasi seluler. Androgen, estrogen,

interaksi stromal-epitelia, faktor pertumbuha, dan neurotransmiter dapat berperan, baik

tunggal maupun kombinasi, dalam etiologi proses hiperplasia.

Beberapa teori yang menjelaskan pembesaran kelenjar periuretral, yaitu:

1. Teori Stem Cell, dikemukakan oleh Isaacs, menyatakan bahwa dalam kondisi normal

kelenjar periuretral berada dalam keadaan seimbang antara sel yang tumbuh dengan

yang mati. Kemudian oleh sebab tertentu seperti usia, gangguan keseimbangan

hormon, atau faktor pencetus lainnya, stem cell berproliferasi lebih cepat sehingga sel
yang tumbuh lebih banyak daripada sel yang mati, akibatnya terjadilah hiperplasi

kelenjar periuretral.
2. Teori Reawakening, dikemukakan oleh McNeal, menyatakan bahwa jaringan

periuretral kembali berkembang seperti pada tingkat embriologik sehingga tumbuh

lebih cepat dari jaringan sekitarnya.


3. Teori yang dikemukakan McConnel menyatakan bahwa hiperplasi kelenjar periuretral

disebabkan oleh ketidakseimbangan testosteron dengan estrogen. Testosteron bebas,

yaitu testosteron yang tidak terikat protein dalam bentuk Serum Binding Hormone,

akan dihidrolisis oleh enzim 5-alfa reduktase menjadi dihidrotestosteron (DHT).

Kemudian DHT akan berikatan dengan reseptor di sel-sel prostat dan mengakibatkan

proliferasi sel.
Seiring bertambahnya usia produksi testosteron akan berkurang dan terjadi konversi

testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa oleh enzim aromatase, estrogen

lalu akan mengakibatkan hiperplasi stroma prostat.

GAMBAR 2. Skema Pembesaran Prostat Jinak

3.1.3. Patofisiologi
Pada penderita BPH, akan terjadi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum,

leher vesika, dan kekuatan kontraksi otot detrusor. Trigonum, leher vesika, dan otot detrusor
dipersarafi oleh sistem simpatis, sedangkan trigonum oleh parasimpatis. Saat terjadi BPH

akan terjadi peningkatan resistensi di daerah prostat dan leher vesika. Kemudian otot detrusor

akan berkontraksi lebih kuat sebagai kompensasinya. Kontraksi detrusor yang terus-menerus

akan mengakibatkan penebalan dan penonjolan serat detrusor ke dalam buli-buli yang disebut

pula trabekulasi, bentuknya serupa balok-balok. Mukosa vesika dapat menerobos antara serat

detrusor sehingga membentuk sakula dan bila semakin membesar disebut divertikel. Detrusor

yang terus-menerus mengkompensasi pada suatu saat akan jatuh pada fase dekompensasi

dimana otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi dan terjadi retesi urin total.

Retensi urin total yang terjadi menginkatkan tekanan intravesika. Ketika tekanan

intravesika lebih tinggi daripada tekanan sfingter uretra, akan terjadi inkontinensia paradox

(overflow incontinence). Retensi urin yang berjalan kronik mengakibatkan refluks

vesikouretral, yang semakin diteruskan ke atas mengakibatkan dilatasi ureter (hidroureter)

dan sistem pelviokalises ginjal (hidronefrosis). Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus

dapat terjadi penurunan fungsi ginjal dan pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal.

Obstruksi traktus urinarius kronik dapat mengakibatkan peningkatan tekanan

intraabdomen karena penderita harus mengejan pada waktu kencing. Peningkatan tekanan

intraabdomen dapat mengakibatkan hernia atau hemoroid. Sisa urin dalam vesika dapat

meningkatkan risiko terjadinya batu endapan dan infeksi. Adanya batu di dalam vesika dapat

memperberat gejala iritatif dan mengakibatkan hematuria.


GAMBAR 3. Aliran Urin dengan BPH

3.1.4. Manifestasi Klinis

Gejala pada penderita BPH dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala

obstruktif disebabkan oleh kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi secara adekuat

misalnya karena volume prostat pada BPH yang besar, sedangkan gejala iritatif disebabkan

oleh pengosongan yang tidak sempurna saat miksi atau rangsangan pada vesika oleh BPH

sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum terisi penuh.

Tabel 1. Gejala obstruktif dan iritatif pada BPH1

Obstruktif Iritatif
Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy) Peningkatan frekuensi miksi (frequency)
Miksi terputus (intermittency) Peningkatan frekuensi miksi malam hari
(nocturia)
Urin menetes pada akhir miksi (terminal Miksi sulit ditahan (urgency)
dribbling)
Pancaran miksi lemah Nyeri pada waktu miksi (dysuria)
Rasa tidak puas setelah miksi (tidak lampias)
Beratnya gangguan miksi diidentifikasi dan diklasifikasikan oleh berbagai jenis

skoring, di antaranya International Prostate Symptom Score (IPSS) yang disusun oleh World

Health Organization dan Madsen Lawson Score. IPSS terdiri dari delapan buah pertanyaan

mengenai LUTS. Skor akhir akan menentukan tatalaksana yang akan dilakukan terhadap

penderita. 2,4

Tabel 2. Klasifikasi hasil IPSS2,4

Skor Kategori Tatalaksana


0-7 Ringan Watchfull waiting
8-18 Sedang Medikamentosa
19-35 Berat Operasi

Keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih akibat gejala

hiperplasia prostat. Di antaranya adalah:

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS)

terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena

penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar

dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga

kontraksi terputus-putus. Gejala obstruktif antara lain :


a. Harus menunggu pada permulaan miksi (hestistancy)
b. Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
c. Miksi terputus (intermittency)
d. Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)
e. Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying)

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih

tergantung pada tiga faktor, yaitu:

a. Volume kelenjar periuretral


b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga

meskipun volume kelenjar periuretral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos

prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya

kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Gejala iritatif disebabkan oleh

karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan

oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada

vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Gejala iritatif antara lain :

a. Bertambahnya frekuansi miksi (frequency)


b. Nokturia
c. Miksi sulit ditahan (urgency)
d. Nyeri waktu miksi (disuria)

Gejala-gejala tersebut di atas sering disebut dengan sindroma prostastismus. Secara klinis

derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi:

a. Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml


b. Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
c. Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas +

sisaurin > 150 ml.


2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala

obstruksi antara lain: nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari infeksi atau

urosepsis, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang

selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan

darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.


3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan

hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi

sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.


3.1.5. Diagnosis
Pada pria berusia di atas 60 tahun kira-kira ditemukan 50% dengan pembesaran

prostat dan separuhnya akan memberikan keluhan.Jika dasar kelainan berada di traktur

urinarius bagian atas, maka diperiksa kelianan ginjal yang tergambar lewat pemeriksaan fisik

yaitu ginjal dapat teraba pada hidronefrosis, nyeri pinggang dan nyeri ketok regio Flank pada

pielonefritis, vesika urinaria dapat teraba bila terjadi retensi urin, dan teraba benjolan di lipat

paha bila ada hernia.

Pemeriksaan colok dubur (rectal touch, RT) dilakukan untuk memeriksa tonus

sfingter ani, mukosa rektum, dan prostat. Jika batas atas prostat masih teraba, dapat

diperkirakan massa prostat kurang dari 60 gram. Jika prostat teraba membesar maka diberi

deskripsi lebih lanjut mengenai konsistensi, simetri, dan nodul untuk menentukan dugaan

pembesaran jinak atau ganas. Pembesaran prostat jinak biasanya memiliki konsistensi kenyal,

bentuknya simetris, dan tidak terdapat nodul. Sedangkan pada adenokarsinoma prostat

konsistensinya keras, bentuk asimetris, dan terdapat nodul.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi atau faktor

komorbid pada penderita seperti infeksi, penurunan fungsi ginjal, batu saluran kemih, dan

diabetes mellitus. Pemeriksaan darah terdiri dari darah perifer lengkap, elektrollit, PSA,

ureum, kreatinin, dan kadar glukosa. Pemeriksaan urin terdiri dari urinalisis, biakan, dan tes

sensitivitas antibiotik.
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada BPH terutama ultrasonografi (USG) secara Trans Abdominal Ultrasound (TAUS) atau Trans Rectal

Ultrasound (TRUS). TAUS digunakan untuk menilai volume buli, volume sisa urin, divertikel, tumor, atau batu buli. TRUS digunakan untuk mengukur volume

prostat, prostat digolongkan besar jika volumenya lebih dari 60 gram. TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan keganasan dengan memperlihatkan adanya

daerah hypoehoic, dan bisa dapat dilakukan biopsi prostat dengan jarum yang dituntun TRUS diarahkan ke daerah yang hypoechoic Pencitraan lainnya yang

dapat dilakukan yaitu Blaas Nier Overzicht-Intravenous Pyelogram (BNO-IVP) untuk melihat adanya batu saluran kemih, hidronefrosis, divertikulae, volume

sisa urin, dan indentasi prostat. CT Scan dan MRI jarang digunakan karena dianggap tidak efisien.9

Tabel 3. Indikasi biopsi prostat


1. Bila pada RT dicurigai adanya keganasan
2. Nilai PSA > 10 ng/ml atau PSA 4 10 ng/ml dengan PSAD > 0,15
(Standar internasional)
3. Nilai PSA > 30 ng/ml atau PSA 8 30 ng/ml dengan PSAD > 0,22
(Standar Jakarta)

3.1.6. Pengukuran Derajat Obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur melalui beberapa cara. Cara pertama yaitu

dengan mengukur volume sisa urin setelah penderita miksi spontan karena pada orang normal

biasanya tidak terdapat sisa. Sisa urin lebih dari 100cc merupakan indikasi terapi intervensi

pada penderita BPH. Volume sisa urin dapat diukur dengan melakukan kateterisasi ke dalam

vesika setelah penderita miksi, dengan ultrasonografi vesika, atau foto post voiding pada

BNO-IVP. Cara kedua yaitu dengan uroflowmetri. Pada pemeriksaan ini diukur pancaran

urin, dimana nilai normal average flow rate (Qave) 10-12 ml/detik, maximum flow rate

(Qmax) 20 ml/detik, dan voided volume. 9

Secara klinik derajat berat BPH dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu :


a. Derajat 1: Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan

penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm kedalam rektum

prostat menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum memerlukan tindakan

operatif, dapat diberikan pengobatan secara konservatif, misal alfa bloker, prazozin,

terazozin 1-5 mg per hari.


b. Derajat 2: Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol.

Penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder inlet dengan

muara ureter. Batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari

100 ml. Pada derajat ini sudah ada indikasi untuk intervensi operatif.
c. Derajat 3: Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine lebih

dari 100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol sampai muara ureter.

TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan reseksi tidak selesai dalam

satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.


d. Derajat 4: Terjadi retensi urin total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum prostat

menonjol melewati muara ureter. Tanda klinik terpenting pada BPH adalah

ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination

(DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal.

3.1.7. Diagnosis Banding

Proses miksi bergantung pada kekuatan otot detrusor, elastisitas leher vesika, dan

resistensi uretra. Oleh karena itu kesulitan miksi dapat disebabkan oleh kelemahan detrusor,

kekakuan leher vesika, dan resistensi uretra.

Selain pada BPH, keluhan LUTS dijumpai pula pada striktur uretra, kontraktur leher

vesika, batu buli-buli kecil, karsinoma prostat, atau kelemahan detrusor, misalnya pada

penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik. Sedang bila hanya

gejala-gejala iritatif yang menyolok, lebih sering ditemukan apda penderita instabilitas

detrusor, karsinoma in situ vesika, infeksi saluran kemih, prostatitis, batu ureter distal, atau

batu vesika kecil.9

3.1.8. Tatalaksana
3.1.8.1. Watchfull Waiting

Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan

sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau Madsen Iversen 9),

dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol

periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak

terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan

malakukan watchful waiting. Saran yan gdiberikan antara lain :9,11

- mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia)


- menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik)
- mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi miksi)
- setiap 3 bulan mengontrol keluhan: sistem skor, Qmax, sisa kencing, TRUS

3.1.8.2.Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
- Penghambat adrenergik alfa

Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat,

dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars

prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat,

contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping

yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa

mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah.

- Penghambat enzim 5 reduktase


Obat ini menghambat kerja enzim 5 reduktase sehingga testosteron tidak diubah

menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein

terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara

lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.


- Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum Africanum,

Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan

Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun PPygeum

Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF.

Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding

hormon globulin, hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme

prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.9,11


3.1.8.3. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma.

Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :


- sisa kencing yang banyak
- infeksi saluran kemih berulang
- batu vesika
- hematuria makroskopil
- retensi urin berulang
- penurunan fungsi ginjal

Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection of the

Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang

dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. TURP adalah reseksi

endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan

kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode inicukup aman,

efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat

mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan

bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan

pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam

penentuan perlu tidaknya dilakukan TURP. Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan

operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-

uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan

direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa

larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi.

Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades). Salah

satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke

sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka padasaat reseksi. Kelebihan air

dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal

dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran

somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien

akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka

mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya

sindroma TURP dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada
aquades, antara lain adalah cairan glisin, membatasi jangka

waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi

tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat. Komplikasi jangka pendek pada TURP

antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka

panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.

Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume

prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu

keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu besar. Bila alat yang tersedia tidak

memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik.

Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya

dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor /

divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.9.11

3.1.8.4. Terapi Operatif

Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan

penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran

kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan

perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan

adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra. Indikasi pembedahan pada BPH

adalah :

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).

b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien

buang air kecil > 100 ml

c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan system perkemihan seperti retensi

urine atau oliguria.


d. Terapi medikamentosa tidak berhasil

e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif

Prostatektomi terbuka :

a. Retropubic infravesica (Terence Millin)

b. Suprapubic Transvesica / TVP (Freeyer)

c. Transperineal

3.1.9. Komplikasi
Pada BPH yang dibiarkan tanpa tatalaksana dapat menyebabkan komplikasi seperti

trabekulasi, yaitu penebalan serat-serat detrusor menyerupai balok akibat tekanan intravesikal

yang terus menerus tinggi akibat obstruksi. Kemudian dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa

vesika menerobos serat-serat detrusor, dan bila ukurannya membesar bisa menjadi divertikel.
Batu vesika juga dapat terbentuk sebagai komplikasi akibat sisa urin yang menetap di

vesika urinaria. Tekanan vesika yang tinggi tadi apabila diteruskan ke struktur di atasnya

dapat menyebabkan hidroureter, hidronefrosis, dan penurunan fungsi ginjal.


Tahap yang terakhir terjadi adalah keadaan dimana otot detrusor mengalami

dekompensasi sehingga vesika tidak dapat lagi berkontraksi untuk mengosongkan isinya

sehingga terjadi retensi urin total. Dan ketika besarnya tekanan vesika melebihi tekanan

obstruksi makadapat terjadi overflow incontinence.9


BAB IV

PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Chute CG, Panser LA, Girman CJ, Oesterling JE, Guess HA, Jacobsen SJ, Lieber
MM. The prevalence of prostatism: a population based survey of urinary symptoms. J
Urol 1993;150:85-89. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve
&db=PubMed&list_uids=7685427&dopt=Abstract
2. Donovan JL, Kay HE, Peters TJ, Abrama P, Coast J, Matos-Ferreira A, Rentzhog L,
Bosch JL,Nordling J, Gajewski JB, Barbalias G, Schick E, Silva MM, Nissenkorn I,
de la Rosette JJ. Using the ICSQoL to measure the impact of lower urinary tract
symptoms on quality of life: evidence from the ICS-BPH study. International
Continence Society - Benign Prostatic Hyperplasia. Br J Urol 1997;80:712-721.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=9393291&dopt=Abstract
3. Chapple CR. BPH disease management. Eur Urol 1999; 36(Suppl 3):1-6. http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=10559624&dopt=Abstract
4. Arrighi HM, Metter EJ, Guess HA, Fozzard JL. Natural history of benign prostatic
hyperplasia and risk of prostatectomy, the Baltimore Longitudinal Study of Aging.
Urology 1991;35(Suppl):4-8. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=
Retrieve&db=PubMed&list_uids=1714657&dopt=Abstract
5. Homma Y, Kawabe K, Tsukamoto T, Yamanaka H, Okada K, Okajima E, Yoshida O,
Kumazawa J, Gu FL, Lee C, Hsu TC, dela Cruz RC, Tantiwang A, Lim PH, Sheikh
MA, Bapat SD, Marshall VR, Tajima K, Aso Y. Epidemiologic survey of lower
urinary tract symptoms in Asia and Australia using the International Prostate
Symptom Score. Int Urol 1997;4:40-46. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.
fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=9179665&dopt=Abstract
6. Tsukamoto T, Kumamoto Y, Masumori N, Miyakr H, Rhodes T, Girman GJ, Guess
HA, Jacobsen HJ,Lieber MM. Prevalence of prostatism in Japanese men in a
population based study with comparison to a similar American study. J Urol
1995;154:391-395. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve
&db=PubMed&list_uids=7541852&dopt=Abstract
7. Kim HL, Belldegrun A. Urology. In: Brunicardi FC. Schwartzs manual of surgery. 8 th
edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.; 2006. p. 1036-42.
8. Umbas R. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam: Sjamsuhidajat S,
Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editor. Buku ajar ilmu bedah
Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. h.
782-6.
9. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-kelainan jinak, diagnosis, dan penanganan. Jakarta:
Asian Medical; 1999.
10. Presti JC, Kane CJ, Shinohara K, Carroll PR. Chapter 22: Neoplasms of the Prostate
Gland. In: Tanagho EA, McAninch JW. Smith's General Urology. 17 th ed. New York:
McGraw-Hill; 2006. p. 347-55
11. Rosette J, Alivizatos G, Madersbacher S, Sanz CR, Nordling J, Emberton M, Gravas
S, Michel MC, Oelke M. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. European
Association of Urology; 2006.

Вам также может понравиться