Вы находитесь на странице: 1из 22

MAQASID ASY-SYARIAH: SEBUAH TINJAUAN DARI SUDUT

ILMU EKONOMI ISLAM

Juandi
STAIN Syaikh Abdurrahman Siddiq Bangka Belitung
E-mail : juan_diey100384@yahoo.com

Abstrak
Maqasid Asy-Syariah merupakan pilar hukum Islam yang mengupas tuntas masalah
ekonomi Islam. Mengingat, dalam pilar tersebut terdapat kepentingan harta yang harus
dijaga untuk kepentingan bersama (ummat). Sistem ekonomi Islam dalam kaitan sebagai
sebuah ilmu memiliki landasan, yaitu the spirit of Islam dan postulat Islam. Dengan
demikian, dalam sistem ekonomi Islam selalu memberikan landasan teologis yang diambil
dari teks-teks suci. Sekalipun demikian, sebuah landasan yang dijadikan pijakan dalam
bertindak tidak akan memberikan kepuasan secara spritual dengan berlandaskan realitas
jika tidak digali secara mendalam. Salah satu cara yang ditawarkan ulama dalam
penemuan hukum adalah dengan pendekatan maqashid asy-syariah. Pendekatan inilah
yang akan digunakan untuk melihat bentuk ekonomi Islam yang sesungguhnya dengan
menekankan pada makna ekonom Islam sebagai pengetahuan dan aplikasi dari perintah
dan peraturan dalam syariah, yaitu untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan
dan pembagian sumber daya material, agar memberikan kepuasan manusia sehingga
memungkinkan manusia melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan
masyarakat.

Kata kunci : Maqasid Asy-Syariah, Ekonomi Islam

Abstract
Maqasid Asy-Syariah is the pillar of islamic laws in which discussing islamic economy
problems thoroughly. This pillar emphasize the mutual interest of society to keep their
property. Islamic economy system has a foundation known as spirit of islam and islamic
postulates. Thus, the Islamic economy system always give theological foundation drawn
from sacred texts. Nevertheless, this foundation will not give satisfaction spiritually if it
is not explored deeply. One of the main ways to overcome the problem in terms of laws
invention by using maqasid asy-syariah approach. In fact, this approah will be used to
see islamic economy form that emphasize on islamic economy as the knowledge and
application from the order and regulation of Syariah. Consequently, it may avoid
injustice for distribution of material resources and provide human satisfaction so that
they will have responsibility toward God and society.

Keywords : Maqasid Asy-Syariah, Islamic Economy

Pendahuluan

1
Dalam kesempatan suatu seminar Ekonomi Syariah yang diadakan oleh
UIN Sunan Kalijaga, seorang narasumber menyampaikan satu landasan teologi
dalam ekonomi Islam. Ia mengatakan:
Islam adalah agama yang memandang kemiskinan sebagai musuh iman
bahkan kemiskinan adalah janji syaithan yang memerintahkan manusia
berbuat kejelekan dan kemungkaran. Karena itu, dalam rukun Islam
paling kurang ada dua yang mensyaratkan kemampuan ekonomi, yaitu
zakat dan haji. Secara terbatas syahadat, shalat dan puasa bernuansa
kemampuan ekonomi. Kemampuan ekonomi menghindarkan manusia
dari kufur yang ditiadakan melalui syahadat. Shalat juga memerlukan
kelengkapan pakaian yang memadai, demikian juga puasa.1
Landasan teologi ekonomi Islam yang disampaikan di atas menarik
untuk dicermati mengingat semakin maraknya persoalan ekonomi yang
disandarkan dengan kata-kata Islam atau syariah. Sebuah sistem ekonomi
alternatif yang merupakan reaksi ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi
kapitalis dan sistem ekonomi sosialis2 atau untuk tidak menafikan keberadaan
sistem ekonomi lainnya.
Gejala seperti ini mulai dirasakan beberapa tahun belakangan semenjak
ilmu-ilmu sosial mengenal apa yang dinamakan dengan masa post-moderen,
yang ditandai dengan kecenderungan kuatnya aktifitas yang bernuansa lebih

1 Musa Asyari, Ekonomi Islam dan Kemiskinan Makalah disampaikan dalam seminar

nasional tentang Peran Strategi Ekonomi Syariah dalam Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia 2007.
2 Fondasi filosofis sistem ekonomi kaptalis adalah manusia dianggap sebagai makhluk

individualis atau egois. Dasarnya adalah kebebasan individu dalam kepemilikan alat produksi
(privat ownership) dengan paradigma ekonomi pasar untuk saling berkompetisi. Faham Kapitalisme
berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebagai
akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, dan tumbuhnya aliran pemikiran liberalisme di
negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang termasuk bidang
ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam
bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776.
Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar
filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar
menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Sedangkan sistem ekonomi
sosialis landasan filosofisnya menempatkan kepemilikan alat produksi dikuasai secara bersama
(collective ownership), dan kalau dibebaskan kepemilikannya kepada individu, akan memunculkan
persoalan baru yang lebih serius yaitu eksploitasi sesama individu atau golongan dalam
masyarakat. Diilhami pendapat Hegel yang menyatakan bahwa perubahan historis merupakan
hasil kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut pada dasarnya
bersifat ekonomis atau materialistis, dengan demikian faktor-faktor ekonomi menurut Marx mejadi
sebab pokok terjadinya perubahan. Kata Komunisme secara historis sering digunakan untuk
menggambarkan sistem-sistem sosial di mana barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan
didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota
masyarakat. Produksi dan konsumsi bersama berdasarkan kapasitas ini merupakan hal pokok
dalam mendefinisikan paham komunis, sesuai dengan motto mereka: from each according to his
abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap
orang sesuai dengan kebutuhan). Oleh karena itu, sistem ekonomi ini adalah marxis dan bukan
ekonomi pasar. Lihat: Achyar Eldine, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, dalam situs
http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm. akses tanggal 1 Oktober 2007. Lihat juga: M. Husein
Sawit, Kata Pengantar dalam Goenawan Mohammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam, ed. 2, cet. 1
(Yogyakarta: UII Press, 1999), h. viii-ix

2
mendekatkan diri kepada Tuhan. Realitas munculnya masa post-moderen yang
berparadigma post-modernisme telah memberi sinyal hadirnya sejumlah
pemikir, filosof dan intelektual yang berusaha mendekonstruksi basis dasar
pengetahuan moderen.3 Masa moderen bagi kalangan post-modernisme telah
membawa umat kepada kehidupan yang gersang, materialistik, sekuler dan jauh
dari nilai-nilai spritual. Sekalipun post-modernisme bukan satu-satunya
penyebab lahirnya gagasan-gagasan spritual, namun kesadaran manusia untuk
kembali mengkaji nilai-nilai agama, setelah dimanjakan dengan berbagai
pengetahuan moderen, muncul pada masa ini. Kuatnya arus perubahan dari
tradisionalisme, modernisme dan post-modernisme menjadi tantangan bagi
umat Islam dalam menyikapi persoalan umat yang mengalami fluktatif. Oleh
karena itu, bagi umat Islam nilai spritual yang memang merupakan basis dalam
kehidupannya harus dapat diaplikasikan dalam segala tindakan-tanduk
kehidupan umat baik dalam segala aspek termasuk aspek ekonomi.

Pembahasan
A. Maqasid asy-Syariah dalam Tinjauan Teoretis
Maqashid asy-syariah4 dalam kajian ushul fiqh scara kronologis dapat
dilacak dari metode-metode penemuan illat hukum dalam teori qiyas.5

3 Listiyono Santoso, Purna Wacana: Postmodernisme: Keritik Atas Epitemologi Moderen,


dalam Listiyono santoso, dkk., Epistemology Kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), h. 318. Yang
paling menonjol adalah munculnya sejumlah gagasan tentang islamisasi pengetahuan yang salah
satunya dikemukakakan oleh Ismail Raji al-Faruqi. Gagasan ini terletak pada wilayah
epistemology keilmuan islam, yaitu integrasi antara pengetahuan barat dan warisan Islam.
Kemudian dikembangkan oleh Louay Safi dengan model pendekatan integrative atau terpadu
hokum islam dan social. Lihat: Louay Safi, The Foundation of Knowlage: A Comparative Study in
Islamic and Western Methos of Inqury (Slangor: International Islamic University Malaysia Press dan
International Instritute of Islamic Thought, 1996),h. 171-96. Lihat juga: model pendekatan Louay
Safi dan Muhammad Anas az-Zarqa dalam Syamsul Anwar, Pendekatan Integratif dalam Hukum
Islam, dalam Metodologi Hukum Islam, (kumpulan makalah tidak diterbitkan).
4
Maqashid asy-syari, maqashid asy-syariah, dan maqashid asy-syariyah mempunyai konotasi
yang sama yang secara etimologi tersusun dari dua kata, yaitu maqashid dan asy-syariah dengan
berbagai derivasinya. kata maqashid adalah bentuk jama dari kata maqshid yang merupakan bentuk
kata jadian (bentuk isim makan) dari kata kerja qashada (fiil madhi) yang berarti bernaksud atau
menunju sesuatu.. Lois Maluf, Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-Alam (Bairut: Dr al-Masyriq, 1998), h.
632. Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996), h. 1208. Kata asy-syariah berarti kebiasaan, atau
sunnah. Lois Maluf, Al-Munjid., h. 382. Dalam perkembangannya makana asy-syariah ditujukan
pada bagaian tertentu dari ajaran Islam secara keseluruhan
5 Secara etimologis, qiyas berarti mengukur, memastika, membandingkan sesuatu yang

semisalnya. Liaht: Muhammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah
(Bandung: Pustaka, 2000), h. 31-32. Sementara itu, secara istilah ushul al-fiqh, qiyas adalah
menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang
ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat (effecitve cause) hukumnya. Lihat: Muhammad

3
Penemuan illat hukum dalam sebuah kasus yang terdapat dalam teks secara
garis besar dapat dilakukan dengan dua metode yaitu sah (valid), metode-
metode yang keabsahannya diakui oleh para jurist, dan dugaan
(probable/zhanniyyah atau mutawahhamah), yang keabsahannya masih bersifat
dugaan dan kemungkinan.6 Metode yang pertama terbagi menjadi dua yaitu
ijma (consensus) dan nass (the text). Nass terbagi menjadi dua lagi yaitu nass
yang eksplisit (sharih) dan implisit (ima wa tanbih). Sementara itu, metode
yang kedua yang bersifat dugaan ada lima, yaitu: munasabah (kesesuaian),
syabah (keserupan), thard atau tharadi (kebersamaan atau kebetulan), dawran
(perputaran), juga disebut thard waaks (kebersamaan dan kespesifikan) dan
sabr wa taqsim (penyelidikan dan klasifikasi).7 Selain metode tersebut, masih
ada perdebatan di kalangan ulama tentang jumlah dan jenis lainnya.
Misalnya, fuqaha menganggap metode tanqih al-manath (pembersihan dan
dasar ketetapan hukum), tahqiq al-manath (verifikasi atau realisasi dasar
ketetapan hukum) dan takhrij al-manath (pengambilan dasar ketetepan

Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa: Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 255. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997), h. 144.
Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh jilid 1 (Yogyakarta: dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 107. teori ini
secara sistematis pertama kali dicetus oleh imam asy-syafiI yang secara panjang diuraikan dalam
kitab Ar-Risalah-nya. illat yang dikembangkan oleh ulama setelahnya dalam pengetahuan asy-
Syafii tidaklah disebut illat tetapi mana. penjelasan tentang qiyas yang asli dalam pandangan asy-
Syafii lihat: Muhammad Idris asy-Syafii, ar-Risalah li al-Imam al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris asy-
SyafiI, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani (Kairo: Dar al-Fikr, 1969),, h. 26. Sedangkan menurut
Joshep Schacht qiyas diturunkan dari istilah tafsir Yahudi hiqqish, infinitifnya heqqesh, dari akar kata
bahsa Aramea naqsh, yang berarti memukuli bersama-sama. Kemudian Schacht menjabarkan
penggunaannya yaitu: dalam penjajaran dua pokok masalah dalam bible, mengenai kegiatan
penafsiran yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks tertulis, untuk suatu
kesimpulan dengan menggunakan analogi berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama
terdapat dalam kasus patokan maupun kasus istilahnya yang disejajarkan. Lihat: Joseph Scacht,
The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950), h. 99. Kemudian
alasan ini ditolak Ahmad Hasan karena: pertama, metode filologi memiliki keterbatasan dan
kekurangan dalam menyingkapi asal-usul dan sumber pranata fiqh. Kedua, secara sosiologis
masyarakat menciptakan prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan
tidak selalu harus meminjam dari peradaban asing. Lihat: Ahmad Hasan Analogical Reasoning In
Islamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas (Delhi: Adam Publishers and
Distribution, 1994), h. 96-7
6 Lihat: Hasan, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence, 232. Sebagaimana dikutip

dari al-Iji. Sedangkan menurut catatan Hasan al-Syirazi membagi kedua metode tersebut menjadi
jenis yaitu pasti (qati) dan mungkin (zani). Ibid.
7 Metode penemuan illat hukum yang bersifat dugaan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

penemuan illat berdasarkan al-sabr wa at-taqsim artinya mengukur atau menguji beberapa sifat
yang terdapat dalam suatu hukum dan kemudian memilih semua kemungkinan yang dianggap
illat hukum setelah menghimpun sifat-sifat yang patut dijadikan illat. Metode munasabah artinya
mencari kesusaian antara sifat atau sebab hukum dengan kasus hukum dalam rangka menciptakan
kebaikan dan menolak kerusakan. Metode thard artinya mencari sifat yang sesuai dengan
ketetapan hukum atau ketatapan hukum ada bersamaan dengan sifat atau illat dalam semua
kasus, kecuali dalam hal-hal yang diperdebatkan. Metode syabah digunakan dalam tiga makna
yaitu menyamakan sesuatu kepada yang lain karena keserupaan bentuknya, merupakan qiyas
berdasarkan keserupaan dalam makna, merupakan kualitas yang menyerupai illat. Metode dawran
maksudnya tetapnya hukum karena adanya sifat tertentu dan tidak adanya sifat tersebut
menetapkan pula tida adanya hukum. Baca: Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles:
Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh (Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004), h. 81-7

4
hukum) dapat digunakan sebagai metode penetapan illat. Ketiga metode ini
ditolak oleh al-Ghazali dan al-Amidi sebagai masalik al-illat.8 Keduanya
memasukannya dalam ijtihad fi al-illat.
Al-Ghazali sendiri lebih sering menggunakan metode munasabah.
Wael B. Hallaq mengatakan bahwa metode munasabah (kesesuaian) ini
banyak dipergunakan al-Ghazali. Ia menunjukan contoh penggunaan teori
ini. Di dalam al-Quran, minum anggur dilarang karena mempunyai sifat
memabukan, dan memabukan menghilangkan daya akal, yang menyebabkan
orang mabuk mengabaikan kewajiban-kewajiban agama. Kalau kita harus
mengasumsikan, demi argument, bahwa al-Quran tidak melarang
mengkonsumsikan anggur karena hal itu akan menyebabkan konsekuensi-
konsekuensi yang berbahaya. Hal ini sama saja dengan pemikiran atas dasar
kesesuain, karena kita, terlepas dari wahyu, tahu bahwa ada bahaya tertentu
untuk membolehkan mengkonsumsi anggur dan ada keuntungan tertentu
muncul dari larangan tersebut.9 Menurut al-Ghazali kereteria untuk
menentukan kesesuaian atau kelayakan (munasabah) adalah keterkaitannya
dengan kemaslahatan. Artinya, kesesuaian tersebut adalah bahwa illat
dimaksud, dilihat dari segi kemaslahatannya, memang menghendaki
ditetapkannya hukum bersangkutan dan al-ausaf al-munasib (atribut yang
sesuai) atau munasib adalah alasan yang didasarkan pada kemaslahatan.
Selanjutnya, munasib ini dibedakan menjadi 3 yaitu: munasib efektif
(muashshir), munasib selaras (mulaim) dan munasib ganjil (garib).10
Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa illat di sini adalah sesuatu
yang disyariatkan oleh hukum yang mendatangkan kemaslahatan dengan
mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat dan illat itu tetap melekat
pada hukum menjadi kemaslahatan ibad.11 Kemudian ini dikembangkan

8 Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence, h. 233-4. Lihat juga: Muhammad

Roy, Ushul Fiqh, h. 75-88. al-Ghazali menggunakan metode munasabah dalam penemuan illat
hukum sebagaimana yang akan dibahas sedangkan al-Amidi cenderung menggunakan metode
tard waaks atau dalam istilah ushul fiqh lebih dikenl dengan dawran (rotation), yaitu apabila ada
kualitas hukum tertentu maka hukum juga ada bersamaan dengannya dan jika kualiatas hukum
tersebut tidak ada maka hukum pun tidak ada. Hasan, Analogical Reasoning InIslamic
Jurisprudence, 315
9 Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, alih

bahasa: E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
h. 130-1
10 Lihat: Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, tahqiq: Muhammad

Sualiman al-asyqar (Bairut: muasasah ar-Risalah, 1998), II: 307. Untuk eksplorasi tentang munasib
ini lebih lanjut baca: Syamsul Anwar, Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam
al-Ghazali, dalam dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), h. 278
11 Pada dasarnya, maslahat dalam tinjauan syariat ada tiga macam, yaitu maslahah

mutabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah. Maslahah yang pertama diketahui dengan
adanya nash yang menjelaskannya sebagaimana contoh-contoh ayat-ayat hukum yang ada dalam
al-Quran. Maslahah kedua adalah maslahah yang ada dalam nash namun kemaslahatannya lebih
kecil bila dibandingkan dengan kemafsadatannya. Contoh yang sering diajukan adalah tentang
khamar. Sedangkan maslahah yang terakhir adalah maslahah yang tidak ada nash secara eksplisit
menyebutkannya tetapi masuk dalam ruang lingkup pembahasan dan tujuan syariat. Karena tidak
ada nash yang membatalkan dan mendukung keberadaannya maka kemudian disebut mursalah.

5
menjadi maqasyid asy-syariah. Maqasyid ini terbagi menjadi 3 salah satunya
adalah dharuriyah yang mencakup lima hal yaitu menjaga agama misalnya
jihad, menjaga jiwa misalnya pemberlakuan hukum qishash, menjaga akal
misalnya dengan larangan mabuk, menjaga keturunan misalnya dengan
larangan zina dan menjaga harta misalnya dengan larangan mencuri. 12
Selanjutnya, teori maqashid asy-syariah ini mengalami puncaknya setelah
berada di tangan imam asy-Syatibi.13 Ia tetap mempertahankan pembagian
maqashid yang dilakukan al-Ghazali dan bahkan memberikan penjelasan
panjang lebar terkait dengan tujuan Syari.14 Selanjutnya teori maqasid ini
adalah salah satu sifat teologi hukum Islam yang dapat dilihat dari tujuan-
tujuannya.15
Pembahasan tentang maqashid asy-syariah, sebagaiman yang telah
disebutkan di atas, dalam pandangan asy-Syatibi adalah kemaslahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.16 Dalam ungkapannya ia
menegaskan bahwa disyariatkannya hukum-hukum adalah untuk
kemaslahatan hambah.17 Adapun maqashid ini dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu merujuk pada maqashid asy-syari dan merujuk pada maqashid
al-mukalaf. Dalam sudut pandang maqasyid as-syari mengandung empat
aspek, yaitu tujuan awal peletakkan syariat, syariat sebagai sesuatu yang
harus dipahami, syariat sebagai hukum taklif yang harus dilaksanakan, dan
syariat yang bertujuan membawa mukhalaf ke bawah naungan hukum-Nya.18
Sedangkan maqashid al-mukallaf membahas empat aspek. Aspek pertama
membahas tentang maslahah, aspek kedua membahas dimensi kebahasaan
masalah taklif yang harus bisa dipahami oleh semua subjek dan dalam
masalah ini asy-Syatibi menjelaskan dua hal, yaitu ad-dalalah al-asliyyah (arti
dasar) dan ad-dalalah al-umiyyah (arti yang dipahami oleh masyarakat), aspek
ketiga menganalisis gagasan taklif yang terkait dengan persoalan qudrah

Lihat: Muhammad Adib Salih, Masdhar at-tasyri al-Islami wa manahij al-Istinbath (Kairo: Dar al-Fikr,
ttp.), h. 466
12 Lihat: Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, jilid 2 (ttp: Dar al-Fikr, tt),

h. 260-2
13 Asy-Syatibi adalah orang ketiga yang mengembangkan teori maqashid. Sebelumnya

sudah ada al-Ghazali dan imam al-haramain al-Juwaini. Al-Juwaini adalah orang yang pertama
kali mengembangkan teori maqashid asy-syariah. Sedangkan asy-syatibi pada hakekatnya hanya
melakukan pengulangan dan merujuk pada gagasan yang telah dimatangkan oleh al-Ghazali yang
sebelumnya telah dicetuskan oleh al-Juwaini. Nawir Yuslem, Maqasid al-Syariah Al-Ghazali
tentang Pengembangan Hukum Islam, dalam Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata
Intektual Muslim Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005), h. 241. Hanya saja patut
disayangkan, maqashid asy-syariah yang pada dasarnya lebih merupakan metode, dijadikan
semacam doktrin usul fikih sehingga ia mengalami perkembangan yang kurang memadai dalam
memecahkan kasus-ksus sekarang. Untuk keritik lebih jauh lihat Yudian Wahyudi, Maqashid
syariah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvad ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta:
Nawasea, 2006), h. 8-11. bandingkan dengan karya lainnya, Ushul Fikih Versus Hermeneutika:
Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawasea, 2006), h. 44-52
14 Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, cet

ke-3, jilid 1 (Bairut: Dar al-Marifah, 1997), h. 324


15 Yudian Wahyudi, Ushul Fikih,h. 44
16 asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 324
17 Ibid., h. 54
18 Ibid., h. 321

6
(kemampuan), masyaqah (kesulitan) dan lain-lain, dan aspek keempat
mengemukakan aspek huzhuzh dalam kaitan dengan hawa dan taabud.19
Cara memahami maqashid asy-syariah dalam pandangan asy-Syatibhi
adalah dengan memadukan dua pendektakan, yaitu pendekatan zahir al-lafz
dan pertimbangan makna (illat). Untuk merealisasikan pemikiran ini, ada
tiga cara:
1. melakukan analisis terhadap lafaz perintah dan larangan.
2. penelahan illat al-amr dan an-nahy. illat ini dapat ditemukan dalam teks
secara tertulis maupun yang tidak tertulis. Untuk kasus pertama,
diutamakan untuk mengikuti tujuan yang tertulis sedangkan kasus
kedua harus melakukan tawaquf (menyerakan hal ini kepada pembuat
hukum) dengan didasarkan pada dua petimbangan, yaitu tidak boleh
melakukan taadi (perluasan cakupan) terhadap apa yang telah ditetapkan
nash; dan dimungkinkan untuk melakukan perluasan cakupan nash
apabila tujuan hukum dapat diketahui tabiah.
3. analisis terhadap as-sukut an syariyyah al-amal maa qiyam al-mana al-
muqtada lah (sikap diam asy-Syari). Dalam hal ini ada dua
pembagiannya, yaitu as-sukut karena tidak ada motif atau factor
pendorong, dan as-sukut walau ada motif dan factor pendorong tabiah
(sikap diam asy-Syari terhadap suatu persoalan hukum, walapun pada
dasarnya terdapat faktor dan motif yang mengharuskan asy-Syari untuk
tidak bersikap diam pada waktu muncul persoalan hukum).20
Maqashid asy-syariah yang dikembangkan asy-Syatibi dibagi menajdi
tiga aspek, yaitu bersifat dharuriyyah (keharusan), hajiyyah (kebutuhan), dan
tahsiniyyah (penghiasan). Maqashid ad-dharuriyyah disebut harus karena
maqashid ini tidak bisa dihindarkan dalam menopang masalih ad-din (agama
dan akhirat) dan dunia, dengan pengertian bahwa jika maslahah ini dirusak
maka stabilitas kehidupan dunia pun menjadi rusak. Kerusakan maslahah ini
mengakibatkan berakhirnya kehidupan dunia ini dan diakhirat ia
mengakibatkan hilangnya keselamatan dan rahmat.21 Dengan demikian, jika
merujuk pada pembagian paradigma teologi maka pemahman tentang
kehidupan manusia di sini cenderung menggunakan paradigma teologi
keadilan Tuhan. Dari paradigma ini kemudian memberikan implikasi
terhadap pemahaman bahwa aturan yang Allah tetapkan kepada manusia
tidak semata-mata menunjukan adanya kekuasaan Allah tetapi memberikan
aspek keadilan bagi kehidupan manusia, yaitu adanya kemaslahatan yang
diinginkan.22 Beranjak dari sini, kemudian kemaslahatan itu tidak hanya

19 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup dan Pemikiran Abu

Ishaq al-Syathibi, alih bahasa: Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka 1996), h. 242
20 Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikih (ttp.: Amzah, 2005), h. 197-

8
21 asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 324.
22 Perdebatan tentang tujuan Tuhan dalam menetapkan hukum adalah perdebatan

panjang yang bersumber dari mazhab kalam. Golongan Mutazilah berpendapat bahwa ada tujuan
yang diinginkan Tuhan ketika menetapkan suatu hukum, sedangkan golongan Asariyah masih
berbeda pendapat. Misalnya al-Razi, sekalipun menolak pandangan bahwa Tuhan mempunyai
maksud tertentu dalam menetapkan hukum, menerima adanya illat hukum, yaitu hukum islam
disyariatkan untuk kemaslahatan manusia. Fathurrahman Djamil, Hubungan Antara Konsep

7
dapat ditemukan dalam ketentuan wayu yang tertulis tetapi juga yang tidak
tertulis seperti keteraturan Alam. Seperti apa yang dilakukan oleh G.F.
Hourani dengan mengkaji maslahah sebagai konsep etika pada masa Islam
pertengahan. Dia mengamati bahwa ada dua teori nilai dalam medival Islam.
Pertama, teori nilai objektif, yaitu nilai memiliki eksistensi yang nyata; kedua,
teori nilai yang bersifat shistic subjectifism dimana nilai ditentukan oleh
kehendak Allah. Teori objektif dikemukakan oleh Mutazilah sedangkan teori
subjektif dikemukakan Asyari.23
Berpijak pada permaslahan maslahah ad-daruriyah, disusunlah
katagorinya dalam lima hal, yaitu menjaga kemaslahatan agama (ad-din), jiwa
(an-nafs), keturunan (an-nasl), kekayaan (al-mal) dan intelektual (al-aql)
dengan contoh-contoh yang telah disebutkan. Sedangkan kemaslahatan yang
bersifat hajiyyat disebutkan karena dibutuhkan untuk memperluas (tawassu)
maqashid dan untuk menghilangkan kekakuan pengertian literal. Artinya
kebutuhan akan hajiyyat adalah sebagai pertimbangan manusia dalam
merumuskan kemaslahatan yang bersifat daruriyyah. Akan tetapi hancurnya
hajiyyah tidak menghancurkan keseluruhan masalih. 24 Dalam bidang
muamalah, contoh hajiyyah adalah dibolehkannya qiradh (menghutangkan
uang), musaqat (asosiasi pertanian), dan sebagainya. Adapun maqashid yang
bersifat tahsiniyyah diamksudkan untuk mengambil apa yang sesuai dan apa
yang terbaik dari kebiasaan (adat) dan menghindari cara-cara yang tidak
disukai orang bijak. Tipe ini mencakup pada persoalan kebiasaan terpuji
(etika, moralitas).25 Dalam bidang muamalah contohnya adalah larangan
menjual barang-barang yang najis dan sebagainya. Asy-Syatibi menjelaskan
bahwa ketiga tingkatan maqashid tersebut mempunyai kaitan dalam sekala
prioritas, yaitu kepentingan primer (daruriyyah) merupakan dasar dan
landasan bagi kepentingan yang lain. Sedangkan kepentingan skunder
(hajiyyah) menjadi penyangga dan penyempurna kepentingan primer.
Sebagai pelengkap (tahsiniyyah) merupakan unsur penopang bagi
kepentingan skunder. Beranjak dari landasan di atas asy-Syatibi kemudian
merumuskan lima ketentuan berikut:
1. kepentingan primer (dharuri) adalah asal bagi segala kepentingan yang
lain
2. kerusakan (ikhtilal) pada kebutuhan dharuri berarti kerusakan bagi
kepentingan yang lain secara mutlak
3. kerusakan pada kepentingan yang lain tidak berarti merusak kepentingan
dharuriyyah
4. terkadang kerusakan kepentingan tahsiniyyah atau hajiyyah secara mutlak
bisa berakibat rusaknya kepentingan primer

Baik dan Buruk dalam Kalam dengan Konsep Maslahat dalam Hukum Islam, dalam Al-Jamiah
Journal of Islamic Studies, no. 63/VI/1999, h. 73
23 Muhammad Khalid Masud, Shatibis Philoshopy of Islamic Law (Delhi: Adam Publisher

and Distributors, 1997), hlm 131


24 Masud, Filsafat Hukum Islam, h. 231
25 asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 327

8
5. perlindungan (muhafazah) atas kepentingan tahsiniyyah dan hajiyyah harus
dilakukan untuk mencapai kepentingan primer26
Bagian yang penting dari maqashid asy-syariah adalah penjelasan
tentang tujuan Syari membawa mukhalaf ke bawah naungan hukum-Nya.
Tujuan utamanya adalah mengeluarkan mukhalaf dari dorongan (semata-
mata) hawa nafsunya sehingga ia bisa menjadi hambah Allah secara suka rela
(iktiyaran) sebagaimana ia adalah hambah Allah secara pasti (idziraran).
Pengalaman manusia dalam bermasyarakat menunjukan bahwa masalah ---
baik masalah keagamaan maupun dunia--- tidak bisa dicapai dengan cara
mengikuti hawa nafsu dan motif-motif egois. Asy-syatibi menolak
pengidentifikasian maslahah dengan syahwat (keinginan-keinginan), hawa
(hawa nafsu), dan agrad (kepentingan-kepentingan pribadi).27
Jika perbuatan sesuai dengan tujuan Syari maka kesesuaian itu
mempunyai dua kemungkinan, yakni sesuai dengan tujuan utama (maqashid
asliyah) dan tujuan sekunder (maqashid tabiah). Yang dimaksud dengan
tujuan utama yang tidak memberi tempat bagi keuntungan pribadi (haz)
mukhallaf. Tujuan asal ini adalah lima kepentingan daruriyah. 28 Sedangkan
tujuan sekunder (maqashid tabiah) ialah tujuan yang menyediakan
keuntungan pribadi bagi mukhallaf. Dari arah ini mukhallaf bisa mendapatkan
tuntutan-tuntutan alamiah (syahwat) dan kesenangan yang juga
dimaksudkan untuk dipuaskan. Asy-syatibi mengajukan argumentasi bahwa
dalam tujuan sekunder, syahwat merupakan sarana untuk mencapai dan
mengabdi untuk kepentingan tujuan asal. Kalau tujuan asal pada dasarnya
diwajibkan atas mukhallaf tanpa memperdulikan apakah ia menerima atau
menolak, namun tujuan sekunder bisa mendatangkan keutungan dan
manfaat bagi mukhallaf. Dengan demikian, sungguhpun perbuatan mukhallaf
dalam tujuan asal bisa mendatangkan tujuan sekunder, namun yang lebih
utama hendaknya amal itu diarahkan untuk mencapai tujuan asal.
Sebaliknya, perbuatannya dalam memenuhi tujuan sekunder hendaknya
diabadikan kepada tujuan asal.29 Secara garis besar, apa yang diinginkan asy-
Syatibi secara metodologis adalah upaya penggeseran prosedur metodologis
dengan menggunakan prosedur induksi sempurna (istiqra tamm), dimana
seseorang dapat bergerak dari atruran-aturan partikular ke arah hukum-
hukum universal syariah.
Tujuan utama maupun tujuan sekunder dalam hukum Islam,
sebagaimana yang diungkapkan asy-Syatibhi, hanya dapat diwujudkan
dengan mengacu pada pemberlakuan norma yang telah ditetapkan dalam al-
Quran dan as-sunnah. Pemberlakuan norma ini dikembangkan secara
bertingkat sebagai upaya merealisasikan antara idealis dan realistis, antara
aturan yang abstrak dan aturan yang praktis. Setidaknya ada tiga tingkatan

26 asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 331. Lihat juga: Ahmad ar-Raissouni, Nazariyat al-

Maqashid Inda al-Imam asy-Syatibhi (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1995),
h. 148
27 asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 469-71
28 asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 476
29 Khatib Sholeh, Fikih Kemaslahatan: Menimbang Maqashid asy-Syariah Syatibi,

dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 03. nomor II, Juli-September 1999, h. 106

9
norma yang dikembangkan sekarang, yaitu nilai-nilai dasar (al-qiyam al-
asasiyyah), asas-asas umum (al-us al-kuliyyah), dan peraturan-peraturan
hukum konkrit (al-ahkam al-fariyyah). Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah
nilai dasar agama Islam itu sendiri. Nilai-nilai dasar itu adalah ketauhidan,
keadilan, persamaan, kebebasan, kemaslahatan, persaudaraan, musyawarah,
amanah, fadhilah, tasamuh, taawun dan sebagainya. Dari nilai dasar ini
kemudian diturunkan asas-asas umum hukum Islam yang kemudian
diturunkan dalam peraturan konkrit yang kontekstual.30 Rumusan ini adalah
pertingkatan norma sebagai teori pendekatan dalam ushul fikih. Teori ini
juga dapat digunakan untuk menemukan konsep ekonomi Islam.

B. Ekonomi Islam: Pengertian dan Prinsip


Memahami makna ekonomi dalam Islam dimulai dari pelacakan kata
ekonomi (al-iqtishad). Dalam literatur Arab disebutkan al-qashd (ekonomis)
berarti kelurusan cara,31 dan al-qashd (ekonomis) juga bermakna adil atau
keseimbangan.32 Kata al-iqtishad kalau digandengkan dengan kata al-ilm
menjadi ilm al-iqtishad berarti ilmu yang berkaitan dengan atau membahas
ekonomi. Secara terminologi, para pakar ekonomi Islam, menurut catatan
Abdul Husein at-Tariqi, mendifinisikan secara beragam, antara lain: pertama,
Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendifinisikan bahwa ekonomi Islam
adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil
dari al-Quran, sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar
pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.
Kedua, menurut Muhammad Syauki al-Fanjari adalah segala sesuatu yang
mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok-pokok
Islam dan politik ekonominya. Ketiga, menurut at-Tariqi sendiri adalah ilmu
tentang syariah aplikatif yang diambil dari dalil-dlilnya yang terperinci
tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-
cara mengembangka harta.33
Pengertian yang agak panjang dikemukakan oleh Umar Chafra. Ia
mendifinisikan ekonomi Islam sebagai cabang ilmu pengetahuan yang
membantu untuk mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan
distribusi sumber-sumber daya langka sesuai dengan al-iqtishad asy-syariyah
atau tujuan ditetapkan syariah tanpa mengekaang kebebasan individu
secara berlebihan-lebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi
dan ekologi, atau melemahkan institusi keluarga dan solidaritas sosial juga
jalinan etika moral dalam kehidupan masyarakat.34 Pengertian terakhir ini

30 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer (Jakarta, RM. Books, 2007), h. 37
31 Lois Maluf, Al-Munjid, h. 632
32 Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer, h. 1454-6. Bentuk al-

iqtishadu yang merupakan mashdar dari iqtashada dimaknai penghematan yang merupakan lawan
kata dari at-tafrithu. Lihat: A.W.Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet-
25 (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 1124
33 Abudllah Abdul Husein at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, alih bahasa:

M.Irfan Syofyan (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), h. 14


34 M. Umar Chafra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, alih bahasa: Ikhwan

Abidin (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 108. diterjemahkan dari The future of economies: An
Islamic Pespective.

10
nampaknya berusaha melihat makna ekonomi Islam dari sisi tujuan syari
yang dalam pembahasan ushul fiqh disebut maqashid asy-syariah. Memang
secara etimologi antara kata ekonomi (iqtishad) dan maqashid memiliki akar
kata yang sama, sehingga setidaknya dua kata ini memiliki hubungan yang
kuat. Dengan demikian, ekonomi dalam istilah Islam sekalipun tidak diberi
embel-embel Islam langsung dapat dimaknai sebagai suatu sistem
perekonomian yang memiliki tujuan tertentu. Tujuan tertentu ini lebih
beroreantasi pada kesejahteraan umat manusia pada umumnya dan umat
Islam pada khususnya, tanpa menolak adanya kepemilikan pribadi.
Semacam ramuan antara sistem ekonomi kapitalis sebagian dan sistem
sosialis sebagain lainnya.
Dari berbagai pendifinisian tersebut, dapat dilihat bahwa landasan
filosofis ekonomi dalam Islam berawal dari persepsi yang dibangun Islam
yang memandang manusia sebagai makhluk Allah yang semua perbuatan di
dunia akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Ini adalah dasar
keimanan yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi kapitalis dan sosialis.
Oleh karena itu, bagi manusia yang beriman tidak ada kompetisi murni
tetapi mengutamakan kerja sama. Karena untuk mewujudkan kesejahteraan
umat akan sulit dicapai jika menggunakan prinsip kompetisi dalam
pengertian negatif. Sebagaiman sistem ekonomi kapitalis yang memberikan
kuasa terhadapa alat-alat produksi pada individu, sistem ekonomi Islam juga
memperbolehkan penguasaan terhadap alat-alat produksi secara individu
dan juga memberikan kebebasan manusia untuk berusaha. Namun, yang
paling pokok dari penguasaan alat produksi dan kebebasan berusaha dalam
ekonomi Islam adalah menjaga keseimbangan antara kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat. Sebagaimana firman Allah yang menegaskan
bahwa dalam harta kekayaan umat Islam itu terdapat hak orang miskin
sehingga ada kewajiban sosial yang harus dipenuhi terkait dengan persoalan
harta, yaitu zakat, sedekah dan sebagainya. Di sinilah arti pentingnya
keseimbangan dan upaya menyejahterakan umat secara keseluruhan agar
harta itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang mampu secara
ekonomi, tetapi bagaimana orang yang mampu tersebut dapat membantu
ekonomi masyarakat miskin. Tidak hanya itu, tujuan yang terpenting dalam
ekonomi Islam adalah menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan
pembagian sumber daya material agar memberi kepuasan manusia sehingga
memungkinkan manusia melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Allah
dan masyarakat.35 Misalnya, Islam dalam melarang riba tidak hanya
mendasari pada landasan teologis tetapi juga melihat dari sisi humanitas,
yaitu menghindari eksploitasi yang kuat atas yang lemah, dan menekankan
kesejahteraan yang adil.36 Ini adalah dasar ekonomi Islam dalam
pertingkatan norma yang paling atas.
Berdasarkan landasan filosofis tersebut, dapat dilihat beberapa
karakter yang melekat pada ekonomi Islam, yaitu melandaskan

35 M. Husein Sawit, Kata Pengantar..., h. xi


36 Abd. Salam Arif, Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan ekonomi Umat, dalam
Asy-Syirah Jurnal Ilmu Syariah, No. 7 Th. 2000, h. 65

11
pelaksanaanya pada agama atau ketuhanan, adanya unsur keberimbangan
atau pertengahan, mengutamakan prinsip berkeadilan atau berkecukupan,
dan mengutamakan keberkahan dan pertumbuhan ekonomi yang sehat.37
Karakter ini kemudian diturunkan dalam prinsip ekonomi Islam. Ada lima
prinsip dasar yang dikembangkan pemikir muslim, yaitu prinsip dasar
beraktifitas hukumnya boleh sampai ada peraturan yang secara jelas dan
tegas melarangnya, prinsip kerelaan menjadi dasar keabsahan seluruh
aktifitas muslim yang berhubungan dengan orang lain sebagai mitra kerja,
prinsip kemanfaatan dalam bermuammalah mengindikasikan adanya nilai
guna terhadap para pelaku sebagai akibat hukum dan kekuatan hukum yang
dikehendaki, perinsip keadilan mengarah pada prilaku pelaku usaha untuk
melakukan aktifitasnya dengan cara yang sehat, fair dan menghindari
tindakan yang dapat merugikan orang lain, dan prinsip bebas bunga
merupakan teori yang diterapkan karena adanya indikasi eksploitasi
terhadap orang lain sehingga menghilangkan nilai keadilan.38 Prinsip-prinsip
tersebut menjadi asas-asas dalam ekonomi Islam yang merupakan
pertingkatan kedua dalam norma hukum.
Pada dataran praktis, ekonomi Islam didasarkan pada beberapa
prinsip yang saling menyatu.39 Pertama, kerja. Prinsip ini didasarkan pada
kesadaran bahwa sumber daya manusia merupakan sumber daya yang
bernilai tinggi. Dengan bekerja orang dapat menopang hidup secara mandiri
dan sekaligus menghindari perbuatan yang mubazir atas sumber daya yang
ada. Dorongan untuk bekerja inilah yang mendorong manusia untuk
membuat kerja sama dengan pihak lain. Kedua, efisiensi. Maksudnya adalah
menghilangkan pemborosan (the absence of wasting) sebagaimana yang
ditegaskan Allah dalam surat al-isra ayat 27
.
yang berimplikasi pada pemahaman bahwa tidak ada sumber daya yang
tidak dapat dimanfaatkan sehingga agen-agen ekonomi yang tidak dapat
menggunakan aset akan menemukan pihak-pihak lain yang menjadi partener
yang dapat mengerjakan aset tersebut. Ketiga, profesional. Maksudnya para
ekonom Islam harus memiliki keterampilan tinggi dalam mengolah
perekonomian yang mensejahterakan. Keempat, kerjasama. Kelima, persaingan
dalam pengertian positif. Kompetisi di sini tidak diartikan sebagaima
pengertian dalam sistem ekonomi kapitalis dimana mereka saling
berkompetisi dengan jalan meraup kekayaan sebanyak-banyaknya dan
menindas pihak-pihak lemah sebagai lawan. Kompetisi diarahkan sebagai

37 at-Tariqi, Ekonomi Islam..., h.15-20. Sedangkan menurut Sayed Nawab Haider Naqvi
prinsip dalam ekonomi Islam ada lima, yaitu prinsip ketuhanan (ilahiyyat/unity), prinsip
keseimbangan (equiblirium), prinsip kebebasan, prinsip tanggung jawab, prinsip kebenaran. Sayed
Nawab Haider Naqvi, Etika dan Imu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung: Mizan, 1993), h. 77-82
38 Syafiq Mahmadah Hanafi, Hutang Luar negeri antara Kebutuhan Rasional dan

Kebutuhan Etis, dalam Asy-Syirah Jurnal Ilmu Syariah, No. 7 Th. 2000, h. 34-6
39 Diambil dari point-point yang disampaikan dalam seminar nasional Peran Strategi

Ekonomi Syariah dalam Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia yang diadakan UIN
Sunan Kalijaga, 15 Maret 2007.

12
upaya pemacu umat untuk lebih agresif membaca peluang bisnis dan
menciptakan dinamikan ekonomi Islam yang lebih hidup. Ketuju,
keseimbangan. Dengan mengacu pada prinsip baik secara umum maupun
lebih khusus, ekonomi Islam telah memberikan instrumen dasar sebagai
upaya untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat, yaitu penghapusan
riba, pelembagaan zakat, pelarangan gharar dan pelarangan sesuatu yang
haram.
Secara menyuluh, ekonomi dalam Islam memiliki hubungan yang
terikat dengan komponen Islam lainnya, yaitu akidah, syariah, dan moral.
Dalam tataran aqidah dapat dilihat pandangan-padangan manusia Islam
terhadap manusia, harta, alam, perbuatan manusia dan sebagainya. Begitu
juga dengan hubungannya dengan syariah, yaitu mengkaitkan segala
perbuatan ekonomi dalam Islam menjadi ibadah (perbuatan taat kepada
Allah), perbuatan luhur dan mengandung pengawasan ketat.40 Begitu pula
kaitannya dengan persoalan moral yang dalam aktivitas ekonomi Islam
ditandai dengan beberapa hal, yaitu larangan terhadap pemilik dalam
penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang
lain atau kepentingan masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam
transaksi, larangan menimbun, dan larangan melakukan pemborosan.
Relasi pertingkatan norma yang ditunjukan dalam ekonomi Islam
memberikan indikasi bahwa pencapaian tujuan kemaslahatan dalam
kehidupan ekonomi memerlukan persiapan metodologi yang matang.
Sehingga apa yang menjadi dasar sejalan dengan asas dan dapat diturunkan
dengan baik dalam wilayah praktis. Pada dataran praksis ini kekuatan geo-
ekonomi harus sejalan dengan geo-politik sehingga pelaku ekonomi Islam
dapat menyusun startegi ekonomi yang dapat mencapai tujuan-tujuan pokok
dalam Islam.

C. Landasan Ekonomi Islam dan Integrasi Keilmuan


Dalam berbagai penjelasan suatu ilmu yang didasarkan pada Islam,
landasan pertama yang paling penting adalah landasan doktrinal (atau kalau
tidak setuju dengan doktrinal maka kita gunakan the highest wisdom of god).
Dalam al-Quran setidak-tidaknya ada tiga dasar pemikiran ekonomi, yaitu
Al-Hasyr (59) ayat 7

41

40Ali Yafi, Fikih Perdagangan Bebas (Jakarta: teraju, 2003), h.38


41Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya.

13
Kemudian Az-zariyat (51): 19
42
Kemudian al-Baqarah (2): 275;

43

Disamping landasan doktrinal, ekonomi Islam juga memiliki landasan


idiologis. Secara idiologi ekonomi Islam berkaitan dengan kepentingan
pemberdayaan ekonomi umat menghadang kapitalisme global. Dengan
demikian, ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi alternatif bagi mereka
yang terbiasa dengan ketidakadilan sistem ekonomi kapitalis atau keanehan
sistem ekonomi sosialis, dan menjadi sistem ekonomi utama bagai umat
Islam. Kondisi real umat Islam selama ini yang terjadi berkutat dalam tiga
problematika yang sama sulit untuk diselesaikan, yaitu persoalan
kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Dengan demikian konsep
ekonomi Islam harus memiliki kejelasan dan menemukan bentuk oprasional
yang tidak hanya dalam bentuk konsep tetapi juga dengan dukungan
kekuasaan politik dan kekuatan sumber daya manusia yang berkualitas,
dana yang besar dan komitmen agama yang tinggi.44
Landasan berikutnya dalam ekonomi Islam yang perlu dipahami
adalah landasan filosofis dalam dataran aksiologinya. Dalam kajian filsafat,
aksiologi dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
42

miskin yang tidak mendapat bagian


43Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti

berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
44 Bagi beberapa kalangan, ada kecenderungan pesimis dengan system ekonomi islam,

sekalipn landasan konseptual islam secara murni begitu indah dan manusiawi. Mislanya, Oliver
Roy mencatat beberapa kasus kebangkrutan lembaga keuangan Islam di Mesir (Bank al-Rayan),
kegagalan system wakaf di Iran pada masa Reza Pahlevi yang dikelolah secara teknokrasi,
munculnya Organisasi Perekonomian Islam yang berasal dari kurang lebih 1.300 serikat keredit
islam ketika terjadi tekanan pasar dengan memeberi suku bunga sebesar 25 sampai 50 persen,
keberhasilan Bank Besar Islam (Bank Islam Dubai, Bank Islam Faisal, Kwuait Finance, Bank Islam
al-Taqwa) yang pada dasarnya mengembangkan modal para pemegang saham tingkat tinggi demi
mengeruk keuntungan dan menarik tabungan rakyat bukan didasarkan atas Negara islamnya, dan
kebangkrutan BCCI tahun 1991(bank konvensional yang membuka divisi islam dengan modal
Dubai yang dikelolah oleh Pakistan). Alasan yang menjadi persoalan bagi system perekonomian
Islam adalah beroprasi atas dasar spekulasi serta investasi jangka pendek. Lihat: Oliver Roy,
Gagalnya Islam Politik, alih bahasa: Hari Murti dan Qomaruddin (Jakarta: Serambi, 1996), h. 173-83

14
45 Dalam kajian tentang nilai setidaknya ada tiga nilai yang sering
dikemukakan, yaitu nilai benar-salah yang kemudian dikenal dengan nilai
logika atau nilai kebenaran, nilai baik dan jahat yang kemudian dikenal
dengan nilai etika atau nilai kebaikan, dan nilai indah dan jelek yang dikenal
dengan nilai estetika atau nilai keindahan.46 Landasan aksiologi ini terdapat
dalam ekonomi Islam dengan mengacu pada petunjuk ajaran Islam itu
sendiri. Pertama, landasan logika Islam yang berbasis dua penilaian, yaitu
ketidakadilan sistem kapitalisme, dan kesenjangan dehumanisasi sistem
komunis yang sosialis. Ekonomi Islam menawarkan jalam tengah ummatan
wasath sebagai saksi sebagaiman yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
143 dan mengusung moral nahy munkar yang diiringi amal maruf
sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 110.
Kedua, landasan estetika yang berporos pada tiga komponen, yaitu
individu, masyarakat dan negara. Individu dalam Islam dijelaskan bahwa
manusia sebaik-baiknya bentuk ciptaan ahsana taqwim. Aspek masyarakat
yang membentuk proses perekonomian umat dijelaskan sebagai khoiro
ummah umatan wasath yang menjunjung moral, spritual dan intelektual.
Sedangkan aspek negara dijelaskan bahwa baldah thoyyibah wa robb ghofur.
Komponen inilah dengan nilai-nilai yang ditunjukan Islam sebagai landasan
estetika ekonomi Islam.
Ketiga, landasan etika. Landasan ini berbasis pada aspek maqashid asy-
syariah dimana ekonomi Islam dalam menentukan nilai-nilai kebaikan
berlandaskan pada lima aspek sebagai acuan, yaitu hifz ad-din, hifz an-nafs,
hifz an-nasl, hifz al-mal, dan hifz al-aql. Dalam wilayan inilah bertemunya
tujuan syari sebagai acuan pembentuk ekonomi Islam yang syarat dengan
nilai. Model etika ini menempati posisi sentral. Bahkan, sekalipun berbagai
ketentuan al-Quran harus diterapkan oleh lembaga negara, ia pun harus
berlandaskan antropologi: manusia, makhluk yang memiliki berbagai
kebutuhan, harus mengatur berbagai kegiatannya sesuai dengan model yang
bermoral ---seperti yang dicontohkan oleh nabi. Sebagimana cita-cita
masyarakat Islam, menurut Bani Shadra, adalah untuk berproduksi sesuai
dengan kemampuan masing-masing dan mengkonsumsi sesuai dengan
ketakwaan. Sebab, hanya pembatasan konsumsi inilah yang bisa menjamin
adanya surplus serta redistribusi---secara sukarela dan otomatis bagi mereka
yang mengikuti jalan ketakwaan.47
Dengan demikian, kebangkitan Islam dalam bidang ekonomi bukan
hanya akibat dari perasaan keterasingan dalam bidang ekonomi atau
penolakan terhadap proyek sistem ekonomi moderen yang kapitalis, sosialis
atau sebagainya, tetapi, lebih jauh lagi, merupakan munculnya Islam sebagai
bagian penting dari idiologi ekonomi itu sendiri. Struktur ekonomi suatu
negara Islam adalah bagian integral dari hubungan organik agama dan
negara. Namun sekalipun demikian, ekonomi umat Islam harus mempunyai

45Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Ke-ix
(Yogyakarta: Tirai Wacana, 2004), h. 319
46 Ibid.
47 Oliver Roy, Gagalnya Islam, h. 171

15
visi ekonomi kolektif sehingga simbol-simbol keagamaan tidak hanya
dijadikan simbol sebagai kepentingan ekonomi tertentu yang notabene-nya
tidak menguntungkan umat.
Dalam analisa-analisa kebangkitan Islam dalam lapangan ilmu
pengetahuan,yang ditandai dengan munculnya berbagai teori integrasi
keilmuan, ilmu ekonomi Islam merupakan contoh terbaik adanya integrasi
islam dengan ilmu. Untuk menggerakan usaha tersebut, ilmu ekonomi islam
telah mempersiapkan dirinya dalam empat langkah sebagai proses
pengintegrasian islam ke dalam konstruksi ilmu ekonomi:
1) Membangun paradigma. Sebagai ilmu, ekonomi Islam harus memiliki
paradigma tersendiri.
2) Pengembangan dari teori-teori ilmu. Tiap-tiap ilmu memiliki teori dan
kemudian teori-teori yang ada dinilai lagi untuk diterima atau ditolak.
Mislanya, prilaku konsumen. Orang akan berbekanja akan rasional
dengan mempertimbangkan kepuasan, namun semangkin banyak
penggunaannya semangkin berkurang kepuasaan tersebut.
3) Melalui pengembangan metodologi
4) Melalaui pengembangan prosedur-prosedur tekhnis. Pada dataran ini
yang sudah ada (konvensional) akan dilihat apakah sesuai dengan
Islam atau tidak. Kalau belum sesuai kemudian disesuaikan.48

Proses
Integrasi

Integrasi nilai Pengujian pernyataan


ke dalam konstruksi deskriptif Islam untuk
ilmu ekonomi memperkokoh ilmu
ekonomi Islam

48 Lihat: Syamsul Anwar, Ekonomi dalam Studi Keislaman, Makalah tidak diterbitkan, h.
17-25

16
1) perumusan paradigma
2) perumusan teori
3) peumusan metodologi
4) perumusan prosedur
tehnis tertentu

Ragaan 2: Proses integrasi Islam ke dalam konstruksi ilmu ekonomi

Keempat langkah-langkah tersebut adalah sebagai prosedur agar ilmu


ekonomi Islam diterima tidak hanya sebagai ilmu yang abstrak tetapi juga
memiliki landasan epistemologi dan real. Langka pertama dan kedua dalam
perkembangan sekarang sudah dirumuskan sedemikian rupa. Langka ketiga
dan keempat masih dalam tahapan pengkajian. Misalnya tawaran-tawaran
integrasi ilmu dan agama yang dapat dijadikan pegangan adalah model
Louay Safi dan Anas Az-Zarqa.49

D. Aplikasi Maqashid asy-Syariah dalam Ilmu Ekonomi Islam


Masuknya teori maqashid asy-syariah dalam wilayah ekonomi Islam
dapat ditemukan secara langsung dalam landasan etika. Para pelaku
ekonomi tidak hanya dituntut untuk dapat menguasai sumber-sumber
ekonomi yang strategis tetapi juga memanfaatkannya untuk kepentingan
umat dengan mengacu pada kemaslahatan dharuriyah, hajiyyah, dan
tahsiniyyah. Dengan demikian, bagi kajian ekonomi teori maqashid asy-syariah
adalah salah satu usaha logis yang wajib diterapkan sebagai konsekuensi dari
pemahaman ekonomi yang berkeadilan di satu sisi dan berketuhanan di sisi
lain. Selain itu, kemudian akan dipahami kemaslahatan sebagai kebutuhan
manusia termasuk juga dikaitkan dengan lapangan ekonomi akan mengikuti
teori-teori ekonomi yang sesuai dengan pencapaian visi dan misi
Islam.dalam hal ini, Survei-survei perkembangan soaial dan kondisi real
dalam masyarakat serta inferensi tekstual harus dijadikan acuan dalam
menentukan strategi ekonomi.
Secara singkat ketentuan di atas dijelaskan sebagai berikut: untuk
menyelamatkan harta, Islam mensyariatkan hukum-hukum muamalah dan
menjalankan aktifitas ekonomi disamping melarang langkah-langkah yang
merusaknya seperti kecurangan. Ketentuan ini tentunya berkait dengan
ketentuan untuk memelihara jiwa karena tujuan menjalankan aktifitas
muamalah juga bertujuan memelihara kehidupan. Kemudian ia juga berkait
dengan ketentuan menjaga keturunan secara tidak langsung. Berkaitan
secara langsung dengan ketentuan menjaga agama karena nilai-nilai dasar
dalam hukum muamalah diambil dari dasar agama yang bersifat universal.
Sementara ketentuan untuk menjaga harta ini juga berkaitan dengan
ketentuan untuk menjaga akal karena kecenderungan untuk memuaskan
kebutuhan hidup secara berlebih-lebihan membuat orang kehilangan akal.

49 Teori integrasi ini dapat dilihat dalam Louay Safi, The Foundation of Knowlage:, h. 190-

5; Syamsul Anwar, Pendekatan Integratif dalam Hukum Islam, dalam Metodologi Hukum Islam,
(kumpulan makalah tidak diterbitkan), h. 17-23.

17
Demi melancarkan tujuan menjalankan aktifitas ekonomi
dibutuhkanlah berbagai fasilitas bela harta. Misalnya per-bank-kan, lembaga
pegadaian, lembaga asuransi, baitul maal wattamwil, dan sebagainya. Tanpa
lembaga ini, kegiatan pemutaran uang bisa saja dilakukan. Misalnya dengan
menyimpan uang di rumah atau melakukan usaha kecil, atau meminjam
uang kepada orang lain. Namun, dengan kehadiran lembaga-lembaga ini
sangat membantu masyarakat untuk mengelolah, menyimpan dan memutar
keuangannya. Pada tahap tersier, pilihan untuk menentukan bank mana
yang diinginkan diserahkan kepada kemantapan dan kemampuan lokal.
Atau model lembaga pegadaian apa dan model asuransi apa yang diinginkan
diserahkan sesuai dengan kemantapan masing-masing. Namun, model
lembaga yang diinginkan tidak boleh keluar dari nilai-nilai dasar Islam dan
asas-asas dasarnya. Sehingga pengembangan lembaga-lembaga tersebut yang
benar-benar mengakomodir nilai dan asas dasar perekonomian Islam
menjadi kebutuhan yang mendesak (daruriyyah) sebagai upaya menjaga
harta, yaitu kehalalan, kesucian dan proses yang benar.
Untuk menuju lembaga di atas, dibutuhkan prosedur yang baik.
Pilihan untuk menentukan prosedur diserahkan sesuai dengan kepentingan
masing-masing. Sedangkan model prosedur yang harus dijalankan adalah
pilihan masyarakat Islam untuk berkreasi. Di sini, kreatifitas ekonom Islam
dituntut lebih keratif untuk mengembangkan model-model ekonomi yang
dapat menjangkau dua sisi. Sisi pertama, memberikan suatu model
sederhana mengenai prilaku manusia dan untuk menjamin suatu pola yang
dapat diramalkan dari tingkah laku pasar, bukan spekulasi,50 manusia
ekonomi dianggap sebagai rasioanal dalam seluruh tindakan sekalipun
dalam realitasnya tidak seluruh tindakannya rasional. Rasionalitas, yang
merupakan jantung ilmu ekonomi neo-klasik, adalah asumsi fundamental
model ekonomi dalam teori moderen. Sisi kedua, memberikan dasar
metafisik, yaitu prinsip-prinsip trasendental yang telah mendorong kelahiran
ilmu terus membentuk fondasi metafisik bagi kelimuan, suatu fondasi yang
diasumsikan secara luas meskipun jarang dinyatakan.
Berikut ini akan ditampilkan contoh aplikasi maqashid asy-syariah
dalam wilayah ekonomi. Misalnya persoalan investasi dan bagi hasil. Dalam
kajian ekonomi Islam ada dua model bagi hasil yang berkembang, yaitu al-
musyarakah dan al-mudharabah.51 Kedua model ini sama-sama diperbolehkan
(mubah). Yang disebutkan pertama adalah kerjasama antar dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko ditanggung bersama.
Sedangkan yang disebutkan terakhir adalah akad kerjasama usaha antara

50 Secara umum, hal ini mengingat bahwa perekonomian islam tidak cukup hanya

dilandasi pada kesalehan individu karena ada mekanisme yang meleburkan keragaman para
pelakunya maupun tindakan mereka menjadi satu kesatuan, yaitu pasar. Pasar tidak bergantung
pada kehendak perorangan tetapi diatur oleh lembaga (Negara, bursa). Oleh karena itu, system
perekonomian islam harus sejalan dengan system politik yang baik.
51 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta:

Ekonisia, 2003), h. 52-4

18
dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelolah.
Al-mudharabah atau investasi satu orang menarik untuk dicermati.
Dalam dataran teoritis, mudharabah ini hasil usahanya akan dibagikan
berdasarkan nisbah yang disepakati.52 Sedangkan kerugian usaha yang tidak
disebabkan kelalaian pihak pengelolah dana akan ditanggung sepenuhnya
oleh penyedia dana (investor). Mudharabah merupakan salah satu produk
yang ditawarkan dalam perbankan syariah.
Dalam kasus-kasus tertentu yang merupakan sektor ekonomi rakyat
seperti pertanian yang mungkin keuntungannya hanya 6% setahun,
khususnya konteks Indonesia, bagi hasil ini akan membantu di sektor
pertanian yang memang memerlukan subsidi pemerintah. Namun, dalam
kasus investasi khusus dimana pemilik modal dapat menetapkan syarat
tertentu yang harus dipenuhi bank, misalnya modal disyaratkan untuk
diinvestasikan pada usaha real estate yang memiliki keuntungan 36%
setahun seperti yang terjadi di Timur Tengah, maka bagi hasil akan menjadi
eksploitasi pemilik modal dalam bisnis ini.53 Misalkan orang kaya di negara-
negara dengan ekonomi kuat di dunia akan bersedia masuk ke Indonesia
untuk investasi real estate. Dengan demikian, berarti pemerintah Indonesia
membiarkan modal nasional tersisihkan dari sektor yang sangat
menguntungkan. Dalam konteks seperti ini, para ekonom Islam harus
melakukan riset sejauh mana telah terjadi kesewenang-wenangan.
Pertimbangan prinsip keadilan dalam berusaha yang merupakan prinsip
dasarnya, pada usaha ini tidak dilanggar. Begitu juga pada asas usaha yang
bebas bunga juga tidak dilangggar. Namun, jika bagi hasil yang merupakan
kesepakan investor dengan pemerintah yang 36% keuntungan itu dibagi
sama jelasnya tidak memberikan kemaslahatan bagi umat, karena kekayaan
yang hanya berputar pada pemilik modal dalam jumlah yang sangat besar.
Pada dasarnya, menjalankan bisnis apapun dengan model mudharabah
diperbolehkan namun apabila sebagian besar investor hanya membidik
bidang-bidang ekonomi yang berkeuntungan besar tentunya, dalam batas-
batas tertentu, tidak membawa kemaslahatan bagi perkembangan usaha
kecil. Karena dalam etika ekonomi Islam kekayaan tidak boleh beredar di
kalangan orang kaya saja. Kemudian ekonomi Islam menjunjung nilai-nilai
yang memungkinkan kaum mukmin bukan saja menikmati hal-hal duniawi,
tetapi juga menghasilkan kemakmuran masyarakat dan kemajuan
perekonomian. Dengan kata lain, ekonomi dijadikan alat bukan tujuan.
Dengan demikian, sekalipun model mudharabah diperbolehkan dalam
ekonomi Islam, namun harus ada riset-riset lebih jauh lagi dalam tataran
penerapan. Apakah ada penyimpangan, ketidaksesuaian atau kesewenang-
wenangan. Sehingga secara konseptual bukan akad yang dipermasalahkan

52 Perbedaan pendapat tentang syarat penanaman modal (qiradh) dalam ekonomi islam

diuraikan Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid, alih bahasa Imam
Ghazali Said dan Achmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 110-3
53 Contoh sebagai renungan ini dikemukakan Noeng Muhajir dalam, Filsafat Ilmu Kualitatif

& Kuantitatif untuk Pengembangn Ilmu dan Penelitian, edisi III (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), h.
224.

19
tetapi kemungkinan adanya penyimpangan, kesewenang-wenangan dan
ketidakadilan yang menjadi pertimbangan.
Contoh lain penerapan maqashid syariah dalam kegiatan ekonomi
adalah dengan memaknai ulang kemaslahatan manusia sebagai kebutuhan
manusia. Ada lima kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan agama, kebutuhan
jiwa, kebutuhan menjaga keturunan, kebutuhan akal, dan kebutuhan
menjaga harta. Misalnya kebutuhan dalam kontek ekonomi disebutkan
bahwa ada kebutuhan dharuriyah dalam melaksanakan ibadah, yaitu
perlengkapan ibadah yang minimal, sedangkan tambahan dengan segala
macam aksesoris ibadah merupakan kebutuhan hajjiyah dan tahsiniyah. Peran
produsen Islam adalah membidik peluang-peluang ini untuk dijadikan
sebagai lahan bisnis yang baik. Kebutuhan menjaga jiwa diwujudkan dalam
bentuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan
paling minimal untuk tiga jenis kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
dharuri. Sedangkan tambahan kebutuhan yang menjamin hidup lebih baik
adalah kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah, yang menjamin
kehidupan lebih mudah.

Simpulan
Konsep ekonomi Islam adalah satu keniscayaan yang harus
dikembangkan lebih jauh lagi. Bukan hanya dalam dataran konseptual tetapi
juga dalam dataran praktis. Islam telah menyediakan sumber-sumber tekstual
yang memadai untuk memberikan batasan prilaku manusia, termasuk juga
dalam lapangan ekonomi, namun hal itu tidak cukup jika tidak diimbangi
dengan inferensi sosial. Adanya teori maqashid asy-syariah dalam kajian
pereokonomian Islam merupakan langkah maju dalam pengembangan model
ekonomi Islam, namun sekali lagi untuk menemukan model ekonomi Islam yang
paling ideal, tentunya, hal ini belum cukup. Dengan demikian, adalah tugas
bersama antara pakar hukum Islam (ushul fikih) dan pakar ekonomi untuk
berijtihad mengembangkan model ekonomi Islam yang lebih membumi.

Daftar Pustaka

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,


Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996
Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, RM. Books, 2007
________, Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-
Ghazali, dalam dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam:
Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000
________, Pendekatan Integratif dalam Hukum Islam, dalam kumpulan makalah
Metodologi Studi Islam, 2007 (tidak diterbitkan)
________, Ekonomi dalam Studi Keislaman, Makalah tidak diterbitkan
Arif, Abd. Salam, Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan ekonomi Umat,
dalam Asy-Syirah Jurnal Ilmu Syariah, No. 7 Th. 2000
Arkoun, Muhammad, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah,
Bandung: Pustaka, 2000

20
Asyari, Musa, Ekonomi Islam dan Kemiskinan Makalah disampaikan dalam
seminar nasional tentang Peran Strategi Ekonomi Syariah dalam
Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, 15 Maret 2007
Chafra, M. Umar, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, alih bahasa:
Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Djamil, Fathurrahman, Hubungan Antara Konsep Baik dan Buruk dalam Kalam
dengan Konsep Maslahat dalam Hukum Islam, dalam Al-Jamiah
Journal of Islamic Studies, no. 63/VI/1999
Eldine, Achyar, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, dalam situs http://www.uika-
bogor.ac.id/jur07.htm. akses tanggal 1 Oktober 2007
Ghazali, Muhammad al-, Al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, jilid 2, ttp: Dar al-Fikr, tt
Hanafi, Syafiq Mahmadah, Hutang Luar negeri antara Kebutuhan Rasional dan
Kebutuhan Etis, dalam Asy-Syirah Jurnal Ilmu Syariah, No. 7 Th. 2000
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab
Sunni, alih bahasa: E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, cet. 2,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Hasan, Ahmad Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical
Principle of Qiyas, Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid, alih bahasa Imam
Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2002
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikih, ttp.: Amzah, 2005
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa:
Noorhaidi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Kattsof, Louis O., Pengantar Filsafat, alih bahasa: soejono soemargono, cet. Ke-ix,
Yogyakarta: Tirai Wacana, 2004
Maluf, Lois, Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-Alam, Bairut: Dr al-Masyriq, 1998
Masud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup dan
Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, alih bahasa: Ahsin Muhammad,
Bandung: Pustaka 1996
Masud, Muhammad Khalid, Shatibis Philoshopy of Islamic Law, Delhi: Adam
Publisher and Distributors, 1997
Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh jilid 1, Yogyakarta: dana Bhakti Wakaf, 1995
Muhajir, Noeng, Filsafat Ilmu Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangn Ilmu dan
Penelitian, edisi III, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006
Naqvi, Sayed Nawab Haider, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami,
Bandung: Mizan, 1993
Raissouni, Ahmad ar-, Nazariyat al-Maqashid Inda al-Imam asy-Syatibhi, Herndon:
The International Institute of Islamic Thought, 1995
Roy, Muhammad, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Usul fiqh, Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, alih bahasa: Hari Murti dan Qomaruddin,
Jakarta: Serambi, 1996
Santoso, Listiyono, Purna Wacana: Postmodernisme: Keritik Atas Epitemologi
Moderen, dalam Listiyono santoso, dkk., Epistemology Kiri, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Press, 2003
Sawit, M. Husein, Kata Pengantar dalam Goenawan Mohammad, Metodologi
Ilmu Ekonomi Islam, ed. 2, cet. 1, Yogyakarta: UII Press, 1999

21
Scacht, Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The Clarendon
Press,1950
Salih, Muhammad Adib, Masdhar at-tasyri al-Islami wa manahij al-Istinbath, Kairo:
Dar al-Fikr, ttp.
Safi, Louay, The Foundation of Knowlage: A Comparative Study in Islamic and Western
Methos of Inqury, Slangor: International Islamic University Malaysia
Press dan International Instritute of Islamic Thought, 1996
Sholeh, Khatib, Fikih Kemaslahatan: Menimbang Maqashid asy-Syariah
Syatibi, dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 03.
nomor II, Juli-September 1999
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2002
SyafiI, Muhammad Idris asy-, ar-Risalah li al-Imam al-Muthalibi Muhmmad ibn
Idris asy-SyafiI, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani, Kairo: Dar al-Fikr,
1969
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997
Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-, Al-Muwafaqat fi Ushul al-
Ahkam, cet ke-3, IV jilid, Bairut: Dar al-Marifah, 1997
Tariqi, Abudllah Abdul Husein at-, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, alih
bahasa: M.Irfan Syofyan, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004
Wahyudi, Yudian, Maqashid syariah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum
Islam dari Harvad ke Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Nawasea, 2006
_______Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika,
Yogyakarta: Nawasea, 2006
Yafi, Ali, Fikih Perdagangan Bebas, Jakarta: Teraju, 2003
Yuslem, Nawir, Maqasid al-Syariah Al-Ghazali tentang Pengembangan Hukum
Islam, dalam Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intektual
Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005

22

Вам также может понравиться