Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ovum yang dibuahi (blastokista) biasanya tertanam di lapisan endometrium rongga


uterus. Apabila terjadi implantasi di tempat lain disebut kehamilan ektopik (Leveno, 2009).
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan dengan pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi
tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95% kehamilan ektopik
berada di saluran telur (tuba fallopii) terutama di pars ampularis yaitu sebesar 55%
(Prawirohardjo, 2009). Tipe kehamilan ektopik lainnya adalah implantasi trofoblas di serviks
(kehamilan serviks) atau di ovarium (kehamilan ovarium). Kehamilan abdomen terjadi jika
plasenta yang sedang tumbuh di dalam tuba fallopii pecah ke dalam rongga peritoneum dan
terjadi implantasi di struktur panggul termasuk uterus, usus, atau dinding samping panggul
(Leveno, 2009). Ketika kehamilan ektopik mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba
yang mengakibatkan perdarahan masif dan nyeri abdomen akut maka peristiwa tersebut
disebut kehamilan ektopik terganggu (WHO, 2013).
Kejadian kehamilan ektopik tidak sama di setiap tempat pelayanan kesehatan. Hal ini
bergantung pada kejadian salfingitis seseorang. Di Indonesia, kejadian kehamilan ektopik
sekitar 5-6 per seribu kehamilan (Prawirohardjo, 2009). Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar
359 per 100.000 kelahiran hidup. Agka ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan SDKI
tahun 1991 yaitu sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu paling
sering disebabkan oleh pendarahan. Namun ada juga penyebab lain kematian ibu antara
lain hipertensi, infeksi, abortus, dan persalinan lama (Kemenkes RI, 2014). Kehamilan
ektopik merupakan salah satu kehamilan yang berakhir abortus, dan sekitar 16% kematian
oleh sebab perdarahan dalam kehamilan dilaporkan disebabkan oleh kehamilan ektopik
yang pecah (Bangun, 2009).
Keadaan yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik antara lain adanya riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat operasi di daerah tuba, infertilitas, riwayat infeksi
saluran kemih dan pelvic inflammatory disease, riwayat penggunaan IUD, riwayat abortus
sebelumnya, riwayat inseminasi buatan, merokok, riwayat promiskuitas, dan riwayat seksio
sesaria sebelumnya (WHO, 2013).

1
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui faktor risiko yang diduga berperan dalam terjadinya kehamilan
ektopik terganggu pada kasus yang diajukan
1.2.2 Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis kehamilan ektopik terganggu pada
kasus yang diajukan
1.2.3 Untuk mengetahui penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu pada kasus yang
diajukan

1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai kehamilan ektopik terganggu dalam hal pelaksanaan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan perawatan.

BAB 2

2
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
2.1.1 Pasien
No. Reg. : 11654XXX
Nama : Ny. ME
Umur : 31 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Sumberdada[
Status : Menikah, 1x sejak usia 23 tahun
Kehamilan : G1P0000Ab000
Tanggal periksa : 22 Agustus 2016 pukul 17.58
2.1.2 Pasangan
Nama : Tn. AP
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta

2.2 SUBJEKTIF
2.2.1 Keluhan Utama
Pasien rujukan dari PKM Puncaglaban dengan nyeri perut di seluruh bagian perut
2.2.2 Perjalanan Keluhan Utama
22 oktober 2016
Pasien mengeluh nyeri perut gravida 12 minggu pasien pergi ke PKM
Puncaglaban dirujuk ke RS Iskak
Pkl. 21.30 WIB
Pasien tiba di RS Iskak
Pasien mengetahui dirinya hamil sejak 10 minggu yang lalu, dengan tes kehamilan
sendiri di rumah, hasil (+)
Riwayat nyeri perut(+) sejak 1 hari yang lalu. Riwayat pijat oyok (-) trauma (-)

3
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 23 agustus 2016
28 - 30 hari, teratur, nyeri

Siklus Haid : haid (-), ganti pembalut

2 - 3 x sehari
Lama Haid : 5 - 7 hari

2.2.3 Riwayat Pernikahan


Pasien menikah 1 kali
2.2.4 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
No Usia BB Cara Tempat L/ Umu H/
. Kehamilan L Lahir Persalinan P r M
1. 38 - - - P - -
2.2.5 Riwayat Kontrasepsi
- Pasien tidak memiliki riwayat memakai KB
2.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu
- Tidak ada riwayat penurunan berat badan
2.2.7 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada riwayat penyakit keluarga
2.2.8 Riwayat Ginekologi
Pkl. 21.30 WIB
Pasien tiba di RS Iskak
Pasien mengetahui dirinya hamil sejak 10 minggu yang lalu, dengan tes kehamilan
sendiri di rumah, hasil (+)
Riwayat nyeri perut(+) sejak 1 hari yang lalu. Riwayat pijat oyok (-) trauma (-)
2.2.9 Riwayat Sosial
Tidak ada
2.3 OBJEKTIF
2.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, sesak nafas
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 130/68 mmHg
Nadi : 110x/menit, reguler
RR : 20x/menit, dyspnea (-)
Suhu : 36,5o C
Kepala dan leher : Anemis -/ -, ikterik - / -
Pembesaran kelenjar getah bening - / -
Thorax

4
Jantung : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru : v/v Rhonki - / - Wheezing -/-
v/v -/- -/-
v/v -/- -/-
Abdomen : Flat, soefl, bisingusus (+) normal, nyeri (-), shifting
dullness (+), meteorismus (+)
TFU (tinggi fundus uteri) tidak teraba
Ekstremitas : Simetris, anemis (-), edema (-)
Status Ginekologi :
- Genitalia eksterna : v/v flux (+) min, fluor (-), edema (-), varises (-),
pembengkakan kelenjar bartholini (-)
- Inspekulo : v/v fluor (-), flux (+) min, PONP (portio nullipara) tertutup
licin, livide (+)
- VT : flux (-) min, PONP tertutup licin, slinger pain (-)
Nyeri goyang portio (+)
CUAF (corpus uteri antefleksi) sedikit membesar kesan melayang
AP (adnexa parametrium) D/S: massa (-) nyeri (+)
CD (cavum Douglasi): tidak menonjol
2.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
darah lengkap : 9,5 / 15.490 / 28,8 / 286.000
serum elektrolit : 135 / 4.0 / 99
SGOT/SGPT : 15/20
Albumin : 3.1
GDA : 150
Ur/Cr :17,5/0,70
plano test (+)Plano test (+) positif
Ultrasonografi (USG)
Uterus dan adnexa : uterus antefleksi
tampak Gs ekstrauterin usia 8 minggu 2 hari, fluid collection (+)
Foto Thorax PA
Cor dan pulmo dalam batas normal

2.4 ASSESSMENT
KET + Anemia

2.5 PLANNING

5
PDx. :
PTx. : Pro eksplorasi laparotomi cito
IVFD NS
Premed :
Injeksi kalnex 3x500mg iv
Injeksi ketolorac 3x 1 amp
Injeksi kansoprazole 2 x 1 amp
Injeksi Metoclopramide 1 amp IV
PMo : Keluhan subjektif, VS
PEdu : KIE (Komunikasi, Infomasi, Edukasi) pasien dan keluarga tentang:
1. Kondisi pasien saat ini
2. Rencana tindakan dan terapi yang akan dilakukan
3. Efek samping dan komplikasi dari pengobatan
4. Menyarankan diet tinggi Kalium seperti pisang
2.6 LAPORAN OPERASI
Laparatomi partial salfingektomi dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2016 pukul
01.10-02.50 dengan diagnosis pre-op kehamilan ektopik terganggu dan diagnosis
post-op ruptur kehamilan tuba pars ampularis sinistra.
1. pasien terlentang dengan posisi GA
2. keluar darah (+) clot (+) 1000cc
3. eksplorasi : uterus dalam batas normal
a) adnexa sinistra : ruptur tuba pars ampularris, pendarahan aktif (+)
b) adnexa dextra : tuba dan ovum dalam batas normal
4. diputuskan melakukan salpingektomi sinistra
5. evaluasi tidak ada pendarahan aktif
2.7 MONITORING POST OPERAS
Tanggal S O A P
26/8/16 Lemah KU: tampak sakit berat Post salpingektomi (S) Pdx: -
TD: 130/65
indikasi Ptx:
Nadi: 82x/menit
RR: 20x/menit Ruptur kehamilan tuba kalnex 3 x 500mg
K/L: an -/- ict -/-
pars ampularis (S lansoprazole
Tho: c/ S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
p/ vesikuler di semua lapang paru, Cefadroxil 3x
Ronkhi (-),Wheezing(-)
Rob 1x1
Abdomen:
flat, soefl, bising usus (+) N,luka operasi Asam mefenamat 2x
tertutup kasa sebelah kiri
Pmo: keluhan, obstetri, vital sign
GE: v/v flux (-) fluor (-)

BAB 3
PERMASALAHAN

3.1 Faktor Risiko


Apa saja faktor risiko yang berperan dalam terjadinya kehamilan ektopik?

6
3.2 Diagnosis
Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus ini?

3.3 Penatalaksanaan
Bagaimana penatalaksanaan kehamilan ektopik pada kasus ini?

BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri.Lebih dari 95% kehamilan

7
ektopik berada di saluran telur (tuba fallopii) (Prawirohardjo, 2009). Berdasarkan lokasi
terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5 yaitu:
Kehamilan tuba, meliputi >95% yang terdiri atas:
Pars ampularis (55%), pars isthmus (25%), pars fimbriae (17%), dan pars interstisial
(2%).
Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium, atau
abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan abdominal
sekunder yang awalnya merupakan kehamilan tuba kemudian abortus dan meluncur ke
abdomen dari ostium tuba pars abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio
mengalami reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di mesenterium
Kehamilan intraligamenter namun sangat jarang
Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin berada di kavum
uteri sedangkan yang lainnya merupakan kehamilan ektopik
Kehamilan ektopik bilateral (Prawirohardjo, 2009).

4.2 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi
mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi.
Bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar endometrium, maka terjadilah kehamilan
ektopik.Dengan demikian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam
nidasi embrio ke endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Adapun faktor-faktor
risiko antara lain (Prawirohardjo, 2009):
Faktor Tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit atau
buntu.Faktor tuba lainnya adalah kelainan endometriosis tuba atau divertikel saluran
tuba yang bersifat kongenital. Selain itu, adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya
mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi
tuba, juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.

Faktor abnormalitas dari zigot


Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di
dalam saluran tuba.
Faktor Ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.

8
Faktor Hormon
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat mengakibatkan
gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat meyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
Faktor Lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakaian IUD di mana proses peradangan yang
dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga
sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.Infertilitas juga meningkatkan
resiko terjadinya kehamilan ektopik (Prawirohardjo, 2009).

4.3 Faktor Risiko


Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Namun
perlu diingat bahwa kehamilan ektopik dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko. Faktor
risiko kehamilan ektopik adalah :
Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka kekambuhan sebesar 15% setalah
kehamilan ektopik pertama dan meningkat sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik
yang kedua (Wiknjosastro, 2002).
Penggunaan kontrasepsi spiral (IUD) dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil, masih menggunakan kontrasepsi
spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga meningkatkan kehamilan
ektopik. Karena pil progesteron dapat mengganggu pergerakan sel rambut silia di
saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam
rahim (Wiknjosastro, 2002).

Kerusakan dari saluran tuba


Telur yang sudah dibuahi mengalami kesulitan melalui saluran tersebut sehingga
menyebabkan telur melekat dan tumbuh di dalam saluran tuba. Beberapa faktor risiko
yang dapat menyebabkan gangguan saluran tuba diantaranya adalah:
- Merokok: Kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6-3,5 kali dibandingkan wanita
yang tidak merokok. Hal ini disebabkan karena merokok menyebabkan penundaan
masa ovulasi (keluarnya telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut
silia di saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh.

9
- Penyakit radang panggul: Menyebabkan perlekatan didalam salura tuba, gangguan
pergerakan sel rambut silia yang dapat terjadi karena infeksi kuman TBC, klamidia,
dan gonorhea.
- Endometriosis: Dapat menyebabkan jaringan parut disekitar saluran tuba
- Tindakan medis: Seperti operasi saluran tuba atau operasi daerah panggul,
pengobatan infertilitas seperti bayi tabung dapat menyebabkan jaringan parut pada
rahim dan saluran tuba (Anthonius, 2001).

4.4 Patofisiologi
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampula tuba (lokasi
tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen,
serviks, dan ligamentum cardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba
maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau
sisi jonjot endosalfing yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan
kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel diantara dua jonjot.
Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalfing yang menyerupai
desidua yang disebut pseudokapsul (Wiknjosastro, 2007).
Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan
miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil
konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi, dan banyaknya perdarahan akibat
invasi trofoblas (Wiknjosastro, 2007).
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik mengalami hipertrofi akibat
pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilanpun
ditemukan. Endometrium berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas.Sel-sel epitel
endometrium menjadi hipertrofi, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol
(Wiknjosastro, 2007).
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya
kehamilan, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk yaitu
(Prawirohardjo, 2009):
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita
tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk beberapa hari
(Prawirohardjo, 2009).
2. Abortus ke dalam lumen tuba

10
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi
korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari koriales
pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini
dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila
pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan
kemudian didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam
tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi pada
kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koriales kea
rah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan
karena lumen pars amoullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah
pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit
(Prawirohardjo, 2009).
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan
terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai berubah menjadi mola kruenta.
Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan terkumpul secara
khas di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup,
tuba fallopii dapat membesar karena darah dan membentuk hematosalping (Prawirohardjo,
2009).
3. Ruptur dinding tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture pada
saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar korionik
gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada trimester pertama oleh
rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering terjadi bila ovum berimplantasi pada
isthmus dan biasanya muncul pada kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars
intersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara
spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina (Prawirohardjo,
2009).
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba
tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari trofoblas, akan
pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah ligamentum
latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan
intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Bila pasien
tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang
diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali,
namun bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak
mati dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh,

11
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal
sekunder (Prawirohardjo, 2009).

4.5 Diagnosis
Kehamilan ektopik ini sulit didiagnosis secara pasti. Namun diagnostik kehamilan
ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami kesukaran, tetapi pada
jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali ditegakkan. Alat bantu diagnostik yang dapat
digunakan ialah USG, laparoskopi, atau kuldoskopi. Selain itu anamnesis juga diperlukan
dalam proses penegakan diagnosis, yaitu adanya riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian
bawah, dan perdarahan dari uterus. Nyeri abdomen umumnya mendahului keluhan
perdarahan pervaginam, biasanya dimulai dari salah satu sisi abdomen bawah, dan dengan
cepat menyebar ke seluruh abdomen yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga
abdomen.Periode amenorea umumnya 6-8 minggu. Pemeriksaan klinik ditandai dengan
hipotensi bahkan syok, takikardi, dan distensi abdomen. Pada pemeriksaan bimanual
ditemukan nyeri goyang portio digerakkan, forniks posterior vagina menonjol karena darah
terkumpul di kavum douglas, atau teraba massa di salah satu sisi uterus (Anwar, 2011).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan jumlah
sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu
terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan hemoglobin
dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak satu jam selama 3 kali berturut-
turut. Bila terjadi penurunan hemoglobin dan hematokrit dapat mendukung diagnosis
kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus kehamilan ektopik yang tidak mendadak biasanya
disertai dengan adanya anemia tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru
terlihat setelah 24 jam (Prawirohardjo, 2009).
Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvis, dapat diperhatikan jumlah
leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya menunjuk pada keadaan yang
terakhir. Tes kehamilan berguna apabila hasilnya positif. Akan tetapi tes negatif tidak
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi
dan degenerasi trofoblas meyebabkan produksi human chorionic gonadotropin menurun dan
menyebabkan tes negatif (Prawirohardjo, 2009).
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam
kavum douglasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu membuat diagnois
kehamilan ektopik terganggu (Prawirohardjo, 2009).

12
Gambar 4.1 Teknik
Kuldosentesis (Prawirohardjo, 2009)

Pada kehamilan ektopik, laparoskopi digunakan sebagai alat bantu diagnostik


terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur ini, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai (Prawirohardjo,
2009).

4.6 Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan
demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu; kondisi penderita
saat itu, keinginan penderita akan fungsi organ reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik,
kondisi anatomi organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan
kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan
apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan
pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba.
Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan shock, lebih baik dilakukan
salpingektomi (Prawirohardjo, 2009).
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pernah
dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan
pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah: (1) Kehamilan di pars
ampularis tuba belum pecah; (2) diameter kantong gestasi 4cm; (3) perdarahan dalam
rongga perut 100 ml; (4) tanda vital baik dan stabil; (5) kadar beta-hCG 10.000 mIU/ml.
Obat yang digunakan ialah metotreksat 1 mg/kgBB I.V dan faktor sitrovorum 0,1 mg/kgBB
I.M, berselang-seling setiap hari selama 8 hari, Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu
kasus dilakukan salpingektomi pada hari ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5
kasus berhasil diobati dengan baik (Prawirohardjo, 2009). Tindakan pembedahan yang bisa
dilakukan antara lain salpingostomi atau dengan salpingektomi. Salpingostomi adalah
prosedur bedah yang bertujuan untuk mengambil/ mengeluarkan kehamilan ektopik (produk
konsepsi) yang tidak terjadi ruptur dan melakukan rekonstruksi tuba, berukuran < 2 cm dan
berlokasi di distal tuba fallopi. Natale dan associates (2003) melaporkan bahwa pasien
dengan kadar -hCG > 6000 mIU/mL berisiko tinggi mengalami kehamilan ektopik yang

13
menembus sampai kelapisan muskularis serta ruptur tuba (Cunningham, 2014; Anwar,
2011). Salpingektomi dapat dilakukan pada kehamilan ektopik yang tidak terjadi ruptur
maupun yang telah ruptur. Selain itu, salpingektomi juga dilakukan jika tuba mengalami
kerusakan hebat atau tuba kontralateral baik (Anwar, 2011).

BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Faktor Risiko


Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi
mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi.

14
Bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar endometrium, maka terjadilah kehamilan
ektopik.Dengan demikian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam
nidasi embrio ke endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini.Termasuk di sini
antara lain adalah pemakaian IUD di mana proses peradangan yang dapat timbul pada
endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektorpik. Faktor
umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan
terjadinya kehamilan ektopik. Infertilitas juga meningkatkan risiko terjadinya kehamilan
ektopik (Prawirohardjo, 2009). Selain itu, terdapat pula faktor-faktor risiko lain, dan salah
satunya adalah faktor tuba. Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen
tuba menyempit atau buntu. Faktor tuba lainnya adalah kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital. Selain itu, adanya tumor di sekitar saluran
tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan
patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.

5.2 Diagnosis
Kehamilan ektopik ini sulit didiagnosa secara pasti. Namun diagnostik kehamilan
ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami kesukaran, tetapi pada
jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali ditegakkan. Alat bantu diagnostik yang dapat
digunakan ialah USG, laparoskopi, atau kuldoskopi. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu,
tenesmus, dapat dinyatakan. Selain itu anamnesis juga diperlukan dalam proses penegakan
diagnosis, yaitu adanya riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan
dari uterus. Nyeri abdomen umumnya mendahului keluhan perdarahan pervaginam,
biasanya dimulai dari salah satu sisi abdomen bawah, dan dengan cepat menyebar ke
seluruh abdomen yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga abdomen. Periode
amenorea umumnya 6-8 minggu. Pemeriksaan klinik ditandai dengan hipotensi bahkan
syok, takikardi, dan distensi abdomen. Pada pemeriksaan bimanual ditemukan nyeri goyang
portio digerakkan (slinger pain positif), forniks posterior vagina menonjol karena darah
terkumpul di kavum douglas, atau teraba massa di salah satu sisi uterus (Anwar, 2011).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
hematokrit berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu terutama
bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut (Prawirohardjo, 2009).
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan awal berupa nyeri perut pada seluruh
bagian perut. HPHT pasien yaitu tanggal 6 Juli 2016 setara dengan usia kehamilan 6-8
minggu. Saat dilakukan tes plano pada pasien hasilnya positif. Pada pemeriksaan vaginal
toucher ditemukan nyeri goyang portio dan cavum douglas menonjol. Pada pasien ini juga
ditemukan jumlah eritrosit yang menurun yaitu pada angka 3,83 10 6/ L, hematokrit yang
menurun yaitu 34,40%, dan didapatkan shifting dullness pada abdomen. Hal ini

15
menunjukkan bahwa terjadi perdarahan pada abdomen.Selain itu pada hasil USG
mengesankan adanya KET di proyeksi adneksa kiri dengan cairan bebas intraabdomen
dengan estimasi caian 500-1000cc. Hal ini menunjukkan bahwa klinis pasien sama dengan
teori yang tertulis.

5.3 Penatalaksanaan
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pernah
dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan
pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah: (1) Kehamilan di pars
ampularis tuba belum pecah; (2) diameter kantong gestasi 4cm; (3) perdarahan dalam
rongga perut 100 ml; (4) tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan ialah metotreksat
1 mg/kgBB I.V dan factor sitrovorum 0,1 mg/kgBB I.M, berselang-seling setiap hari selama 8
hari, Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada hari ke-12
karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan baik
(Prawirohardjo, 2009).Tindakan pembedahan yang bisa dilakukan antara lain salpingostomi
atau dengan salpingektomi. Salpingostomi adalah prosedur bedah yang bertujuan untuk
mengambil Kehamilan ektopik yang tidak terjadi ruptur, berukuran < 2 cm dan berlokasi di
distal tuba fallopi. Natale dan associates (2003) melaporkan bahwa pasien dengan kadar -
hCG > 6000 mIU/mL beresiko tinggi mengalami kehamilan ektopik yang menembus sampai
kelapisan muskularis serta ruptur tuba (Cunningham, 2014; Anwar, 2011). Salpingektomi
dapat dilakukan pada kehamilan ektopik yang tidak terjadi ruptur maupun yang telah ruptur.
Selain itu, salpingektomi dilakukan jika tuba mengalami kerusakan hebat atau tuba
kontralateral baik (Anwar, 2011).
Pada pasien ini terjadi ruptur tuba pars ampularis sinistra dan terdapat perdarahan
masif sebanyak 1000cc dan juga terdapat clot 1000cc sehingga harus dilakukan
salpingektomi.

16
BAB 6
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang menyebabkan
kehamilan ektopik pada pasien ini berdasarkan hasil anamnesis pasien. Selain itu pada
pemeriksaan fisik juga ditemukan keputihan yang positif yang menunjukkan salah satu
tanda-tanda dari proses infeksi sehingga bisa terjadi keradangan pada organ genitalia
termasuk pada tuba. Penegakan diagnosis pada pasien ini dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan USG). Tatalaksana yang
diberikan adalah laparatomi partial salfingektomi karena pada pasien ini telah terjadi ruptur
tuba pars ampularis sinistra.

17
5.2 Saran
Penilaian faktor risiko pada pasien perlu digali lebih dalam lagi. Pasien dan keluarga
diberikan edukasi mengenai keadaannya pada saat datang serta ditangani dengan baik
hingga keadaan pasien tersebut membaik serta diberikan pemahaman bagaimana risiko
kehamilan selanjutnya sehingga jika terjadi kehamilan ektopik yang berulang dapat diobati
sedini mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Anthonius BM. 2001. Kehamilan Ektopik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


Jakarta

Anwar, Mochamad. 2011. Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,


Jakarta

Bangun, Rospida. 2009. Karakteristik Ibu Penderita Kehamilam Ektopik Terganggu (KET) di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2003-2008. Universitas Sumatera
Utara, Medan

Cunningham, Gary, et al. 2014. Obstetri Williams. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Kemenkes RI. 2014. Pusat Data dan Informasi. (Online),(http://www.pusdatin.kemkes.go.id/,


diakses 9 September 2016)

18
Leveno, Kenneth J et al. 2009. Obstetri Williams alih bahasa Brahm U. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,


Jakarta

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T.2002.Kehamilan Ektopik dalam Ilmu


Kebidanan.Yayasan Bina Pustaka, Jakarta

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T.2007.Kehamilan Ektopik dalam Ilmu


Kebidanan.Yayasan Bina Pustaka, Jakarta

Wiknjosastro,Hanifa. 2007. Ilmu kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,


Jakarta

WHO. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. WHO, Jakarta

19

Вам также может понравиться