Вы находитесь на странице: 1из 20

MODEL PEMBELAJARAN ORANG DEWASA

(ANDRAGOGI)

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori dan Model Pembelajaran
Dosen Pengampu: Dr. Djono, M.Pd

Oleh:
NUR RHOHMAD I S811308028
YOHANA EVI A S811308049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
A. PENDAHUAN
Kesadaran bahwa belajar adalah proses menjadi dirinya sendiri (process
of becoming person) bukan proses untuk dibentuk (process of beings haped)
menurut kehendak orang lain, membawa kesadaran yang lain bahwa kegiatan
belajar harus melibatkan individu atau client dalam proses pemikiran: apa yang
mereka inginkan, apa yang dilakukan, menentukan dan merencanakan serta
melakukan tindakan apa saja yang perlu untuk memenuhi keinginan tersebut.
Inti dari pendidikan adalah menolong orang belajar bagaimana memikirkan diri
mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri untuk berkembang
dan matang, dengan mempertimbangkan bahwa mereka juga sebagai makhluk
sosial.
Di tahun 70 an dikenal sebuah proyek yang disebut dengan PPSP (Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan). Pada waktu itu, siswa dibebaskan menentukan
seberapa cepat dia bisa menyelesaikan masa studinya. Siswa diberi Lembaran
Kegiatan Siswa (LKS) yang berisikan tentang teori-teori materi yang dipelajari,
dan kalau siswa beranggapan sudah menguasai, maka diberi lembar latihan dari
LKS tadi dan kalau sudah merasa siap, maka siswa bisa mengambil sendiri
Lembar Test Formatif. Fungsi Guru pada waktu itu adalah menjelaskan apabila
bertanya dan menilai hasil test formatif tersebut. Di PPSP ini, murid kelas 1
SMP (waktu itu disebut kelas 6), itu bisa saja menempuh pelajaran kelas 2 SMP
(kelas 7) maupun menempuh kelas 8 (3 SMP), sehingga pada waktu itu, cukup
banyak yang mampu menempuh level SMP hanya dalam waktu 2 tahun. PPSP
mencanangkan program SD hanya 5 tahun, SMP bisa ditempuh 2 tahun dan
SMA juga bisa ditempuh 2 tahun juga, tergantung kepada kemampuan dari
siswa.
Kegiatan belajar yang melibatkan individu atau client dalam proses
menentukan apa yang mereka inginkan, apa yang akan dilakukan, adalah
beberapa prinsip dari teori belajar Andragogi. Teori belajar Andragogi sering
juga disebut dengan teori belajar orang dewasa. Makalah ini akan membahas
tentang Teori Belajar Andragogi tersebut dan membahas kelemahan serta
keunggulannya.

2
B. TEORI BELAJAR ANDRAGOGI
1. Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno: "aner", dengan akar kata
andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus yang berarti membimbing atau
membina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah
"pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya
membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi"
berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar
anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing
atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk
kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena
mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam
suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya
bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal
ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap
dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan
pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan
seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu
yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam
andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan
belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan
merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered
Training/Teaching).

2. Perkembangan Teori Belajar Andragogi


Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult
Learner, A Neglected Species" yang diterbitkan pada tahun 1970
mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah
istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan
khususnya para ahli pendidikan.

3
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan dalam kegiatan belajat
adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa sebagai obyek di
dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di setup
oleh sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya. Apa yang
dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan lain-lain,
semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid
sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia (dalam hal ini adalah siswa)
yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta, memiliki minat, memiliki
kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplorasi
dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab
yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan
dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa,
melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah
perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di
dalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang
terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan
oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi,
melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah
dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy Learning,
Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy
inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme pendidikan,
Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme
pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki
tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara
menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.
Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap
bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap
tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk
memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan
potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah

4
bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan
pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah,
melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi
yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling
meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh
sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban
mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan
bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola
tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis
obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat
Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-
fakta, mencari yang obyektif, melalui pengamatan atas kenyataan.
Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan
eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran
ilmiah). Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan
beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa
musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga. Menurut
anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah
pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik
berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara
menghapuskan sistem persekolahan sekalian.

3. Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar Andragogi


Malcolm Knowles (1970) dalam mengembangkan konsep andragogi,
mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
a. Konsep Diri:. Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri
seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju
ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya
sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara
umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang
dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang

5
dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai
manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination),
mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang
dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang
memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan,
maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang
menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis
yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi
tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan,
khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan
diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan
b. Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan
perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke
arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan
mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana
hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang
demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut
memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman
baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang
dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang
dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih
mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini
dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar
Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan implikasi terhadap
pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam
praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah
pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain
sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta
atau partisipasi peserta pelatihan.
c. Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi
matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan

6
ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya,
tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan
tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya
tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar
sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi
dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu
pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu
disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
d. Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya
seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi
yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered
Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan
memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan
yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan
belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk
menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian,
terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan
perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat
dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak,
penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan
sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya
sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau
pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya
bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-
hari.

4. Andragogi dan Psikologi Perkembangan


Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai
siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan

7
psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang
lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun, tidak
hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebutuhan
semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi
dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk
dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal
operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat
memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat
memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat
sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu
mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy)
yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda
dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti
keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-
benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan
dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu
dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan
remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini
berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang
dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari
bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan
tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengaham
masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan "pengertian diri"
(sense of identity).
Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih
cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pengajar,
penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok
kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang
dewasa itu mampu menemukan alternatif-alternatif untuk mengembangkan
kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk
banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai

8
dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada
hakikatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu
menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya
ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam
pembelajaran tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih
aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran,
terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan
yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan
sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila
pendapat pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh
sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada
pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada
mereka.
Oleh karena sifat belajar bagi orang dewasa adalah bersifat subjektif
dan unik, maka terlepas dari benar atau salahnya, segala pendapat, perasaan,
pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai
(meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan
mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran
orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya, dan
pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri.
Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak
akan pernah terwujud.
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai
pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya suasana yang baik,
mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut
dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang dewasa
mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang
bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa
dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan,
dll).
Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan
orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadinya di dalam kelas, atau

9
di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan
terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan
psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk
akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau
dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan
dalam segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan
ide/gagasan dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikkan bahwa orang dewasa belajar
secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan
perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga
keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribadi orang lain.
Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam pribadi, sebab
akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui
satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersebut.
Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, dan
pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna
yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif
merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku
baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba
pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru
mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan
itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada akhirnya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam
kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin
mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan
adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya
berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi
dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.

10
5. Pengaruh Penurunan Faktor Fisik dalam Belajar
Proses belajar manusia berlangsung hingga ahkir hayat (long life
education). Namun, ada korelasi negatif antara pertambahan usia dengan
kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap individu orang dewasa,
makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya belajar (karena semua
aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya ingat,
kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan lain-
lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya
pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti
tidak diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja.
Kemajuan yang seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui
pendidikan. Menurut Verner dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam
faktor yang secara psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa
dalam suatu program pendidikan:
a. Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglihatan atau titik terdekat
yang dapat dilihat secara jelas mulai bergerak makin jauh. Pada usia dua
puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm
dari matanya. Sekitar usia empat puluh tahun titik dekat penglihatan itu
sudah menjauh sampai 23 cm.
b. Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang
dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua
faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan pengunaan bahan dan
alat pendidikan.
c. Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang
diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20
tahun memerlukan 100 Watt cahaya, maka pada usia 40 tahun diperlukan
145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk
dapat melihat dengan jelas.
d. Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah
daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau
lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah

11
kurang dapat dibedakannya warna-warna-warna lembut. Untuk jelasnya
perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras utuk alat-alat peraga.
e. Pendengaran atau kemampuan menerima suara mengurang dengan
bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran
dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap
dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal
ini daripada wanita. Hanya 11 persen dari orang berusia 20 tahun yang
mengalami kurang pendengaran. Sampai 51 persen dari orang yang
berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran.
f. Pembedaan bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin
mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, bicara orang
lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan bunyi sampingan
dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang.
Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.

6. Langkah-Langkah Pokok dalam Andragogi


Langkah-langkah pokok untuk mempraktikkan Andragogi adalah
menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif:
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya
menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk
proses pembelajaran, yaitu:
1) Pengaturan Lingkungan Fisik: Pengaturan lingkungan fisik
merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa,
aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman
mungkin:
a) Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi
orang dewasa;
b) Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya
disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa;
c) Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya
hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial.

12
2) Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologi: Iklim psikologis
hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa
merasa diterima, dihargai dan didukung.
a) Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung;
b) Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai
melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang
sesuai;
c) Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk
menyatakan pendapat tanpa rasa takut;
d) Mengembangkan semangat kebersamaan;
e) Menghindari adanya pengarahan dari "pejabat-pejabat"
pemerintah;
f) Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama.
3) Diagnosis Kebutuhan Belajar: Dalam andragogi tekanan lebih
banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar atau
peserta pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis
kebutuhan belajarnya:
a) Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak
yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu;
b) Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau
prestasi ideal yang diharapkan;
c) Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan;
Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan
yang ada, misalkan kompetensi tertentu
4) Proses Perencanaan: Dalam perencanaan pelatihan hendaknya
melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak
langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu
"hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat
manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu
keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam
pengambilan keputusan:

13
a) Libatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang
menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu
dan lain-lain;
b) Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak
terkait menyangkut pelatihan tersebut;
c) Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke
dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan;
d) Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di
antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
5) Memformulasikan Tujuan: Setelah menganalisis hasil-hasil
identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah
selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama
dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan
hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan
dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
6) Mengembangkan Model Umum: Ini merupakan aspek seni dan
arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara
harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi
kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya.
Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu
dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
7) Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran: Dalam menetapkan
materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada
pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan;
b) Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan
berorientasi pada aplikasi praktis;
c) Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik
yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada
peserta;

14
d) Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu
arah namun lebih bersifat partisipatif.
8) Peranan Evaluasi Pendekatan: evaluasi secara konvensional
(pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa.
Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk
menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam
melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
a) Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan
perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran/pelatihan;
b) Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap
dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation);
c) Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan;
d) Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara
partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh
pihak terkait yang terlibat;
e) Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan
maupun kelemahan program;
f) Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan
perubahan sikap dan perilaku.

C. PERBANDINGAN ASUMSI DAN MODEL PEDAGOGI DAN ANDRAGOGI


Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa
perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi
(konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konvensional, karena berpusat pada materi
pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi yang
timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator
sangat dominan. Pihak murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif
dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking
System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:

15
1. Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu
disampaikan yang bersifat standard dan kaku;
2. Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu
(metoda & teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi
pembelajaran;
3. Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan
kaku ;
4. Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian
hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur
tingkat pengetahuan;
5. Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan"
suatu proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering
disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk
mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian
dikenal dengan pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan
elemen-elemen:
1. Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri;
2. Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan
partisipatif;
3. Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik Merumuskan
tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
4. Merencanakan pola pengalaman belajar
5. Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan
teknik yang memadai
6. Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-
kebutuhan belajar. Ini adalah model proses.

16
Lebih detail tentang perbedaan pedagogik dan andargogi sebagai berikut:

No Asumsi Pedagogik Andragogi

1 Kosep Peserta didik digambarkan Adalah suatu hal yang wajar apabila
tentang diri sebagai seseorang yang bersifat dalam suatu proses pendewasaan,
peserta tergantung. Masyarakat seseorang akan berubah dari bersifat
didik mengharapkan para guru tergantung menuju ke arah memiliki
bertanggung jawab sepenuhnya kemampuan mengarahkan diri
untuk menentukan apa yang sendiri, namun setiap individu
harus dipelajari, kapan, memiliki irama yang berbeda-beda
bagaimana cara dan juga dalam dimensi kehidupan
mempelajarinya, dan apa hasil yang berbeda-beda pula. Dan para
yang diharapkan setelah selesai guru bertanggungjawab untuk
menggalakkan dan memelihara
kelangsungan perubahan tersebut.
Pada umumnya orang dewasa secara
psikologis lebih memerlukan penga-
rahan diri, walaupun dalam keadaan
tertentu mereka bersifat tergantung.

2 Fungsi Di sini pengalaman yang Di sini ada anggapan bahwa dalam


Pengalaman dimiliki oleh peserta didik tidak perkembangannya seseorang
peserta besar nilainya, mungkin hanya membuat semacam alat
didik berguna untuk titik awal. penampungan (reservoair)
Sedangkan penglaman yang pengalaman yang kemudian akan
sangat besar manfaatnya adalah merupakan sumber belajar yang
pengalaman-pengalaman yang sangat bermanfaat bagi diri sendiri
diperoleh dari gurunya, para mau pun bagi orang lain. Lagi pula
penulis, produsen alat-alat seseorang akan menangkap arti
peraga atau alat-alat audio dengan lebih baik tentang apa yang
visual dan pengalaman para dialami daripada apabila mereka
ahli lainnya. Oleh karenanya, memperoleh secara pasif, oleh

17
teknik utama dalam pendidikan karena itu teknik penyampaian yang
adalah teknik penyampaian utama adalah eksperimen,
yang berupa: ceramah, tugas percobaan-percobaan di
baca, dan penyajian melalui laboratorium, diskusi, pemecahan
alat pandang dengar. masalah, latihan simulasi, dan
praktek lapangan.

3 Kesiapan Seseorang harus siap Seseorang akan siap mempelajari


belajar mempelajari apapun yang sesuatu apabila ia merasakan
dikatakan oleh masyarakat, dan perlunya melakukan hal tersebut,
hal ini menimbulkan tekanan karena dengan mempelajari sesuatu
yang cukup besar bagi mereka itu ia dapat memecahkan
karena adanya perasaan takut masalahnya atau dapat
gagal, anak-anak yang sebaya menyelesaikan tugasnya sehari-hari
diaggap siap untuk mempelajari dengan baik. Fungsi pendidik di sini
hal yang sama pula, oleh karena adalah menciptakan kondisi,
itu kegiatan belajar harus menyiapkan alat serta prosedur
diorganisasikan dalam suatu untuk membantu mereka
kurikulum yang baku, dan menemukan apa yang perlu mereka
langkah-langkah penyajian ketahui. Dengan demikian program
harus sama bagi semua orang. belajar harus disusun sesuai dengan
kebutuhan kehidupan mereka yang
sebenarnya dan urutan-urutan
penyajian harus disesuaikan dengan
kesiapan peserta didik.

4 Orientasi Peserta didik menyadari bahwa Peserta didik menyadari bahwa


belajar pendidikan adalah suatu proses pendidikan merupakan suatu proses
penyampaian ilmu peningkatan pengembangan
pengetahuan, dan mereka kemampuan diri untuk
memahami bahwa ilmu-ilmu mengembangkan potensi yang
tersebut baru akan bermanfaat maksimal dalam hidupnya. Mereka
di kemudian hari. Oleh karena ingin mampu menerapkan ilmu dan

18
itu, kurikulum harus disusun keterampilan yang diperolehnya hari
sesuai dengan unit-unit mata ini untuk mencapai kehidupan yang
pelajaran dan mengikuti urutan- lebih baik atau lebih efektif untuk
urutan logis ilmu tersebut , hari esok. Berdasarkan hal tersebut
misalnya dari kuno ke modern di atas, belajar harus disusun ke arah
atau dari yang mudah ke sulit. pengelompokan pengembangan
Dengan demikian, orientasi kemampuan. Dengan demikian
belajar ke arah mata pelajaran. orientasi belajar terpusat kepada
Artinya jadwal disusun kegiatannya. Dengan kata lain, cara
berdasarkan keterselesaian nya menyusun pelajaran berdasarkan
mata-mata pelajaran yang telah kemampuan-kemampuan apa atau
ditetapkan. penampilan yang bagaimana yang
diharap kan ada pada peserta didik.

Sumber: Tamat (1985: hal. 20-22)

D. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN TEORI BELAJAR ANDRAGOGI


Kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah ataupun luar sekolah
memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa
terutama pendidikan masyarakat bersifat non formal sebagian besar dari siswa
atau pesertanya adalah orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja.
Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan
menggunakan teori andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa
dalam kerangka pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita pendidikan
seumur hidup dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau
penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Andragogi memiliki kelemahan, salah satunya adalah bahwa bagaimana
mungkin seorang siswa yang tidak terlalu memahami tentang luasnya ilmu
kemudian dibebaskan memilih apa yang mereka sukai? Seolah sistem
Andragogy hanya sebagai suatu sistem yang mengembirakan siswanya saja dan
melupakan untuk tujuan apa sebenarnya sebuah pendidikan itu dilakukan? Dan
bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada?
jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa, tentu saja satu waktu ilmu

19
tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan memilih jika ada
persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya siswa mau
belajar ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata
pelaharan Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian,
jumlah, kurang bagi, dll.

E. Kesimpulan
Teori Belajar Adragogi dapat diterapkan apabila diyakini bahwa peserta
didik (siswa-mahasiswa-peserta) adalah pribadi-pribadi yang matang, dapat
mengarahkan diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil
keputusan untuk sesuatu yang menyangkut dirinya. Andragogi tidak akan
mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang dewasa sebagai
pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Yang menjadi tolok ukur sebuah
kedewasaan bukanlah umur, namun sikap dan perilaku, sebab tidak jarang orang
yang sudah berumur, namun belum dewasa. Memang, menjadi tua adalah suatu
keharusan dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan yang tidak setiap individu
memilihnya seiring dengan semakin lanjut usianya.

F. Referensi
Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa.
Asmin, Konsep dan Metode Pembelajaran Untuk Orang Dewasa (Andragogi),
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/34/konsep_dan_metode_pembelajara
n.htm, Diakses tanggal 11 November 2006.
Knowles, Malcolm S. (1970). "The modern practicsof adult education, andragogy
versus ". New York : Association Press.
Lunandi, A, G. (1987). Pendidikan orang dewasa. Jakarta: Gramedia.
Piaget, J. (1959). "The growth of logical thinking from childood fo adolescence.
New York : Basic Books.
M. Thoyib. (2006). Memfasilitasi Pelatihan Partisipatif (Pengantar Pendidikan
Orang Dewasa), http://depsos.go.id/modules.php?name=News&file
=print&sid=209, diakses tanggal 11 November 2006.
Tamat, Tisnowati. (1984). Dari Pedagogik ke Andragogik. Jakarta: Pustaka Dian.

20

Вам также может понравиться