Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh
Ustadz Nurcholis Majid Ahmad, Lc
Dalam dunia bisnis, jika seseorang memiliki modal dan kemampuan usaha maka orang
tersebut kemungkinan besar akan mengembangkan uangnya sendiri. Namun bila
tidak punya skill, maka ia bisa bekerja sama dengan orang lain yang mampu
berusaha. Dan jika modalnya kurang, ia bisa bekerjasama dengan orang lain lagi
untuk menambah modal. Sementara orang yang punya keahlian atau kemampuan
serta kesempatan untuk berusaha,tapi tidak memiliki dana; atau kemampuan yang
dimilikinya masih kurang, maka ia bisa bekerjasama dengan orang lain yang memiliki
dana atau keahlian. Inilah kerjasama (syirkah), baik menyangkut keahlian maupun
dana, dalam berusaha meraih atau mengembangkan harta.
Bentuk-bentuk kerjasama dan tata caranya, diatur dalam Bab Syirkah. Dalam
beberapa literature, kita tahu bahwa bentuk perseroan (syirkah) itu ada berbagai
macam. Pada makalah ini, akan kami coba sajikan secara umum bagaimana bentuk-
bentuk perseroan (syirkah) menurut Islam. Hal ini penting agar kita dapat
mengetahui bagaimana kedudukan badan hukum usaha (perseroan) yang ada selama
ini. Apakah sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan dalam Islam atau tidak ? Jika
sesuai, maka tentunya kita dapat memanfaatkannya dalam kegiatan bisnis. Jika
tidak sesuai, maka kita bisa mengambil langkah yang sesuai dengan kemampuan kita.
Dalam ayat tersebut Allh Subhanahu wa Taala menerangkan bahwa saudara seibu
yang memenuhi syarat jika lebih dari satu maka mereka bersekutu dalam
kepemilikan sepertiga harta warisan.
Adapun dasar dari Sunnah, yaitu firman Allah Azza wa Jalla yang terdapat dalam
hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allh Azza wa Jalla berkata, Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha
Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara
mereka tidak berkhianat kepada mitranya. Apabila diantara mereka ada yang
berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi) [3]
Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga bersama orang kafir sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan penduduk Khaibar.
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma menceritakan :
MACAM-MACAM SYIRKAH
Syirkah, menurut jumhur Ulama dibagi menjadi dua jenis yaitu syirkatul amlk dan
syirkatul uqd.
Dua orang atau lebih yang sepakat untuk membeli suatu barang dengan biaya
bersama. Maka kepemilikan terhadap barang itu sesuai prosentase modal.
Dua orang yang diberi wasiat atau hadiah sebuah barang, kemudian mereka terima.
Maka keduanya memiliki bagian dari barang tersebut. Kepemilikian ini disebut
syirkatul ikhtiyr karena setiap pihak mempunyai hak pilih dalam menentukan
kepemilikan perseroan.
2. Syirkatul jabr ; yaitu kepemilikan secara kolektif terhadap sebuah barang tanpa
usaha dari pihak yang bersyerikat. Misalnya dalam harta warisan yang didapat oleh
ahli waris jika ada dua atau lebih.
Dalam dua macam syarikat ini tidak diperbolehkan bagi salah satu pihak untuk
menggunakan atau memanfaatkan barang tersebut tanpa idzin dari semua pihak
yang terkait dalam persyarikatan.[7]
2. Syirkatul Uqd.
Syirkatul uqd adalah aqad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang
bersepakat untuk bersyarikat dalam modal atau melakukan kerjasama usaha dengan
tujuan mencari untung.[8]
Dari pengertian ini dan juga dengan memperhatikan berbagai bentuk kerjasama
usaha perseroan (syirkah), maka dalam syariat Islam, perseroan ini dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok.yaitu :
a. Syirkah Bil Amwl (Perseroan dalam modal)
Perseroan ini bertumpu pada modal bersama untuk melakukan sebuah usaha guna
menghasilkan keuntungan. Syirkah ini memiliki dua bentuk yaitu:
1. Syirkatul Inn
Syirkah Inan adalah persyerikatan dua pihak atau lebih dimana masing-masing
membawa dana sebagai modal dan keahlian masing-masing dalam sebuah usaha.
Modal utama adalah uang dan keahlian. Keabsahan syikrah jenis ini telah disepakati
oleh para Ulama.
Dalam perserikatan (syirkah) ini, barang yang disertakan sebagai modal harus lebih
dulu dihitung nilainya sebelum aqad berlangsung. Nilai modal atau barang modal dari
masing-masing pihak tidak harus sama.
2. Syirkatul Mufwadhah
Secara bahasa al-mufwadhah adalah al-muswah (persamaan). Dinamakan al-
mufwadhah karena modal, keuntungan, kerugian dan keahlian dalam perserikatan
ini harus sama.
Syirkatul mufwadhah adalah akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih untuk usaha bersama dengan syarat modal, keahlian serta agama harus sama
kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi sama pula. Menurut Hanafiyah dan
Zaidiyyah bahwa dalam syirkah ini, masing-masing pihak boleh melakukan keputusan
atau kebijakan sesuai kebutuhan tanpa harus meminta pertimbangan mitranya.
Sedangkan menurut malikiyah hal semacam ini disebut syirkatul inan. Malikiyah
menetapkan syarat dalam syirkah mufawadhoh yaitu setiap kebijakan yang diambil
oleh salah satu pihak harus seizin mitranya.
Yang rajih -wallahu aalam- adalah pendapat jumhur yaitu dalam syirkah
mufwadhah masing-masing pihak harus meminta pendapat dan kerelaan mitranya
dalam kebijakan dalam bisnisnya agar tidak ada gharar dan jahalah (penipuan).[11]
b. Syirkah bil Aml atau bil Abdn (Persyarikatan Pada Tenaga/ Keahlian)
Syirkah ini bertumpukan pada fisik atau keahlian dalam usaha sebagai modal utama.
Misalnya dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam jasa memanen padi atau
mengangkat barang atau membuat perkakas rumah tangga dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, menurut jumhur Ulama tidak disyaratkan kesamaan tenaga atau
keahlian pada masing-masing pihak dan hasil dibagi sesuai kesepakatan bersama.
Perserikatan seperti ini sah menurut jumhur ulama walaupun kemampuan masing-
masing tidak sama. Ulama yang membolehkan adalah dari kalangan hanafiyyah,
malikiyah, hanabilah serta zaidiyyah,[12] berdasarkan :
Ibnu Masud Radhiyallahu anhu mengatakan, Aku bersyerikat dengan Ammar dan
Saad dalam perang badar (atas hasil rampasan), lalu Saad berhasil menawan dua
tawanan sedangkan aku dan ammar tidak mendapatkan apa-apa (lalu kami bagi
bertiga), dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan kami.
[13]
Yang rajih wallahu alam- adalah pendapat Jumhur, karena gharar dengan sebab
jahalah (ketidak jelasan) modal tenaga tersebut sangat tipis sehingga tidak
mempengaruhi hukum. Juga karena jahalah yang tipis itu akan teratasi dengan
syarat-syarat yang telah disepakati.
Syirkah semacam ini dibolehkan oleh Ulama hanafiyah, hanbilah dan zaidiyyah
dengan dalil bahwa ini termasuk syirkatut tadhamun (penanggungan) wa taukl
(perwakilan) yaitu setiap persero dan mengkalim barang yang ia tanggung dari hasil
pinjaman tersebut dan juga dapat mewakilkan kepada syariknya untuk melakukan
pembelian dan penjualan, Alasan lain adalah perbuatan ini telah lama dilakukan kaum
muslimin dari masa kemasa dan tidak terdengar satupun ulama yang melarangnya.
Ringkas kata bahwa hasil kesepakatan dari para syarik merupakan suatu bentuk
amal(tenaga) dalam usaha bersama. Sehingga menurut mereka hal yang demikian
diperbolehkan[16] .
d. Syirkatul Mudhrabah
Syirkatul mudhrabah disebut juga qiradh. Ini adalah gabungan dari syirkatul amwl
dari salah satu pihak dan syirkatul abdn dari pihak kedua. Misalnya, akad
berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana ada pihak yang
membawa harta sebagai modal usaha sedangkan yang lain membawa badan atau
keahlian untuk berusaha. Syirkah seperti ini hukumnya mubah (boleh). Abbas bin
Abdul Muthalib Radhiyallahu anhu pernah memberikan modal mudlrabah dengan
menetapkan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian berita ini sampai
kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam
membenarkannya. Ijma shahabat juga membenarkan syirkah semacam ini.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu pernah memberikan harta
kepada anak yatim dengan cara mudhrabah. Kemudian Umar Radhiyallahu anhu
meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian
tadi dibagikan kepadanya oleh al-Fadlal.
Termasuk syirkah mudharabah, bila ada dua pemodal atau lebih yang bersepakat
untuk menyerahkan pengelolaan usaha tersebut kepada salah seorang mereka
dengan batasan dan ketentuan yang disepakati. Dengan demikian akan ada satu
pihak yang menjadi pemodal sekaligus pengelola.
PRINSIP-PRINSIP POKOK SYIRKAH
Dengan memperhatikan berbagai bentuk syirkah dalam Islam, maka terdapat
prinsip-prinsip penting yang harus selalu ada :
1. Untuk jenis syirkatul amwl maka modal harus kontan dan tidak boleh dihutang
atau tidak ditempat akad (ghaib) karena tujuan syirkah ini adalah mencari
keuntungan dengan usaha dan itu tidak akan terwujud jika modal belum diberikan.
[19] Alasan lain yaitu bila modal dihutang atau belum diserahkan sementara pekerja
sudah mengerahkan tenaga dan pikiran, maka itu akan berpeluang menimbulkan
sengketa.
Bila salah satu dari dua orang yang berserikat menghendaki pembubaran, maka
mitranya harus memenuhi permintaan itu. Namun, apabila yang berserikat lebih dari
dua orang, lalu salah seorang minta pembubaran, sementara yang lain tidak, maka
serikat itu dibubarkan terlebih dulu kemudian diperbarui lagi diantara mitra yang
masing ingin terus bekerjasama. Dalam syirkatul mudhrabah, bila pengelola
menghendaki penjualan agar meraih untung, sedang yang lain tidak, maka keinginan
pengelola harus dipenuhi karena keuntungan adalah haknya, sedang untuk
mendapatkannya harus melalui penjualan.
Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama sedangkan kerugian
ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)[20]
Dengan kita mengkaji bagaimana syariat Islm mengatur syirkah, maka kita dapat
menilai bahwa pembentukan syirkah (perseroan) dengan sistem kapitalis yaitu
dengan mementingkan keuntuan pemilik modal belaka merupakan suatu hal yang
bertentangan dengan syariat Islm sehingga harus dilakukan perbaikan atau
perubahan agar sesuai dengan syariat yang Allh Azza wa Jalla turunkan. Wallahu
alam bis shawab
Referensi
1. Al-Qurnul Karm
2. Shahh Muslim, Syarh Imam Nawawi. Cet. Ke-4, tahun 1422 H/ 2001 M, Darul
Hadits, Mesir
3. Sunan Abu Dawud, Karya Abu Dawud Sulaiman as Sijistani, tahqiq Muhammad
Nasiruddin al Albni, cet. Ke-2, tahun 1427 H/ 2007 M, Maktabah al Marif,
Riyadl- KSA
4. Sunan Nasi al-Mujtaba minas Sunan, Ahmad bin Syuain an-Nasai, tahqiq : Abdul
Fattah Ghudh, cet. K-2, tahun 1406 H, Maktabah Islamiyah
5. Al-Mabst, as Sarkhasi, cet. Ke-2, Mathbaah as Saadah, Mesir
6. Badaius Shanai, Abu Bakr Masud bin Ahmad al-Kasani, cet. Ke-1, tahun 1338 H,
al-Jamaliyah, Mesir
7. Hasyiah Raddil Muhtar, al-Hashfaki, tahun 1966 M, al Bby al-Halaby, Mesir
8. Bidyatul Mujtahid Wa Nihyatul Muqtashid , Ibnu Rusd al Hafd, al-Istiqmah,
Mesir.
9. Mugnil Muhtj Ila Marifati Mani Alfdzil Minhj, al khatib as Syarbiini, al Bby
al-Halaby, Mesir
10. Al-Mugni, Ibnu Qudamah al Maqdisi, Cet. Ke-3, Darul Manroh, Mesir
11. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Azzuhaily, cet. Ke-2 , Tahun
1405H/ 1985M, Darul Fikr , Damaskus
Sumber: https://almanhaj.or.id/3632-perseroan-syirkah-sesuai-syariah.html