Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Naskah Asli
Abstract
Procurement and distribution of drugs to community health centers generally performed by health office
districts, such as Depok City, but in the province of Jakarta conducted by the community health centers in sub
district. The purpose of the study was to compare the rational drug use among community health centers in the
district of Depok City and South Jakarta. This study used a cross-sectional design conducted in treatment and
non- treatment community health centers in District X Depok City and district Y South Jakarta period March-
October 2011. Rational drug use data was collected in accordance with WHO procedure. Data was analyzed by
Kruskal Walis test. Conclusion of the study shows that rational drug use based on prescribing indicators in
community health centers in Depok City relatively better than South Jakarta, but no statistically significant (p>
0.05). Rational drug use based on patient care indicators in community health center South Jakarta is relatively
better than Depok city, however, showed no statistically significant (p> 0.05). In contrast to the indicator of
drug preparation time in health centers Depok relatively faster than South Jakarta, showed statistically
significant (p <0.05). Rational drug use based on the indicator of national essential drugs list availability
between sub-district health center in South Jakarta and Depok City is no different, but the indicators of essential
drugs availability in community health centers in Depok City only 95% (not complete).
Abstrak
Pengadaan dan pendistribusian obat untuk puskesmas umumnya dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota,
misalnya Kota Depok, tetapi di Provinsi DKI Jakarta dilakukan oleh puskesmas kecamatan.Tujuan penelitian
adalah membandingkan Penggunaan Obat Rasional di puskesmas kecamatan antara Kota Depok dan Kota
Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang dilakukan pada puskesmas perawatan dan
non perawatan di Kecamatan X Kota Depok dan puskesmas perawatan dan non perawatan di kecamatan Y Kota
Jakarta Selatan pada bulan Maret sampai Oktober 201. Analisis data menggunakan uji Kruskal Walis.
Kesimpulan penelitian menunjukkan Penggunaan obat rasional berdasarkan indikator peresepan di puskesmas
Kota Depok relatif lebih baik daripada Kota Jakarta Selatan, namun secara statistik tidak menunjukkan
perbedaan bermakna (p>0,05). Penggunaan obat rasional berdasarkan indikator pelayanan pasien di puskesmas
kecamatan Kota Jakarta Selatan relatif lebih baik daripada Kota Depok, namun secara statistik tidak
menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Sebaliknya pada indikator rerata waktu penyiapan obat di
puskesmas Kota Depok lebih cepat daripada Kota Jakarta Selatan, secara statistik menunjukkan perbedaan
bermakna (p = 0,002<0,05). Penggunaan obat rasional berdasarkan indikator ketersediaan DOEN/ Formularium
antara puskesmas di kecamatan Kota Depok dan Jakarta Selatan tidak berbeda, tetapi pada indikator
ketersediaan obat penting di puskesmas perawatan Kota Depok hanya 95% (kurang lengkap).
91
97
Pendahuluan diharapkan, yaitu penurunan kualitas terapi
Undang-undang Republik Indonesia yang dapat meningkatkan angka mor-
nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan biditas dan mortalitas, sumber daya yang
menyebutkan bahwa Penggunaan obat tersia-sia yang dapat mengurangi ke-
harus dilakukan secara rasional.1 Peng- tersediaan obat dan meningkatkan biaya
gunaan obat dikatakan rasional apabila pengobatan, resiko efek yang tidak
pasien menerima pengobatan sesuai diinginkan mencetuskan terjadinya reaksi
dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang tidak diinginkan serta resistensi
yang sesuai, dalam periode waktu yang bakteri, dan dampak psikososial yang
adequate dan dengan biaya yang ter- mengakibatkan ketergantungan pasien
jangkau oleh masyarakat. Alasan peng- terhadap obat yang tidak diperlukan.3
gunaan obat rasional adalah untuk mening- Penilaian penggunaan obat rasional
katkan efektivitas dan efisiensi belanja ditinjau dari tiga indikator utama yaitu
obat yang merupakan salah satu upaya cost peresepan, pelayanan pasien dan fasilitas
effective medical interventions. Selain itu kesehatan.4 Indikator ini dapat dipakai
untuk mempermudah akses masyarakat secara cepat untuk menilai penggunan obat
memperoleh obat dengan harga yang rasional di unit pelayanan, membanding-
terjangkau, mencegah dampak peng- kan antar unit, atau menilai perubahan
gunaan obat yang tidak tepat yang dapat sesudah intervensi. Indikator ini sudah
membahayakan pasien dan meningkatkan diuji cobakan di 12 negara berkembang
kepercayaan pasien terhadap mutu pe- dan terbukti dapat dipakai untuk tujuan
layanan kesehatan.2 pemantauan tersebut.5 Penggunaan ketiga
indikator tersebut sebagai berikut :4
Penggunaan obat yang tidak rasional
dapat berakibat pada hal yang tidak
INDIKATOR PARAMETER
93
97
dengan cara systematic random sampling, persentase obat generik, persentase anti-
sebesar 30 pasien per puskesmas. Juga biotik, persentase injeksi dan persentase
semua tenaga petugas obat di lokasi obat dari DOEN. Rerata jumlah obat
penelitian periode Maret-Juni 2011. perpasien pada keempat puskesmas
Pengumpulan data dilakukan dengan tertinggi di puskesmas non perawatan
metode wawancara dan observasi lama sebesar 4,09 dan terendah di puskesmas
konsultasi medis, lama penyiapan obat, non perawatan 3,85. Persentase obat
penyerahan obat aktual dan pelabelan generik terbesar pada puskesmas pe-
cukup. Sampel indikator fasilitas ke- rawatan sebesar 99,15%. Peresepan obat
sehatan adalah ketersedian formula- generik terbesar pada puskesmas pe-
rium/Daftar Obat Esensial Nasional rawatan sebesar 99,15%. Peresepan
(DOEN) yang terdapat di puskesmas serta antibiotik terbesar pada puskesmas pe-
menghitung ketersedian obat penting yang rawatan sebesar 56,0% dan terendah pada
ada di puskesmas berdasarkan indikator puskesmas non perawatan sebesar 32,67%.
obat. Pengumpulan data secara retros- Peresepan obat injeksi di empat puskesmas
pektif. Analisis data statistik meng- sebesar 0,0%. Rerata peresepan obat dari
gunakan uji Mann Whitney. DOEN tertinggi di puskesmas non
perawatan 90,47%. Rerata jumlah obat
Hasil dan Pembahasan
per pasien dan persentase antibiotik dalam
Indikator peresepan resep di puskesmas Kota Depok relatif
Penggunaan obat rasional berdasar- lebih rendah (lebih rasional) daripada Kota
kan indikator peresepan di puskesmas Jakarta Selatan. Persentase obat generik
perawatan dan non perawatan dapat dilihat dalam resep dan persentase obat yang
pada tabel di bawah ini. sesuai DOEN relatif lebih tinggi (lebih
rasional) di puskesmas Kota Depok
Tabel di tersebut menunjukkan indi- daripada Jakarta Selatan. Peresepan obat
kator kerasionalan peresepan, yang terdiri injeksi di empat puskesmas sebesar 0,0%
dari rerata jumlah obat per pasien, menunjukkan penggunaan obat rasional.
4. % Injeksi 0 0 0 0
5. % Obat dari DOEN 89,51 90,47 88,24 85,67
Rerata jumlah obat per resep memilih dokter yang akan meresepkan
Rerata jumlah obat per resep tertinggi di banyak obat dengan keyakinan bahwa
puskesmas non perawatan Jakarta Selatan dokter tersebut lebih mengetahui terapi
(4,09) dan terendah di puskesmas non untuk penyakitnya.11 Pasien akan memiliki
kecenderungan keyakinan bahwa ada obat
perawatan Depok (3,85). Dibandingkan
untuk semua penyakit sehingga mereka
dengan target kerasionalan peresepan Ke-
akan menuntut obat yang berbeda-beda
menkes RI sebesar 2,6, angka ini melebihi
untuk berbagai gejala yang mereka
target. Hasil yang didapat tidak jauh beda
keluhkan.13
dengan penelitian di Indonesia tahun 1993
sebesar 3,3, cukup tinggi dibandingkan Persentase obat generik
negara lain seperti Malaysia, India, Kam- Peraturan Menteri Kesehatan RI tahun
boja, Yemen dan Jordania rerata jumlah 2010 menyatakan adanya kewajiban
obat perresep berkisar 2,6. Namun di- penulisan resep obat generik oleh dokter di
bandingkan dengan standar WHO sebesar fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.14
1,6-1,8, hasil penelitian menunjukan Namun hasil penelitian ini menunjukan
memungkinkan adanya polifarmasi.4 bahwa tingkat peresepan obat generik yang
Masalah polifarmasi terjadi ke- terbesar ada di puskesmas perawatan di
mungkinan disebabkan pola terapi dokter Kota Depok (99,15%) sedangkan persen-
diberikan dengan fokus gejala bukan tase terendah ada di Puskesmas perawatan
diagnosis. Tekanan dari pasien yang di Jakarta Selatan (96,64%). Persentase
menginginkan cepat hilangnya gejala peresepan obat generik di empat Pus-
penyakit juga dapat mendorong dokter kesmas tidak jauh berbeda dengan hasil
untuk meresepkan banyak obat seperti penelitian sebelumnya sebesar 98,82%.15
analgesik dan antibiotika.13 Dampak eko-
Pengadaan obat di puskesmas pe-
nomi dari tingginya polifarmasi di pus-
rawatan dan non perawatan di Jakarta
kesmas tidak dirasakan secara langsung Selatan mengacu pada Formularium Obat
oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
puskesmas yang bertujuan mengefektivitas
pasien hanya membayar Rp. 2.000, pengadaan obat, maka obat yang diizinkan
selanjutnya pasien tidak membayar lagi
untuk diadakan minimal 85% obat 0078
untuk obat yang akan ditebusnya di loket
generik dan maksimal 15% untuk obat
obat puskesmas. Semakin tinggi tingkat dengan nama dagang atau obat tradisional
polifarmasi berarti semakin banyak jum-
yang telah teruji secara klinis.8 Hal ini
lah obat yang harus disediakan di pus- yang menyebabkan peresepan obat generik
kesmas. Hal tersebut berakibat pada tidak 100% di puskesmas perawatan dan
bertambahnya biaya yang digunakan untuk non perawatan di Jakarta Selatan.
pengadaan obat. Peningkatan biaya pe-
ngadaan obat yang menggunakan dana Sistem pengadaan obat di Dinkes Kota
APBN dan APBD secara tidak langsung Depok dilakukan melalui tender atau
dapat menambah beban ekonomi masya- pelelangan umum yang diikuti oleh
rakat melalui peningkatan target penerima- pedagang besar farmasi. Tersedianya obat
an pajak pemerintah.Selain dampak dengan nama merek dagang di Puskesmas
ekonomi, penggunaan obat yang ber- dapat terjadi akibat adanya kekosongan
lebihan juga dapat menstimulasi per- obat generik di pasaran saat dilakukan
mintaan pasien untuk diberikan banyak tender. Namun demikian Dinas Kesehatan
obat.3 Jika pasien terbiasa mendapatkan Kota Depok tetap melakukan pengadaan
jumlah obat yang banyak maka pasien obat generik karena ingin memenuhi target
akan memiliki kecenderungan untuk Kemenkes RI yaitu 100% obat generik di
Puskesmas.
95
97
Peresepan antibiotik untuk menghindari akibat yang tidak
Peresepan antibiotik pada Puskesmas diinginkan.
perawatan non perawatan di Jakarta Peresepan injeksi
Selatan cukup berbeda. Persentase
Pada umumnya sediaan injeksi di
tertinggi peresepan antibiotik ada di
puskesmas banyak digunakan untuk pro-
Puskesmas perawatan Jakarta Selatan
gram keluarga berencana. Pada pelayanan
(56,00%) sedangkan yang terendah ada di
poli umum, dapat dikatakan bahwa tidak
Puskesmas non perawatan Jakarta Selatan
ada peresepan injeksi. Pada Puskesmas
(32,67%). Data tersebut tidak lebih baik
perawatan Jakarta sediaan injeksi hanya
dibandingkan yang terjadi di Indonesia
tersedia di ruangan praktek dokter, jadi
tahun 1993 yaitu 43,0%.5 Data dari negara
tidak diresepkan. Hasil penelitian
lain menunjukkan penggunaan antibiotik
menunjukan bahwa tidak ada peresepan
yang tinggi adalah 60,9% di India, 66,0%
injeksi di empat puskesmas. Hal tersebut
di Kamboja, 66,2% di Yemen dan di
sangat berbeda dengan hasil penelitian di
Malaysia lebih rendah dibandingkan
Indonesia pada tahun 1993 yaitu tingkat
negara lain yaitu 23,2%.11,12,13 Menurut
peresepan injeksi dikategorikan tidak tepat
WHO, peresepan antibiotik untuk negara
dan berlebihan (10-80%).5Pemerintah
yang lazim dengan penyakit infeksi Indonesia perlahan-lahan melakukan
diharapkan antara 15% - 20%.4 intervensi untuk mengurangi peresepan
Peresepan antibiotik yang berlebihan injeksi di puskesmas. Faktor-faktor yang
kemungkinan dikarenakan estimasi ber- dapat mempengaruhi penurunan tingkat
lebihan terhadap keparahan penyakit dan peresepan injeksi adalah:
keinginan dokter maupun pasien agar a. Intervensi pemerintah. Pemerintah
gejalapenyakit cepat hilang.13 Dari ber-
berperan besar dalam menekan
bagai pendekatan yang dilakukan untuk tingginya tingkat peresepan injeksi
meningkatkan kerasionalan penggunaan melalui penetapan standar terapi,
obat, terlihat banyaknya faktor yang regulasi pengadaan obat dan pe-
mempengaruhi peresepan anti-biotik se- ningkatan pengetahuan tenaga ke-
perti kurangnya pengetahuan dan kebiasa- sehatan.10
an dalam meresepkan obat.10 Pemerintah b. Peningkatan pengetahuan dokter dan
sudah membuat Pedoman Pengobatan masyarakat Indonesia. Pengetahuan
Dasar di Puskesmas (2007), yang me- masyarakat tidak lagi terbatas bahwa
rupakan salah satu perangkat untuk berobat ke dokter harus disuntik jika
tercapainya penggunaan obat rasional dan ingin sembuh.
salah satu manfaatnya yaitu pasien hanya
memperoleh obat yang dibutuhkan, namun Perkembangan dunia farmasi di Indonesia.
masih belum terlaksana pengobatan yang Perkembangan farmasi di Indonesia me-
mengacu pada Pedoman Pengobatan Dasar nyebabkan adanya peningkatan pilihan
di Puskesmas.16 Akibat yang paling sediaan obat yang beredar. Dengan de-
dikhawatirkan dari peresepan antibiotik mikian, sediaan obat yang beredar tidak
yang berlebihan adalah terjadinya lagi terbatas pada sediaan injeksi. Ke-
resistensi terhadap antibiotik. Resistensi tersediaan obat berpengaruh terhadap
anti-biotik dapat mengakibatkan dampak peresepan obat.16
yang merugikan baik dari segi ekonomi Persentase obat dari DOEN
(bertambahnya biaya terapi) maupun klinis
(bertambahnya keparahan penyakit).4,5 Secara keseluruhan dari hasil pe-
Oleh sebab itu persentase peresepan nelitian persentase peresepan obat dari
antibiotik diharapkan serendah mungkin DOEN berkisar antara 85,67% sampai
90,47% yang masih di bawah target
97
97
Tabel 4. Hasil uji Mann-Whitney indikator pelayanan pasien pada puskesmas
perawatan di Kota Depok dan Jakarta Selatan, 2011
tingkat kelurahan. Hal ini dapat dilihat persediaan obat dan obat pengganti habis
dengan adanya perbedaan yang nyata pada saat bersamaan dan obat yang
rerata waktu konsultasi pada Puskesmas diresepkan lupa diserahkan mungkin
perawatan Depok dan non perawatan serta karena ketidaktelitian petugas saat
pada Puskesmas perawatan Jakarta dan mengerjakan resep.
non perawatan.
Persentase obat dengan pelabelan cukup
Rerata waktu penyiapan obat
Rerata persentase obat dengan
Waktu penyiapan obat menunjukan pelabelan cukup di empat puskesmas
durasi yang diperlukan petugas farmasi berkisar antara 36,67-60,0%. Angka ter-
mulai dari menerima resep sampai dengan sebut menunjukkan bahwa tingkat pem-
menyerahkan obat kepada pasien. Rerata berian label/etiket obat masih rendah
waktu penyiapan obat yang didapat dari dibandingkan dengan negara Malaysia
hasil penelitian di empat puskesmas ber- yang rerata persentase obat dengan pe-
kisar antara 7,9 -12,06 menit. Hasil ini labelan cukup sebesar 92,0%. Tingkat
waktunya terbilang lama jika di- pelabelan cukup yang masih rendah
bandingkan dengan negara Kamboja yang tersebut mungkin dapat terjadi karena
rerata waktu penyiapan obatnya sebesar ketidakseimbangan antara jumlah pasien
3,2 menit, meskipun waktu ini dianggap yang berobat dan petugas obat yang ter-
cepat karena standar nasional rerata waktu sedia sehingga pekerjaan petugas far-masi
penyiapan obat di negara Kamboja sebesar menjadi kurang optimal serta kurang-nya
lebih dari 50 menit. Seharusnya waktu pe- edukasi mengenai pelabelan obat bagi
nyiapan obat yang lebih lama mendukung tenaga farmasi. Hal ini bisa dilihat dari
pasien untuk memperoleh informasi yang hasil penelitian, didapatkan hasil per-
lebih lengkap mengenai medikasi yang sentase obat dengan pelabelan cukup di
diterima dari petugas farmasi, tetapi dari Puskesmas perawatan Jakarta paling tinggi
hasil observasi hal ini tidak terjadi. Ada- dibandingkan yang lain yaitu sebesar 60%
nya perbedaan waktu penyiapan obat di karena ketenagaan apoteker cukup
empat puskesmas mungkin disebabkan memadai dibandingkan dengan puskesmas
oleh lamanya waktu tunggu pasien akibat yang lain. Perbandingan antara rerata
kurangnya tenaga farmasi. jumlah pasien perhari dengan petugas
Persentase obat yang diserahkan secara farmasi yang tersedia 200:1, dibandingkan
aktual dengan Perawatan Depok 250:1. Per-
bandingan tingkat kelurahan, Pus-kesmas
Penyerahan obat secara aktual me- non perawatan Jakarta Timur dengan Non
nunjukkan semua obat yang diresepkan perawatan 60:1 dan 150:1. Puskesmas non
dapat diserahkan kepada pasien. Per- perawatan Depok memiliki nilai persen-
sentase obat yang diserahkan secara aktual tase yang terendah hal ini disebabkan
di empat puskesmas termasuk baik ber- beban kerja yang kurang sesuai dan
kisar antara 97,56 - 100%. Hal ini kurangnya edukasi bagi petugas farmasi di
menunjukan tercukupinya persediaan obat sana. Dampak dari obat dengan pelabelan
dibagian gudang farmasi di tiap pus- yang tidak cukup memungkin-kan pasien
kesmas. Ketidaksesuaian penyerahan obat salah minum obat dan memungkinkan
karena perbedaan jumlah obat diresepkan terjadinya efek obat yang tidak diharap-
dengan obat diserahkan juga terjadi saat kan.15
observasi. Ketidaksesuaian jumlah obat
Persentase pasien yang memahami
dapat terjadi karena beberapa hal yaitu,
regimen obat
99
99
Hasil wawancara tentang pemahaman kan hal ini tidak sepenuhnya terjadi. Tanpa
pasien mengenai regimen obat yang di- pengetahuan yang cukup mengenai resiko
terima terbilang rendah dengan persentase dan manfaat penggunaan obat, kapan dan
sebesar 58,33%. Tidak jauh berbeda bagaimana cara menggunakan obat, pe-
dibandingkan dengan negara Kamboja ngobatan pasien tidak seperti yang di-
sebesar 56,7%, namun masih rendah jika harapkan dan pasien beresiko terhadap
dibandingkan dengan negara Malaysia efek obat yang merugikan. Strategi edu-
sebesar 74,9%. Penyebab pemahaman kasi dan pelatihan dapat diterapkan, bukan
pasien yang rendah dapat terjadi karena hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk
obat dengan pelabelan yang tidak cukup tenaga kesehatan yang bertugas di pus-
sehingga informasi yang diterima pasien kesmas dalam mendorong kerasionalan
kurang dan kurangnya kualitas interaksi penggunaan obat.15 Hal-hal yang ber-
antara petugas penyerahan obat dengan kenaan pada saat penyerahan obat meru-
pasien.12 Pasien yang berobat ke pus- pakan kegiatan dalam pelayanan ke-
kesmas memiliki latar belakang pen- farmasian di puskesmas yang harus
didikan yang berbeda, oleh karena itu dilakukan oleh seorang apoteker. Terlihat
seharusnya dilakukan upaya berupa edu- pada hasil penelitian puskesmas perawatan
kasi tentang pemakaian obat yang tepat yang memiliki apoteker, persentase pasien
oleh apoteker yang bertugas.15 Pada saat yang memahami regimen dosis lebih tinggi
penyerahan obat, salah satu hal yang dari pada puskesmas yang tidak memiliki
dilakukan oleh petugas adalah mem- apoteker, dalam hal ini adalah Puskesmas
berikan informasi cara penggunaan obat non perawatan di Jakarta Selatan dan kota
dan hal-hal lain yang terkait dengan obat Depok. Pekerjaan kefarmasian adalah
tersebut, antara lain manfaat obat, ma- melakukan penyerahan dan pelayanan obat
kanan dan minuman yang harus dihindari, berdasarkan resep dokter dilaksanakan
kemungkinan efek samping dan cara oleh apoteker. Sehingga penempatan
penyimpanan obat.16 Namun karena tidak seorang apoteker di puskesmas sangat di
seimbangnya tenaga farmasi dengan jum- perlukan demi meningkatkan pelayanan
lah pasien dan kurangnya pengetahuan kefarmasian.17
tenaga farmasi yang bertugas memungkin-
101
101
2. Nasirah Bahaudin. Implementasi Kebijakan 12. Use and Health Service in Hadra-mout,
Penggunaan Obat Rasional (POR) Di Yemen. Eastern Mediteranean Health
Indonesia...Presentasi Direktur Bina Peng- Journal Vol.16 No.2, 2010, p 151-155.
gunaan Obat Rasional. Ditjen Bina Ke- 13. Chanin Chareonkul., Va Luong Khun,
farmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Chaweewon Boonshuyar. Rational Drug Use
Kesehatan RI, 2010. in Cambodia: Study of Three Pilot Health
3. WHO Action Programme on Essential Drugs Centers in Kampong Thom Province.
and Vaccines, International Network for the Southeast Asian. J Trop Med Public
Rational Use of Drugs. Problem of Irrational Health.Vol 33 No.2, 2002, p 418-424.
Drug Use. Geneva: World Health Orga- 14. Bhartiy, S. S., Shinde, M., Nandheswar, S., &
nization, 2000. Tiwari, S.C. Pattern of prescribing practices in
4. World Health Organization. How to the Madhya Pradesh, India. Kathmandu
Investigate Drug Use in Health Facilities. University Medical Journal , 6 (1), 2008, p
Geneva: World Health Orga-nization, 1993. 55-59.
5. Hogerzeil, H. V., Bimo, Ross-Degnan, D., 15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indo-
Laing, R. O., Ofori-Adjei, D., San-toso, nesia Nomor HK.02.02 /Menkes /068/1/2010
Kamaruzan, Saleh., Mohamed Izham Tentang Kewajiban Penggunaan Obat
Mohamed Ibrahim. How Rational Are Drug Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Used In Malaysian Primary Health Care Pemerintah.
Sector. Malaysian Journal of Pharmaceutical 16. Kartika Citra Dewi Permatasari. Evaluasi
Sciences, Vol.4, No.1, 2006. hal 1-12. Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau Dari
6. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian Indikator Peresepan Menurut WHO Di
dan Alat Kesehatan. Modul Penggunaan Obat Seluruh Puskesmas Kecamatan Kota Depok.
Rasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, Skripsi Program Studi Farmasi FMIPA-UI,
2002. Depok, 2011.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik 17. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Indonesia Nomor 128/Menkes /SK/II/-2004 Klinik. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian
Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan dan Alat Kesehatan. Pedoman Pelayanan
Masyarakat. Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Depar-
8. Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi temen Kesehatan RI, 2006.
DKI Nomor 9248/2009 Tentang Pem- 18. Handayani, R.S., Supardi, S., Raharni, &
berlakuan Revisi Formularium di Puskesmas Susyanty, A. L. Ketersediaan dan peresepan
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009. obat generik dan obat esensial di fasilitas
9. World Health Organization. Sampling to pelayanan kefarmasian di 10 kabupaten/kota
Study Drug Use. http://www.who.int/- di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem
selection_medicines/en/. 2008. Kesehatan , 13 (1) 2010, hal. 54-60.
10. Arustiyono. Promoting Rational Use of Drugs 19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
at The Community Health Centers in Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Indonesia. Department of International Health Kefarmasian.
School of Public Health. Boston University, 20. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
1999. Indonesia Nomor 791/Menkes/ SK/ VIII/2008
11. Bashrahil, K. A., Indicators of Rational Drug Tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2008.