Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Bab I
PENDAHULUAN
Di era milenium ini, setiap hari bahkan setiap saat, kepada kita disajikan
pelbagai macam iklan atau upaya pemasaran pelbagai macam produk dan jasa. Iklan-
iklan itu dengan gencarnya menyapa kita melalui berbagai media, terutama TV dan
radio. Melalui internet, iklan-iklan itu juga datang silih berganti. Iklan juga
menyergap kita melalui telepon seluler. Jangan ditanya iklan melalui surat kabar dan
majalah. Juga melalui film layar lebar di gedung bioskop. Iklan-iklan juga mejeng
secara mentereng melalui billboard, spanduk, umbul-umbul, dll. Tentu saja iklan juga
muncul melalui poster, leaflet atau brosur. Belum lagi iklan melalui selebaran yang
secara berdesakan nongol di tembok-tembok, tiang listrik/telepon, pagar rumah, dll.
Ada juga iklan yang disamarkan melalui tulisan ilmiah atau tulisan populer. Jangan
dilupakan iklan atau pemasaran produk atau jasa yang dikemas secara sangat
professional dalam bentuk pameran, seminar atau pertemuan. Belum lagi iklan atau
upaya pemasaran yang dilakukan secara agresif melalui tatap mula langsung dari
rumah ke rumah dan secara berantai (multy level marketing). Demikian pula upaya
yang dilakukan melalui loby kepada pelbagai pihak, khususnya pengambil kebijakan,
agar produk atau jasanya dapat dipergunakan oleh khalayak luas. Dan masih banyak
lagi cara-cara kreatif yang dilakukan dalam rangka menjajakan suatu produk atau jasa.
Upaya-upaya itu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap lakunya suatu
produk atau jasa. Produk atau jasa apa saja, termasuk produk atau jasa di bidang
kesehatan serta produk dan jasa yang merugikan kesehatan seperti rokok, minuman
keras, obat-obatan yang tidak layak, dll. Itu semua termasuk upaya pemasaran atau
upaya untuk mempromosikan produk atau jasa. Pada zaman dulu upaya itu disebut
propaganda.
Upaya ini berkembang pada tahun 1960 an, sampai kemudian mengalami
perkembangan lagi pada tahun 1975 an, menjadi Penyuluhan Kesehatan. Meski
fokus dan caranya sama, tetapi istilah Pendidikan kesehatan itu berubah menjadi
Penyuluhan Kesehatan, karena pada waktu itu istilah pendidikan khusus
dibakukan di lingkungan Departemen Pendidikan. Pada sekitar tahun 1995 istilah
Penyuluhan kesehatan itu berubah lagi menjadi Promosi Kesehatan. Perubahan itu
dilakukan selain karena hembusan perkembangan dunia (Health promotion mulai
dicetuskan di Ottawa pada tahun 1986), juga sejalan dengan paradigma sehat, yang
merupakan arah baru pembangunan kesehatan di Indonesia. Istilah itulah yang
berkembang sampai sekarang, yang antara lain menampakkan wujudnya dalam bentuk
pemasaran atau iklan, yang marak pada era milenium ini
.
Perjalanan dari propaganda, kemudian menjadi pendidikan, lalu penyuluhan dan
sekarang promosi kesehatan itu, merupakan sejarah. Dalam perjalanan dari waktu ke
waktu itu ada kejadian atau peristiwa yang patut dikenang, dan ada cerita atau kisah
yang menarik, mengharukan, atau juga lucu. Tetapi yang penting pastilah ada hikmah,
kebijaksanaan, nilai atau wisdom yang dapat diangkat dari rentetan kisah atau cerita
itu. Hikmah, kebijaksanaan, nilai atau wisdom itu tentulah sangat besar manfaatnya
bagi kita semua, terutama generasi muda yang merupakan penerus pembangunan
bangsa tercinta ini. Kebijaksanaan itu pula yang rasanya patut sekali dapat dimiliki
oleh para pembuat kebijakan, yang menentukan arah perkembangan negara kita di
masa y.a.d. Demikianlah, maka sejarah atau perkembangan tentang promosi kesehatan
di Indonesia itu perlu dituliskan. Penulisan sejarah atau perkembangan promosi
kesehatan di Indonesia itu dirasakan semakin perlu karena nampaknya sejarah
berulang. Apa yang kita pikirkan sekarang, rupanya sudah pernah dipikirkan bahkan
dilaksanakan pada waktu yang lalu. Melalui tulisan ini diharapkan kita dapat lebih
cepat belajar dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan
pada waktu yang lalu itu
.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sejarah di sini bukan dalam arti
rentetan peristiwa dalam tanggal, bulan dan tahun. Tetapi sejarah adalah uraian
tentang peristiwa nyata berupa fakta dan data yang bisa dijadikan bahan analisa untuk
disimpulkan manfaat dan mudaratnya bagi pijakan untuk kegiatan masa kini dan yang
akan datang. Di sini sejarah lebih mempunyai arti ke depan. Dalam kaitan itu
beberapa negara sedang ribut dalam penulisan sejarah ini. Korea, Jepang dan China
berebut meluruskan sejarah dengan versi masing-masing. Pemerintah RI sejak
merdeka sampai sekarang juga sangat berkepentingan dengan penulisan sejarah. Ini
menunjukkan bahwa sejarah sering dibuat untuk kepentingan sesaat demi pemenuhan
si pembuat sejarah. Seharusnyalah bahwa sejarah itu netral. Yang penting adalah
tentang pembelajaran sejarah. Makna, nilai atau kebijaksanaan apa yang dapat
ditangkap di balik kejadian atau rentetan peristiwa itu. Para pembacalah yang
menganalisis sendiri, menyimpulkan dan mengambil makna sebagai landasan untuk
pengambilan kebijakan bagi langkah-langkah tindakannya masa kini dan yang
akandatang.
Sejarah, menurut Prof Nugroho Notosutanto, mengandung dua hal: fakta dan
persepsi. Di satu pihak merupakan rentetan peristiwa berdasar fakta. Tekanannya pada
uraian fakta yang bersifat deskriptif. Di pihak lain sejarah juga merupakan persepsi
dari para pelaku, para saksi dan para pengamatnya. Tekanannya berupa analisis
peristiwa bahkan dilanjutkan dengan prediksi ke depan. Demikianlah, maka sejarah
perkembangan Promosi Kesehatan di Indonesia ini ditulis senetral dan seobyektif
mungkin berdasarkan fakta sesuai rentetan peristiwa
.
Namun demikian juga tidak dapat dihindari adanya pandangan subyektif berupa
analisis dan prediksi dari para pelaku, para saksi atau pengamat yang kebetulan
menjadi penulisnya. Sikap subyektif ini ditekan seminimal mungkin karena buku ini
ditulis oleh satu tim yang terdiri dari berbagai unsur dan lintas generasi. Selanjutnya
kebenaran deskripsi fakta, analisis dan prediksi tim penulis ini diserahkan sepenuhnya
kepada para pembaca. Para pembaca buku ini dapat siapa saja : para pengambil
kebijakan, praktisi lapangan, kalangan Perguruan Tinggi khususnya mahasiswa,
kalangan ilmuwan, para profesional, media massa, dan lain-lain. Melalui tulisan ini,
para pembaca diharapkan dapat menangkap makna, nilai atau kebijaksanaan di setiap
peristiwa itu dan memanfaatkannya untuk menghadapi masalah sekarang dan yang
akan datang, untuk peningkatan kesehatan masyarakat pada khususnya dan
pembangunan nasional pada umumnya. Setidak-tidaknya tulisan ini diharapkan dapat
menjadi dokumen tertulis yang memperkaya dokumen-dokumen lain, yang ternyata
tidak banyak jumlahnya
.
Buku tentang sejarah atau perkembangan Promosi Kesehatan ini diberi nama
Perkembangan Dan Tantangan Masa Depan Promosi Kesehatan Di Indonesia,
dengan sub judul: Dari Propaganda, Pendidikan dan Penyuluhan Sampai Promosi
Kesehatan. Ini berarti bahwa meskipun buku ini ditulis berdasar rentetan peristiwa,
tetapi yang ingin diungkap terutama adalah makna yang dapat ditarik dari balik
rentetan peristiwa itu. Maka periodesasi atau kurun waktu perjalanan promosi
kesehatan dikaitkan dengan isu yang mengemuka serta widom yang dapat dipetik di
setiap periode atau kurun waktu itu. Sekali lagi yang diharapkan dari buku ini adalah
bahwa pembaca dapat belajar dari masa lalu, untuk menghadapi masalah sekarang,
serta terutama untuk menjajagi dan proaksi masa depan, sebagaimana dikatakan oleh
orang bijak yang dikutip pada awal tulisan ini
.
Mengenai istilah Promosi Kesehatan sendiri juga mengalami perkembang
Mula-mula dicetuskan di Ottawa, Canada pada tahun 1986 (dikenal dengan Ottawa
Charter), oleh WHO promosi kesehatan didefinisikan sebagai: the process of
enabling people to control over and improve their health. Definisi tersebut
diaplikasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi : Proses pemberdayaan
masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya. Definisi
ini tetap dipergunakan, sampai kemudian mengalami revisi pada konferensi dunia di
Bangkok pada bulan Agustus 2005, menjadi: Health promotion is the process of
enabling people to increase control over their health and its determinants, and
thereby improve their health (dimuat dalam The Bangkok Charter). Definisi baru ini
belum dibakukan bahasa Indonesia. Selain istilah Promosi Kesehatan, sebenarnya
juga beredar banyak istilah lain yang mempunyai kemiripan makna, atau setidaknya
satu nuansa dengan istilah promosi kesehatan, seperti : Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE), Pemasaran sosial, Mobilisasi sosial, Pemberdayaan masyarakat, dll.
Istilah-istilah tersebut juga akan diulas dalam buku ini, dalam bab-bab yang berkaitan
.
Buku ini terdiri dari 11 bab. Masing-masing bab, mulai bab II sampai dengan
bab V mencoba menceritakan : peristiwa atau kejadian secara ringkas pada waktu itu,
pemikiran atau konsep yang mengemuka, pengalaman empirik di lapangan, tokoh atau
figur yang menonjol, serta pelajaran yang dapat ditarik dari episode itu. Dalam
beberapa bab itu ada juga diselipkan cerita atau kisah ringan yang merupakan
kenangan khusus pada waktu itu. Sedangkan bab VI khusus bercerita tentang
perkembangan Promosi Kesehatan dari segi organisasi, yang mengalami pasang surut.
Pernah menjadi jabatan yang berada langsung di bawah Menteri Kesehatan (dapat
disebut setara eselon I) di awal kemerdekaan, pernah pula menjadi eselon III pada era
1960-1970 an
.
Kemudian menjadi beberapa unit eselon II. Bab VII bercerita tentang
perkembangan Pendidikan Kesehatan di Perguruan Tinggi, baik di Jakarta maupun di
kota-kota lain, juga yang ada di PT Swasta. Bab VIII bercerita tentang perkembangan
tenaga profesional Penyuluh atau Promosi Kesehatan, yang ternyata juga sudah
dimulai di zaman awal kemerdekaan dulu, sampai pengembangannya secara besar-
besaran pada era 1970 an dan terus berlangsung sampai sekarang. Dalam bab itu juga
dikisahkan perkembangan organisasi profesi Tenaga Penyuluh Kesehatan, baik
sebagai jabatan profesional di lingkungan pemerintahan, maupun sebagai organisasi
profesi yang juga mempunyai hubungan dengan organisasi sejenis di luar negeri. Bab
IX tentang Proaksi Promosi Kesehatan di masa depan. Secara ringkas diuraikan
kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi dengan dilatar belakangi
analisis situasi dan kecenderungan ke depan. Di dalamnya termasuk kaitannya dengan
the Bangkok Charter yang dihasilkan dalam Konferensi Dunia Promosi Kesehatan
ke-enam di Bangkok, Thailand pada bulan Agustus 2005. Bab X mencoba
mendokumentasikan kesan dan pesan dari para pelaku atau mereka yang terkait
dengan upaya promosi kesehatan, baik yang berada di Jakarta maupun di kota-kota
lain, yang berada di unit promosi kesehatan atau di unit lainnya, di pemerintahan dan
di luar pemerintahan. Terakhir bab XI adalah bab Penutup, yang juga memuat
kesimpulan dan sumbang saran yang berkaitan dengan promosi kesehatan untuk masa
sekarang dan yang akan datang. Dalam beberapa bab terasa terjadi pengulangan,
tetapi hal itu tidak dapat dihindari, bahkan semoga dapat memperkuat cerita. Ini sesuai
dengan salah satu jargon Health Education, bahwa Educationisreenforcement.
Dengan membaca buku perkembangan promosi kesehatan di Indonesia ini, kita
mencoba sedikit menoleh ke belakang, mencoba mengamati apa yang telah dilakukan
oleh para pendahulu kita. Kemudian dengan mengambil pelajaran dan hikmah yang
ada di dalamnya, kita bertekad melangkah untuk menjalaninya dengan melihat ke
depan, sebagaimana dikatakan oleh Soren Kierkegaard, seorang filsuf Jerman, yang
dikutip di awal tulisan ini.
Bab II
Masa Penjajahan
Pada waktu itu sebagian besar rakyat di pedesaan masih sangat dipengaruhi
oleh kebiasaan, kepercayaan akan tahayul, sedangkan pengobatan lebih percaya pada
dukun. Ibu-ibu pada waktu melahirkan bayinya juga lebih banyak ditolong oleh
dukun. Kondisi hygiene-santasi masih sangat buruk, dan berobat ke dokter masih
menimbulkan rasa takut. Banyak penyakit timbul karena pola hidup yang tidak bersih
dan tidak sehat. Pada waktu itu sering terjadi wabah malaria, kolera, sampar, dan
cacar. Di samping itu juga sering terjadi wabah busung lapar di daerah-daerah
tertentu. Sedangkan penyakit frambusia/patek/puru, kusta dan tuberkulosis merupakan
penyakit rakyat. Usaha preventif pertama yang dilakukan adalah pemberian vaksin
cacar yang hanya dilakukan dalam kelompok terbatas. Usaha lainnya yang sebenarnya
tertua usianya adalah pengasingan para penderita kusta, tetapi itu lebih sebagai usaha
pencegahan penularan semata-mata. Selain itu juga ada kegiatan pengasingan para
penderita sakit jiwa, yang hanya dilakukan terhadap mereka yang berbahaya bagi
masyarakat sekelilingnya.
Dengan adanya wabah kolera, pada tahun 1911 di Batavia dibentuk badan yang
diberi nama Hygiene Commissie yang kegiatannya berupa: memberikan vaksinasi,
menyediakan air minum dan menganjurkan memasak air untu diminum. Perintis
usaha ini adalah Dr. W. Th. De Vogel. Selanjutnya pada tahun 1920 diadakan jabatan
propagandist (juru penyiar berita) yang meletakkan usaha pendidikan kesehatan
kepada rakyat melalui penerbitan, penyebar luasan gambar dinding, dan pemutaran
film kesehatan. Usaha ini karena penghematan dihentikan pada tahun 1923.
Pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Kegiatan
pertamanya berupa pemberantasan cacing tambang di daerah Banten. Bentuk
usahanya dengan mendorong rakyat untuk membuat kakus/jamban sederhana dan
mempergunakannya. Lambat laun pemberantasan cacing tambang tumbuh menjadi
apa yang dinamakan Medisch Hygienische Propaganda. Propaganda ini kemudian
meluas pada penyakit perut lainnya, bahkan melangkah pula dengan penyuluhan di
sekolah-sekolah dan pengobatan kepada anak-anak sekolah yang sakit. Timbullah
gerakan, untuk mendirikan brigade sekolah dimana-mana. Hanya saja gerakan ini
tidak lama usianya.
Baru pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk
Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas
Kuratif tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam hubungan usaha
higiene ini perlu disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari Rocckefeller Fundation
(Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai
1939, dengan menitik beratkan pada Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat. Ia
mengangkat kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische
Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita
penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan
Pendidikan Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak
informasi tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan
lingkungan serta usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan (cacing tambang,
malaria, tbc.). Ia mengadakan pendekatan dalam upaya membangkitkan dan
menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan seperti ini nanti dikenal dengan
nama pendekatan edukatif). Yang menonjol pada waktu itu adalah penggunaan
media pendidikan (booklets, poster, film dsb) dan juga kunjungan rumah yang
dilakukan oleh petugas sanitasi yang terdidik.
Kemudian timbul suatu pekerjaan secara teratur dalam lapangan Medisch Hyg.
Propaganda dan hygiene yang seksama di daerah-daerah desa, dibawah pimpinan
dokter-dokter. Suatu daerah percontohan diadakan di wilayah Kabupaten Banyumas .
Disamping itu diadakan suatu sekolah Mantri Kesehatan
.
Berkat kegiatan mereka jang mendjalankan tugasnja dalam lapangan tersebut,
maka pekerdjaan tadi dalam arti sebenarnyja mendjelma sebagai suatu pendidikan
tentang kesehatan kepada rakyat bukan saja suatu medisch hygiensche propaganda.
Meskipun para pegawai acapkali menghadapi orang-orang jang salah faham
tentang pekerjaan itu dan mengalami berbagai penghinaan, akan tetapi dengan
penuh keyakinan tentang kesucian pekerjaan itu, mereka menjalankan tugasnya,
sehingga pendidikan kesehatan rakjat itu memperoleh tempat dalam usaha
Pemerintahan dalam lapangan kesehatan rakjat, bahkan sejak pecahnya revolusi
pada tahun 1945 di Indonesia telah dibangun urusan hygiene desa atas dasar
pendidikan kesehatan rakyat
.
Perang dunia ke II mengakibatkan datangnya zaman baru. Arus gelombang
gerakan kesehatan rakyat di dunia telah juga meliputi Indonesia. Di Indonesia filsafat
kesehatan yang dianjurkan oleh W.H.O. itu diterima pula dan dijadikan dasar dalam
gerakan kesehatan rakyat di Indonesia. Oleh karena itu dapat diramalkan, bahwa
pekerjaan Pendidikan Kesehatan Rakyat itu terus menerus akan memperoleh
perhatian besar dari pemerintah, maupun masyarakat. Filsafat yang diandjurkan oleh
W.H.O. itu ialah, bahwa kesehatan itu adalah :
a state of complete physical, mental and social wellbeing and not merely the
absence of disease or infirmity(Suatu keadaan sempurna mengenai tubuh, rohani
dan sosial, bukan saja tidak ada penjakit, uzur arau cacad).
Akan tetapi dalam bentuk Usaha Kesehatan Rakyat yang paling baru, usaha-
uaaha itu dijalankan untuk rakyat dengan ikut sertanya rakyat. Ini berarti bahwa
penyelenggaraanUsaha Kesehatan Rakyat itu membutuhkan juga gerakan rakyat ke
jurusan tadi. Hal ini sungguh lebih sukar daripada menjalankan usaha itu tidak
dengan syarat bahwa rakjat juga harus ikut mengadakan inisiatif.
Inisiatif rakyat tadi perlu dibangunkan dengan jalan pendidikan, agar rakyat
dapat mengerti dan suka sama-sama bekerja dengan pemerintah untuk keperluan
mereka sendiri. Bantuan rakyat itu harus berdasarkan atas inteligensi.
(R.Mochtar, M.D.,M.P.H. 1954, tulisan sudah disesuaikan dengan ejaan baru)
Pada waktu itu sudah ada anggapan bahwa Pendidikan Kesehatan tidak
diperlukan, jika masyarakat telah maju. Hal ini tidak dibenarkan oleh Dr.R.Mochtar,
karena kenyataan memperlihatkan bahwa di negara-negara yang telah majupun
kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat masih diperlukan dan dilaksanakan. Cara
pendekatan, metodologi serta tehnologi yang dipergunakan disesuaikan dengan
kemajuan masyarakat setempat.
Laying the foundation for general hygienic work: If this new sanitary habits become
permanent, then there has been laid the foundation upon which general hygiene
workcanbebuilt
..It was therefore not intended that the Division of Public Health Education should
conduct only a campaign against soil and water pollution, but it should thereby lay a
foundation for a broad general campaign for hygiene by teaching the dangers of the
pollution of soil and water.
Memaknai apa yang diuraikan dalam kutipan tersebut di atas, ada contoh
menarik. PT Unilever dalam rangka mempromosikan produksinya berupa sabun
mandi dan pasta gigi, sering mengadakan bioskop keliling dengan layar tancap. Pada
zaman belum ada televisi, bioskop semacam ini sangat digemari oleh masyarakat,
terutama di pedesaan. Di sela-sela pertunjukan film dengan cerita tertentu sering
diselipkan pendidikan/penyuluhan kesehatan. Yaitu dengan selipan slide film yang
antara lain menunjukkan tokoh kartun yang memerankan petugas laboratorium yang
sedang meneropong secawan air mentah dengan mikroskop. Melalui alat itu terlihat
bahwa air mentah itu banyak mengandung kuman atau bakteri dengan berbagai
bentuk yang berkeliaran, berjingkrak-jingkrak dan menari-nari di dalam air tersebut.
Adegan berikutnya adalah air di cawan itu langsung diminum oleh tokoh kartiun yang
lain dengan akibat beberapa lama kemudian merasakan sakit perut dan beberapa kali
buang air besar. Lalu dijelaskan oleh narrator dari slide film tersebut itulah akibatnya
apabila kita minum air tanpa dimasak lebih dahulu. Sang narrator menganjurkan agar
air sebelum diminum agar dimasak lebih dahulu. Kemudian ditunjukkan slide film
berikutnya bahwa melalui mikroskop terlihat bahwa kuman-kuman itu pada mati dan
tidak berkeliaran lagi dalam air yang sudah dimasak. Sang narrator menjelaskan
bahwa air yang sudah dimasak aman dari gangguan penyakit. Dari silide film
sederhana ini ternyata banyak penduduk pedesaan yang memasak air sebelum
diminum.
Prevention is better than cure
Usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif,
lambat laun berkembang pula kearah preventif. Sebagian dari usaha kuratif diserahkan
pada inisiatif partikelir (1917 1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan
(Leger des Heils), perusahaan perkebunan. (Dr.J.Leimena, 1952). Dalam tahun 1937
sampai meletusnya Perang Dunia ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif
kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat.
Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga
berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di
perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan dengan demikian
meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (productie
capaciteit) .
Penelitian dalam bidang bakteriologi dan epidemiologi menambah luas
wawasan pengetahuan tentang sebab penyakit menular dan cara pencegahannya,
seperti, cholera, desentri, typhus. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang
penyakit rakyat, seperti TBC, frambusia, cacing tambang, malaria dsb. Agar
masyarakat sadar dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan upaya peningkatan
kualitas kesehatannya, maka sudah pada tempatnya jika informasi terkini mengenai
perkembangan dalam bidang kesehatan dapat disalurkan ke masyarakat, seperti
penyebab penyakit, cara penangulangannya atau cara pencegahannya. Disinilah
Pendidikan Kesehatan dapat mewujudkan perannya dengan jelas
.
Apa yang telah dirintis oleh Hydrick tersebut kemudian ternyata dilanjutkan
oleh Pemeritah (Belanda). Perhatian Pemerintah Belanda terhadap usaha preventif
dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, tindakan dan peraturan (perundang-
undangan). Motto yang berbunyi Prevention is better than cure diwujudkan dalam
berbagai kegiatan a.l.
.
Disorganisasi Usaha Kesehatan Masyarakat yang sejak zaman pendudukan
Jepang sudah kacau, berlangsung terus dalam periode revolusi fisik (1945 1949).
Banyak fasilitas Kesehatan tidak dapat dipergunakan karena rusak, bahkan para
petugas kesehatan pun banyak yang meninggalkan posnya, bergabung dalam barisan
gerilyawan melawan Belanda, Amerika dan Inggris. Dalam kaitan itu perlu dicatat
bahwa banyak tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang menjadi pejuang dan
di antaranya ada yang gugur di medan perang, atau menjadi korban perang.
Dalam periode revolusi fisik itu (Agustus 1945 Desember 1949), masih ada
dua sistem pemeritahan, yaitu Belanda yang berpusat di Jakarta, dan Republik
Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Dengan demikian maka selama 8 tahun (1942
1949), Indonesia mengalami masa yang sangat memprihatinkan. Banyak fasilitas
kesehatan yang tidak dapat dipergunakan, karena rusak, ditinggalkan, bahkan para
petugas kesehatanpun meninggalkan posnya untuk turut bergabung dengan para
gerilyawan. Obat-obatan didaerah Republik juga sulit
Pada sekitar tahun 1950 an itu masalah gizi cukup menonjol. Dengan ukuran
sesuai Nutritional Standard (`id`, `date`, `writer`, `title`, `pict_name`, `pict_dname`,
`attach_name`, `attach_dname`, `news_type_id`, `description`, `lang`, `attach1_name`,
`attach1_dname`, `attach2_name`, `attach2_dname`, `dt_created`, `dt_updated`)
VALUES ditentukan tingkat keadaan gizi dengan menggunakan indeks. Dengan
demikian dapat ditentukan keadaan gizi: kurang, minimal, normal, atau optimal.
Golongan gizi minimal oleh Prof. Dr. Poerwo Soedarmo disebut golongan tidak sakit
dan tidak sehat. Sementara itu kwashiorkhor dan xerophthalmia sebagai masalah
gizi pda golongan anak para sekolah mendapat banyak perhatian. Selain penyelidikan
secara mendalam, usaha perbaikan dilakukan melalui penyuluhan gizi dan penggalian
sumber makanan bernilai gizi
.
Penerangan kepada masyarakat dilaksanakan melalui kursus yang
diselenggarakan oleh berbagai organisasi, maupun melalui pers dan radio. Pada waktu
itu diperkenalkan semboyan atau pesan : Empat Sehat Lima Sempurna, sesuai
dengan pola makanan Indonesia. Pesan tersebut berhasil disebar luaskan dan menjadi
populer. Pesan tersebut juga banyak terpampang di dinding-dinding sekolah.
Pengertian semboyan tersebut ternyata berhasil dihayati masyarakat. Pesan itu sangat
efektif dan mudah dihafal, bahkan masih relevan sampai sekarang.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1951, oleh Dr. J. Leimena dan Dr. Patah
diperkenalkan Konsep Bandung atau Bandung Plan, yang menggambarkan
perpaduan antara upaya kuratif dan preventif. Konsep tersebut sebenarnya tidak lain
dari konsep Communiyty health, yang merupakan dasar bagi pengembangan
Puskesmas, yang kemudian menjadi pembuka program kesehatan masyarakat desa
dan upaya pendidikan kesehatan masyarakat secara luas. Dengan demikian
masyarakat pedesaan akan mempunyai akses lebih dekat ke Pelayanan Kesehatan. Hal
ini dianggap penting, karena sebagian besar masyarakat Indonesia ada di pedesaan,
dan di masa lalu masyarakat desa kurang mendapat perhatian dalam pelayanan
kesehatan
.
Program pembangunan kesehatan untuk periode 10 tahun (1950-1960) telah
digariskan dalam konperensi Kementerian Kesehatan tahun 1952 di Jakarta. Isi
program mencakup kebijaksanaan umum dan khusus. Usaha kuratif dan preventif
yang ditempuh sesuai dengan rumusan WHO mengenai kesehatan, yaitu: a state of
complete physical, mental and social well being, and not merely the absence of
disease or infirmity. Tujuan pemerintah adalah memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat Indonesia untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia
agar memiliki kemampuan kerja semaksimal mungkin.
1. Preventing Disease
2. The Control of
Communicable Disease
2. Prolonging Life
and Organized
Community Effort
3. The Education of the
4. The Organization of
Medical and Nursing
Service for the Early
Diagnosis and Preventive
Treatment of Disease, and
So organizing these benefit as to enable every citizen to realize his birthright of health
and longevity
Berhubung pada waktu itu (dan juga sampai sekarang) sebagian besar penduduk
hidup di pedesaan, maka usaha-usaha kesehatan terutama ditujukan kepada
masyarakat desa, selain karena disebabkan usaha kesehatan belum merata sampai ke
pelosok-pelosok. Konsep yang dianut oleh seluruh dunia ialah bahwa sebaiknya
usaha-usaha kesehatan itu dijalankan secara terintegrasi dan koordinasi serta perlu
mengikut sertakan masyarakat secara aktif pada penyelenggaraan usaha-usaha
kesehatan tersebut. Untuk melaksanakan rencana kesehatan masyarakat tersebut maka
Kementerian Kesehatan waktu itu, telah mengadakan percontohan didaerah Bandung
yang disebut dengan Bandung Plan dan tepat dengan waktu dimulainya Program
Nasional Pembangunan Masyarakat Desa dalam bulan Agustus 1956.
Percontohan Usaha Kesehatan Masyarakat Desa (KMD) dimulai dari
Kabupaten Bekasi pada 1956. Di sini diadakan kursus-kusrsus atau latihan mengenai
usaha KMD untuk segala jenis tenaga kesehatan dari seluruh Indonesia. Disamping
KMD di Bekasi, di setiap propinsi juga diadakan daerah percontohan KMD untuk
dijadikan tempat pelatihan bagi tenaga kesehatan setempat. Daerah-daerah
percontohan lain adalah di : Bojongloa (Bandung), Sleman (Magelang), Godean
(Yogjakarta), Mojosari (Surabaya), Metro (Lampung), Kasemen (Denpasar), Kotaraja
(Banda Aceh), Indrapura (Medan), dan Barabai (Banjarmasin). Pada waktu itu tenaga-
tenaga yang akan diterjunkan ke masyarakat dilatih dahulu secara intensif dalam suatu
pelatihan atau kursus yang diberi nama Pendidikan Kesehatan pada Rakyat (PKR)
.
Khusus Daerah Percontohan KMD/PKR Kecamatan Lemah Abang, Bekasi,
dipersiapkan sebagai Daerah pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam bidang Rural
Health and Health Education. Tujuan diadakannya Daerah Percontohan KMD/PKR
Lemah Abang adalah : Menjadikan Daerah itu sebagai contoh sistem kerja dan
pengelolaan program Kesehatan Masyarakat Desa, oleh suatu Tim Kesehatan Desa
(Rural Health), dan juga sebagai daerah pelatihan lapangan (field training) tenaga-
tenaga kesehatan (medis, para medis)
.
Tim KMD/PKR Lemah Abang terdiri dari petugas kesehatan yang bertugas
sebagai full timer dan merupakan administrative staff dalam bidang-bidang :
adanya organization and staff development planning yang solid (Tingkat Pusat)
Adanya well planned staff preparation, development, and placement (Tingkat
Pusat)
Adanya regular Lemah Abang team staff meeting, dan keterbukaan (lokal),
setiap hari Senin sebelum kelapangan.
Adanya technical supervision and guidance (dari Pusat-Bgn KMD/PKR)melalui
berbagai jalur seperti :
o Kunjungan lapangan ke desa-desa, dan dialog langsung dengan petugas
lapangan dan PEMDA setempat.
o Pertemuan/rapat dengan administrative Team staff Lemah Abang.
Pertemuan seperti ini biasanya dihadiri pula oleh staff Bgn KMD/PKR
dari berbagai displin dan bersifat edukatif.
Pertemuan non-formal (social gathering) yang sewaktu-waktu diselenggarakan
Kepala Bagian KMD/PKR untuk seluruh staf, membantu menambah erat
hubungan sosial antar-staf.
Health Education mengolah pola pikir orang, agar ia dapat berpikir rasional,
objektif , mampu secara sadar mewujudkan pengetahuan tentang kesehatan kedalam
kehidupan sehari-hari, bahkan dapat mentransfer pengetahuannya juga kepada orang
lain. Para pertugas kesehatan di lapangan dibina sedemikian rupa, agar mampu
mengembangkan critical mind-nya. Adakalanya penerapannya dirasakan sebagai
mengganggu disiplin kesehatan lainnya. Ini kemudian dapat meninbulkan social
conflicts dalam Team.
Conflicting ideas, opnion, interest, dalam suatu Tim, selalu dapat terjadi, namun
yang perlu diperhatikan ialah bawa hal ini merupakan ingredients dalam kehidupan
Tim, yang dapat menambah ke-matangan dan kedewasaan team sebagai suatu
Kelompok yang anggota-anggotanya bervariasi. Penting dalam hal ini adalah adanya
team spirit, dan sikap toleransi, objektif dalam melihat atau menanggapi masalah,
peka terhadap kondisi lingkungan, dan responsive serta kreatif dalam mencari
penyelesaian yang dapat memberikan rasa puas bagi seluruh anggota Tim
.
Pengalaman sebagai grassroot level worker dan sebagai anggota Rural Health
& Health Education Team, telah menempa spiritual maturity, dan lebih peka terhadap
kemungkinan timbulnya benturan antar-anggota Tim. Dalam menghadapi foreign
consultants, maka kita perlu memperkuat posisi kita sebagai nasional counterpart,
dengan lebih memperhatikan kepentingan program nasional. Sedapat mungkin dapat
mengendalikan pemikiran-pemikiran yang sekiranya dapat menghambat atau
mengalihkan arus dan arah perkembangan program
.
Dapat dikemukakan bahwa sasaran Health Education bukan hanya masyarakat
saja, tetapi juga para petugas kesehatan. Tujuan tentu berbeda. Bagi masyarakat,
diharapkan agar mereka sadar akan pentingnya kesehatan bagi diri sendiri, keluarga
dan masyarakat lingkungannya, dan bagi Petugas kesehatan, agar mereka juga dapat
menjadi panutan dalam cara hidup sehat, serta mampu menggunakan tehnologi Health
Education dalam melaksanakan tugasnya, yang dilaksanakan sedemikian rupa, hingga
masyarakat yang menjadi sasarannya menjadikan cara hidup bersih dan sehat sebagai
pola hidupnya sehari-hari.
Bab III
ERA PENDIDIKAN DAN PENYULUHAN KESEHATAN
(Kurun Waktu 1960-1980)
Dengan demikian pada saat itu, istilah Pendidikan Kesehatan telah dipergunakan
secara resmi.
Pada sekitar tahun 1960-an malaria merupakan salah satu penyakit rakyat yang
berkembang dengan subur. Ratusan ribu jiwa mati akibat malaria. Berdasarkan
penyelidikan dan pengalaman, sebenarnya penyakit malaria di Indonesia dapat
dilenyapkan. Untuk itu cara kerja harus dirubah dan diperbarui. Maka pada September
1959 dibentuk Dinas Pembasmian Malaria (DPM) yang kemudian pada Januari 1963
dirubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Pembasmian
malaria tersebut ditangani secara serius oleh pemerintah dengan dibantu oleh USAID
dan WHO. Direncanakan bahwa pada tahun 1970 malaria hilang dari bumi Indonesia.
Pada akhir tahun 1963, dalam rangka pembasmian malaria dengan racun
serangga DDT, telah dijalankan penyemprotan rumah-rumah di seluruh Jawa, Bali
dan Lampung, sehingga l.k. 64,5 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari
kemungkinan serangan malaria. Usaha itu juga dilanjutkan dengan nusaha surveilans
yang berhasil menurunkan parasite index dengan cepat, yaitu dari 15 % menjadi
hanya 2%.
Pada saat itulah, tepatnya pada tanggal 12 November 1964, peristiwa
penyemprotan nyamuk malaria secara simbolis dilakukan oleh Bung Karno selaku
Presiden RI di desa Kalasan, sekitar 10 km di sebelah timur kota Yogyakarta.
Meskipun peristiwanya sendiri merupakan upacara simbolis penyemprotan nyamuk,
tetapi kegiatan tersebut harus dibarengi dengan kegiatan pendidikan atau penyuluhan
kepada masyarakat. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Hari Kesehatan Nasional
(HKN), yang setiap tahun terus menerus diperingati sampai sekarang. Sejak itu, HKN
dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan/penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat.
Tetapi pemberantasan malaria dengan cara penyemprotan tersebut ternyata
tidak dapat diteruskan karena tiadanya biaya. Bantuan dari USAID dan WHO
berhenti. Juga karena adanya pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965.
1. Fungsi dan Peran PKM baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten:
Yaitu bahwa Fungsi Bagian PKM di Pusat antara lain adalah Bimbingan
Konsepsionil, Bimbingan Tehnis dan Penyaluran Bantuan Materiil
2. Struktur Organisasi:
Diusulkan kedudukan Bagian PKM ditingkatkan menjadi Biro karena
merupakan salah satu tugas pokok Departemen (Basic Six)
Pada sekitar tahun 1967-1968, semakin disadari bahwa masalah kesehatan tidak
dapat diatasi melalui disiplin ilmu kedokteran saja, tetapi juga perlu menggunakan
ilmu sosial. Itu disebabkan karena masalah kesehatan banyak terkait dengan masalah
sosial, khususnya perilaku masyarakat. Untuk itu dipikirkan tentang perlunya tenaga
khusus pendidikan kesehatan masyarakat tingkat sepesialis, yang memahami
persoalan sosial kemasyarakatan. Hal itu telah dibawa dan dibahas di dalam
Rakerkesnas 1968, dan disepakati perlunya pengembangan tenaga spesialis bidang
pendidikan kesehatan masyarakat
.
Maka diadakanlah proyek khusus Pengadaan Tenaga Health Education
Specialist ini. Kegiatan ini mendapat bantuan dana dan konsultan dari WHO dan
USAID, dan proyeknya bernama: Health Education Manpower Development Project.
Konseptor dari proyek ini adalah Dr. Wiryawan Djojosoegito, Kepala Biro Pendidikan
waktu itu dengan dibantu khususnya Drs. Koento Hidayat dan Dra. Koesnaniyah
Wiryomihardjo.
.
Proyek ini mulai berjalan pada tahun 1971 dengan merekrut para sarjana dari
berbagai disiplin. Selain dokter dan dokter gigi, juga sarjana pendidikan, sarjana
ekonomi, sarjana hukum, sosiologi, antropologi, dll. Angkatan I dan II dari proyek
tersebut dididik di dalam dan luar negeri (USA). Sedangkan angkatan III dan IV
dididik di dalam negeri (FKM UI). Khusus Angkatan I dan II, sebelum mereka belajar
di USA terlebih dahulu mereka mengikuti Basic Orientation Course (BOC) dan Work
Experience (Pengalaman Kerja Lapangan) in Health Education. Sedangkan angkatan
III dan IV pengalaman lapangan dilakukan di belakang, setelah pendidikan di FKM
UI selesai. Cerita lebih lanjut tentang proyek dan tenaga ini dapat dibaca di bab VI
I.
Sementara itu kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat di daerah tetap
berjalan. Kegiatan KMD/PKR atau community development in health di beberapa
daerah berjalan cukup baik. Hal itu memang banyak dipengaruhi oleh adanya tenaga
atau tokoh yang kreatif. Misalnya di Jawa Timur, ada Drs. Yusworo, yang pada waktu
itu menjadi Kepala Unit Pendidikan Kesehatan Masyarakat di sana. Perlu pula
disampaikan bahwa ada beberapa orang yang sebelumnya juga dikirim untuk
memperoleh pendidikan atau pelatihan di luar negeri. Mereka itu ada yang dikirim ke
USA, Libanon, India, dll. Mereka bersama tenaga-tenaga lainnya yang terus menerus
menggerakkan kegiatan Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Indonesia pada waktu
Dari Pendidikan ke Penyuluhan
Pada tahun 1975, Struktur Bagian PKM berubah, dari eselon III menjadi eselon
II, tetapi tidak sebagai Biro, melainkan sebagai salah satu direktorat pada Direktorat
Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Ditjen Binkesmas). Yang berubah
ternyata tidak hanya eselonnya, tetapi juga istilah (nomenklatur)
.
Pada waktu itu ada kebijakan Pemerintah dalam penggunaan nomenklatur
(istilah/nama institusi), yaitu bahwa istilah Pendidikan hanya boleh dipergunakan di
lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan di luar Depdiknas,
nomenklatur Pendidikan Kesehatan yang dipergunakan adalah Penyuluhan Kesehatan.
Dengan demikian maka Direktorat baru yang menangani masalah Pendidikan
Kesehatan diberi nama Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, dengan Kepala
Direktoratnya adalah dr Pudjiastuti Pranjoto, MPH (alm). Dengan dibentuknya
Direktorat PKM ini, bahkan kantorpun juga mengalami perpindahan. Kalau
sebelumnya bermarkas di Hang Jebat, maka Direktorat PKM me nempati sayap kanan
gedung Departemen Kesehatan, lantai 2, di Jl Prapatan 10
.
Sedangkan pengertian atau konsep Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
sebenarnya tidak berbeda dengan Pendidikan Kesehatan. Dalam hal ini, Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat diberi pengertian sebagai suatu proses perubahan,
pertumbuhan dan perkembangan diri manusia menuju kepada keselarasan dan
keseimbangan jasmani, rohani dan sosial dari manusia tersebut terhadap
lingkungannya, sehingga mampu dan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-
masalah kesehatannya sendiri serta masyarakat lingkungannya (Direktorat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes, 1976). Tujuan
penyuluhan kesehatan masyarakat ini adalah agar: (a) Kesehatan dianggap sebagai hal
yang penting dan diberi nilai tinggi oleh masyarakat; (b) Masyarakat melakukan
tindakan yang perlu untuk mencapai kesehatan diri dan lingkungannya; (c)
Masyarakat berusaha membantu dan mengembangkan serta memanfaatkan fasilitas
kesehatan yang tersedia untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
DKI PKM
Salah satu kegiatan yang menonjol pada era penyuluhan kesehatan ini adalah
adanya Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (disingkat DKI
PKM) yang mula-mula muncul awal tahun 1970-an. Ini berawal dari pengalaman
kerja lapangan (field work experience) para Student Health Education Specialist
(calon Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat) di Bandung. Sebelum tugas
belajar di Amerika, mereka diterjunkan di berbagai kecamatan di daerah kabupaten
dan kota Bandung. Selama di lapangan ini mereka mengembangkan daerah kerja
percontohan (demonstration area) pendidikan kesehatan masyarakat, yaitu suatu
daerah yang masyarakatnya berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Mereka
belajar teori dalam kelas dengan bimbingan konsultan WHO (Dr. CH Pyaratna) dan
USAID (Mr. John Nelson) yang dibantu oleh dua orang supervisor Indonesia, yaitu
Bapak Drs. Putulawa Udayana dan Bapak Dr. I.B. Mantra. Teori-teori dari dalam klas
tersebut dicoba dipraktekkan di lapangan, secara langkah demi langkah, dalam
nrangka pembinaan masyarakat, yang dilakukan bersama staf Puskesmas dan
Kecamatan. Selama sekitar setahun mereka bolak balik antara kelas dan lapangan ini.
Setelah mereka kembali belajar dari Amerika, mereka ditempatkan di pusat dan
daerah. Bertolak dari pengalaman Bandung yang dipadukan dengan pengalaman-
pengalaman sebelumnya maka dikembangkanlah Daerah Kerja Intensif Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat (DKI PKM) yang langsung dikoordinasikan oleh Direktorat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, d.h.i. Sub Direktorat Pengembangan Metoda dan
Tehnik yang dipimpin oleh Dr. IB Mantra, mantan supervisor program kerja lapangan
(work experience) HES di Bandung. Sesuatu yang khas dari DKI PKM ini adalah
pendekatannya yang benar-benar melibatkan peranserta masyarakat, bahkan berupaya
untuk memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini kemudian hari disebut dengan
pendekatan edukatif
.
Dalam rangka penyelenggaraan DKI PKM itu diselenggarakanlah pelatihan
PKM bagi petugas daerah, yang lamanya 3 bulan. Pesertanya adalah Koordinator
PKM Kabupaten. Mereka itu pada umumnya lulusan D3 Sanitasi atau D3 Perawatan.
Kurikulum dan prosesnya mirip BOC dan Work Experience Bandung, hanya
waktunya dipersingkat. Pelatihan ini diselenggarakan beberapa angkatan, tetapi
kemudian waktunya dipersingkat lagi menjadi 4 minggu
.
Pada tahap awal DKI ini dikembangkan pada 4 provinsi, yaitu: Sumatera Utara,
Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Ternyata keberhasilan pengembangan
DKI pada 4 propinsi telah melebar ke provinsi lainnya. Tidak jarang dari kegiatan
pengembangan DKI ini muncul petugas kesehatan teladan yang pada waktu itu
penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah secara berkala. DKI PKM juga
banyak menghasilkan kegiatan masyarakat dalam bidang kesehatan, yang pada
umumnya terkait dengan masalah kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih,
perbaikan rumah tempat tinggal, dll. DKI PKM inilah yang kemudian berkembang
menjadi kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD).
Salah satu kelemahan dari pengembangan DKI PKM ini adalah sistem
pencatatan dan pendokumentasian kegiatan yang belum dilakukan secara benar,
sehingga tidak dapat dikemukakan secara kuantitatif, baik yang berkaitan dengan jenis
kegiatan masyarakat, tenaga masyarakat yang berhasil dilatih, media yang diterbitkan,
dana, dll. Tetapi kelemahan yang utama adalah karena proses pendekatan yang
bersifat sektoral. Keterlibatan lintas sektoral bahkan lintas program sangat kurang,
baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian maupun di tahap
pengembangan. Hal ini menyebabkan sulitnya diperoleh dukungan dari lintas program
dan lintas sektor, dan sekaligus merupakan salah satu faktor penting tidak populernya
DKI PKM
.
Pengembangan DKI PKM ini tenggelam karena program kesehatan lain juga
mengembangkan pendekatan yang serupa di lapangan, yang kemudian nanti dikenal
dengan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (disingkat PKMD) dan
Posyandu.
Pendekatan Edukatif
e. Pelaksanaan:
Hal yang penting dalam tahap pelaksanaan adalah mempersiapkan tenaga-
tenaga pelaksana, termasuk penanggung jawaban pelaksana program.
f. Penilaian:
Pada waktu pelaksanaan program diperlukan pengawasan, monitoring sampai
dengan evaluasi terhadap program atau kegiatan-kegiatan tersebut. Monitoring
dan evaluasi program bukan sekedar apakah kegiatan-kegiatan telah berjalan
sesuai dengan perencanaannya, tetapi juga apakah program mempunyai dampak
terhadap penurunan atau hilangnya masalah. Dengan perkataan lain, apakah
program tersebut mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kesehatan
msyarakat.
Bab IV
ERA PKMD, POSYANDU DAN
PENYULUHAN KESEHATAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
(Kurun Waktu 1975 - 1995)
Go to the people;
Stay with them; Learn from them;
Work with them.
(Jargon Health Education)
Munculnya PKMD
Pada sekitar tahun 1982 ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional oleh Menteri
Kesehatan RI (waktu itu Dr. Suwardjono Suryaningrat) yang menetapkan
pembangunan kesehatan sebagai suatu sistem dari supra sistem pembangunan
nasional. Selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR No. II/1983 tentang GBHN,
disebutkan bahwa Dalam rangka mempertinggi taraf kesehatan dan kecerdasan
rakyat, pembangunan kesehatan termasuk perbaikan gizi perlu makin ditingkatkan
dengan mengembangkan Sistem Kesehatan nasional (SKN).
Peningkatan kesehatan dilakukan dengan melibatkan peran serta (partisipasi)
masyarakat berpengahasilan rendah baik di desa maupun di kota. Panca Karsa Husada
sebagai tujuan pembangunan panjang bidang kesehatan mencakup: (1) Peningkatan
kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan; (2)
Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan; (3) Peningkatan
status gizi masyarakat; (4) Pengurangan kesakitan dan kematian; dan (5)
Pengembangan keluarga sehat sejahtera dengan makin diterimanya norma keluarga
kecil bahagia dan sejahtera.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan dikaitkan dengan komitmen
Indonesia untuk mengimplementasikan primary health care, ditetapkan hal-hal
sebagai berikut:
Penyebarluasan PKMD
Munculnya Posyandu
a. Untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita, dan angka
kelahiran.
b. Untuk mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan
sejahtera (NKKBS).
2. Meja 2: Melayani penimbangan bayi, balita, dan ibu hamil, dalam rangka
memantau perkembangan bayi, balita, dan janin dari ibu yang sedang hamil,
yang dilayani oleh kader kesehatan.
Demikianlah, dalam PKMD dan Posyandu ini mengingatkan kita pada jargon
yang mengajak kita untuk lebih mengenali masyarakat, melarang kita untuk
menggurui masyarakat bahkan kita harus lebih banyak belajar kepada masyarakat.
Paling tidak kita harus dapat menangkap aspirasi masyarakat, sebagaimana
diungkapkan di awal tulisan bab ini: Go to the people, stay with them, learn from
them and work with them.
Acara-acara tersebut cukup berjalan dengan baik. Khusus acara nomor 2 dan 3
sangat merangsang desa-desa lain, dan sering sekali mendapat dukungan kuat dari
Pemerintah Daerah setempat.
Pada sekitar tahun 1980-an itu ada drama TV Losmen yang sangat digemari
masyarakat. Kemudian Menkes pada waktu itu, Dr. Soewardjono Soerjaningrat
memanggil Dr. IB Mantra, Kapus PKM waktu itu untuk menjajagi adanya sinetron
seperti Losmen. Diadakanlah pendekatan kepada Ami Priyono dan Wahyu
Sihombing. Disepakatilah harga per episode waktu itu Rp. 25 juta bersih. Padahal
drama Losmen hanya Rp. 14 juta. Setelah dibuat proposal, Bappenas memberikan
persetujuan, bahkan harganya menjadi Rp. 30 juta karena harus dilakukan melalui
tender.
Maka dirancanglah sinetron khusus untuk menyebar luaskan pesan-pesan
kesehatan ini, yang diberi nama: Dr. Sartika. Skenario naskah disusun oleh Ibu
Maryati Sihombing. Sedangkan konsultan materi adalah program-program di
lingkungan Depkes. Pengatur pesan-pesan kesehatan menjadi tanggungjawab Pusat
PKM dengan contact person : Drs. Oendang Badruzzaman, staf Pusat PKM. Para
bintangnya antara lain: Dewi Yull yang memerankan Dr. Sartika, Dwi Yan sebagai
Dr. Imam, dll. Tetapi ada saja kecolongan. Misalnya cuci tangan di ember. Maka
selain meneliti naskah, diperlukan pula supervisi ke lapangan. Maka dalam setiap
shooting yang dilakukan di luar studio, staf PKM pada umumnya selalu
menlakukan supervisi lapangan.
Program sinetron Dr. Sartika ini mendapat sambutan hangat masyarakat.
Sinetron ini meskipun berisi pesan-pesan kesehatan, tetapi dijalin dengan masalah
keluarga dan masyarakat, sehingga pesan-pesannya mengalir, tidak menggurui dan
alamiah. Melalui sinetron ini masyarakat dapat belajar hidup sehat serta menjadikan
Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan bagi yang membutuhkannya (tidak
pergi ke dukun). Sinetron ini sekaligus juga berisi informasi kepada para petugas
Puskesmas, untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan benar. Sinetron
tersebut juga menjadi rujukan dan penghubung antara program dan petugas
Puskesmas. Selain itu sinetron Dr. Sartika ini juga memberikan dampak positif
kepada para artis pendukungnya. Misalnya, ada artis yang semula perokok berat
kemudian menghentikan kebiasaan merokoknya tersebut. Program ini berjalan sampai
39 episode, dan berjalan selama sekitar empat tahun (1989-1992). Harga per episode
berkembang dari sekitar Rp 25 juta menjadi sekitar Rp. 250 juta. Program ini berhenti,
karena beberapa alasan. Antara lain pada waktu itu sudah mulai ada beberapa saluran
TV swasta yang menyediakan banyak pilihan acara lain. Selain itu biaya produksi dan
tayang semakin mahal, sehingga sponsor program ini akhirnya tidak melanjutkan
acara ini. Sinetron Dr. Sartika ini pernah mau dihidupkan lagi, tetapi ada beberapa
kendala sehingga sampai sekarang belum berhasil.
Selain sinetron Dr. Sartika juga dikembangkan film-film lepas. Antara lain mini
seri film yang berjudul: Minati Bidan Tercinta. Film ini bertujuan untuk
mempromosikan bidan di desa yang pada waktu itu kurang memperoleh sambutan
masyarakat, karena banyak di antara mereka yang masih lajang dan belum
mempunyai banyak pengalaman menolong persalinan. Pemeran utama film ini adalah
Uci Bing Slamet. Mini seri ini berjalan baik meskipun sambutan masyarakat tidak
sehangat sebagaimana pada Dr. Sartika.
Selain kedua sinetron tersebut, juga ada sinetron lepas dengan judul Relung
Hati, yang dibintangi oleh Drg. Fadli dan Minati Atmanagara, untuk
mempromosikan dokter Inpres. Sinetron lepas lainnya adalah Pengakuan yang
dibintangi oleh Leila Anggraeni dll, untuk menunjang program Kesehatan Ibu dan
Anak. Sedangkan untuk menunjang program air dibuat film dengan judul : Cintaku
pada Gemericik Air.
Kemudian pada sekitar tahun 1994 persoalan HIV/AIDS mulai marak. Pada
waktu itu di Ford Foundation Perwakilan Indonesia ada Dr. Rosalia (orang Itali yang
bersuamikan orang Indonesia) yang sangat peduli dengan HIV/AIDS. Melalui Ford
Foundation disponsorilah berbagai kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, antra lain
sinetron di televisi. Maka dibuatlah sinetron, dengan judul: Kupu-kupu ungu.
Sutradara dan penulis skenario adalah Nino Riantarno, dengan bintang utamanya:
Nurul Arifin. Untuk menulis skenario tersebut berkumpul beberapa orang pakar yang
mewakili beberapa unit program di Depkes dan beberapa unsur swasta/LSM. Contact
person dari Pusat PKM adalah Ir. Ninik Suharini Sahal. Sinetron ini disiarkan di
RCTI, dibuat sampai 13 episode, menyajikan persoalan HIV/AIDS dari berbagai segi
pandang, termasuk HIV/AIDS pada anak, ibu rumah tangga, Pekerja Seks Komersial,
ODHA, dll. Beberapa judul sinetron ini bahkan diminta untuk disajikan pada festival
film Asia di Amsterdam pada sekitar tahun 1995 dan di Kualumpur pada sekitar tahun
1999.
Penyuluhan melalui televisi selain melalui sinetron juga melalui acara-acara
lain seperti: kompetisi lagu-lagu kesehatan: ada versi pop, dangdut dan rock. Juga
melalui lagu-lagu gambang kromong Benyamin S dan Ida Royani. Selanjutnya yang
semakin marak sampai sekarang adalah penyampaian pesan melalui filler atau iklan
layanan masyarakat. Sudah banyak sekali filler yang ditayangkan mengenai
berbagai macam program. Salah satunya yang cukup terkenal pada waktu itu adalah
dengan judul: Jangan Lupa yang disampaikan oleh Butet Kertajaya dengan
kocaknya, sehingga setiap kita melihat dan mendengar suaranya: Jangan Lupa kita
lalu ingat pesan-pesannya tentang HIV/AIDS. Juga filler tentang Ibu Hamil,
Napza/Narkoba, Gizi, Gaya Hidup Sehat, dll. Dan kita juga akan selalu ingat filler
tentang Pekan Imunisasi Nasional yang dibawakan oleh kelompok Rano Karno dan
Mandra yang waktu itu sangat tenar.
Pesan-pesan kesehatan yang disebar luaskan melalui media televisi dan
kerjasama dengan para artis ini tetap berlangsung sampai sekarang. Beberapa cukup
berhasil membina suasana dan mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu. Namun
beberapa juga ada yang kurang mendapat sambutan masyarakat. Perlu diakui bahwa
tayangan melalui teleivisi itu biayanya sangat mahal.
Pada hal pada saat ini pilihan saluran TV cukup banyak, sehingga upaya
penyebar luasan informasi melalui televisi ini perlu dihitung dengan cermat plus
minusnya. Evaluasi terhadap program kesehatan di televisi ini seharusnya dilakukan,
untuk lebih mengetahui efektifitas dan efisiensinya, dan terutama untuk dapat lebih
memahami aspirasi masyarakat terhadap pesan-pesan kesehatan.
Selanjutnya selain sinetron, film lepas atau filler tersebut juga diproduksi kaset
dan VCD, berisi lagu, film atau pesan nlainnya. Media-media tersebut kemudian
disebar luaskan ke beberapa media televisi dan radio, baik yang ada di Jakarta
maupun di kota-kota lainnya. Dikembangkan pula pesan-pesan atau tulisan melalui
internet, dengan kode: www.promosikesehatan.com. Pusat Promkes sekarang juga
membuka saluran melalui email dengan kode: pa@promosikesehatan.com.
Bab V
ERA PROMOSI KESEHATAN DAN PARADIGMA SEHAT
(Kurun waktu 1995-2005)
Dream children, dream, otherwise you wont have anything to live for
(The 4th ICHP, Jakarta, 1997)
7. Pada promosi kesehatan, peran kemitraan lebih ditekankan lagi, yang dilandasi
oleh kesamaan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling memberi
manfaat (mutual benefit). Kemitraan ini dikembangkan antara pemerintah
dengan masyarakat termasuk swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat, juga
secara lintas program dan lintas sektor.
Pada tahun 1998 Presiden Soeharto digantikan oleh Presiden Habibie. Sebagai
Menteri Kesehatan ditetapkan Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek. Setelah melalui
persiapan antara lain pertemuan dengan para pakar, pertemuan nasional dengan
daerah-daerah, pertemuan lintas sektor dan dengar pendapat dengan DPR, pada 1
Maret 1999 oleh Presiden Habibie dicanangkan : Gerakan Pembangunan yang
Berwawasan Kesehatan, atau dikenal dengan Paradigma sehat. Sebagai
konsekwensinya adalah bahwa semua pembangunan dari semua sektor harus
mempertimbangkan dampaknya di bidang kesehatan, minimal harus memberi
kontribusi dan tidak merugikan pertumbuhan lingkungan dan perilaku sehat.
Disebutkan bahwa visi pembangunan kesehatan adalah: Indonesia Sehat 2010, dengan
misi: (1) Menggerakkan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan; (2)
Mendorong kamandirian masyarakat untuk hidup sehat; (3) Meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu; dan (4) Meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat termasuk lingkungannya. Salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 tersebut
adalah : perilaku sehat, disamping dua pilar lainnya yaitu: lingkungan sehat dan
pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata.
Ditetapkan pula strategi pembangunan kesehatan beserta program-program
pokoknya. Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) disebutkan bahwa
salah satu program pokok pembangunan kesehatan adalah peningkatan perilaku sehat
dan pemberdayaan masyarakat, yang karenanya menempatkan promosi kesehatan
sebagai salah satu program unggulan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004-2009 dan Rencana Strategis (Renstra) Depkes 2005-2009
juga disebutkan bahwa Promosi Kesehatan merupakan program tersendiri dan
diposisikan pada urutan pertama. Ini menegaskan bahwa Paradigma Sehat dengan
Visi Indonesia Sehat-nya tersebut sangat sesuai dengan Deklarasi Jakarta, dan dengan
demikian promosi kesehatan (termasuk PHBS), yang berorientasi pada perilaku hidup
sehat, semakin memperoleh pijakan yang kuat.
Selanjutnya masing-masing program termasuk Promosi Kesehatan menyusun
visi, misi dan program kegiatannya, serta sasaran atau target yang harus dapat terukur.
Dalam kaitan itu ditetapkan Visi Promosi kesehatan yaitu : Berkembangnya
masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Misinya adalah: (1) Melakukan
advokasi kebijakan publik yang berdampak positif pada kesehatan; (2)
Mensosialisasikan pesan-pesan kesehatan; (3) Mendorong gerakan-gerakan sehat di
masyarakat; Strategi pokok Promosi Kesehatan disingkat ABG, yaitu :
(1) Advokasi, yaitu upaya untuk mempengaruhi kebijakan agar memberikan
kontribusi pada pertumbuhan perilaku dan lingkungan sehat; (2) Bina Suasana, yaitu
upaya pembentukan opini publik untuk mengembangkan norma hidup sehat; dan (3)
Gerakan pemberdayaan masyarakat, yaitu upaya untuk menggerakkan dan
memberdayakan semua komponen masyarakat untuk hidup sehat.
Dari visi, misi dan strategi tersebut direncanakan delapan kegiatan pokok, yaitu:
(1) Upaya advokasi; (2) Pembinaan suasana; (3) Pemberdayaan masyarakat; (4)
Pengembangan kemitraan; (5) Pengembangan SDM; (6) Pengembangan Iptek
Promosi Kesehatan; (7) Pengembangan media dan sarana; (8) Pengembangan infra
struktur Promosi kesehatan.
Visi, misi, strategi, kegiatan pokok beserta rincian kegiatan dan tolok ukurnya
dan lain-lainnya dituangkan dalam pendoman tehnis Program Promosi Kesehatan.
Kemudian hari dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, pedoman tersebut
dukukuhkan dengan SK Menteri Kesehatan RI menjadi Kebijakan Nasional Promosi
Kesehatan.
Pada era ini juga ditandai dengan berkembangan jaringan (networking) dan
kemitraan (partnership) antara unit promosi kesehatan dengan berbagai pihak, baik
sektor pemerintah maupun swasta dan masyarakat, baik regional maupun global.
Secara nasional dapat disebutkan a.l. : (1) Forum Komunikasi Promosi
Kesehatan, yang anggotanya adalah unit atau lembaga (pemerintah dan masyarakat)
yang peduli dengan upaya promosi kesehatan; (2) Koalisi Indonesia Sehat (anggota:
berbagai unit pemerintah dan swasta serta masyarakat yang peduli pada Indonesia
Sehat, now(), now()); (3) Forum Komunikasi Penanggulangan Masalah Tembakau
(anggota: unit, organisasi profesi dan lembaga peduli masalah rokok/tembakau, now(),
now()); (4) Jaringan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular; (5) Dan lain-lain,
seperti: Forum Pengembangan Kota Sehat, Forum Penanggulangan Penyakit TBC, dll.
Secara regional dan global dapat disebutkan: Mega country Health Promotion
Network, yaitu jaringan sekitar 10 negara di dunia yang berpenduduk 100 juta lebih
dalam bidang promosi kesehatan; International Network for Health Promotion
Foundation (Indonesia diwakili oleh Unit Promkes sebelum mempunyai Yayasan
Promosi Kesehatan yang mandiri, now(), now()); International Union for Health
Promotion and Education (organisasi profesi Promosi kesehatan yang bersifat
internasional), dll. Dalam kaitan itu diselenggarakan beberapa kali pertemuan
internasional (di Geneva, Jakarta, Meksiko, Bangkok, Melbourne, dll).
Dalam rangka pengembangan jaringan dan kemitraan itu maka sejak tahun
2000, penyelenggaraan Hari Kesehatan Nasional dilakukan bersama oleh swasta dan
sektor di luar Depkes, sedangkan Depkes dalam hal ini Promosi Kesehatan berperan
sebagai sekretariatnya. Dengan penyelenggaraan oleh swasta itu terasa bahwa Hari
Kesehatan lebih bergema. Demikianlah maka sejak tahun 2000, pada setiap acara
puncak HKN Presiden RI (yaitu Gus Dur, Mbak Mega dan Pak SBY) selalu hadir dan
menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang diliput oleh media massa secara luas.
Pada tahun 2004 oleh Menteri Kesehatan (Dr. Achmad Sujudi) ditetapkanlah
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang baru, sebagai pengganti SKN lama (tahun
1982). SKN baru ini dimaksudkan antara lain untuk mempertegas makna
pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan
memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai visi dan misinya.
Disebutkan bahwa SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya
Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti
dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan pada hakekatnya SKN adalah
juga merupakan wujud dan sekaligus metode penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, yang memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap
langkah guna menjamin tujuan pembangunan kesehatan. Sedangkan tujuannya adalah
terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik
masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya
guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Apa kaitannya dengan Promosi Kesehatan? Dalam SKN tersebut disebutkan
adanya 7 prinsip dasar. Prinsip ke 4 adalah Prinsip Pemberdayaan dan Kemandirian
Masyarakat, dan prinsip ke 5 adalah Prinsip Kemitraan. Tanpa mengurangi arti upaya
kesehatan lainnya, kedua prinsip tersebut sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
upaya promosi kesehatan. Selain itu SKN ini terdiri 6 subsistem, salah satunya adalah;
Subsistem Pemberdayaan Masyarakat. Disebutkan bahwa Subsistem pemberdayaan
masyarakat adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya perorangan, kelompok
dan masyarakat umum di bidang kesehatan secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Sedangkan tujuannya adalah terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi dan
pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan
dsn seterusnya. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat dengan segala uraiannya itu
tentu saja merupakan ranah (domein) Promosi Kesehatan.
Kurun waktu 2000 an ini juga merupakan era globalisasi. Batas-batas antar
negara menjadi lebih longgar. Persoalan menjadi lebih terbuka. Berkaitan dengan era
globalisasi ini dapat menimbulkan pengaruh baik positif maupun negatif. Di satu
pihak arus informasi dan komunikasi mengalir sangat cepat. Ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat. Dunia menjadi lebih terpacu dan maju. Di pihak lain
penyakit menular yang ada di satu negara dapat menyebar secara cepat ke negara lain
apabila negara itu rentan atau rawan. Misalnya AIDS, masalah merokok,
penyalahgunaan NAPZA, dll sudah menjadi persoalan dunia. Demikian pula budaya
negatif di satu bangsa/negara dengan cepat juga dapat masuk dan mempengaruhi
budaya bangsa/negara lain.
Sementara itu khususnya di bidang Promosi Kesehatan, dalam era globalisasi
ini Indonesia memperoleh banyak masukan dan perbandingan dari banyak negara.
Melalui berbagai pertemuan internasional yang diikuti, setidaknya para delegasi
memperoleh inspirasi untuk mengembangkan promosi kesehatan di Indonesia.
Beberapa pertemuan itu adalah sebagai berikut :
Promosi Kesehatan adalah upaya yang menekankan pada proses dengan tetap
memperhatikan hasil (the process as well as content). Beberapa hal yang dapat dicatat
sebagai profil promosi kesehatan, secara rinci dapat dilihat di buku : Profil Promosi
Kesehatan 2003, sedangkan secara garis besar adalah sebagai berikut:
6.
Dalam upaya pengembangan metode dan teknik promosi kesehatan, antara lain
dihasilkan: Promosi kesehatan (Promkes) di kawasan pariwisata, Promkes di
perusahaan, Promkes dalam era desentralisasi, Promkes dalam pemberdayaan
keluarga, Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Promkes di pondok
pesantren, Pengembangan Kota Sehat, Pemanfaatan Dana Sosial dan
Keagamaan untuk Kesehatan, dll.
Pada era promosi kesehatan dalam kurun waktu 1995-2005 ini, nampaknya
banyak yang dilakukan, tetapi hasilnya perlu banyak diberi tanda tanya. Visi
Indonesia Sehat belum bergema. Paradigma Sehat baru di tataran konsep dan retorika.
Kenyataan sehari-hari masih kental dengan paradigma lama. Dalam pembangunan
kesehatan, promosi Kesehatan belum memberikan sumbangan nyata. Berbagai
gerakan masyarakat yang telah dicanangkan Presiden, misalnya Gerakan Jumat
Bersih, tidak berjalan sesuai rencana. Beberapa kesepakatan juga belum ditindak
lanjuti secara nyata. Forum jejaring dengan para mitra belum optimal
perkembangannya. Tenaga Promkes juga masih belum profesional sepenuhnya. Di
daerah tenaga promkes banyak yang harus mutasi secara terpaksa atau harus pindah
posnya. Yang jelas: Masyarakat miskin belum dapat dientaskan dari derita. Sedangkan
masyarakat lainnya masih jauh dari budaya sehat, hidup yang produktif dan sejahtera.
Apabila ditelaah, mengapa demikian? Banyak pakar menyoroti bahwa dalam
kurun waktu sekitar tahun 2000an itu bangsa kita kurang mempunyai spirit
perjuangan. Kita banyak terpaku dengan proyek dan anggaran. Ada juga pakar yang
menyatakan bahwa sedikitnya 30 % anggaran bocor di tengah jalan. Dari sekian
banyak kegiatan hanya sedikit sekali yang benar-benar langsung dan memberikan
perhatian kepada rakyat kecil di lapangan. Dengan demikian kepentingan masyarakat
khususnya rakyat miskin banyak terabaikan. Keadaan seperti itu juga berpengaruh
pada kegiatan promosi kesehatan. Informasi sederhana yang seharusnya sangat
diperlukan rakyat agar dapat hidup sehat, kurang mereka dapatkan. Bimbingan
lapangan bagaimana agar dapat berperilaku sehat dan terhindar penyakit, kurang
mereka rasakan. Banyak masyarakat masih berkutat dengan berbagai faktor yang
sangat mempengaruhi kesehatan, seperti pendidikan, keamanan, dan lain-lain
terutama kemiskinan.
Selain itu juga harus diakui bahwa promosi kesehatan masih kurang sigap
dalam menghadapi peluang dan kesempatan. Konsistensi kegiatan juga sering
terabaikan. Prioritas kegiatan juga sering tidak memperoleh kejelasan. Belum lagi etos
kerja petugas yang masih perlu terus menerus ditingkatkan. Dengan demikian banyak
masalah yang belum terselesaikan dan tantangan yang belum memperoleh jawaban.
Maka apakah promosi kesehatan hanya berjalan di tempat saja? Atau bahkan
menurun jalannya? Semoga saja tidak demikian kenytaannya. Karena kita semua telah
berbuat! Konon yang sangat penting adalah selalu usaha dan berbuat, atau proses itu!
Tentang hasil, kita serahkan kepada halayak dan Truhan! Yang penting lagi bahwa
semuanya itu merupakan pembelajaran untuk dapat ditarik makna dan hikmahnya.
Paling tidak masih mempunyai impian, karena mimpi itu juga merupakan harapan dan
cita-cita. Kalau tidak mempunyai mimpi, sebagaimana disampaikan di awal bab ini,
jangan-jangan nanti kita tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan tidak tahu akan
menuju ke mana
Bab VI
DINAMIKA ORGANISASI PROMOSI KESEHATAN
Dari Bahagian Pendidikan Kesehatan sampai Pusat Promosi Kesehatan
Pada tahun 1967 Menteri Kesehatan Siwabessy, dengan Surat Keputusan No.
091/III/Ad.Um/67, menetapkan susunan organisasi Depkes yang baru. Dalam
struktur organisasi tersebut unit yang mengurusi Pendidikan Kesehatan Masyarakat
(PKM) ditetapkan sebagai salah satu bagian di bawah Biro V (Pendidikan), yang
berada di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Bagian-bagian lain yang
berada dalam Biro V itu antara lain adalah: Bagian Pendidikan Institusi, Bagian
Perrpustakaan, dll. Sebagai suatu bagian, maka Bagian PKM tersebut setara dengan
eselon III. Sebagai kepala bagian PKM ditetapkan Drs. Koento Hidayat, sedangkan
sebagai kepala biro V adalah: Dr. Wiryawan Djoyosugito, MPH.
Status organisasi yang setara dengan eselon III di lingkungan Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan tersebut memberikan implikasi dua hal penting.
Pertama bahwa unit pendidikan kesehatan merupakan unit kerja yang memiliki
kewenangan dan ruang lingkup kerja yang lebih terbatas. Kedua, unit tersebut tidak
memiliki akses untuk menyelenggarakan kegiatan operasional pendidikan kesehatan
termasuk pembinaan kedaerah atau lapangan.
Pengembangan Sumber Daya Manusia PKM, yang pada saat itu dirasakan
sebagai kebutuhan mendesak, yaitu dengan pembentukan sebuah proyek yang
dikenal dengan nama Health Education Manpower Development Project, atau
Proyek Pengembangan Tenaga Pendidik Kesehatan Masyarakat. Bagian PKM
pada khususnya dan Biro V serta unit lain terkait melakukan kerjasama dengan
kelompok ahli dari luar negeri melakukan rekruitmen ketenagaan yang berasal
dari berbagai disiplin kesarjanaan, baik kedokteran dan sosial. Sebagai
pimpinan proyek ditunjuk Dr.Soeharto Wiryowidagdo MPH. Setelah melalui
tahap pendidikan di dalam dan luar negeri, kelompok inilah yang kemudian
disebarluaskan pada berbagai tatanan organisasi dilingkungan Departemen
Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dan Institusi Pendidikan. Sebagian besar
dari kelompok yang ditempatkan dilingkungan Departemen Kesehatan berada
di kantor Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (Dit.PKM), dan Pusat
Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat). Hanya beberapa orang saja yang
ditempatkan pada institusi pendidikan.
Setelah selama sekitar 8 tahun menjadi Bagian, pada tahun 1975 berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 125 Tahun 1975, Bagian PKM Biro V
Pendidikan Depkes tersebut berkembang menjadi Direktorat Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat (PKM) pada Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat
(Binkesmas). Diangkat sebagai Kepala Direktorat adalah Dr. Pudjiastuti Pranjoto,
MPH, yang memperoleh pendidikan tentang Health Education di University of
Berkeley, USA. Salah satu Kepala Subditnya adalah Dr. I.B. Mantra, MSc., yang
setelah selesai dari kegiatan Work Experience di Bandung (beliau sebagai salah
seorang supervisornya), beliau belajar di Harvard University, USA. Pada masa inilah
pemantapan pendidikan Health Education Specialist baik di dalam maupun di luar
negeri, pengembangan tenaga Wakil Koordinator (Wator) di tingkat kabupaten, serta
diperkenalkannya daerah percontohan PKM yang disebut Daerah Kerja Intensif (DKI)
PKM.
Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 558 Tahun 1984,
unit Direktorat PKM Ditjen Binkesmas tersebut berubah menjadi Pusat PKM di
bawah Sekretariat Jenderal. Sebagian tugas pokok Direktorat PKM tersebut ditambah
dengan beberapa tugas lain menjadi Direktorat baru yaitu Direktorat Bina Peran Serta
Masyarakat (BPSM) yang tetap berada di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sementara
itu di bawah Ditjen Binkesmas juga ada Direktorat Bina Puskesmas, yang kemudian
menjadi motor pengembangan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa
(PKMD). Kepala Pusat PKM adalah Dr. I.B. Mantra, MSc, dan Kepala Direktorat
BPSM adalah Dr. Sonya Roesma, SKM, sedangkan Kepala Direktorat Bina
Puskesmas adalah Dr. Soeharto Wiryowidagdo, MPH. Pada periode inlah Pusat PKM
mengembangkan dan memproduksi berbagai media, a.l. serial sinetron Dr. Sartika
melalui TVRI (satu-satunya saluran TV waktu itu), yang mendapatkan sambutan
hangat dari masyarakat.
Selanjutnya pada tahun 2000, diadakan reorganisasi Depkes. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 130 Tahun 2000, unit Pusat PKM berubah lagi
menjadi Direktorat Promosi Kesehatan pada Ditjen Binkesmas. Direkturnya adalah
Drs. Dachroni, MPH, yang sebelumnya telah menjadi Kepala Pusat PKM sejak 1994,
menggantikan Dr. I.B. Mantra yang memasuki usia pensiun. Pada masa inilah
diperkenalkan Pengembangan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) sebagai cikal
bakal Promosi Kesehatan, yang kemudian menjadi nomenklatur PKM di lingkungan
Depkes. Pada masa ini pula diselenggarakan Konferensi Internasional Promosi
Kesehatan ke-4, yang menghasilkan Deklarasi Jakarta, yang menjadin acuan kegiatan
promosi kesehatan di dunia. Sesuai dengan KepMenkes tersebut, Direktorat BPSM
dilikuidasi. Salah satu subditnya masuk di Direktorat Promosi kesehatan, sedangkan
subdit lainnya ada yang bergabung dengan Direktorat baru yaitu Dit. Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Dit. Kesehatan Tradisonal, dll.
Satu hal yang menjadi catatan sejarah adalah bahwa pada tahun 2001 pada era
Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial
digabung menjadi satu Departemen, yaitu Departemen Kesehatan dan Sosial RI.
Konsekwensinya adalah bahwa unit-unit di kedua departemen tersebut juga disatukan,
salah satunya adalah Direktorat Promosi Kesehatan Depkes dan Pusat Penyuluhan
Sosial Depsos. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan dan Sosial RI Nomor 446
Tahun 2001, unit tersebut ditetapkan menjadi Direktorat Promosi Kesehatan dan
Penyuluhan Sosial di bawah Ditjen Pemberdayaan Sosial RI. Surat Keputusan sudah
ditandatangani, dan telah ditetapkan Drs. Dachroni, MPH sebagai direkturnya, tinggal
menunggu saat pelantikannya saja. Struktur organisasi ini tidak pernah diberlakukan,
karena sebelum pelantikan telah terjadi pergantian pemerintahyan dari Presiden
Abdurrahman Wahid kepada Presiden Megawati Soekarnoputeri, yang kembali
memisahkan Depk. Kesehatan dan Dep. Sosial RI.
Akhirnya melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1227 Tahun 2001,
Direktorat Promosi Kesehatan berubah status menjadi Pusat Promosi Kesehatan di
bawah Sekretariat Jenderal. Sudit Peran Serta Masyarakat terpisah dari Pusat Promosi
Kesehatan, bergabung dengan Direktorat baru, menjadi Direktorat Kesehatan
Komunitas, di bawah Ditjen Binkesmas. Dit JPKM tetap ada, juga di bawah Ditjen
Binkesmas. Sebagai Kepala Pusat ditetapkan Drs. Dachroni, MPH, dan waktu ia
pensiun pada tahun 2004, ia digantikan oleh Bambang Hartono, SKM, MSc.
Direktorat BPSM, JPKM dan Kesehatan Komunitas
Issu ini yang menjadi dasar pemikiran mengapa pada awalnya unit organisasi
pendidikan kesehatan berada pada Biro V, di lingkungan Sekretariat Jendral,
bukan berada di lingkungan Direktorat Jendral yang memberikan layanan
langsung kepada masyarakat. Berada di lingkungan Sekretariat Jendral
memberikan kesempatan kepada Bagian 4 Pendidikan Kesehatan untuk
memberikan layanan secara lebih luas, artinya kepada semua unit organisasi
yang berada pada berbagai Direktorat Jendral, dilingkungan Departemen
Kesehatan. Diharapkan dengan hanya ada satu unit organisasi pendidikan
kesehatan, pengembangan dan pelayanan yang diberikan kepada seluruh
program akan relatif lebih mudah. Berbeda dengan unit organisasi lain yang
juga berada pada lingkungan Sekretariat Jendral seperti Biro Kepegawaian,
ternyata keberadaan unit organisasi kepegawaian tersebut muncul dan diperkuat
juga oleh unit organisasi kepegawaian pada tiap Direktorat Jendral. Sementara
itu organisasi pendidikan kesehatan hanya berada pada lingkungan Sekretariat
Jendral saja.
Walaupun demikian, unit organisasi pendidikan kesehatan secara konsep tetap
dituntut untuk memberikan pelayanan kepada seluruh unit organisasi di
lingkungan Departemen Kesehatan. Ternyata dalam jangka panjang, hal ini
menjadi kendala yang mengakibatkan tidak optimalnya pelayanan pendidikan
kesehatan untuk seluruh program, dan lebih jauh memberikan kesan seolah
tanpa unit organisasi pendidikan kesehatanpun kebutuhan terhadap layanan
pendidikan kesehatan dapat dipenuhi.
Pada sisi lain, penerapan prinsip ini mengandung resiko yang menyangkut
pendanaan yang memang selalu sangat terbatas jumlahnya. Dengan hanya
berada di lingkungan Sekretariat Jendral saja dan itupun hanya merupakan satu
dari lima bagian yang ada, praktis perolehan alokasi anggaran sangat terbatas.
Pada perkembangan selanjutnya, pada waktu menjadi Pusat Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat, ada 4 bidang, yang salah satu bidangnya menguryusi
penyuluhan program kesehatan. Bidang tersebut mempunyai empat sub bidang,
yang masing-masing mengurusi program-program yang ada di unit kerja utama
Depkes, yaitu di empat direktorat jenderal. Dengan adanya bidang khusus
tersebut diharapkan kerjasama antara unit PKM dengan unit program berjalan
baik. Pada kenyataannya beberapa program dapat berjalan lancar, tetapi ada
juga beberapa program yang jalannya tersendat.
Kiranya perlu pula dimunculkan issu atau wacana tentang perlunya unit
Promosi Kesehatan menjadi eselon I. Mengapa tidak? Dilihat dari berbagai
pertimbangan, kiranya cukup pantas untuk menjadikan Promosi Kesehatan sebagai
eselon I, yang langsung berada di bawah Menteri.
Pertama apabila dilihat dari upaya kesehatan sendiri. Upaya kesehatan terdiri
dari upaya promotive, preventive, curative dan rehabilitative. Atau upaya
peningkiatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan. Semua sepakat bahwa
keempat upaya tersebut perlu dilakukan secara komprehensive, dan semua juga
sepakat bahwa Promotive or preventive is better than cure. Selain itu juga semua
sepakat bahwa upaya promotif lebih cost efective dibandingkan dengan upaya
lainnya. Jadi adalah wajar apabila untuk upaya promotif ini diberikan perhatian
saksama dengan pemikiran serta sumber daya yang lebih memadai, dengan
menempatkannya sebagai unit eselon I.
Kemudian apabila dilihat dari tujuan pembangunan kesehatan, fokusnya adalah
pada peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.
Dengan kata lain tujuannya berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Dengan
pemberdayaan masyarakat ini, masyarakat akan menjadi subyek, menjadi pelaku,
yang akan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Dengan demikian program
kesehatan akan berjalan secara lebih cepat, karena mendapatkan energi berlimpah
yaitu masyarakat itu sendiri. Ini juga sejalan dengan SKN baru (2004) yang
menetapkan adanya enam sub sistem, salah satunya adalah Sub Sistem Pemberdayaan
Masyarakat, yang merupakan bidang garapan promosi kesehatan. Untuk
memberdayakan masyarakat itu tidak mudah, diperlukan segenap pemikiran dan
sumber daya. Unit yang memikirkan upaya ini, seharusnyalah perlu ditingkatkan
menjadi eselon I, langsung di bawah Menkes. Dalam hal ini sudah ada contoh di
Departemen lain yang menempatkan unit penyuluhan berstatus eselon I yaitu di
Departemen Pertanian, yang bernama Badan Penyuluhan Pertanian
Kemudian apabila urusan Departemen ini kita bandingkan dengan urusan di
dunia usaha, maka bidang promosi ini biasanya menempati posisi yang sangat
penting, disamping bidang produksi dan umum/keuangan. Bahkan seringkali direktur
bidang promosi menerima gaji yang lebih baik daripada direktur lainnya, hanya
sedikit di bawah direktur utama. Bidang promosi di berbagai unit usaha (swasta atau
BUMN) seringkali juga mendapatkan perhatian istimewa, dengan sumber daya yang
istimewa pula.
Bab VII
PENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKAT DI PERGURUAN TINGGI
Pendirian FKM-UI
Kepemimpinan FKMUI
Untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi Fakultas dan juga untuk
lebih memacu perkembangannya, maka pada tanggal 10 April 1972 Rektor
Universitas Indonesia membentuk apa yang dikenal dengan Staf Inti FKMUI yang
terdiri dari : Iwan Sutjahja, dr.MPH (sebagai ketua), Does Sampoerno, dr.MPH
(Sekretaris, now(), now()); dan empat orang anggota, yaitu : Budi Harsana, dr.MPH,
Kusuma Surya Gani, dr.MPH, Sujana Jatiputra, dr.MPH dan Gambiro
Prawirosudirdjo, dr.MPH.
Dengan bantuan berbagai pihak, antara lain Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI (Dirjen Pendidikan Tinggi), rektor UI, Konsorsium Ilmu Kedokteran,
Departemen Kesehatan, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), USAID, CMB,
University of Hawai, maka pada bulan September 1972 selesailah disusun oleh staf
inti Rencana Lima Tahun Pengembangan FKM UI.
Dalam perkembangan selanjutnya dari staf inti ini, dibentuklah 3 macam
panitia, yaitu sebagai berikut :
Sejak April 2004 anggota kedekanan FKMUI berubah, meliputi Dekan, Wakil Dekan
I yang membawahi Bidang Akademik, dan wakil Dekan II yang membawahi bidang
Non Akademik. Anggota kedekanan untuk tahun 2004-2008 adalah : Prof. dr.
Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH (Dekan), Bambang Wispriyono, Drs, Spt, PhD.
(Wakil Dekan I), dan Prastuti Chusnun Soewondo, SE,MPH,Ph.D. (Wakil Dekan II).
Pada sekitar tahun 1971 dengan bantuan WHO dan USAID dibentuk Proyek
Pengembangan Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat, atau Health
Education Manpower Development Project, yang lebih dikenal dengan Proyek HES.
Proyek tersebut selain bermaksud mengadakan tenaga ahli atau spesialis dalam bidang
pendidikan kesehatan masyarakat, juga dimaksudkan untuk memperkuat FKM UI.
Melalui proyek tersebut direncanakan untuk dihasilkan sebanyak sekitar 60 orang
tenaga ahli HE (HES) yang akan ditempatkan di Pusat dan di daerah. Separuh dari
jumlah HES tersebut akan dididik di berbagai universitas di Amerika, sedangkan
separuhnya lagi akan dididik di dalam negeri, yaitu di FKM UI.
Proyek pengembangan tenaga pendidik kesehatan ini berjalan 5 tahun. Setelah
melakukan berbagai persiapan, a.l. mengirim tenaga dosen ke luar negeri,
mempersiapkan kurikulum dll, maka pada sekitar tahun 1973 FKM UI mulai
menyelenggarakan program pendidikan (tingkat manajerial atau magister) tenaga HES
ini. Latar belakang calon tenaga HES yang diterima harus sudah sarjana, dokter atau
non dokter, meliputi: sarjana pendidikan, ilmu sosial, psikologi, dan anthropologi.
Program pendidikan yang disiapkan bagi calon HES itu lamanya antara 1,5 2
tahun. Bagi sarjana non kesehatan, lama pendidikan dua tahun ditambah setengah
tahun magang di lapangan. Sedangkan bagi sarjana/dokter, lama pendidikan satu
tahun di FKMUI ditambah setengah tahun magang di lapangan. Magang itu dilakukan
bersama dengan mereka yang sarjana non kesehatan. Di lapangan ini mereka
melakukan kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan kesehatan dalam
program kesehatan di tempat mereka magang.
Program peminatan
Pada waktu Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) belum ada, pada dasarnya
materi Pendidikan Kesehatan/Health Education (selanjutnya disingkat HE) sudah
diberikan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) dalam perkuliahan ilmu
kesehatan masyarakat. Di samping HE yang diberikan dalam kedudukannya sebagai
salah satu program pokok Kesehatan Masyarakat (Public Health, selanjutnya disingkat
PH) juga diberikan promosi kesehatan (health promotion, selanjutnya disingkat HP)
yang diterima sebagai kegiatan pencegahan tingkat pertama dalam kedokteran
pencegahan (preventive medicine). Pembelajaran ini berjalan dengan dosen lulusan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Luar Negeri, dosen Fakultas Kedokteran dan juga
pejabat Departemen Kesehatan. Materi diberikan dalam perkuliahan, pengalaman
bekerja di lapangan, serta membaca buku rujukan yang waktu itu tidak banyak
tersedia. Buku pegangan pokok adalah: Public Health Administration karangan
Hanlon dan Preventive Medicine karangan Leavell & Clark.
Dengan muatan PH/HE/HP ini para lulusan FK ditempatkan langsung di daerah
bertugas sebagai dokter di masyarakat atau di kantor Dinas Kesehatan. Mereka yang
berasal dari Departemen P & K kembali ke Fakultas Kedokteran. Mereka itu ada yang
langsung mengajar di klas, dan ada pula yang ditempatkan di institusi pelayanan
kesehatan tempat diselenggarakannya pendidikan mahasiswa FK (seperti Rumah Sakit
dan Puskesmas Umum/Khusus).
Muatan HE dan HP ini dalam perkuliahan Kesehatan Masyarakat S2 di FKM
UI mengalami perubahan dan perkembangan, sbb:
Sarjana Non
Mahasiswa/Tahun Dokter/Drg Paramedis
Kesehatan
HE/HP dalam
kesmas (1 thn,
HE/HP dalam
1965-1972 now(), now()); Belum ada
kesmas/PH (1 tahun)
setelah 1970
menjadi 2 tahun
HE/HP dalam
Hanya ada HES;
kesmas/PH (1 tahun,
HE dlm kesmas (1
now(), now()); HE/HP dalam
1973-1977 th), kuliah pre klinik
Bagi mahasiswa HES kesmas (2 tahun)
(1/2 th) dan di
plus 1/2 tahun praktek
lapangan HE (1/2 th)
HE di lapangan
Bab VIII
SUMBER DAYA MANUSIA PROMOSI KESEHATAN
(KETENAGAAN PENYULUH KESEHATAN)
Arti penting pendidikan kesehatan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 70-
an menuntut dikembangkannya tenaga khusus penyuluhan kesehatan yang disebut
sebagai Health Education Specialist. Sekitar tahun 1968 dalam Rapat Kerja
(Workshop) Nasional a.l. dikemukakann tentang pentingnya pendidikan kesehatan
dan kemudian diputuskan bahwa Pendidikan Kesehatan merupakan suatu usaha utama
dan mutlak untuk merealisasikan puskesmas. Dan dalam kesempatan itu
direkomendasikan a.l. pengembangan staff yang qualified melalui pendidikan Health
Education Specialist.
Rekomendasi ini baru dapat diwujudkan pada tahun 1971 dalam bentuk
Pendidikan Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Health Education
Specialist). Upaya ini mendapatkan dukungan dana dan konsultan dari WHO dan
USAID dan disebut sebagai Health Education Manpower Development Project.
Tenaga-tenaga ini diharapkan menjadi advocator, motivator dan katalisator bagi
penyusunan kebijakan dan keputusan pembangunan kesehatan masyarakat. Tenaga-
tenaga ini direkrut dari berbagai disiplin ilmu dan dididik dalam berbagai perguruan
tinggi di luar dan di dalam negeri. Mereka dididik dan dipersiapkan untuk menjadi
tenaga pengelola PKM di tingkat nasional dan provinsi. Sejatinya, tenaga-tenaga ini
dipersiapkan untuk menduduki jabatan atau fungsi penyuluhan kesehatan pada
institusi kesehatan utamanya penyuluhan kesehatan di pusat dan provinsi maupun
institusi di luar kesehatan.
Ada dua model yang dikembangkan melalui pendidikan tenaga ahli PKM ini
yaitu pendidikan model BOC dan pendidikan model FKM-UI. Pendidikan model
pertama melalui tahapan basic orientation course (BOC) selama 6 bulan di Cilandak
diikuti dengan pengalaman lapangan selama 6-12 bulan di Bandung dan dilanjutkan
dengan pendidikan S2 (Master) di universitas-universitas di Amerika Serikat selama 1
tahun. Model pertama berlangsung selama 2 angkatan mencakup 31 orang.
Pendidikan model kedua melalui pra-SKM selama 6 bulan, diikuti pendidikan SKM
(Master) selama 1 tahun dan diakhiri dengan pengalaman lapangan selama 6 bulan.
Seluruhnya diselenggarakan di FKM-UI. Model kedua juga berlangsung selama 2
angkatan berjumlah 30 orang.
Selama mengikuti kegiatan pengalaman lapangan (work experience program),
peserta (calon HES khususnya angkatan I dan II) ditempatkan di Puskesmas. Mereka
melakukan study untuk mengenali masyarakat dengan menggunakan antropological
approach. Mereka tinggal di desa dan hidup bersama masyarakat desa. Hasil study itu
disampaikan kepada masyarakat desa, lalu diadakan temu atau musyawarah desa
untuk menyepakati hal-hal yang perlu dilakukan untuk membangun masyarakat
desanya. Model inilah yang kemudian nanti berkembang menjadi apa yang disebut
dengan Pendekatan Edukatif.
Peserta juga mengembangkan program pendidikan kesehatan yang melekat
pada masing-masing program kesehatan. Mereka ini mula-mula mengikuti kegiatan
setiap petugas puskesmas (bidan, perawat, sanitarian, petugas UKS, tenaga gizi, juga
dokter), kemudian bersama masing-masing mereka mendiskusikan aspek pendidikan
kesehatan yang dapat dilakukan oleh masing-masing tenaga kesehatan itu dalam
program atau kegiatan masing-masing.
Setelah di Puskesmas, peserta (calon HES) itu melakukan hal yang sama di
tingkat kabupaten (bersama staf Dinas Kesehatan Kabupaten) dan juga di tingkat
provinsi (bersma staf Dinas Kesehatan Provinsi). Para peserta bolak-balik antara
lapangan dengan klas. Dalam klas ini mereka memperoleh bimbingan para konsultan
(adviser dari WHO dan USAID) dan supervisor (bapak Putulawa Udayanan dan
Bapak I.B. Mantra).
Tenaga-tenaga ini kemudian setelah lulus (angkatan I sd IV) ditempatkan
sebagian di Direktorat PKM, dan sebagian lainnya di Pusdiklat, Ditjen Binkesmas,
Asuransi Kesehatan dan FKM di beberapa universitas negeri serta di Dinas Kesehatan
Provinsi (Unit PKM). Perkembangan karir mereka bervariasi mulai dari staf sampai
yang menjabat eselon 2 di Pusat PKM dan dari dosen/widyaiswara hingga anggota
Tim Pemberantas Korupsi. Ada juga yang menjabat eselon I di Departemen lain /
Lembaga Non Departemen. Selaras dengan perkembangan pada waktu itu, ada juga
beberapa tenaga lulusan ini yang beralih ke bidang-bidang lain baik yang masih
berkaitan dengan penyuluhan kesehatan maupun yang tidak banyak berkaitan
dengannya. Walaupun demikian kehadiran tenaga-tenaga ini di posisinya masing-
masing cukup mewarnai perkembangan penyuluhan kesehatan secara khusus dan
pembangunan kesehatan pada umumnya.
Dengan berkembangnya waktu dan keadaan, sekitar akhir tahun 1980-an dan
awal 1990-an lahir suatu konsep pemikiran tentang profesionalisme tenaga birokrasi
pemerintahan melalui jabatan fungsional. Artinya untuk meningkatkan pelayanan
publik, struktur yang ada sekarang sudah tidak memadai lagi dan harus didukung oleh
tenaga fungsional yang bermakna professional yang menguasai ilmu dan teknologi
profesi yang bersangkutan dan terampil melaksanakannya.
Untuk mengembangkan program PKM jelas diperlukan jabatan fungsional
PKM disamping tentunya tenaga jabatan struktural yang sudah ada di berbagai
tingkatan administratif. Pada waktu itu di lingkungan kesehatan sendiri baru dibentuk
beberapa tenaga jabatan fungsional seperti dokter, dokter gigi dan perawat. Lalu
diikuti dengan tenaga professional yang bersifat umum seperti penata komputer,
pustakawan, arsiparis, dll. Sedangkan di lingkungan pertanian misalnya dibentuk
penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, kehutanan dan lain-lain.
Pembentukan jabatan fungsional penyuluh Kesehatan masyarakat sebenarnya
dimulai pada tahun 1989, tetapi baru intensif dilakukan pada tahun 1992. Selanjutnya.
Proses pembahasannya melibatkan berbagai pihak seperti MENPAN, BAKN
(sekarang BKN), Biro kepegawaian Depkes., Pusat PKM, Direktorat BPSM, Unit
PKM Provinsi, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi bahkan sector-sektor lain yang
sudah berpengalaman dalam membentuk dan mengembangkan jabatan fungsional
masing-masing. Kendala utama yang dihadapi hdala pengakuan terhadap penyuluhan
kesehatan sebagai sutau profesi.
Setelah melalui proses panjang dengan kerja keras dan melelahkan serta
mengalami masa-masa yang sulit, akhirnya Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (MENPAN) menetapkan terbentuknya Jabatan Fungsional Penyuluh Keshatan
Masyarakat (PKM) pada tahun 2000 melalui Keputusan MENPAN No.
58/M.PAN/VIII/2000 tanggal 14 Agustus 200. Keptusan ini mengacu pada KEPPRES
No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Pegawai negeri Sipil. Terbentuknya
jabatn fungsional PKM ini dari awal kurang menjanjikan, karena sudah diberikan
batasan bahwa sepanjang kondisi keuangan negara Belem memungkinkan makan
tunjang jabatan tidak disediakan. Tetapi untunglah angka kreditnya sudah dapat
diperhitungkan untuk kenaikan pangkat/jabatan.
Animo untuk menjadi pejabat fungsional tidak menggebu-gebu, karena kurang
menarik atau menjanjikan walaupun sudah ditawarkan ing ke daerah-daerah. Namur
demikian masih ada sejumlah PNS kesehatan terutama di beberapa provinsi
mengajukan diri untuk menjadi pejabat fungsional melalui proses inpassing
(pemutihan). Proses ini berlangsung hingg akhir tahun 2001, dan untuk selanjutnya
diberi kesempatan untuk menjadi pejabat fungsional PKM dengan persayaratan
melalui pengangkatan pertama kali seperti yang berlaku pada jabatan fungsional lain.
Baru pada tahun 2004 dengan Keppres No. 5 tahun 2004 disediakan tunjangan jabatan
fungsional lingkup rumpun kesehatan.
Pada awalnya, tenaga yang terjaring sekitar 200-an orang dan kini berdasarkan
data bulan Februari 2005 telah terdaftar sebanyak kira-kira 856 orang yang terdiri dari
98 tenaga ahli dan 758 tenaga trampil. Penyebarannya kebanyakan tenaga ini berada
paling jauh di tingkat kabupaten atau kota, malahan yang terbanyak berada pada di
pusat dan provinsi. Sedangkan di puskesmas-puskesmas sebagai fron terdepan dari
promosi kesehatan ketersedian tenaga PKM jauh daripada memadai.
Sebagai contoh, di Pusat Promosi Kesehatan diantara 75 pegawai terdapat 37
tenaga jabatan fungsional penyuluh kesehatan dan 5 arsiparis. Jabatan struktural
berjumlah 11 orang, dan staff sebanyak 22 orang. Dari 37 orang ini terdiri dari 19
orang Penyuluh Kesehatan Ahli dan 18 orang Penyuluh Kesehatan Terampil. Masih
ada beberapa orang pejabat fungsional PKM yang berada di Direktorat Kesehatan
Komunitas (5 orang), Direktorat Gizi ( 7 orang), Direktorat Kesehatan Khusus 1
orang, Sekretariat Ditjen Binkesmas 4 orang, dan di UPT Pusat 9 orang.
Pusat: Pusat Promosi Kesehatan dan Unit lain di dalam dan di luar Depkes.
Bagaimana ke depan
2. Peran sebagai penjaja (social marketer), yang harus dengan penuh percaya
diri dan ulet mengajak masyarakat untuk menerima dan pempraktekkan pesan-
pesan sehat yang dijajakannya. Peran ini harus dilakukan secara lantang melalui
berbagai media, dan agar lebih efektif harus disertai contoh atau ketauladanan
dari sipenjaja sendiri. Dengan sendirinya ia memerankan diri di depan sebagai
contoh, atau ing ngarsa sung tulodo.
3. Peran sebagai pendamping, penasehat, atau advocat, yang harus dengan sabar
dan cerdas mendampingi, membujuk, memantau atau mengawal para
pembuat kebijakan agar keputusan yang dibuatnya selalu berdampak positif
terhadap kesehatan. Peran ini agar efektif harus dilakukan dengan
menempatkan diri kita setara (dalam arti keluasan wawasan, respect di
masyarakat, dll) dengan para pembuat kebijakan tersebut. Dengan perkataan
lain, harus dapat memerankan diri dalam koridor: ing madya mangun karsa.
Dari semuanya itu, kata kuncinya adalah semangat dan tekad pantang
menyerah. Kita perlu belajar dengan apa yang disampaikan oleh Thomas Alfa Edison,
sebagaimana dikutip pada awal bab ini.
Bab IX
PRO AKSI MASA DEPAN
(Kurun Waktu 2005 Y.a.d.)
Promosi Kesehatan di Indonesia telah mempunyai visi, misi dan strategi yang
jelas, sebagaimana tertuang dalam SK Menkes RI No. 1193/2004 tentang Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan. Visi, misi dan strategi tersebut sejalan dan bersama
program kesehatan lainnya mengisi pembangunan kesehatan dalam kerangka
Paradigma Sehat menuju Visi Indonesia Sehat.
Visi Promosi Kesehatan adalah: PHBS 2010, yang mengindikasikan tentang
terwujudnya masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Visi tersebut adalah
benar-benar visioner, menunjukkan arah, harapan yang berbau impian, tetapi
bukannya tidak mungkin untuk dicapai. Visi tersebut juga menunjukkan dinamika
atau gerak maju dari suasana lama (yang ingin diperbaiki) ke suasana baru (yang ingin
dicapai). Visi tersebut juga menunjukkan bahwa bidang garapan Promosi kesehatan
adalah aspek budaya (kultur), yang menjanjikan perubahan dari dalam diri manusia
dalam interaksinya dengan lingkungannya dan karenanya bersifat lebih lestari.
Misi Promosi Kesehatan yang ditetapkan adalah: (1) Memberdayakan individu,
keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat; (2) Membina suasana atau lingkungan
yang kondusif bagi terciptanya phbs di masyarakat; (3) Melakukan advokasi kepada
para pengambil keputusan dan penentu kebijakan. Misi tersebut telah menjelaskan
tentang apa yang harus dan perlu dilakukan oleh Promosi Kesehatan dalam mencapai
visinya. Misi tersebut juga menjelaskan fokus upaya dan kegiatan yang perlu
dilakukan. Dari misi tersebut jelas bahwa berbagai kegiatan harus dilakukan
serempak.
Selanjutnya strategi Promosi Kesehatan yang selama ini dikenal adalah ABG,
yaitu: Advokasi, Bina Suasana dan Gerakan Pemberdayaan Masyarakat. Ketiga
strategi tersebut dengan jelas menunjukkan bagaimana cara menjalankan misi dalam
rangka mencapai visi. Strategi tersebut juga menunjukkan ketiga strata masyarakat
yang perlu digarap. Strata primer adalah masyarakat langsung perlu digerakkan peran
aktifnya melalui upaya gerakan atau pemberdayaan masyarakat (community
development, PKMD, Posyandu, Poskestren, Pos UKS, dll). Strata sekunder adalah
para pembuat opini di masyarakat, perlu dibina atau diajak bersama untuk
menumbuhkan norma perilaku atau budaya baru agar diteladani masyarakat. Ini
dilakukan melalui media massa, media tradisonal, adat, atau media apa saja sesuai
dengan keadaan, masalah dan potensi setempat. Sedangkan strata tertier adalah para
pembuat keputusan dan penentu kebijakan, yang perlu dilakukan advokasi, melalui
berbagai cara pendekatan sesuai keadaan, masalah dan potensi yang ada. Ini dilakukan
agar kebijakan yang dibuat berwawasan sehat, yang memberikan dampak positif bagi
kesehatan.
Dengan visi, misi dan strategi seperti ini, Promosi Kesehatan juga jelas akan
melangkah dengan mantapnya di masa depan. Namun sebagaimana konsep Promosi
kesehatan yang disebutkan di muka, visi, misi dan strategi tersebut juga harus dapat
dioperasionalkan secara lebih membumi di lapangan, sesuai keadaan, masalah dan
potensi setempat.
Pada saat ini ada kurang lebih 1.000 orang bekerja sebagai pengelola promosi
kesehatan di pusat dan daerah, walaupun sebagian masih merupakan tenaga rangkap.
Kualitas SDM pengelola promosi kesehatan juga telah ditingkatkan dan telah
ditetapkan adanya jabatan fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat (PKM).
Tunjangan jabatan fungsional juga telah keluar sejak akhir tahun 2004.
Pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas tenaga juga selalu
diselenggarakan setiap tahun. Pada tahun 2002 terdapat 50 orang lebih tenaga
pengelola promosi kesehatan pusat dan daerah yang mengikuti pendidikan formal,
baik pendidikan Diploma, Sarjana maupun Pasca Sarjana. Sedangkan 600 orang lebih
mengikuti pelatihan, baik pelatihan promosi kesehatan maupun tehnis kesehatan.
Dengan adanya otonomi daerah, kebijakan penempatan tenaga sangat
tergantung pada daerah masing-masing. Dalam kaitan itu banyak tenaga promosi
kesehatan atau yang dipersiapkan menjadi tenaga promosi kesehatan dimutasi ke
tempat lain, dan sebagai gantinya pos tersebut diisi oleh tenaga baru yang belum
memahami tugas promosi kesehatan. Selain itu pada era 1970 an dahulu di Dinas
Kesehatan Kabupaten ada Wakil koordinator PKM (koordinatornya adalah Kepala
Dinas), yang mengkoordinasikan seksi-seksi tehnis di bidang penyuluhan kesehatan.
Tenaga tersebut kiranya perlu dihidupkan lagi. Selanjutnya pada saat ini tugas
penyuluhan/promosi kesehatan di Puskesmas sebagian besar dirangkap oleh tenaga
sanitarian, perawat, atau tenaga lainnya.
Di masyarakat memang ada tenaga kader, yang banyak membantu kegiatan
promosi kesehatan di masyarakat. Dengan tetap mengapresiasi terhadap apa yang
mereka lakukan, tetapi sebagian besar mereka bukan tenaga promosi kesehatan yang
seharusnya dapat merencanakan, melaksanakan, memantau dan menilai kegiatan
promosi kesehatan di lapangan. Apalagi angka drop out kader sejak era reformasi
besar sekali.
Pada waktu yang akan datang perlu diangkat tenaga khusus yang mengurusi
promosi atau penyuluhan kesehatan di Puskesmas ini. Hal itu mengingat promosi
kesehatan merupakan salah satu layanan wajib yang harus dilakukan di setiap
Puskesmas. Suksesnya upaya promosi kesehatan dan pembangunan kesehatan pada
umumnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan tenaga ini.
Banyak sekali kelemahan yang harus diperbaiki untuk menghadapi masa depan.
Pertama adalah SDM Promosi kesehatan. Selain baik dari segi jumlah maupun
mutunya belum memadai, jabatan fungsional PKM juga belum mantap. Selanjutnya
saling hubung (linkage) di bidang promosi kesehatan antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota sangat kurang. Apa yang dipikirkan dan dilakukan di pusat sering
tidak berhubungan dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan di provinsi,
kabupaten/kota. Demikian pula sebaliknya.
Sementara itu posisi organisasi pengelola kesehatan juga belum stndar: Ada
yang berada di posisi lini, ada yang berada di posisi penunjang. Ada yang langsung
dibawah pimpinan unit, ada pula yang berada dibawah sub unit. Selanjutnya Promosi
kesehatan juga belum terintegrasi benar dengan program-program kesehatan. Promosi
kesehatan juga belum dapat berperan di arus tengah pembangunan kesehatan.
Sedangkan sistem informasi perilaku sehat belum berkembang sepenuhnya. Promosi
kesehatan juga belum sepenuhnya berdasarkan fakta (evidence based).
Selain itu masih banyak masalah khususnya dalam pengoperasionalan misi dan
strategi, yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, bina suasana dan
advokasi. Berbagai permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
2. Dalam banyak kasus, kerja advokasi sering terhenti di tengah jalan, atau
rencana yang telah disusun tidak dapat dikerjakan maksimal, karena
kurangnya dukungan dana.
Selain hal-hal tersebut di atas perlu dikemukakan pula banyaknya peluang yang
ada. Globalisasi dan kemajuan IPTEK khususnya di bidang telekomunikasi dan
informatika merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan untuk mengembangkan
promosi kesehatan. Sistem pemerintahan desentralisasi yang memberikan bobot pada
otonomi daerah memungkinkan berkembangnya promosi kesehatan sesuai dengan
kebutuhan setempat. Selanjutnya digalakkannya praktik good governance akan
memacu peningkatan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Sementara itu tatanan yang tersebar secara luas dan merata di masyarakat
(sekolah, tempat kerja, tempat umum, sarana kesehatan, juga tempat tinggal)
merupakan lahan yang perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pengelola dari
masing-masing tatanan tersebut perlu diajak sebagai mitra untuk menggerakkan
perilaku hidup sehat di masing-masing tatanan tersebut.
Dorongan dari dunia internasional juga dapat dimanfaatkan untuk memacu
promosi kesehatan di Indonesia. Kesepakatan-kesepakatan global, khususnya yang
berkaitan dengan promosi kesehatan dan peningkatan perilaku sehat perlu dikaji
kembali (direview) dan ditindak lanjuti. Hal itu misalnya yang tertuang dalam
Deklarasi Jakarta (1997), Pernyataan para Menteri Kesehatan di Mexiko (2000),
Deklarasi Vientiane tentang Healthy ASEAN Lifestyle (2002), the Bangkok Charter
(2005), dll.
Berbagai Tantangan
Selanjutnya banyak tantangan yang harus dihadapi pada masa yang akan
datang, yang diperkirakan akan semakin kompleks. Globalisasi, di satu pihak dapat
membuka lebih banyak peluang dan kesempatan. Tetapi globalisasi, yang juga
ditandai dengan meningkatnya persaingan bebas, akan mengharuskan segenap
komponen bangsa untuk meningkatkan daya saing. Teknologi, transportasi dan
telekomunikasi-informasi yang berkembang pesat, dapat mengarah pada terbentuknya
dunia yang terbuka dan tanpa batas. Dengan demikian globalisasi dapat memperlemah
pengawasan pemerintah terhadap faktor-faktor yang berdampak negatif terhadap
kesehatan.
Indonesia yang masih rendah kualitas SDM dan rawan masalah politik,
ekonomi, sosial dan budayanya (poleksosbud) akan rentan terhadap masalah
kesehatan dan masalah yang berpengaruh terhadap kesehatan yang datang dari negara
lain. Penetrasi budaya negatif yang datang dari luar akan susah sekali dicegah.
Sejalan dengan itu demokratisasi, hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan
hidup telah menjadi tuntutan dunia yang semakin mendesak. Berbagai komitmen
internasional seperti Millennium Development Goals, Sustainable Development
Principles, World Fit For Children dan agenda-agenda internasional lainnya di bidang
kesehatan perlu memperoleh perhatian. Itu semua merupakan tantangan yang harus
dihadapi oleh segenap bangsa, termasuk oleh promosi kesehatan.
Secara nasional, dampak dari krisis multi dimensi di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan keamanan yang sudah mengarah pada disintegrasi bangsa masih
terasa. Berbagai kondisi tersebut berdampak luas terhadap peri kehidupan masyarakat
dalam berbangsa dan bernegara, diantaranya meningkatnya pengangguran dan jumlah
penduduk miskin, menurunnya derajat kesehatan penduduk yang pada gilirannya
berpengaruh terhadap mutu sumberdaya manusia Indonesia. Selain itu penurunan
kualitas lingkungan yang terjadi terus menerus, urbanisasi dan perubahan keadaan
kerja, serta transisi politik, epidemiologi dan demografi telah memberikan kontribusi
terhadap semakin kompleksnya masalah.
Selanjutnya desentralisasi yang diharapkan dapat lebih mendekatkan aspirasi
rakyat pada tujuan pembangunan serta meningkatkan peran aktif mereka pada
jalannya pembangunan, masih dalam masa transisi. Desentralisasi masih berkutat
pada bidang politik (itupun baru bersifat formal) sedangkan cita-cita desentralisasi
yang sebenar-benarnya masih jauh dari kenyataan. Dengan beberapa pengecualian,
banyak daerah yang justru mengalami kemerosotan dalam pelayanan kesehatannya.
Pembangunan kesehatan kurang memperoleh perhatian, organisasi Dinas Kesehatan
di daerah rancu, penempatan tenaga dan mutasi jabatan tidak berdasar kemampuan
dan keahlian, dll. Posisi Promosi Kesehatan jug tidak jelas. Sehingga pemeo lama
berulang kembali: Health education is everybody bussiness, but in reality it is
nobody bussiness.
Akibatnya banyak masalah kesehatan bermunculan. Demam berdarah, malaria,
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), TBC merebak di mana-mana. Bahkan busung
lapar, kurang gizi, flu burung muncul menjadi isu nasional. Belum lagi pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit juga menjadi sorotan dan banyak dikeluhkan masyarakat.
Profesionalisme tenaga kesehatan khususnya dokter bayak dipertanyakan masyarakat.
Dalam pelayanan kesehatan terjadi dehumanisasi. Sedangkan perilaku negatif
masyarakat di bidang kesehatan meningkat.
Permasalahan dan tantangan tersebut pada masa yang akan datang akan menjadi
semakin besar dan kompleks. Promosi Kesehatan seharusnya mempunyai andil dalam
menjawab permasalahan dan tantangan tersebut di atas.
Berbagai rencana aksi tersebut perlu dilandasi dengan tekad dan semangat yang
mantap. Kita berharap bahwa hari esok harus lebih baik daripada hari ini dan kemarin.
Dengan demikian kita akan termasuk orang yang beruntung, sebagaimana kata orang
yang sangat bijak, yang dikutip di awal bab ini.
Bab X
APA KATA MEREKA
Sejarah tergantung pada para pelakunya. Para pelaku itu banyak yang sudah
mendahului kita menghadap Sang Pencipta. Di antara yang tinggal banyak yang
sudah purna bakti dan bertebaran di berbagai tempat. Banyak di antara para
pelaku itu masih berbuat untuk masyarakat dan bangsa dengan caranya masing-
masing.
Inilah kesan dan pesan dari sebagian para pelaku sejarah dan para pengamat atau
pemerhati Promosi Kesehatan itu.
Dokter Sayoga
(Mantan BOC I, terakhir pejabat DEPDIKNAS Provinsi Jawa Barat)
Yang dimaksud sekolah adalah semua jenjang pendidikan di tingkat dasar dan
menengah yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen
Agama. Para murid atau siswa sudah dalam keadaan terorganisasikan dan dalam
keadaan siap untuk menerima segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan Promosi
Keshatan. Demikian pula para pengasuh atau gurunya. Promosi Kesehatan tidak
hanya dalam bentuk pendidikan atau penyuluhan kesehatan, baik secara intra
kurikuler atau ekstra kurikuler, melainkan juga dilengkapi dengan Pelayanan
Kesehatan Sekolah. Berkenaan dengan Otonomi Daerah, maka kegiatan Pelayanan
Kesehatan Sekolah disesuaikan dengan kemampuan daerah masingt-masing.
Menurut pengamatan dan pengalaman saya di lapangan terbukti bahwa
pendidikan kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Sekolah belum berjalan dengan
optimal, bahkan hanya dilaksanakan sekadarnya saja. Initerjadi karena buku-buku,
sarana dan sumber daya manusianya tidak tersedia atau kurang memadai.
Apakah yang dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan atau khususnya oleh
Pusat Promosi Kesehatan? Ini mengingat para siswa yang jumlahnya jutaan itu
mempunyai potensi sebagai pembaru perilaku kesehatan (Agent of change for positive
health behaviour) yang merupakan salah satu tujuan dari promosi kesehatan.
Setelah lulus, tidak langsung bekerja dengan penempatan sebagai staf pengajar
Fakultas Kedokteran, tetapi mengikuti program Departemen Kesehatan ke daerah
dengan wabah selama 2 minggu bersama dokter yang baru lulus dengan penempatan
di daerah/puskesmas waktu itu ke Palembang (wabah cacar tahun 1961). Sebelum
berangkat memperoleh pelatihan di Departemen Kesehatan Jakarta dengan supervisi
almarhum dr. Bagiastra dan dr. Abdulkadir (kegiatan ini merefleksikan suatu
kerjasama antar Departemenn Pendidikan dan Departemen Kesehatan yang baik).
Dalam kurun waktu (1963-1965) saya bertemu dengan Ibu Koesnaniah,
almarhum Ibu Tati dan alamarhum Liem Tjae Lie sewaktu bertugas sebagai Kepala
BKIA Pendidikan mahasiswa FKUI di Jl. Kwini, di gedung Departemen Kesehatan
bagian belakang yang bersebelahan dengan bagian Pendidikan Kesehatan Departemen
Kesehatan. Dari hubungan ini diperoleh bekal pengalaman kerja berkaitan dengan
Kesehatan Masyarakat dan Pendidikan Kesehatan. Kegiatan BKIA meliputi
penimbangan para ibu hamil, bayi/balita sehat, pemberian imunisasi pada bayi/balita
maupun ibu hamil sehat serta vitamin dan makanan tambahan (pada waktu itu susu
bubuk persahabatan USA-RI, Vit A D, Fe), dan pendidikan kesehatan dengan
menggunakan pamflet-pamflet tertentu dan kartu gizi dilaksanakan baik di puskesmas
maupun waktu kunjungan rumah dilaksanakan bersama mahasiswa yang kuliah kerja
PH (Public Health) di BKIA dan staf paramedis yang ada. Jika disimak kembali maka
saya dapat mengatakan bahwa pelaksanaan promosi kesehatan yang baik erat
berhubungan dengan pendidikan kesehatan yang diberikan, jelas kegiatan
penyuluhan/HE. Keadaan ini mendukung pernyataan Leavell &Clark health
education is vitally important the procedures in promoting health (1953). Keadaan ini
disadari oleh dr. Leimena dengan tulisan beliau (1956) sbb: public health of to day
can not be solved without health education; and it is also true that this activity can
aonly be carried out by capable worker. Kata capable workers menurut saya meliputi
kemampuan bidang pekerjaan kesmas (substansi) dan bidang komunikasi serta
hubungan antarpribadi ( HAM).
Dra. Koesnaniah Wirja Mihardja, MPH
It can, in general be said that all activiteis in the field of public will not have
satisfactory result, unless appropriate education and information on those problems
are provided efficiently to the public ( Leimena, 1956.)
Profesi dokter baik dan mulia, profesi pedagang pun baik dan mulia, tetapi bila
keduanya ada pada satu orang maka menjadi tidak baik dan tidak mulia.
Seorang Dokter bertutur kepada putri tercintanya : Nak, kamu tidak usah ikuti
jejak ayahmu menjadi dokter, karena dokter adalah pekrjaan mulia dan
kemulyaan itu pudar bila kamu menjadi kaya raya karenanya ( Dan memang
sampai meninggalnya Pak dokter ini tetap hidup sederhana dan masyarakat
sekitarnya tetap mengenangnya dengan rasa hormat ).
Awal pelajaran HE/PKM waktu semester 2 Tahun 1974 di APK Jakarta, saya
tidak tertarik pelajaran ini. Assisten Ibu Koesnaniah Wirja Mihardja, 3 orang yaitu :
Rachmat Hartono BSc, Bambing Ristanto, BSc, dan Bambang Hartono, BSc., yang
sekarang menjabat kepala Pusat promosi Kesehatan. Karena kala itu adalah Rachmat
Hartono, BSc yang sambil merokok memberi kuliah. Yang menarik adalah Bambang
Hartono,. Bahan kuliah, kuis yang stensilan kertas duplikator masih tersimpan?
Karena alur kuliah 2 semester dibuat skematis, kotak-perkotak mulai pengenalan dari
Public Health sampai aplikasi pada program kesehatan tertentu, bahkan rancangan
membuat media dikenal mengikuti langkah alur diagnosa edukatip.
Alhasil, tugas pertama di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan di tahun 1977, di
Seksi Hygienen&Sanitasi, tetapi juga berteman dengan Koordinator HE/PKM
Kabupaten, tugas-tugas PKM malah melekat. Pada tahun tahun itulah sudah
dikenalkan dengan Daerah Kerja Intesif PKM, yang kala itu mencakup seluruh
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, masing-masing pada 1 Kecamatan, pada satu
Desa. Awalnya HE/PKM dibenci tetapi malah melekat sampai dengan sekarang ini
(ada peribahasa Jawa : Genting-Nyanding,ini mengajarkan pada kita kalau kita
benci, malah mendekat atau melekat). Tiga tahun kemudian, pada awal April 1980,
tugas berpindah di Dinas Kesehatan Provinsi, kala itu di Unit PKM ( belum
Organisasi Struktural) yang sifatnya fungsional, Kepala Unit PKM adalah, dr. H.
Aisyah R. Pananrang. Inilah yang turut membina saya, dan ternyata teman
seangkatan Bapak Bambang Hartono sewaktu Training PKM yang 3 bulan di
Murnajati Malang.di Unit PKM kala itu hanya ada 6 orang staf tehnis, yaitu 1 orang
dokter (Ibu dr. Aisyah R Pananrang) 2 lulusan APK dan 2 orang Lulusan Akper, 1
orang tamatan SAM yang menangani AVA. Tahun 1979 satu staf Teknis Bapak
Sumardin Makka, Bsc. Tubel ke FKM-UI. Baru tugas 3 bulan, giliran Ibu dr. Aisyah
R. Pananrang, menyusul tubel ke FKM-UI, yang pada akhirnya operasional Unit PKM
Provinsi dikelola 3 staf teknis dan Pelaksana tugas Kepala Unit yaitu Dr. MN. Anwar
SKM. (sudah Almarhum) yang merangkap sebagai kepala Dinas Kesehatan Kota
Makassar.
Sewaktu itulah sedikit-sedikit berkenalanlah dengan Program Binaan Daerah Bina
PKM 4 Provinsi yaitu : Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera
Barat. Daerah Bina 4 ini dimulai persiapan tahun 1978/1979, start operasional
kegiatan pada tahun 1979/1980 sampai dengan 1984/1985.. Setiap Provinsi Daerah
Bina 4 ini di pilih 1 Kabupaten, dan mencakup seluruh Kecamatan, setiap Kecamatan
dipilih 1 desa. Metodologi pendekatan yang diterapkan adalah Pendekatan Edukatif.
Ditengah perjalanan Daerah Bina 4 ini, saya Tubel ke FKM-UI pada tahun 1982-
1984.
Waktu berjalan terus, akhirnya PKM menjadi salah satu Subdinas Penyuluhan
Kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan pada pertengahan tahun
1983, dengan 3 Seksi : Penyuluhan Langsung, Peran Serta Masyarakat, dan Usaha
Kesehatan Sekolah. Kasi Penyuluhan Langsung yang pertama Sumardin Makka,
SKM, Kasi PSM pertama Sdr. Bob Suslilo, SKM, dan Kasi UKS pertama Bapak M.
Jusuf. Januari 1986 barulah awal tugas strukutral sebagai Kasi PSM menggantikan
Sdr. Bob Susilo, SKM, dan berjalan rotasi mutasi ke Seksi PL, PI Kes., dan PSM lagi
berlangsung sampai dengan tahun 2000. Ditengah kejenuhan, antara boleh pindah ke
Pusat atau Tubel, akhirnya tahun 1993 sd April 1996, tubel kembali di PPS-Unair PS-
IKM (PKIP).
Sekembali tubel di Unair, mulai aktif 1 Mei 1996, Kepala Dinas Kesehatan ( Dr.
Mustafa Djide, SKM), mengarahkan meminta bahwa sd. Bapak Pensiun dilarang
pindah kemanapun.inilah yang menjadi beban fikiran, ya
sudahlah..ambil hikmah
positifnya.
Ada Masa transisi, pernah sebagai Pjs. Kasubdin Bina PKM kurang lebih 6
bulan, dari September 2000 sd Februari 2001. Memasuki Era Otonomi-Desentralisasi
yang mulai diterapkan tahun 2001, yang semula Subdinas Bina Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat dengan 4 Seksi (Penyebarluasan Informasi Kesehatan, Sarana, PSM dan
Upaya Kesehatan Institusi), berubahlah menjadi Sub Dinas Bina Promosi &
Kesehatan Masyarakat dengan 4 Seksi : Promosi & Kampanye Kesehatan, JPKM,
UKBM dan Bina Puskesmas.Kasi Promosi & Kamkes yang pertama Era Otonomi
adalah Purjanto, SKM, MKes, akhirnya saya pindah ke Pusat Promosi Kesehatan per
1 April 2004.
Hikmah yang dapat dipetik adalah bahwa HE/PKM harus dilandasi dengan
Public Health sebagaimana dikemukakan Prof. Wislow, dan HE/PKM harus
terintegrasi bersama Program Kesehatan lainnya. Perkembangan dari HE/PKM, ke
Promosi Kesehatan membawa konsekuensi memperhitungkan aspek Regional-Global,
semakin terasa peran yang dimainkan Promosi Kesehatan bersama program-program
kesehatan lain. Deangan demikian, yang mutlak diperlukan sebagai Health Promotor
adalah: penguasaan semua aspek program-program kesehatan termasuk kebijakannya,
karena Promosi Kesehatan sendiri tidaklah bermakna, Promosi Kesehatan bersama
program dan masyarakat, yang dilaksanakan secara konsekuen, bertanggung jawab,
dilandasi Etika Profesi Health Promotor, da harus menciptakan lingkungan yang
kondusif berperilaku sehat di organisasi dan di masyarakat.
Ir. Dunanti RK. Sianipar, MPH.
Bab XI
PENUTUP
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
(WR Supratman: Lagu Kebangsaan)
5. Bahwa kemitraan dengan berbagai pihak perlu dilakukan, baik lintas program,
lintas sektor, pemerintah-masyarakat, termasuk swasta dan LSM, Pusat-Daerah,
unsur pelayanan-unsur ilmuwan/Perguruan Tinggi, maupun antara berbagai
negara dalam lingkup lingkup global/internasional.
10.Selain itu juga diperlukan adanya Organisasi Profesi Promosi Kesehatan yang
kuat, yang berperan antara lain sebagai mitra, pemikir, pemasok, pengamat dan
pengkritik kegiatan promosi kesehatan di lapangan.
Selanjutnya, perlu disadari bahwa upaya promosi kesehatan merupakan
tanggungjawab kita bersama, bahkan bukan sektor kesehatan semata, melainkan juga
lintas sektor, masyarakat dan dunia usaha. Promosi kesehatan perlu didukung oleh
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Kesamaan pengertian, efektifitas
kerjasama dan sinergi antara aparat kesehatan pusat, provinsi, kabupaten/kota dan
semua pihak dari semua komponen bangsa adalah sangat penting dalam rangka
mencapai visi, tujuan dan sasaran promosi kesehatan secara nasional. Semuanya itu
adalah dalam rangka menuju Indonesia Sehat, yaitu Indonesia yang penduduknya
hidup dalam perilaku dan budaya sehat, dalam lingkungan yang bersih dan kondusif
dan mempunyai akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu,
sehingga dapat hidup sejahtera dan produktif.
Itu semua kita lakukan adalah dalam rangka membangun jiwa dan membangun
badan, sebagaimana tertuang dalam lagu kebangsaan kita. Maka Hiduplah Indonesia
Raya. Dalam kaitan dengan itu, kita, kapan dan di manapun berada, perlu melakukan
sesuatu, apa saja yang dapat kita lakukan asal positif, dengan ihlas. Sebagai penutup
buku ini, kita perlu renungkan kata-kata bijak dari orang yang sangat bijak bestari,
yaitu: Mulailah dari dirimu sendiri.