Вы находитесь на странице: 1из 20

DEFINISI

Mayoclinic

A migraine headache can cause intense throbbing or a pulsing


sensation in one area of the head and is commonly accompanied by
nausea, vomiting, and extreme sensitivity to light and sound.

Migraine attacks can cause significant pain for hours to days and be
so severe that all you can think about is finding a dark, quiet place to
lie down.

Some migraines are preceded or accompanied by sensory warning


symptoms (aura), such as flashes of light, blind spots, or tingling in
your arm or leg.

Medications can help reduce the frequency and severity of migraines.


If treatment hasn't worked for you in the past, talk to your doctor about
trying a different migraine headache medication. The right medicines,
combined with self-help remedies and lifestyle changes, may make a
big difference.

Referat
Migren adalah serangan nyeri kepala berulang, dengan karakteristik lokasi unilateral, berdenyut dan
frekuensi, lama serta hebatnya rasa nyeri yang beraneka ragam.2,3,5Blau mengusulkan definisi migren
sebagai berikut nyeri kepala yang berulang-ulang dan berlangsung 2-72 jam dan bebas nyeri antara
serangan nyeri kepalanya harus berhubungan dengan gangguan visual atau gastrointestinal atau
keduanya.

Dokmuds blog

Migraine headache adalah suatu istilah yang digunakan untuk sakit kepala dengan kualitas
vaskular, seringkali unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, sakit kepala yang berdenyut-
denyut, fonofobia, gangguan tidur dan depresi. Serangan seringkali berulang dan cenderung
tidak akan bertambah parah setelah bertahun-tahun.

Medline Plus
If you suffer from migraine headaches, you're not alone. About 12 percent of the U.S. population
gets them. Migraines are recurring attacks of moderate to severe pain. The pain is throbbing or
pulsing, and is often on one side of the head. During migraines, people are very sensitive to light and
sound. They may also become nauseated and vomit
ANGKA KEJADIAN
Migren dapat terjadi pada anak-anak sampai orang dewasa, biasanya jarang terjadi setelah berumur
lebih dari 50 tahun. Angka kejadian migren dalam kepustakaan berbeda-beda pada setiap negara,
umumnya berkisar antara 5 6 % dari populasi. Di Indonesia belum ada data secara kongkret. Pada
wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1. Wanita hamil tidak luput dari
serangan migren, pada umumnya serangan muncul pada kehamilan trimester I.

ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS


Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, di duga sebagai gangguan
neurobiologis, perubahan sensitivitas sistim saraf dan avikasi sistem trigeminal-vaskular, sehingga migren
termasuk dalam nyeri kepala primer.
Diketahui ada beberapa faktor pencetus timbulnya serangan migren yaitu:
1. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/ perubahan hormonal.
Beberapa wanita yang menderita migren merasakan frekuensi serangan akan meningkat saat masa
menstruasi. Bahkan ada diantaranya yang hanya merasakan serangan migren pada saat menstruasi.
Istilah menstrual migraine sering digunakan untuk menyebut migren yang terjadi pada wanita saat dua
hari sebelum menstruasi dan sehari setelahnya. Penurunan kadar estrogen dalam darah menjadi biang
keladi terjadinya migren.
2. Kafein
Kafein terkandung dalam banyak produk makanan seperti minuman ringan, teh, cokelat, dan kopi. Kafein
dalam jumlah sedikit akan meningkatkan kewaspadaan dan tenaga, namun bila diminum dalam dosis
yang tinggi akan menyebabkan gangguan tidur, lekas marah, cemas dan sakit kepala
3. Puasa dan terlambat makan
Puasa dapat mencetuskan terjadinya migren oleh karena saat puasa terjadi pelepasan hormon yang
berhubungan dengan stress dan penurunan kadar gula darah. Hal ini menyebabkan penderita migren
tidak dianjurkan untuk berpuasa dalam jangka waktu yang lama.
4. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan.
Cokelat dilaporkan sebagai salah satu penyebab terjadinya migren, namun hal ini dibantah oleh beberapa
studi lainnya yang mengatakan tidak ada hubungan antara cokelat dan sakit kepala migren. Anggur
merah dipercaya sebagai pencetus terjadinya migren, namun belum ada cukup bukti yang mengatakan
bahwa anggur putih juga bisa menyebabkan migren. Tiramin (bahan kimia yang terdapat dalam keju,
anggur, bir, sosis, dan acar) dapat mencetuskan terjadinya migren, tetapi tidak terdapat bukti jika
mengkonsumsi tiramin dalam jumlah kecil akan menurunkan frekuensi serangan migren. Penyedap
masakan atau MSG dilaporkan dapat menyebabkan sakit kepala, kemerahan pada wajah, berkeringat
dan berdebar debar jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar pada saat perut kosong. Fenomena ini
biasa disebut Chinese restaurant syndrome. Aspartam atau pemanis buatan yang banyak dijumpai pada
minuman diet dan makanan ringan, dapat menjadi pencetus migren bila dimakan dalam jumlah besar dan
jangka waktu yang lama.
5. Cahaya kilat atau berkelip.
Cahaya yang terlalu terang dan intensitas perangsangan visual yang terlalu tinggi akan menyebabkan
sakit kepala pada manusia normal. Mekanisme ini juga berlaku untuk penderita migren yang memiliki
kepekaan cahaya yang lebih tinggi daripada manusia normal. Sinar matahari, televisi dan lampu disko
dilaporkan sebagai sumber cahaya yang menjadi faktor pencetus migren.6. Psikis baik pada peristiwa
duka ataupun pada peristiwa bahagia (stress)
7. Banyak tidur atau kurang tidur
Gangguan mekanisme tidur seperti tidur terlalu lama, kurang tidur, sering terjaga tengah malam, sangat
erat hubungannya dengan migren dan sakit kepala tegang, sehingga perbaikan dari mekanisme tidur ini
akan sangat membantu untuk mengurangi frekuensi timbulnya migren. Tidur yang baik juga dilaporkan
dapat memperpendek durasi serangan migren.
8. Faktor herediter
9. Faktor kepribadian

Although much about the cause of migraines isn't understood, genetics


and environmental factors appear to play a role.

Migraines may be caused by changes in the brainstem and its


interactions with the trigeminal nerve, a major pain pathway.

Imbalances in brain chemicals including serotonin, which helps


regulate pain in your nervous system also may be involved.
Researchers continue to study the role of serotonin in migraines.

Serotonin levels drop during migraine attacks. This may cause your
trigeminal system to release substances called neuropeptides, which
travel to your brain's outer covering (meninges). The result is headache
pain.

Migraine headache triggers


Whatever the exact mechanism of the headaches, a number of things
may trigger them. Common migraine triggers include:

Hormonal changes in women. Fluctuations in estrogen seem to


trigger headaches in many women with known migraines. Women
with a history of migraines often report headaches immediately
before or during their periods, when they have a major drop in
estrogen.

Others have an increased tendency to develop migraines during


pregnancy or menopause.

Hormonal medications, such as oral contraceptives and hormone


replacement therapy, also may worsen migraines. Some women,
however, may find their migraines occur less often when taking
these medications.
Foods. Aged cheeses, salty foods and processed foods may
trigger migraines. Skipping meals or fasting also can trigger
attacks.

Food additives. The sweetener aspartame and the preservative


monosodium glutamate, found in many foods, may trigger migraines.

Drinks. Alcohol, especially wine, and highly caffeinated


beverages may trigger migraines.

Stress. Stress at work or home can cause migraines.

Sensory stimuli. Bright lights and sun glare can induce migraines,
as can loud sounds. Unusual smells including perfume, paint
thinner, secondhand smoke and others can trigger migraines in
some people.

Changes in wake-sleep pattern. Missing sleep or getting too


much sleep may trigger migraines in some people, as can jet lag.

Physical factors. Intense physical exertion, including sexual


activity, may provoke migraines.

Changes in the environment. A change of weather or barometric


pressure can prompt a migraine.

Medications. Oral contraceptives and vasodilators, such as


nitroglycerin, can aggravate migraines.

Several factors make you more prone to having migraines.

Family history. Up to 90 percent of people with migraines have a


family history of migraine attacks. If one or both of your parents
have migraines, then you have a good chance of having migraines
too.
Age. Migraines can begin at any age, though most people
experience their first migraine during adolescence. By age 40, most
people who have migraines have had their first attack.

Sex. Women are three times more likely to have migraines.


Headaches tend to affect boys more than girls during childhood, but
by the time of puberty and beyond, more girls are affected.
Hormonal changes. If you're a woman who has migraines, you
may find that your headaches begin just before or shortly after
onset of menstruation.

They may also change during pregnancy or menopause. Generally


migraines improve after menopause.

Some women report that migraine attacks begin during pregnancy,


or the attacks may get worse. However, for many, the attacks
improved or didn't occur during later stages in the pregnancy

KLASIFIKASI

II. 2 KLASIFIKASI
Klasifikasi migren menurut International Headache Society (IHS):
1. Migrain tanpa aura (common migraine)- Nyeri kepala selama 4-72 jam tanpa terapi. Sekurang-
kurangnya 10 kali serangan. Pada anak-anak kurang dari 15 tahun, nyeri kepala dapat berlangsung 2-48
jam.
- Nyeri kepala minimal mempunyai dua karakteristik berikut ini:
Lokasi unilateralKuafitas berdenyut
Intensitas sedang sampai berat yang menghambat aktivitas sehari-hari.
Diperberat dengan naik tangga atau aktivitas fisik rutin.
- Selama nyeri kepala, minimal satu dari gejala berikut muncul:
Mual dan atau muntah
Fotofobia dan fonofobia- Minimal terdapat satu dari berikut:
Riwayat dan pemeriksaan fisik tidak mengarah pada kelainan lain.
Riwayat dan pemeriksaan fisik mengarah pada kelainan lain, tapi telah disingkirkan dengan
pemeriksaan penunjang yang memadai (mis: MRI atau CT Scan kepala)
2. Migrain dengan aura (classic migraine)
- Terdiri dari empat fase yaitu: fase prodromal, fase aura, fase nyeri kepala dan fase postdromal.
- Aura dengan minimal 2 serangan
- Terdapat minimal 3 dari 4 karakteristik sebagai berikut :
Satu gejala aura atau lebih mengindikasikan disfungsi CNS fokal (mis: vertigo, tinitus, penurunan
pendengaran, ataksia, gejala visual pada hemifield kedua mata, disartria, diplopia, parestesia, paresis,
penurunan kesadaran) Gejala aura timbul bertahap selama lebih dari 4 menit atau dua atau lebih gejala
aura terjadi bersama-sama Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit; bila lebih dari
satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama
Nyeri kepala mengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri kurang dari 60 menit, tetapi kadang-
kadang dapat terjadi sebelum aura.
- Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini :
Riwayat dan pemeriksaan fisik tidak mengarah pada kelainan lain.
Riwayat dan pemeriksaan fisik mengarah pada kelainan lain, tapi telah disingkirkan dengan
pemeriksaan penunjang yang memadai (mis: MRI atau CT Scan kepala)
3. Migraine with prolonged aura
- Memenuhi kriteria migren dengan aura tetapi aura terjadi selama lebih dari 60 menit dan kurang dari 7
hari.
4. Basilar migraine (menggantikan basilar artery migraine)
- Memenuhi kriteria migren dengan aura dengan dua atau lebih gejala aura sebagai berikut: vertigo,
tinnitus, penurunan pendengaran, ataksia, gejala visual pada hemifield kedua mata, disartria, diplopia,
parestesia bilateral, paresis bilateralda penurunan derajat kesadaran.
5. Migraine aura without headache (menggantikan migraine equivalent atau achepalic migraine)
- Memenuhi kriteria migren dengan aura tetepi tanpa disertai nyeri kepala
6. Benign paroxysmal vertigo of childhood- Episode disekuilibrium, cemas, seringkali nystagmus atau
muntah yang timbul secara sporadis dalam waktu singkat.
- Pemeriksaan neurologis normal.
- Pemeriksaan EEG normal
7. Migrainous infraction (menggantikan complicated migraine)
- Telah memenuhi kriteria migren dengan aura.
- Serangan yang terjadi sama persis dengan serangan yang sebelumnya, akan tetapi defisit neurologis
tidak sembuh sempurna dalam 7 hari dan atau pada pemeriksaan neuroimaging didapatkan infark
iskemik di daerah yang sesuai- Penyebab infark yang lain disingkirkan dengan pemeriksaan yang
memadai.
8. Migren oftalmoplegik dengan ciri-ciri:
Migren yang dicirikan oleh serangan berulang-ulang yang berhubungan dengan paresis
Tidak ada kelainan organik.
Paresis pada saraf otak ke III, IV, VI

9. Migren hemiplegic familial


- migren dengan aura termasuk hemiparesis dengan criteria klinik yang sama seperti migren aura dan
sekurang-kurangnya seorang keluarga terdekat memiliki riwayat migren yang sama
10. Migren retinal dengan ciri-ciri:
Terjadi berulang kali dalam bentuk buta tidak lebih dari 1 jam. Gangguan okuler dan vaskuler tidak
dijumpai.
11. Migren yang berhubungan dengan intrakranial dengan ciri-ciri:
Gangguan intrakranial berhubungan dengan awitan secara temporal.
Aura dan lokasi nyeri kepala berhubungan erat dengan jenis lesi intrakranial.
Aura ialah gejala fokal neurologi yang komplek dan dapat timbul sebelum, pada saat atau setelah
serangan nyeri kepala

4 GEJALA DAN TANDA


1. Jenis nyeri kepala berdenyut-denyut adalah khas untuk menunjukan nyeri kepala vaskuler, selain itu
terasa tertusuk-tusuk atau kepala mau pecah.
2. Migren merupakan nyeri kepala episodik berlangsung selama 5 20 jam tetapi tidak lebih dari 72
jam.3. Puncak nyeri 1-2 jam setelah awitan dan berlangsung 6 36 jam.
4. Waktu terjadinya migren dapat muncul sewaktu-waktu baik siang maupun malam, tetapi sering kali
mulai pada pagi hari.
5. Lokasi migren sering bersifat unilateral (satu sisi) biasanya pada daerah frontal, temporal, namun suatu
saat dapat menyeluruh.
6. Nyeri berdenyut dari migren sering ditutupi oleh perasaan nyeri yang bersifat terus menerus.
7. Gejala yang menyertai migren adalaho Mual, muntah, dan anoreksia.
o Gejala visual baik yang positif dan negatif.
o Gejala hemiferik.
1. Hemiparesis
2. Parestesia
3. Gangguan berbahasa.
4. Gangguan batang otak:
1. Vertigo
2. Disartria3. Ataksia4. Diplopia
5. Kuandriparesis
8. Aktivitas bekerja memperberat terjadinya migren.
9. Migren mereda apabila dipakai untuk istirahat, menghindari cahaya dan tidur.
Migren merupakan suatu penyakit kronis, bukan sekedar sakit kepala. Secara umum terdapat 4 fase
gejala, meskipun tak semua penderita migren mengalami keempat fase ini. Keempat fase tersebut adalah
: fase prodromal, aura, serangan, dan postdromal.

A. Fase Prodromal
Fase ini terdiri dari kumpulan gejala samar / tidak jelas, yang dapat mendahului serangan migren. Fase
ini dapat berlangsung selama beberapa jam, bahkan dapat 1-2 hari sebelum serangan. Gejalanya antara
lain:
o Psikologis : depresi, hiperaktivitas, euforia (rasa gembira yang berlebihan), banyak bicara
(talkativeness), sensitif / iritabel, gelisah, rasa mengantuk atau malas.
o Neurologis : sensitif terhadap cahaya dan/atau bunyi (fotofobia & fonofobia), sulit berkonsentrasi,
menguap berlebihan, sensitif terhadap bau (hiperosmia)
o Umum : kaku leher, mual, diare atau konstipasi, mengidam atau nafsu makan meningkat, merasa
dingin, haus, merasa lamban, sering buang air kecil.

B. Aura

Umumnya gejala aura dirasakan mendahului serangan migren. Secara visual, aura dinyatakan dalam
bentuk positif atau negatif. Penderita migren dapat mengalami kedua jenis aura secara bersamaan.Aura
positif tampak seperti cahaya berkilauan, seperti suatu bentuk berpendar yang menutupi tepi lapangan
pengelihatan. Fenomena ini disebut juga sebagai scintillating scotoma (scotoma = defek lapang
pandang). Skotoma ini dapat membesar dan akhirnya menutupi seluruh lapang pandang. Aura positif
dapat pula berbentuk seperti garis-garis zig-zag, atau bintang-bintang.
Aura negatif tampak seperti lubang gelap/hitam atau bintik-bintik hitam yang menutupi lapangan
pengelihatannya. Dapat pula berbentuk seperti tunnel vision; dimana lapang pandang daerah kedua sisi
menjadi gelap atau tertutup, sehingga lapang pandang terfokus hanya pada bagian tengah (seolah-
seolah melihat melalui lorong).

Beberapa gejala neurologis dapat muncul bersamaan dengan timbulnya aura. Gejala-gejala ini
umumnya: gangguan bicara; kesemutan; rasa baal; rasa lemah pada lengan dan tungkai bawah;
gangguan persepsi penglihatan seperti distorsi terhadap ruang; dan kebingungan (confusion).
C. Fase Serangan
Tanpa pengobatan, serangan migren umumnya berlangsung antara 4-72 jam. Migren yang disertai aura
disebut sebagai migren klasik. Sedangkan migren tanpa disertai aura merupakan migren umum (common
migraine). Gejala-gejala yang umum adalah:
1. Nyeri kepala satu sisi yang terasa seperti berdenyut-denyut atau ditusuk-tusuk. Nyeri kadang-kadang
dapat menyebar sampai terasa di seluruh bagian kepala
2. Nyeri kepala bertambah berat bila melakukan aktivitas
3. Mual, kadang disertai muntah
4. Gejala gangguan pengelihatan dapat terjadi
5. Wajah dapat terasa seperti baal / kebal, atau semutan
6. Sangat sensitif terhadap cahaya dan bunyi (fotofobia dan fonofobia)
7. Wajah umumnya terlihat pucat, dan badan terasa dingin
8. Terdapat paling tidak 1 gejala aura (pada migren klasik), yang berkembang secara bertahap selama
lebih dari 4 menit. Nyeri kepala dapat terjadi sebelum gejala aura atau pada saat yang bersamaan.

D. Fase Postdromal
Setelah serangan migren, umumnya terjadi masa prodromal, dimana pasien dapat merasa kelelahan
(exhausted) dan perasaan seperti berkabut.

Migraine headaches often begin in childhood, adolescence or early


adulthood. Migraines may progress through four stages, including
prodrome, aura, headache and postdrome, though you may not
experience all the stages.

Prodrome
One or two days before a migraine, you may notice subtle changes that
signify an oncoming migraine, including:

Constipation
Depression

Food cravings

Hyperactivity

Irritability

Neck stiffness

Uncontrollable yawning

Aura
Aura may occur before or during migraine headaches. Auras are
nervous system symptoms that are usually visual disturbances, such
as flashes of light. Sometimes auras can also be touching sensations
(sensory), movement (motor) or speech (verbal) disturbances. Most
people experience migraine headaches without aura. Each of these
symptoms usually begins gradually, builds up over several minutes,
and then commonly lasts for 20 to 60 minutes. Examples of aura
include:

Visual phenomena, such as seeing various shapes, bright spots


or flashes of light
Vision loss

Pins and needles sensations in an arm or leg

Speech or language problems (aphasia)


Less commonly, an aura may be associated with limb weakness
(hemiplegic migraine).

Attack
When untreated, a migraine usually lasts from four to 72 hours, but the
frequency with which headaches occur varies from person to person.
You may have migraines several times a month or much less often.
During a migraine, you may experience the following symptoms:

Pain on one side or both sides of your head


Pain that has a pulsating, throbbing quality

Sensitivity to light, sounds and sometimes smells

Nausea and vomiting

Blurred vision

Lightheadedness, sometimes followed by fainting

Postdrome
The final phase, known as postdrome, occurs after a migraine attack.
During this time you may feel drained and washed out, though some
people report feeling mildly euphoric.

II. 5 PATOFISIOLOGI
Dulu migren oleh Wolff disangka sebagai kelainan pembuluh darah (teori vaskular). Sekarang
diperkirakan kelainan primer di otak. Sedangkan kelainan di pembuluh darah sekunder. Ini didasarkan
atas tiga percobaan binatang2:1. Penekanan aktivitas sel neuron otak yang menjalar dan meluas
(spreading depression dari Leao)
Teori depresi yang meluas Leao (1944), dapat menerangkan tumbuhnya aura pada migren klasik. Leao
pertama melakukan percobaan pada kelinci. Ia menemukan bahwa depresi yang meluas timbul akibat
reaksi terhadap macam rangsangan lokal pada jaringan korteks otak. Depresi yang meluas ini adalah
gelombang yang menjalar akibat penekanan aktivitas sel neuron otak spontan. Perjalanan dan
meluasnya gelombang sama dengan yang terjadi waktu kita melempar batu ke dalam air. Kecepatan
perjalanannya diperkirakan 2-5 mm per menit dan didahului oleh fase rangsangan sel neuron otak yang
berlangsung cepat. Jadi sama dengan perjalanan aura pada migren klasik.
Percobaan ini ditunjang oleh penemuan Oleson, Larsen dan Lauritzen (1981). dengan pengukuran aliran
darah otak regional pada penderita-penderita migren klasik. Pada waktu serangan migren klasik, mereka
menemukan penurunan aliran darah pada bagian belakang otak yang meluas ke depan dengan
kecepatan yang sama seperti pada depresi yang meluas. Mereka mengambil kesimpulan bahwa
penurunan aliran darah otak regional yang meluas ke depan adalah akibat dari depresi yang meluas.
Terdapat persamaan antara percobaan binatang oleh Leao dan migren klinikal, akan tetapi terdapat juga
perbedaan yang penting, misalnya tak ada fase vasodilatasi pada pengamatan pada manusia, dan aliran
darah yang berkurang berlangsung terus setelah gejala aura. Meskipun demikian, eksperimen perubahan
aliran darah memberi kesan bahwa manifestasi migren terletak primer di otak dan kelainan vaskular
adalah sekunder.

2. Sistem trigemino-vaskular
Pembuluh darah otak dipersarafi oleh serat-serat saraf yang mengandung. substansi P (SP), neurokinin-
A (NKA) dan calcitonin-gene related peptid (CGRP).

Semua ini berasal dari ganglion nervus trigeminus


sesisi SP, NKA. dan CGRP menimbulkan pelebaran pembuluh darah arteri otak. Selain ltu, rangsangan
oleh serotonin (5hydroxytryptamine) pada ujung-ujung saraf perivaskular menyebabkan rasa nyeri dan
pelebaran pembuluh darah sesisi.
Seperti diketahui, waktu serangan migren kadar serotonin dalam plasma meningkat. Dulu kita mengira
bahwa serotoninlah yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah pada fase aura. Pemikiran
sekarang mengatakan bahwa serotonin bekerja melalui sistem trigemino-vaskular yang menyebabkan
rasa nyeri kepala dan pelebaran pembuluh darah. Obat-obat anti-serotonin misalnva cyproheptadine
(Periactin) dan pizotifen (Sandomigran, Mosegor) bekerja pada sistem ini untuk mencegah migren.

3. lnti-inti syaraf di batang otak

Inti-inti saraf di batang otak misalnya di rafe dan lokus seruleus mempunyai hubungan dengan reseptor-

reseptor serotonin dan noradrenalin. Juga dengan


pembuluh darah otak yang letaknya lebih tinggi dan sumsum tulang daerah leher yang letaknya lebih
rendah. Rangsangan pada inti-inti ini menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sesisi dan
vasodilatasi pembuluh darah di luar otak. Selain itu terdapat penekanan reseptor-reseptor nyeri yang
letaknya lebih rendah di sumsum tulang daerah leher. Teori ini menerangkan vasokonstriksi pembuluh
darah di dalam otak dan vasodilatasi pembuluh darah di luar otak, misalnya di pelipis yang melebar dan
berdenyut.

Faktor pencetus timbulnya migren dapat dibagi dalam faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor
ekstrinsik, misalnya ketegangan jiwa (stress), baik emosional maupun fisik atau setelah istirahat dari
ketegangan, makanan tertentu, misalnya buah jeruk, pisang, coklat, keju, minuman yang mengandung
alkohol, sosis yang ada bahan pengawetnya. Lain-lain faktor pencetus seperti hawa terlalu panas, terik
matahari, lingkungan kerja yang tak menyenangkan, bau atau suara yang tak menyenangkan. Faktor
intrinsik, misalnya perubahan hormonal pada wanita yang nyeri kepalanya berhubungan dengan hari
tertentu siklus haid. Dikatakan bahwa migren menstruasi ini jarang terdapat, hanya didapatkan pada 3
dari 600-700 penderita. Pemberian pil KB dan waktu menopause sering mempengaruhi serangan migren.
Mual dan muntah mungkin disebabkan oleh kerja dopamin atau serotonin pada pusat muntah di batang
otak (chemoreseptor trigger zone/ CTZ). Sedangkan pacuan pada hipotalamus akan menimbulkan
fotofobia. Proyeksi/pacuan dari LC ke korteks serebri dapat mengakibatkan oligemia kortikal dan mungkin
menyebabkan penekanan aliran darah, sehingga timbulah aura7.
Pencetus (trigger) migren berasal dari:
1. Korteks serebri: sebagai respon terhadap emosi atau stress,
2. Talamus: sebagai respon terhadap stimulasi afferen yang berlebihan: cahaya yang menyilaukan, suara
bising, makanan,
3. Bau-bau yang tajam,
4. Hipotalamus sebagai respon terhadap 'jam internal" atau perubahan "lingkungan" internal (perubahan
hormonal),
5. Sirkulasi karotis interna atau karotis eksterna: sebagai respon terhadap vasodilator, atau angiografi.

II. 6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Banyak dokter yang meminta suatu serial pemeriksaan darah untuk pemeriksaan penyakit kelenjar
gondok, anemia atau infeksi yang dapat menyebabkan sakit kepala. Kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan sken otak seperti computed tomographic scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging
(MRI) untuk menepis gangguan otak yang serius. Jika dicurigai adanya aneurisma pembuluh darah otak,
perlu dilakukan pemeriksaan angiogram.
Untuk mendiagnosis migren tidak selalu mudah, terutama pada pasien-pasien yang memiliki gejala yang
tidak jelas. Elektroensefalogram (EEG) dilakukan untuk mengukur aktivitas kerja otak. EEG ini dapat
mengidentifikasi suatu malfungsi saraf otak, tetapi tidak dapat menunjukkan secara tepat masalah yang
menyebabkan suatu sakit kepala.
Termografi, suatu teknik percobaan yang sedang dikembangkan untuk mendiagnosis sakit kepala dan
menjanjikan untuk menjadi alat klinis yang berguna dikemudian hari. Pada termografi, sebuah kamera
infra merah akan mengubah temperatur kulit menjadi suatu gambar yang berwarna atau suatu termogram
dengan berbagai warna yang berbeda sebagai akibat tingkat pemanasan yang berbeda.
Temperatur kulit ini dipengaruhi oleh aliran darah. Para saintis menemukan termogram pada pasien-
pasien yang menderita sakit kepala menunjukkan pola panas yang berbeda sangat menyolok dari
mereka yang tidak pernah atau jarang mengalami sakit kepala.

II. 7 DIAGNOSIS
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendiagnosis migren. Untuk menentukan sakit kepala yang
diklasifikasikan sebagai migren adalah setelah dilakukan pencatatan riwayat penyakit (anamnesis) dan
pemeriksaan fisik yang lengkap. Dokter akan menanyakan penderita mengenai gejala-gejala yang
dialaminya. Misalnya berapa sering sakit kepala terjadi, lokasi nyeri kepala, lamanya dan gejala lainnya
yang timbul sebelum, selama atau setelah sakit kepala tersebut.
Perlu suatu catatan harian yang mencatat karakteristik dari sakit kepala tersebut yang dihubungkan
dengan gaya hidup, diet, menstruasi dan penggunaan obat.

BAB III

III. 1 PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko, terapi farmaka dengan
memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi
akut) dan terapi preventif (terapi pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk
abortif dan pencegahan. Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang bertujuan
untuk meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas. Pada
terapi preventif atau profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi frekwensi, durasi dan
beratnya nyeri kepala.1,4
1. Mengurangi faktor risiko/pencetus
- Stres dan kecemasan
- Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.
- Hipoglikemia (terlambat makan)
- Kelelahan
- Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal
Kadar estrogen yang berfluktuasi dapat dilakukan dengan menghentikan pil KB atau obat-obat
pengganti estrogen
- Diet
Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30% penderita migrain. Secara umum,
makanan yang harus dihindari adalah: MSG, beberapa minuman beralkohol (anggur merah, prot, sherry,
scotch, bourbon), keju (Colby, Roquefort, Brie, Gruyere, cheddar, bleu, mozzarella, Parmesan, Boursault,
Romano), coklat, dan aspartame.
Diet dilakukan selama 1 bulan. Apabila setelah 1 bulan gejala tidak membaik, berarti modifikasi diet
tidak bermanfaat. Apabila makanan menjadi pencetus gejala, maka jenis makanan tersebut harus
diidentifikasi dengan cara menambahkan satu jenis makanan sampai gejala muncul. Sebaiknya dibuat
diari makanan selama mengidentifikasi makanan apa yang menjadi pencetus migrain, karena beberapa
jenis makanan dapat langsung menimbulkan gejala (anggur merah, MSG), sementara makanan lain baru
menimbulkan gejala setelah 1 hari (coklat, keju).2
2. Terapi farmaka migrain
Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang dapat diberikan pada
kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesia
nyeri kepala. Secara umum dapat dikatakan bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat
menolong pada migrain dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang sampai berat
atau berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik lebih bermanfaat.
Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat serangan nyeri kepala atau
bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal. Fase prodromal migrain dihubungkan dengan
gangguan pada hipotalamus melalui neurotransmiter dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan
membantu penyerapan lambung di samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan muntah.
Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan parkinsonism pada orang tua patut
diperhatikan.
Analgesik nonspesifik
Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol), aspirin dan obat anti inflamasi
nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian analgesia opioid dihindari. Beberapa obat OAINS yang
telah diteliti diberikan pada migrain antara lain adalah:
- Diklofenak.
- Ketorolak.
- Ketoprofen.
- Indometasin.
- Ibuprofen.
- Naproksen.
- Golongan fenamat.
Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi antara asetaminofen
dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan
dengan dosis masing-masing obat yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat.
Mekanisme kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesa
prostaglandin dihambat.1
Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa. Dosis obat harus adekuat baik secara
obat tunggal atau kombinasi. Apabila satu OAINS tidak efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek
samping pemberian OAINS perlu dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada wanita
hamil hindari pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan. Pada migrain anak dapat diberikan
asetaminofen atau ibuprofen.

Analgesik spesifik
Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin, dihidroergotamin (DHE) dan
golongan triptan yang merupakan agonis selektif reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi
reseptor 5HT I B / 1 D. Di samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5-HT2, 1dan
2- nonadrenergik dan dopamin.1
Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai berat. Pertimbangan harga
kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia spesifik ini, walaupun golongan ini merupakan pilihan
sebagai antimigren. Ergot lebih murah dibanding golongan triptan tetapi efek sampingnya lebih besar.
Penyebab lain yang menjadi penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk
oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan. Ergotamin dan DHE diberikan pada migrain
sedang sampai berat apabila analgesia nonspesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping.
Dosis dan cara pemberian ergotamin dan DHE harus diperhatikan. Kombinasi ergotamin dengan kafein
bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin selain sebagai analgesik pula. Hindari pada kehamilan,
hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan penyakit pembuluh perifer (hati-
hati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal, gagal hati dan sepsis. Efek samping yang mungkin timbul
antara lain mual, dizziness, parestesia, kramp abdominal. Ergotamin biasanya diberikan pada episode
serangan tunggal. Dosis dibatasi tidak melebihi 10 mg/minggu.1
Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia sehingga memperbaiki disabilitas
pasien. Diberikan pada migrain berat atau pasien yang tidak memberikan respon dengan analgesia
nonspesifik dengan atau tanpa kombinasi. Dosis awal sumatriptan adalah 50 mg dengan dosis maksimal
dalam 24 jam 200 mg. Kontra indikasi antara lain adalah pasien, yang berisiko penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol, migrain tipe basiler. Efek samping berupa
dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri dada non kardial, disforia.
Golongan triptan generasi kedua (zolmitriptan, eletriptan, naratriptan, rizatriptan) yang tidak ada di
Indonesia sebenarnya mempunyai respons yang lebih baik, rekurensi nyeri kepala yang lebih rendah dan
lebih dapat ditoleransi.

Nama obat CaraPemberian


Sumatriptan 6 mg SC
Rizatriptan 10 mg oral
Eletriptan 80 mg oral
Zolmitriptan 5 mg oral
Eletriptan 40 mg oral
Sumatriptan 20 mg intranasal
Sumatriptan 100mg oral
Rizatriptan 2,5 mg oral
Zolmitriptan 2,5 mg oral
Sumatriptan 50 mg oral
Naratriptan 2,5 mg oral
Eletriptan 20 mg oral .
Tabel 1. Analgesik triptan pada migraine

III. 2 TERAPI PROFILAKSIS


Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak. Pengobatan dapat
diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut) atau jangka panjang (kronis). Terapi
episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan
analgesia sebelumnya. Terapi preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko
yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual. Terapi preventif kronis
akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respons pasien. Biasanya diambil
patokan minimal dua sampai tiga bulan.
- Indikasi:
Penyakit kambuh beberapa kali dalam sebulan
Penyakit berlangsung terus menerus selama beberapa minggu atau bulan
Penyakit sangat mengganggu kuafitas/gaya hidup penderita.
Adanya kontra indikasi atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi terhadap terapi abortif.
Kecenderungan pemakaian obat yang berlebih pada terapi abortif.
- Terapi profilaksis lini pertama: calcium channel blocker (verapamil), antidepresan trisiklik (nortriptyline),
dan beta blocker (propanolol)
- Terapi profilaksis lini kedua: methysergide, asam valproat, asetazolamid.
- Mekanisme kerja obat-obat tersebut tidak seluruhnya dimengerti. Diduga obat tersebut menghambat
pelepasan neuropeptida ke dalam pembuluh darah dural melalui efek antagonis pada reseptor 5-HT2.
Satu jenis obat profilaksis tidak lebih efektif daripada obat yang lain. oleh karena itu, bila tidak ada
kontraindikasi, verapamil lebih sering digunakan pada awal terapi karena efek sampingnya paling minimal
dibandingkan yang lain.
- Apabila dizziness tidak dapat dikontrol dengan satu obat, gunakan jenis obat yang lain. Bila dizziness
sudah terkontrol, obat diberikan terus menerus selama minimal 1 tahun (kecuali methysergide yang
memerlukan interval bebas obat selama 3-4 minggu pada bulan ke-6 terapi). Obat dapat diberikan ulang
pada tahun berikutnya apabila dizziness muncul lagi setelah terapi dihentikan.
Nama obat ____Dosis____
Propranolol 40-240 mg/hari
Nadolol 20-160 mg/ hari
Metoprolol 50-100 mg/ hari
Timolol 20-60 mg/ hari
Atenolol 50-100 mg/ hari
Amitriptilin 10-200 mg/ hari
Nortriptilin 10-150 mg/ hari
Fluoksetin 10-80 mg/ hari
Mirtazapin 15-45 mg/ hari
Valproat 500-1500 mg/ hari
Topiramat 50-200 mg/ hari
Gabapentin 900-3600 mg/ hari
Verapamil 80-640 mg/hari
Flunarizin 5-1 0 mg/hari
Nimodipin 30-60 mg qid___
Tabel 2. Terapi farmaka pencegahan migrain

Terapi nonfarmaka
Walaupun terapi farmaka merupakan terapi utama migren, terapi nonfarmaka tidak bisa dilupakan. Pada
kehamilan terapi nonfarmaka bahkan diutamakan. Terapi nonfarmaka dimulai dengan edukasi dan
menenangkan pasien (reassurance). Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi
sensoris berlebihan. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres
dingin. Menghindari faktor pencetus mungkin merupakan terapi pencegahan yang murah.
Intervensi terapi perilaku (behaviour) sangat berperan dalam mengatasi nyeri kepala yang meliputi terapi
cognitive-behaviour, terapi relaksasi serta terapi biofeedback dengan memakai alat elektromiografi atau
memakai suhu kulit atau pulsasi arteri temporalis. Olahraga terarah yang teratur dan meningkat secara
bertahap umumnya sangat membantu. Beberapa penulis mengusulkan terapi alternatif lain seperti
meditasi, hipnosis, akupunktur dan fitofarmaka. Pada migrain menstrual dapat dianjurkan mengurangi
garam dan retensi cairan.

Migraines can't be cured, but doctors will work with you to help you
manage your condition.

A variety of medications have been specifically designed to treat


migraines. In addition, some drugs commonly used to treat other
conditions also may help relieve or prevent migraines. Medications
used to combat migraines fall into two broad categories:

Pain-relieving medications. Also known as acute or abortive


treatment, these types of drugs are taken during migraine attacks
and are designed to stop symptoms that have already begun.
Preventive medications.These types of drugs are taken regularly,
often on a daily basis, to reduce the severity or frequency of
migraines.

Choosing a strategy to manage your migraines depends on the


frequency and severity of your headaches, the degree of disability your
headaches cause, and your other medical conditions.

Some medications aren't recommended if you're pregnant or breast-


feeding. Some medications aren't given to children. Your doctor can
help find the right medication for you.

Pain-relieving medications
For the most effective results, take pain-relieving drugs as soon as you
experience signs or symptoms of a migraine. It may help if you rest or
sleep in a dark room after taking them. Medications include:

Pain relievers. Aspirin, or nonsteroidal anti-inflammatory drugs


(NSAIDs) such as ibuprofen (Advil, Motrin IB, others), may help
relieve mild migraines.

Pain relievers, such as acetaminophen (Tylenol, others), also may


help relieve mild migraines in some people.

Drugs marketed specifically for migraines, such as the combination


of acetaminophen, aspirin and caffeine (Excedrin Migraine), also
may ease moderate migraine pain, but aren't effective alone for
severe migraines.

If taken too often or for long periods of time, these medications can
lead to ulcers, gastrointestinal bleeding and medication-overuse
headaches.

The prescription pain reliever indomethacin may help thwart a


migraine headache and is available in suppository form, which may
be helpful if you're nauseated.
Triptans. Many people with migraine attacks use triptans to treat
their migraines. Triptans work by promoting constriction of blood
vessels and blocking pain pathways in the brain.

Triptans effectively relieve the pain and other symptoms that are
associated with migraines.

Medications include sumatriptan (Imitrex), rizatriptan (Maxalt),


almotriptan (Axert), naratriptan (Amerge), zolmitriptan (Zomig),
frovatriptan (Frova) and eletriptan (Relpax). Some triptans are
available as nasal sprays and injections, in addition to tablets.

Side effects of triptans include nausea, dizziness, drowsiness and


muscle weakness. They aren't recommended for people at risk of
strokes and heart attacks.

A single-tablet combination of sumatriptan and naproxen sodium


(Treximet) has proved to be more effective in relieving migraine
symptoms than either medication on its own.

Ergots. Ergotamine and caffeine combination drugs (Migergot,


Cafergot) are less effective than triptans. Ergots seem most
effective in those whose pain lasts for more than 48 hours.

Ergotamine may cause worsened nausea and vomiting related to


your migraines and other side effects, and it may also lead to
medication-overuse headaches.

Dihydroergotamine (D.H.E. 45, Migranal) is an ergot derivative that


is more effective and has fewer side effects than ergotamine. It's
available as a nasal spray and in injection form. This medication
may cause fewer side effects than ergotamine and is less likely to
lead to medication-overuse headaches.

Anti-nausea medications. Because migraines are often


accompanied by nausea, with or without vomiting, medication for
nausea is appropriate and is usually combined with other
medications. Frequently prescribed medications are
chlorpromazine, metoclopramide (Reglan) or prochlorperazine
(Compro).

Opioid medications. Opioid medications containing narcotics,


particularly codeine, are sometimes used to treat migraine
headache pain for people who can't take triptans or ergot. Narcotics
are habit-forming and are usually used only as a last resort.

Glucocorticoids (prednisone, dexamethasone). A glucocorticoid


may be used in conjunction with other medications to improve pain
relief. Because of the risk of steroid toxicity, glucocorticoids
shouldn't be used frequently.

Preventive medications
You may be a candidate for preventive therapy if you have four or more
debilitating attacks a month, if attacks last more than 12 hours, if pain-
relieving medications aren't helping, or if your migraine signs and
symptoms include a prolonged aura or numbness and weakness.

Preventive medications can reduce the frequency, severity and length


of migraines and may increase the effectiveness of symptom-relieving
medicines used during migraine attacks.

Your doctor may recommend that you take preventive medications


daily, or only when a predictable trigger, such as menstruation, is
approaching.
In most cases, preventive medications don't stop headaches
completely, and some drugs cause serious side effects. If you have had
good results from preventive medicine and your migraines are well
controlled, your doctor may recommend tapering off the medication to
see if your migraines return without it.

To prevent or reduce the frequency of your migraines, take these


medications as your doctor recommends:

Cardiovascular drugs. Beta blockers, which are commonly used


to treat high blood pressure and coronary artery disease, may
reduce the frequency and severity of migraines.

The beta blockers propranolol (Inderal La, Innopran XL, others),


metoprolol tartrate (Lopressor) and timolol (Betimol) have proved
effective for preventing migraines. Other beta blockers are also
sometimes used for treatment of migraine. You may not notice
improvement in symptoms for several weeks after taking these
medications.

If you're older than age 60, use tobacco, or have certain heart or
blood vessel conditions, doctors may recommend you take alternate
medications instead of beta blockers.

Another class of cardiovascular medications (calcium channel


blockers) used to treat high blood pressure and keep blood vessels
from becoming narrow or wide, also may be helpful in preventing
migraines and relieving symptoms from migraines. Verapamil (Calan,
Verelan, others) is a calcium channel blocker that may help you.

In addition, the angiotensin-converting enzyme inhibitor lisinopril


(Zestril) may be useful in reducing the length and severity of
migraines.

Researchers don't understand exactly why these cardiovascular


medications prevent migraine attacks.
Antidepressants. Certain antidepressants help to prevent some
types of headaches, including migraines. Tricyclic antidepressants
may be effective in preventing migraines. You don't have to have
depression to benefit from these drugs.

Tricyclic antidepressants may reduce the frequency of migraine


headaches by affecting the level of serotonin and other brain
chemicals. Amitriptyline is the only tricyclic antidepressant proved
to effectively prevent migraine headaches. Other tricyclic
antidepressants are sometimes used because they may have fewer
side effects than amitriptyline.

These medications can cause dryness of mouth, constipation,


weight gain and other side effects.

Another class of antidepressants called selective serotonin


reuptake inhibitors hasn't been proved to be effective for migraine
headache prevention.

However, research suggests that one serotonin and norepinephrine


reuptake inhibitor, venlafaxine (Effexor XR), may be helpful in
preventing migraines.

Anti-seizure drugs. Some anti-seizure drugs, such as valproate


sodium (Depacon) and topiramate (Topamax), seem to reduce the
frequency of migraine headaches.

In high doses, however, these anti-seizure drugs may cause side


effects. Valproate sodium may cause nausea, tremor, weight gain,
hair loss and dizziness. Valproate products should not be used in
pregnant women for prevention of migraine headaches. Topiramate
may cause diarrhea, nausea, weight loss, memory difficulties and
concentration problems.

OnabotulinumtoxinA (Botox). OnabotulinumtoxinA (Botox) has


been shown to be helpful in treating chronic migraine headaches in
adults.

During this procedure, injections are made in muscles of the


forehead and neck. When this is effective, the treatment usually
needs to be repeated every 12 weeks.
Pain relievers. Taking nonsteroidal anti-inflammatory drugs,
especially naproxen (Naprosyn), may help prevent migraines and
reduce symptoms.

When to see a doctor


Migraine headaches are often undiagnosed and untreated. If you
regularly experience signs and symptoms of migraine attacks, keep a
record of your attacks and how you treated them. Then make an
appointment with your doctor to discuss your headaches.

Even if you have a history of headaches, see your doctor if the pattern
changes or your headaches suddenly feel different.

See your doctor immediately or go to the emergency room if you have


any of the following signs and symptoms, which may indicate other,
more serious medical problems:

An abrupt, severe headache like a thunderclap


Headache with fever, stiff neck, mental confusion, seizures,
double vision, weakness, numbness or trouble speaking

Headache after a head injury, especially if the headache gets


worse

A chronic headache that is worse after coughing, exertion,


straining or a sudden movement

New headache pain if you're older than 50

Вам также может понравиться