Вы находитесь на странице: 1из 4

Berbagi Peran Meningkatkan Kesehatan

Permasalahan kemiskinan menjadi faktor utama rendahnya kualitas pemenuhan hak-hak


dasar kesehatan masyarakat di Kabupaten Sukabumi. Peran Pemerintah daerah dalam
promosi kesehatan dan perhatian terhadap orang sakit yang hanya pasrah dan bertindak pasif
masih sangat kurang. Memang benar, Puskesmas sudah digratiskan, tapi bahkan untuk
ongkos dari rumah ke Puskesmas, menjadi beban yang cukup memberatkan bagi sebagian
masyarakat.

Demikian dipaparkan Nandang Suherman dari Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat


(FPPM) pada Dialog Reflikasi Kebijakan Good Praktise, Kebijakan Kesehatan di Kabupaten
Sukabumi di Hotel Taman Sari 26 Mei 2010 yang lalu. Dialog ini merupakan hasil
kerjasama antara FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) Sukabumi, FPPM
dan Prakarsa.

Pada kesempatan ini, Nandang mempresentasikan beberapa foto yang diambil oleh voluntir
FITRA dan Photovoices sebagai fakta visual terkait rendahnya kebiasaan hidup sehat di
Kabupaten Sukabumi.

Ini ada jamban bersama di mana semua orang yang ada di lingkungan itu memakainya
bersama-sama untuk mandi, mencuci pakaian, bahkan mencuci beras. Ada juga jamban
terbuka, ada juga mandi bareng dan cuci pakaian di tempat terbuka. Ada ibu yang makan
bersama anaknya sambil memberi makan burung, tampak ibunya tersenyum-senyum. Ada
rokok bagian dari gaya hidup sementara di sekitarnya anak-anaknya menjadi perokok pasif
ujar Nandang secara gamblang.

Atas fakta-fakta ini, Nandang merefleksikan beberapa analisa. Tampak bahwa politik
anggaran Kabupaten Sukabumi berat diongkos. Alokasi anggaran kesehatan lebih banyak
untuk kuratif, pembangunan sarana fisik semacam Rumah Sakit lebih dijadikan prioritas. Ini
tentunya tak sepenuhnya salah, tetapi harus ada penyeimbang bagaimana mengalokasikan
anggaran kesehatan untuk promotif yang lebih bersifat preventif.

Ungkapan Nandang langsung ditanggapi oleh Ujang Dzulkifli dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukabumi. Ujang tidak membantah apa yang diungkap Nandang. Ia malah
memperkuat paparan Nandang dengan menyitir pendekatan Henry Bloom mengenai
kesehatan, yakni. Tingkat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari derajat kesehatan
lingkungan 45 %, perilaku 35, pelayanan kesehatan 10 %, keturunan 5 %. Yang lebih besar
adalah lingkungan dan perilaku, yaitu adalah 80 % ujarnya.

Ujang melanjutkan, derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai masalah
kesehatan. Yakni, kematian ibu, kasus penyakit menular seperti: rabies, diare, malaria,
demam berdarah, TBC, AIDS, flu burung, difteri, filariasis, kusta, tetanus neonatorum.
Semua penyakit ini berasal dari lingkungan. Penyebab tidak langsung dari penyakit ini, air
tidak bersih, sanitasi rendah, pola asuh keluarga tidak tepat. Kalau di Jampang anak usia 0-6
bulan dikasih makan cau jimluk. Selain itu, akses ke unit kesehatan di Kabupaten
Sukabumi kurang dan jauh sekali. Saya waktu itu jam 11 malam diberitahu, ada anak
meninggal karena jauh ke bidan. Karena di lokasi setempat tidak ada bidan. Faktor
pengetahuan,kemiskinan, itu semuanya berakar di kemiskinan, kata Ujang.

Tetapi tak semua fakta kesehatan di Kabupaten Sukabumi buruk. Ujang mencontohkan PPK
IPM (Program Pendanaan Kompetisi Akselerasi Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia),
Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat mendapat penghargaan karena dianggap terbaik. Karena
Ibu bersalin ditolong, peningkatan kualitas lingkungan yang sehat bagi ibu dan anak,
penanganan kualitas tumbuh kembang anak. PPK IPM di 28 desa datanya adalah 78/5.000
kematian bayi atau 16/1000 kematian bayi.

Masalahnya peningkatan anggaran di Kabupaten Sukabumi ada di level 3%. Sementara di


pusat komitmennya sampai 15%, dalam UU harusnya 10%. Nandang dari FPPM menilai,
konsistensi terhadap isu kesehatan terkait pada kebijakan politik anggaran. Sehebat apapun
konsep kesehatan, tapi kalau tidak didukung anggaran, tidak akan terwujud. Masalah
terbesar kesehatan dari perilaku dan lingkungan, tapi anggaran untuk preventifnya, kecil
sekali ucap Nandang

Deden Supandi Kepala Desa Sirnaresmi membenarkan permasalahan pada promosi. Kalau di
desa, apa yang jadi kebijakan di Dinkes untuk desa sudah diwujudkan. Di desa, dana yang
dari ADD diperuntukan untuk mendorong kader desa. Manakala menyentuh masyarakat
miskin, sebetulnya sama budayanya seperti yang terlihat di foto tadi. Di Cipanengah, di
Gunungguruh, perilaku mereka sama. Kita berharap, ada pemberdayaan RT. Harusnya ada
ragi untuk meningkatkan kesehatan. Saya harap, ada banyak sosialisasi untuk masyarakat dari
dinkes atau bidan ke lapangan ujar Deden.

Perilaku dan kemiskinan, jelaslah permasalahan kesehatan tak semata masalah dinas
kesehatan, tapi terkait beberapa dinas yang lain. Kita punya masalah kesehatan, tapi
faktanya ada di dinas yang lain. Bagaimana mensinergikannya dan kita harus bisa lihat
masalahnya. Apa, siapa yang menangani papar Ujang.

Pada titik ini, Nandang memandang sudah saatnya menentukan bagaimana berbagi peran.
Kita lihat pemetaan masalah, lalu secara bersama mengambil peran, bagaimana peran
medianya, peran dinas kesehatan serta peran masyarakat dalam mendorong kebijakan yang
pro-rakyat? Dengan demikian, elemen pemerintah, NGO, media dan masyarakat secara
kompak bermitra dan bekerjasama mewujudkan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
*(Malensko)

Dimuat pada: 9 June 2010


3 Responses to Berbagi Peran Meningkatkan Kesehatan

Yessy MS says:
21-06-2010 at 11:52

apakah ada kebijakan dan aksi nyata yang mendukung pembagian peran yang Anda
paparkan?

malensko says:
30-06-2010 at 13:52

Salam Kenal Yessy


Sebenarnya saya kurang berkenan menjawab pertanyaan ini karena dalam tulisan tersebut
saya hanya pewarta saja. Tentunya aktor-aktor dalam tulisan tersebutlah yang berkompeten
untuk menjawabnya.
Tetapi daripada tidak dijawab sama sekali, saya coba jawab, tetapi ini jawaban pribadi bukan
jawaban resmi lembaga tempat saya bernaung. Ada kemungkinan ini merupakan persepsi
yang kurang tepat.
Secara implementatif, sebenarnya belum ada langkah konkret peran apa yang akan dijalankan
berbagai unsur terkait masalah kesehatan di Sukabumi. Baik pihak pemerintah (Dinas
Kesehatan), FITRA Sukabumi, FPPM maupun media lokal belum menentukan langkah taktis
dan implementatif. Namun kita meyakini, hal itu harus dimulai dengan suatu tindakan yang
kemudian disinergikan secara bersama.
Mengingat kapasitas kami sebagai NGO, kami memandang proses advokasi kebijakan
menjadi sebuah alternatif yang bisa dipilih. Dalam hal ini, FITRA dan FPPM mendorong
adanya APBD yang berorientasi pada permasalahan yang ada di masyarakat. Untuk itu, kami
mencoba mencari cara bagaimana melakukan intervensi kepada eksekutif dan legislatif
terkait penyusunan APBD. Maka kami melihat celah pada Musrenbang sebagai legitimasi
dari aspirasi masyarakat terkait harapannya dalam RAPBD. Tetapi ini juga menjadi masalah
mengingat efektivitas hasil Musrenbang yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan
RAPBD. Ternyata kami melihat tidak ada aturan pengikat yang cukup kuat, penyusunan
APBD harus didasarkan pada Musrenbang. karena itu saya melihat kalangan NGO di
Sukabumi membidik terciptanya regulasi yang mengikat Musrenbang dengan APBD.
Berdasarkan dengan studi banding dengan daerah lain, ada Sumedang dengan PAGU
indikatifnya. Dengan aturan ini, hasil Musrenbang dipastikan diakomodir oleh APBD,
tentunya disesuaikan dengan aturan-aturan, kapasitas dan realitas yang berkembang.
Untuk mendorong proses ini, ternyata posisi media menjadi sangat membantu dalam
mensosialisasikan tahapan-tahapan yang NGO lakukan. Lebih-lebih, jika NGO bisa bekerja
sama dengan dinas-dinas tertentu untuk memperkuat legitimasi terkait hal-hal yang tengah
diperjuangkan.
Karena itu, tahapan awal yang dilakukan adalan berinisiasi untuk menyamakan persepsi.
LSM/NGO, media-media lokal, dan dinas-dinas pemerintahan tertentu di Sukabumi
diarahkan untuk bersinergi. LSM turun ke masyarakat, berkomunikasi dengan Dinas, Dinas
melakukan evaluasi terhadap kinerjanya, memberikan masukan balik kepada LSM, media
mensosialisasikannya, mungkin ini yang dimaksud dari sinergitas dan pembagian peran.
Semuanya bergerak untuk mendorong regulasi yang pro masyarakat. Untuk Sukabumi sudah
mulai bergulir, semoga ini bermuara pada akhir peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Terima kasih

Dian Malensko (Staf FPPM dan pengelola desentralisasi.net)

malensko says:
21-07-2010 at 13:01

Salam Kenal Yessy


Sebenarnya saya kurang berkenan menjawab pertanyaan ini karena dalam tulisan tersebut
saya hanya pewarta saja. Tentunya aktor-aktor dalam tulisan tersebutlah yang berkompeten
untuk menjawabnya.
Tetapi daripada tidak dijawab sama sekali, saya coba jawab, tetapi ini jawaban pribadi bukan
jawaban resmi lembaga tempat saya bernaung. Ada kemungkinan ini merupakan persepsi
yang kurang tepat.
Secara implementatif, sebenarnya belum ada langkah konkret peran apa yang akan dijalankan
berbagai unsur terkait masalah kesehatan di Sukabumi. Baik pihak pemerintah (Dinas
Kesehatan), FITRA Sukabumi, FPPM maupun media lokal belum menentukan langkah taktis
dan implementatif. Namun kita meyakini, hal itu harus dimulai dengan suatu tindakan yang
kemudian disinergikan secara bersama.
Mengingat kapasitas kami sebagai NGO, kami memandang proses advokasi kebijakan
menjadi sebuah alternatif yang bisa dipilih. Dalam hal ini, FITRA dan FPPM mendorong
adanya APBD yang berorientasi pada permasalahan yang ada di masyarakat. Untuk itu, kami
mencoba mencari cara bagaimana melakukan intervensi kepada eksekutif dan legislatif
terkait penyusunan APBD. Maka kami melihat celah pada Musrenbang sebagai legitimasi
dari aspirasi masyarakat terkait harapannya dalam RAPBD. Tetapi ini juga menjadi masalah
mengingat efektivitas hasil Musrenbang yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan
RAPBD. Ternyata kami melihat tidak ada aturan pengikat yang cukup kuat, penyusunan
APBD harus didasarkan pada Musrenbang. karena itu saya melihat kalangan NGO di
Sukabumi membidik terciptanya regulasi yang mengikat Musrenbang dengan APBD.
Berdasarkan dengan studi banding dengan daerah lain, ada Sumedang dengan PAGU
indikatifnya. Dengan aturan ini, hasil Musrenbang dipastikan diakomodir oleh APBD,
tentunya disesuaikan dengan aturan-aturan, kapasitas dan realitas yang berkembang.
Untuk mendorong proses ini, ternyata posisi media menjadi sangat membantu dalam
mensosialisasikan tahapan-tahapan yang NGO lakukan. Lebih-lebih, jika NGO bisa bekerja
sama dengan dinas-dinas tertentu untuk memperkuat legitimasi terkait hal-hal yang tengah
diperjuangkan.
Karena itu, tahapan awal yang dilakukan adalan berinisiasi untuk menyamakan persepsi.
LSM/NGO, media-media lokal, dan dinas-dinas pemerintahan tertentu di Sukabumi
diarahkan untuk bersinergi. LSM turun ke masyarakat, berkomunikasi dengan Dinas, Dinas
melakukan evaluasi terhadap kinerjanya, memberikan masukan balik kepada LSM, media
mensosialisasikannya, mungkin ini yang dimaksud dari sinergitas dan pembagian peran.
Semuanya bergerak untuk mendorong regulasi yang pro masyarakat. Untuk Sukabumi sudah
mulai bergulir, semoga ini bermuara pada akhir peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Terima kasih

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=291963557519587&id=121449484570996

Вам также может понравиться