Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun Oleh :
William Bramero Advento 1161050163 (FK UKI)
Shinta Nur Puspitasari 1161050171 (FK UKI)
Reni Astuti 1161050176 (FK UKI)
Diajeng Tri Herwinda 030.12.076 (FK Usakti)
Nadya Yosvara 030.12.183 (FK Usakti)
Rahim 030.12.218 (FK Usakti)
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RSUP DR. KARIADI, SEMARANG
PERIODE 12 JUNI 2017 22 JULI 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkah dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah journal reading yang
berjudul CEDERA GENITAL DAN ANAL: STUDI CROSS SECTIONAL
AUSTRALIA TERHADAP 1266 WANITA YANG MELAPORKAN
MENGALAMI KEJAHATAN SEKSUAL. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan ujian kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Trisakti. Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini tidak akan tercapai tanpa
bantuan pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan makalah
ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada:
1. dr. Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF Msi.Med selaku dosen penguji yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu
dan pengetahuan.
2. dr. Marlis Tarmizi selaku residen pembimbing makalah yang berkontribusi
besar dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan makalah
ini.
3. Teman-teman dokter muda di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan
kedepannya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat
serta menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk pembuatan makalah selanjutnya.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
ii
KESIMPULAN ................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA.. 58
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di dalam ilmu
kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian
dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari pelaku kejahatan seksual itu sendiri.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya
tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas
atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana ini, hendaknya dilakukan
dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua bukti-bukti yang ditemukannya karena
tidak adanya kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti.
Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter hendaknya tidak meletakkan kepentingan korban di
bawah kepentingan pemeriksaan. Terutama bila korban adalah anak-anak pemeriksaan sebaiknya tidak
sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya.
1. Bagaimana frekuensi cedera genital dan anus dan karakteristik demografi dan
penyerangan yang terkait pada wanita yang melaporkan kejahatan seksual?
2. Apakah ruang lingkup kejahatan seksual dan perkosaan?
3. Bagaimana aspek hukum dan medikolegal kejahatan seksual?
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Mahasiswa
- Menambah bahan referensi bagi dokter dalam proses hukum kejahatan seksual
dalam bidang ilmu kedokteran forensik.
1.4.3. Bagi Masyarakat
BAB II
JURNAL
10
ABSTRAK
Tujuan: Untuk menggambarkan frekuensi cedera genital dan anal dan karakteristik demografi
serta penyerangan yang terkait pada wanita yang melaporkan mengalami kejahatan seksual.
Peserta: Total 1266 wanita yang menghadiri SARC dari Januari 2009 sampai Maret 2015.
Metode: Wanita menjalani prosedur pengumpulan data terstandar oleh dokter yang dilatih
secara forensik menggunakan analisis regresi logistik multivariat. Pengukuran utama: (1)
Frekuensi cedera genital dan anal menurut jenis serangan seksual. (2) Identifikasi faktor
independen yang terkait dengan cedera genital dan anal mengikuti penetrasi vagina dan anal.
Hasil: Cedera genital diamati pada 24,5% wanita yang dilaporkan mengalami penetrasi vagina;
wanita dengan riwayat tanpa hubungan seksual sebelumnya 52,1% mengalami luka kelamin.
Cedera kelamin lebih mungkin terjadi tanpa hubungan seksual sebelumnya (adjusted odds ratio
[adj OR] 4,4, interval kepercayaan 95% [95% CI] 2,4-8,0), beberapa jenis penetran (adj. OR
1.5, 95% CI 1.0- 2.1), jika terjadi cedera tubuh secara umum dan kecil kemungkinannya dengan
penggunaan obat penenang dan penundaan pemeriksaan. Cedera anal, yang diamati pada
27,0% dari penetrasi komplit anal yang dilaporkan, lebih mungkin terjadi pada beberapa jenis
penetran (disesuaikan OR 5.0, 95% CI 1,2-21,0), jika terjadi cedera tubuh secara umum dan
Kesimpulan: Penelitian ini secara terpisah menghitung frekuensi cedera genital dan anal pada
wanita yang diserang secara seksual. Cedera kelamin tidak ada dalam proporsi besar wanita
tanpa mempedulikan status persalinan vagina sebelumnya. Diharapkan temuan tersebut akan
11
memberi informasi kepada masyarakat, polisi dan medikolegal kepada sistem peradilan pidana
1. Pendahuluan
Adanya luka tubuh secara umum telah dikaitkan dengan tingkat pelaporan yang lebih
tinggi [1] dan tuntutan kekerasan seksual [2-5]. Tingkat hukuman juga tinggi pada wanita yang
menderita luka kelamin setelah mengalami kekerasan seksual. Dalam sebuah studi besar di
Afrika Selatan 2009, baik cedera umum dan genital sangat terkait dengan hukuman. Meskipun
"membuktikan" serangan seksual [7], diketahui dengan baik bahwa cedera kelamin tidak
terlihat pada mayoritas wanita yang mengikuti serangan seksual. Dalam memberikan kesaksian
ahli ke pengadilan, penting untuk mengetahui perkiraan prevalensi yang terpisah untuk cedera
genital dan anal setelah masing-masing, penetrasi vaginal atau anal tanpa konsensual. Ada
sejumlah laporan dalam literatur tentang prevalensi luka genital berikut dugaan penyerangan
seksual. Sayangnya, beragam teknik pemeriksaan / pengamatan, kriteria inklusi peserta dan
definisi cedera yang digunakan oleh banyak penelitian ini membuat mereka sulit untuk
mata) secara rutin digunakan untuk mendeteksi luka genitoanal setelah serangan seksual dan
kemerahan genital dan / atau pembengkakan dianggap sebagai temuan yang tidak spesifik dan
tidak termasuk dalam definisi cedera genital. Dari 85 studi tentang data prevalensi cedera
genital yang ditinjau oleh Lincoln dkk. Pada tahun 2013 [8] hanya lima belas digunakan 'mata
telanjang' pemeriksaan makroskopik [4,7,9-19]. Hanya enam dari cedera genital terpisah ini
dari cedera anal / peri-anal [4,11,14,15,19,20] dan hanya tiga dari enam [4,19,20]
12
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi kedua luka genital dan
anal pada wanita yang menghadiri layanan serangan seksual sesuai dengan sifat serangan
seksual (yaitu penetrasi vs percobaan vs. tidak diketahui). Penelitian ini juga berusaha untuk
menentukan karakteristik demografi dan penyerangan mana yang terkait dengan deteksi luka
genital pada wanita dengan penetrasi vagina yang lengkap dan dengan luka anal pada wanita
2. Metode
2.1. Definisi
Penggunaan alkohol mengacu pada alkohol yang dikonsumsi dalam periode 6 jam
sebelum serangan.
Tipe penyerang dikategorikan sebagai orang asing, pasangan intim, kenalan / teman,
kenalan yang tidak disengaja (diketahui <24 jam), tidak diketahui (tidak ada memori), saudara
dan orang lain (termasuk rekan kerja dan petugas kesehatan). Mitra intim termasuk saat ini dan
Penyakit jiwa saat ini didasarkan pada riwayat pasien yang dilaporkan sendiri dan
Cedera badan umum (non-genitoanal) termasuk luka yang ditemukan di kepala (kulit
kepala / rambut, mata, telinga, wajah), mulut (bibir, gigi dan rongga mulut), leher, dada (dada,
payudara, punggung atas, perut, punggung bawah dan bokong), lengan (lengan atas, lengan,
tangan, dan kuku), dan kaki (paha bagian dalam, sisa paha, kaki bagian bawah, kaki, lutut).
Cedera genital termasuk luka pada mons pubis, genitalia internal / eksternal dan
13
Serangan tidak senonoh adalah tindakan seksual tanpa persetujuan tanpa adanya
Jenis luka termasuk memar, lecet, laserasi, luka yang diiris, luka tembus (luka tusuk)
dan luka bakar. Kemerahan dan / atau kelembutan tidak disertakan karena sifatnya yang tidak
spesifik. Kecelakaan yang dipertimbangkan oleh dokter forensik untuk ditimbulkan sendiri
tidak dikecualikan.
Obat penenang yang tidak ditentukan termasuk cannabinoids (ganja & sintetis), opiat
Serangan seksual yang termasuk dalam penelitian ini komplit atau diupayakan penetrasi
vagina atau anal pasien dengan penis, jari tangan, tangan atau objek tanpa persetujuan mereka.
Sifat penetrasi diklasifikasikan sebagai tidak diketahui jika pasien mencurigai adanya serangan
Stimulan meliputi amfetamin, ekstasi, kokain (tidak ada halusinogen dalam kohort ini).
Jenis penetran mengacu pada bagian tubuh atau benda yang menembus vagina atau anal seperti
penyerangan seksual untuk polisi dan penyedia layanan darurat lainnya di Perth, ibu kota
Australia Barat. Peserta studi termasuk remaja pasca pubertas dan wanita dewasa berusia 13
tahun ke atas dirujuk ke SARC untuk konsultasi darurat antara 1 Januari 2009 dan 31 Maret
2015 setelah dituduh melakukan kekerasan seksual terakhir. Pengecualian dari penelitian ini
adalah pasien yang (i) tidak memberikan persetujuan untuk penelitian, (ii) diserang secara tidak
senonoh, (iii) tidak mengetahui tanggal penyerangan seksual atau tidak dapat memperkirakan
waktu sejak serangan, (iv) dirujuk Ke SARC untuk konsultasi darurat lebih dari 10 hari setelah
14
serangan seksual, (v) tidak menyetujui pemeriksaan genital / anal, (vi) mengakui bahwa
laporan tersebut salah dan / atau dugaan serangan tersebut dianggap sebagai laporan palsu oleh
Polisi atau dokter forensik, (vii) hanya melaporkan serangan lisan dengan penis, (viii) hanya
Sebanyak 24 dokter memeriksa pasien selama masa studi dengan 12-15 dokter staf
setiap tahunnya. Rata-rata, setiap dokter memeriksa 53 pasien studi (kisaran interkuartil 14-
85). Dokter SARC dilatih secara forensik: enam dokter telah menyelesaikan Master of Forensic
Medicine, dua adalah Fellows of the Australasian College of Legal Medicine (FACLM), tujuh
memiliki beasiswa Fakultas Kedokteran Forensik Klinik dari Royal College of Pathologists
Australasia. Sebagai bagian dari pekerjaan mereka di SARC, semua dokter mengikuti
kekerasan seksual standar, sebagaimana diuraikan dalam Manual Medis dan Forensik SARC,
15
Australia Barat. Ini termasuk pemeriksaan seluruh tubuh (kepala sampai kaki, depan dan
belakang) dan daerah genito-anal, dengan pengukuran dan dokumentasi adanya luka dan
temuan pada diagram bodi standar di Catatan Forensik SARC. Gambar. 1 menunjukkan
Informed consent Pasien dan / atau wali diperoleh untuk penggunaan data yang tidak
teridentifikasi untuk penelitian. Dokter yang menjadi peserta penelitian memasukkan data
riwayat dan pemeriksaan ke dalam Sistem Informasi Klinik Medis forensik SARC [21].
Data database yang hilang atau tidak konsisten dipertanyakan dan diubah bila
seksual dan diringkas sebagai penyimpangan standar untuk data kontinu dan persentase data
kategoris. Tes Chi Square dan Fisher Exact digunakan untuk membandingkan proporsi dengan
subkelompok. Pemilihan kovarian digunakan secara khusus untuk menilai faktor prognostik
untuk cedera pada pasien dan untuk membangun model regresi logistik multivariat. Semua
model awal termasuk kovariat yang memiliki nilai p <0,25 dalam analisis bivariat beserta
faktor-faktor yang diketahui secara klinis; Model kovariat. Dengan nilai p 0,15 atau kurang
dipertahankan pada model. Nilai 25% digunakan sebagai indikator perubahan penting dalam
koefisien. Model penentuan tujuan dari kovariat dan proses pemodelan dijelaskan oleh Hosmer
dkk. [22]. Tidak ada interaksi dua arah yang signifikan pada p <0,01 yang terdeteksi. Odds
ratios dan 95% confidence interval diperkirakan. Semua analisis statistik dilakukan dengan
16
Persetujuan etika diperoleh dari Komite Etika Penelitian Kesehatan Wanita dan
Kesehatan Baru (nomor persetujuan 2014089EWEW) dan Komite Etika Penelitian Manalia
3. Hasil
Sebanyak 1.755 wanita (dan 103 pria) dipresentasikan ke SARC untuk konsultasi
darurat selama periode studi 75 bulan, di antaranya 1266 termasuk dalam penelitian ini. Tingkat
eksklusi adalah 27,9% (n = 489): 5,4% (n = 95) tidak menyetujui penelitian, 2,0% (n = 35)
yang dipresentasikan setelah serangan tidak senonoh, 1,1% (n = 19) serangan seksual dianggap
salah laporan, 4,0% (n = 70) yang disajikan> 10 hari setelah serangan, 0,9% (n = 15)
melaporkan serangan oral hanya, 0,7% (n = 12) melaporkan serangan vagina hanya dengan
lidah, 13,8% (n = 243) Tidak menyetujui pemeriksaan genito / anal. Keterlibatan polisi pada
saat konsultasi darurat adalah 69,4% (n = 879). Delapan belas wanita mengalami dua atau lebih
serangan seksual terpisah selama masa studi dengan setiap konsultasi termasuk dalam analisis.
Gambar Diagram alur 2 memberikan gambaran umum rancangan studi dan rincian jumlah
peserta yang diperiksa untuk cedera spesifik lokasi dan prevalensi cedera berdasarkan jenis
serangan. Tabel 1 memberikan rincian tentang karakteristik demografi dan penyerangan dari
1.266 peserta penelitian (usia rata-rata 26,5 10,9 tahun, kisaran 13-88 tahun). Wanita dengan
penyakit jiwa saat ini menyumbang 39,7% (n = 503) peserta studi dan riwayat mengkonsumsi
alkohol dalam periode 6 jam sebelum serangan tersebut diperoleh pada 60,7% (n = 768). Lima
puluh satu persen wanita dipresentasikan ke SARC dalam waktu 24 jam dari dugaan serangan
seksual dan 81,9% dalam 72 jam. Penetrasi vagina yang komplit adalah bentuk serangan
seksual yang paling umum (n = 948, 74,9%), dengan 10,4% (n = 132) melaporkan serangan
17
Empat puluh tiga (3,4%) dari 1266 peserta penelitian tidak berisiko mengalami luka
kelamin karena mereka menyatakan bahwa percobaan penetrasi vagina yang dilakukan dengan
baik dan tidak komplit telah terjadi. Dari 1223 perempuan yang dievaluasi untuk cedera
kelamin, 77,5% (n = 948) melaporkan penetrasi vagina yang komplit, 3,3% (n = 40)
melaporkan upaya penetrasi vagina dan 19,2% (n = 235) mencurigai adanya serangan seksual
namun tidak memiliki ingatan yang jelas terhadap kecelakaan. Secara keseluruhan, luka
kelamin terdeteksi pada 22,0% (269/1223) diperiksa untuk cedera kelamin. Cedera kelamin
terdeteksi pada 24,5% (232/948) dari mereka yang diperiksa karena dugaan penetrasi vagina
yang dilakukan, 15,0% (6/40) dari mereka yang mencoba penetrasi vagina dan 13,2% (31/235)
wanita dengan dugaan serangan seksual namun tidak ada ingatan yang jelas tentang jenis
penetrasi (Gambar 2). Dari 71 wanita tanpa hubungan seksual sebelumnya yang melaporkan
penetrasi vagina selesai, 52,1% (n = 37) mengalami luka kelamin dan 47,9% (n = 34) tidak.
232 wanita dengan cedera kelamin setelah menyelesaikan penetrasi vagina rata-rata memiliki
2,4 luka kelamin masing-masing, dengan 50% (n = 117) hanya memiliki satu luka genital. Jenis
cedera kelamin yang paling umum pada wanita yang melaporkan penetrasi vagina yang
komplit adalah laserasi yang diikuti oleh lecet; daerah yang paling umum dengan setidaknya
satu luka adalah fornix posterior, fossa navicularis, labia minora dan selaput dara (Tabel 2).
Tabel 3 merinci frekuensi dan kemungkinan cedera kelamin pada 948 wanita yang
demografi dan penyerangan yang terkait dengan cedera kelamin dalam analisis bivariat (p
<0,25). Pemodelan regresi logistik menentukan bahwa empat dari delapan faktor ini (termasuk
penggunaan obat penenang, riwayat hubungan seksual sebelumnya, waktu untuk pemeriksaan,
jumlah penetrasi vagina) secara independen terkait dengan cedera kelamin. Penggunaan sedatif
dalam 6 jam dari seksual serangan itu melindungi luka genital (disesuaikan OR = 0,3, 95% CI
18
0,1, 0,7). Faktor dengan dampak terbesar pada risiko cedera kelamin adalah riwayat hubungan
seksual tanpa vagina sebelumnya (disesuaikan OR = 4,7, 95% CI 2,8, 8,1). Kemungkinan
mengamati luka genital menurun seiring dengan meningkatnya waktu pemeriksaan. Faktor-
faktor yang tidak terkait dengan cedera kelamin yang diperiksa dalam analisis univariat
Penetrasi vagina komplit dengan satu, dua dan tiga jenis penetran (misalnya penis, jari,
benda atau tangan) dilaporkan masing-masing 74,0% (n = 701), 24,9% (n = 236) dan 1,2% (n
= 11) wanita yang melakukan penetrasi vagina. Proporsi cedera genital meningkat dengan
penggunaan beberapa penetrasi (Tabel 3). Setelah penyesuaian untuk faktor lain (Tabel 3),
penetrasi vagina oleh beberapa penetrasi dikaitkan dengan peningkatan risiko 1,5 kali lipat
(95% CI 1,1, 2,1) dari cedera kelamin dibandingkan dengan wanita yang diserang dengan satu
penetran.
Frekuensi cedera kelamin menurut jenis penetrasi diperiksa pada 948 wanita yang
melaporkan penetrasi vagina secara komplit. Dua penetran paling umum pada kasus penetrasi
701 "tunggal" adalah penis (n = 550, 78,5%) dan jari (n = 133, 19,0%). Perbedaan proporsi
cedera genital akibat penetrasi penis (126/550, 22,9%) dan jari (22/133, 16,5%) tidak signifikan
secara statistik (p = 0,111). Penetrasi vagina dengan tangan dan benda dilaporkan masing-
masing adalah 7 (1,0%) dan 11 (1,6%) dari 70 juta kasus penetrasi tunggal. Prevalensi cedera
kelamin akibat penetrasi tangan dan objek masing-masing adalah 71,4% (5/7) dan 36,4%
(4/11).
Pada subkelompok 807 wanita dengan penetrasi vagina yang komplit pemeriksaan
umum dan pemeriksaan genito-anal, 69,8% (n = 563) memiliki cedera tubuh secara umum.
Wanita dengan cedera tubuh secara umum lebih cenderung hadir dengan cedera kelamin
menentukan bahwa, pada sub kelompok ini, lima faktor, termasuk (i) riwayat hubungan seksual
19
sebelumnya, (ii) cedera tubuh secara umum, (iii) jumlah penetrasi vagina, (iv) penggunaan obat
penenang dan (v) Waktu untuk pemeriksaan, secara independen terkait dengan cedera kelamin.
Faktor dengan dampak terbesar pada risiko cedera kelamin adalah riwayat hubungan seksual
tanpa vagina sebelumnya (adjusted OR = 4,4, 95% CI 2,4, 8,0), diikuti oleh adanya cedera
tubuh secara umum (OR disesuaikan: 1,6, 95% CI 1.1, 2.3) dan penggunaan beberapa jenis
penetrants (OR disesuaikan = 1,5, 95% CI 1,0, 2,1). Penggunaan sedatif dalam 6 jam serangan
seksual melindungi luka genital (disesuaikan OR = 0,3, 95% CI 0,1, 0,7). Peningkatan waktu
Dalam sebuah analisis sub kelompok terhadap 189 wanita berusia 13-17 tahun yang
diperiksa setelah menyelesaikan penetrasi vagina, 24,3% (n = 46) tidak memiliki riwayat seks
vaginal sebelumnya, dan 70,4% (n = 133) telah aktif secara seksual sebelum Penyerangan
(missing information n = 10). Prevalensi cedera kelamin secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok "tidak ada kelompok seks sebelumnya" bila dibandingkan dengan rekan mereka
(52,2% (24/46) vs 19,5% (26/133); p <0,001). Dari 46 wanita muda yang tidak memiliki
riwayat seks vaginal sebelumnya yang melaporkan penetrasi vagina secara komplit, luka di
lokasi spesifik adalah sebagai berikut: selaput dara 30% (n = 14), labia minora 20% (n = 9),
fourchette posterior 15% (n = 7), fossa navicularis 11% (n = 5), klitoris 4% (n = 2), vagina atas
(n = 1). Tidak ada luka yang tergolong vestibular atau perineal pada 46 wanita ini. Dari 133
wanita muda dengan riwayat seks vaginal sebelumnya yang melaporkan mengalami penetrasi
vagina, luka di lokasi spesifik adalah: selaput dara 5% (n = 4), labia minora 2% (n = 3),
vagina 2% (n = 2), labia majora 2% (n = 2), vestibulum 1% (n = 1). Tidak ada luka yang
diklasifikasikan sebagai perineum, vagina tinggi, uretra atau serviks pada 133 perempuan ini.
20
Gambar.2. Diagram alur desain penelitian menunjukkan prevalensi luka genito-anal pada
wanita dengan status penetrasi vagina. Pasien menduga terjadi penyerangan seksual namun
tidak ada ingatan yang jelas akan kejadian tersebut.
21
Tabel 1 : Karakter demografis dan penyerangan dari 1266 wanita yang hadir ke Pusat Sumber
Seksual (Australia Barat) dan menyetujui pemeriksaan genito-anal setelah kejahatan vaginal
dan / atau anal
Tabel 2. Frekuensi tipe dan lokasi cedera pada wanita yang melaporkan adanya penetrasi
22
Analisis cedera anal terbatas pada 463 wanita yang melaporkan adanya penetrasi anal
atau percobaan anal atau dugaan penyerangan seksual namun tidak ada ingatan yang jelas
mengenai kejadian tersebut. Secara keseluruhan, cedera anal terdeteksi pada 14,3% (66/463)
dari wanita yang terkena kejahatan seksual.. Luka pada anal dideteksi pada 27,0% (47/174)
kasus dengan dugaan penetrasi anal, pada 9,3% (5/54) kasus dengan upaya penetrasi anal dan
6,0% (14/235) wanita yang mencurigai adanya kejahatan seksual namun Tidak ada ingatan
yang jelas tentang kejadian tersebut (Gambar 2). 47 wanita dengan cedera anal setelah
melakukan penetrasi anal dengan rata-rata 2,1 cedera anal, dengan 45% (n = 21) hanya
memiliki satu cedera anal. Jenis yang paling umum dari cedera anal pada wanita yang
melaporkan penetrasi anal adalah laserasi yang diikuti oleh memar; tempat yang paling umum
Penetrasi anal lengkap dengan satu, dua dan tiga penetrasi dilaporkan masing-masing
92,5% (161/174), 6,9% (12/174) dan 0,6% (1/174) kasus yang melaporkan penetrasi anal. Dua
penetran paling umum dalam kasus penetran "tunggal" adalah penis (123/161, 76,4%) dan jari
(32/161, 19,6%) dengan hanya 6 wanita yang melaporkan penetrasi tunggal dengan sebuah
benda. Jenis penetran dalam kasus penetran tunggal tidak terkait dengan cedera anal (nilai pasti
p Fisher 0.584). Kasus penetran tunggal memiliki risiko cedera anal yang lebih sedikit
dibandingkan dengan beberapa penetrasi (24,8% (40/161) vs 53,9% (7/13), nilai p-value Fisher
0,045).
Tabel 4 memberikan frekuensi dan kemungkinan relatif cedera anal pada wanita yang
diperiksa setelah melakukan penetrasi anal lengkap untuk empat faktor yang terkait dengan
cedera anal pada analisis univariat (yaitu waktu untuk pemeriksaan, usia dan kecacatan
intelektual, jumlah penetrasi). Hanya waktu untuk pemeriksaan dan jumlah penetran yang
23
terkait secara independen dengan cedera anal. Faktor-faktor yang tidak terkait dengan cedera
Pada subkelompok 151 wanita dengan penetrasi anal yang menyelesaikan pemeriksaan
umum dan pemeriksaan genito-anal, 74,2% (112/151) mengalami cedera tubuh secara umum.
Wanita dengan cedera tubuh secara umum lebih cenderung hadir dengan cedera anal (31,3%
bahwa, pada sub kelompok ini, tiga faktor, termasuk (i) jumlah penetrasi anal (ii) cedera tubuh
secara umum, dan (iii) waktu untuk pemeriksaan, secara independen terkait dengan cedera
kelamin. Faktor dengan dampak terbesar pada risiko cedera anal adalah penggunaan beberapa
jenis penetran (OR = 5,0, 95% CI 1,2, 21,0) diikuti oleh adanya cedera tubuh secara umum
(OR = 2,7, 95% CI 1.0, 7.3). Meningkatkan waktu untuk pemeriksaan dikaitkan dengan
Tabel 3. Rasio frekuensi dan odds untuk cedera kelamin menurut karakteristik demografi dan
kejahatan pada wanita yang melaporkan penetrasi vagina (n = 948)
24
4. Diskusi
Karena banyaknya wanita dalam penelitian kami, kami dapat menilai frekuensi genital
dan anal individu yang terkait dengan jenis kekerasan seksual tertentu. Kecelakaan genital dan
anal telah dianalisis dengan tipe penetrasi (penis, jari tangan, tangan atau benda), jumlah
penetran dan penetrasi percobaan. Analisis terpisah terhadap luka genital dan anal tidak
Kami memeriksa remaja pasca pubertas dan perempuan dewasa terkait keahatan
seksual tanpa pembesaran atau pewarnaan genital untuk mendeteksi luka pada genital dan anal.
Perbandingan dengan penelitian menggunakan metode kolposkopi dan / atau pewarnaan sangat
kompleks, karena studi ini sering melaporkan tingkat cedera yang jauh lebih tinggi daripada
yang dilihat oleh 'mata telanjang'. Dari lima belas penelitian yang menggunakan pemeriksaan
makroskopik yang ditinjau oleh Lincoln dkk. pada tahun 2013, hanya enam luka genital yang
tidak termasuk / terpisah dari cedera anal / peri-anal . Dari keenam, hanya tiga di samping
studi Australia yang dilakukan oleh Lincoln et al. mengecualikan kemerahan dan
pembengkakan karena luka-luka dan oleh karena itu cocok untuk perbandingan frekuensi
cedera kelamin setelah menyelesaikan penetrasi vagina dengan penelitian kami. Empat studi
lebih lanjut yang belum diulas oleh Lincoln, memiliki perbedaan metodologis yang signifikan
Dari empat studi cedera genital yang sebanding, studi paling awal (1992) melaporkan
prevalensi genital 9% [9], jauh lebih rendah daripada prevalensi keseluruhan kita sebesar 22%.
Perbedaan besar ini mungkin karena penggunaan dokter yang terlatih secara forensik dalam
penelitian kami, tidak ada yang menyebutkan pelatihan dokter khusus dalam penelitian di AS.
Studi kedua terbatas pada remaja yang diberi stratifikasi oleh apakah mereka pernah melakukan
hubungan seksual vagina sebelumnya. Prevalensi cedera genital dalam penelitian ini pada
remaja tanpa hubungan seksual vagina sebelumnya adalah 53%, sama dengan 52% dalam
25
penelitian kami. Studi ketiga, oleh kelompok riset Manchester yang sama, melaporkan bahwa
prevalensi cedera kelamin pada pengadu orang dewasa adalah 23%, sama dengan wanita
berusia di atas 19 tahun dengan penetrasi vagina yang lengkap dalam penelitian ini. Studi
genital pada 41 wanita berusia 18-44 tahun, dua kali lipat prevalensi pada wanita berusia 20-
49 tahun . Prevalensi yang lebih tinggi dalam penelitian di Queensland mungkin karena yang
diperiksa hanya kasus dalam waktu 72 jam dari kejahatan seksual yang disertakan sedangkan
penelitian kami meliputi wanita yang diperiksa sampai 10 hari setelah dugaan penyerangan
seksual. Namun, ini tidak bisa menjadi penjelasan keseluruhan karena hanya 30% peserta studi
kami yang hadir dalam 72 jam mengalami luka kelamin. Faktor lain yang mungkin
menyebabkan tingkat cedera genital yang lebih tinggi dalam studi di Queensland yaitu semua
wanita melaporkan kejahatan seksual mereka ke polisi dibandingkan dengan hanya 69% wanita
dalam penelitian kami. Kami berpendapat bahwa wanita yang melapor ke polisi mungkin
termotivasi untuk melakukannya karena cedera tubuh dan / atau genito-anal. Kami telah
menunjukkan bahwa cedera fisik pada tubuh secara umum dikaitkan dengan peningkatan risiko
cedera kelamin. Namun satu penelitian di AS menentukan bahwa cedera tubuh secara umum
bukanlah pendorong bagi wanita untuk melaporkan ke polisi. Apakah ini berlaku untuk kasus
Temuan yang menarik adalah bahwa walaupun jumlah penyerang dengan kontak seksual tidak
dikaitkan dengan peningkatan cedera genital dan / atau anal, jumlah jenis penetran yang
berbeda meningkatkan frekuensi cedera genito-anal. Kami dapat mempelajari cedera anal pada
463 wanita yang kami anggap berisiko mengalami cedera ini. Kami menetapkan bahwa 27%
wanita melaporkan penetrasi anal yang lengkap dan 9% wanita yang melakukan percobaan
penetrasi anal menderita luka anal yang terlihat. Setengah wanita yang diperiksa karena cedera
anal tidak memiliki ingatan yang jelas tentang jenis kejahatan dan 6% wanita ini menderita
26
luka anal. Sayangnya, perbandingan langsung temuan kami dengan penelitian lain sulit
dilakukan karena data yang dipublikasikan yang menunjukkan adanya luka anal setelah
penetrasi anal jarang terjadi. Hal ini karena kebanyakan penelitian hanya menyajikan temuan
secara luas sebagai cedera genito-anal setelah penetrasi anal (dan / atau vagina). Meskipun ada
dua penelitian yang melaporkan prevalensi cedera anal pada 8- 11%, ini terjadi pada semua
kasus kekerasan seksual yang diperiksa terlepas dari status penetrasi anal .
Sebuah studi di Swedia menemukan bahwa kemungkinan cedera anal lebih tinggi pada korban
pasangan intim dan kenalan bila dibandingkan dengan korban orang asing. Kami tidak
menemukan tipe penyerang yang terkait dengan cedera anal. Memang, hanya waktu untuk
pemeriksaan, jumlah penetrasi anal (single vs multiple) dan cedera tubuh secara umum terkait
secara independen dengan cedera anal pada wanita yang melaporkan penetrasi anal.
Tabel 4.Rentang frekuensi dan odds untuk cedera anal sesuai karakteristik demografi dan
penyerangan pada wanita yang melaporkan penetrasi anal lengkap (n = 174).
27
peserta studi, kami dapat memperkirakan estimasi prevalensi cedera spesifik lokasi
berdasarkan berbagai jenis kejahatan seksual. Ukuran studi yang besar juga memungkinkan
kami untuk menggunakan regresi multivariat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait
secara independen dengan cedera. Selanjutnya, penggunaan protokol standar secara eksklusif
oleh klinisi yang dilatih secara forensik untuk memeriksa semua peserta studi memberikan
kepercayaan pada kualitas data. Ada sejumlah keterbatasan studi. Hasil penelitian tidak
digeneralisasikan untuk semua wanita yang mengikuti kekerasan seksual karena sejumlah
alasan. Pertama, 5% wanita yang merujuk ke SARC tidak menyetujui penggunaan data mereka
untuk penelitian. Kelompok ini mencakup beberapa wanita yang tidak termasuk menderita luka
parah dimana persetujuan tidak dapat diperoleh. Juga 11% dari mereka yang disebutkan dalam
10 hari setelah kejahatan seksual menolak semua pemeriksaan forensik. Kedua, kejahatan
seksual kurang dilaporkan ke polisi dan layanan kesehatan. Meskipun ada bukti bahwa cedera
tidak memotivasi wanita AS untuk melapor ke polisi , ada kemungkinan wanita Australia yang
merujuk SARC mungkin memiliki lebih banyak luka daripada mereka yang tidak dirujuk ke
SARC. Jika demikian, maka frekuensi cedera kita mungkin lebih dari perkiraan tingkat
populasi. Sebagai alternatif, beberapa wanita dengan luka yang mengancam jiwa yang tidak
parah yang diderita dari kejahatan pasangan intim mungkin enggan untuk menghadiri SARC
yang menyebabkan kita meremehkan prevalensi cedera. Wanita dengan luka yang mengancam
jiwa yang dirawat di rumah sakit mungkin tidak diidentifikasi karena telah diserang secara
seksual. Seperti semua penelitian yang meneliti hubungan antara kejahatan seksual dan cedera,
sejarah penyerangan bersifat subyektif dan bergantung pada pasien. Dalam upaya untuk
meminimalkan kesalahan, kami mengecualikan wanita dengan tuduhan palsu yang salah. Kami
telah mempresentasikan hasil kami sedemikian rupa sehingga menempatkan temuan kami ke
28
dalam konteks dengan riwayat wanita yang dilaporkan sendiri. Hal ini telah dilakukan untuk
5. Kesimpulan
prevalensi cedera anal setelah penetrasi anal non-konsensual. Kecelakaan genital dan anal
keduanya ditemukan pada wanita yang mencurigai adanya kejahatan seksual namun tidak
memiliki ingatan yang jelas terhadap kejadian tersebut. Oleh karena itu kami
merekomendasikan agar wanita ini juga membutuhkan penyediaan layanan kesehatan dan
forensik. Sementara lebih dari setengah wanita tanpa hubungan seksual sebelumnya
mengalami luka kelamin setelah penetrasi vagina selama kejahatan seksual. Seperti semua
penelitian yang dipublikasikan sebelumnya di daerah ini, sejumlah besar wanita yang
melaporkan kejahatan seksual tidak memiliki luka genito-anal dan tidak adanya bukti genito-
29
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku
yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Seksual adalah berkenaan dengan seks (jenis kelamin)
dan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Jadi, kejahatan seksual adalah
perilaku yang bertentangan dengan hukum-hukum yang mengatur mengenai seksualitas.1
3.1.2. Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetasi penis ke dalam vagina,
penetrasi tersebut dapat dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa diesertai
ejakulasi.2
3.2. Klasifikasi
Kejahatan seksual dikategorikan menjadi:
a. Perkosaan
Di negara bagian Florida, pelaku perkosaan tidak hanya dibatasi pada kaum laki laki
saja. Hukum di sana memungkinkan kaum perempuan melakukan perkosaan terhadap laki
laki, sebab prinsip yang dianut di sana adalah bahwa perkosaan sebagai male crime dan female
crime. Beberapa negara bagian lainnya bahkan menetapkan pekosaan sebagai tindakan pidana
yang yang tidak hanya dapat dilakukan terhadap wanita yang bukan isterinya (extra-marital
crime) saja, tetapi juga terhadap isterinya sendiri (intra-marital crime). Agaknya ikatan
30
perkawinan tidak secara otomatis dianggap sebagai bentuk konsen bagi suami untuk
melakukan senggama dengan isterinya sendiri.
Sedangkan di Indonesia, pengertian perkosaan dapat dilihat pada pasal 285 KUHP.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut perkosaan di sini digolongkan sebagai tindak pidana yang
hanya dapat dilakukan oleh laki laki (male crime) terhadap wanita yang bukan isterinya
(extra-marital crime) dan persetubuhannyapun harus bersifat intravaginal coitus. Persetubuhan
oral atau anal yang dilakukan dengan kekerasan tidak dapat diklasifikasikan sebagai perkosaan,
melainkan perbuatan menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal 289 KUHP).
Jadi tindak pidana perkosaan di Indonesia harus memenuhi unsur unsur sebagai berikut:
Di beberapa negara maju konsep perkosaan sudah mengalami perubahan, yaitu sebagai
sexual offence, sehingga kaum wanita dimungkinkan melakukan perkosaan. Bahkan
kecenderungannya sekarang, perkosaan dianggap sebagai physical assault dengan tetap
memperhintungkan dampak trauma psikik yang dialami korban.
Kendati konsep yang dianut di sini masih dipengaruhi oleh konsep offence against
property namun sebenarnya ditinjau dari sudut biologik sangan relevan sebab laki laki hanya
31
dapat melakukan persetubuhan dalam keadaan aktif sedangkan wanita dapat disetubuhi dalam
keadaan aktif maupun pasif. Jika seandainya wanita menjadi pelaku perkosaan dan laki laki
menjadi korbannya maka persetubuhan yang menjadi salah satu unsur dari perkosaan
diragukan dapat terjadi karena dalam keadaan sedang mengalami tekanan jiwa karena dipaksa,
diragukan dapat mengalami respon seksual (ereksi) yang merupakan syarat terjadinya penetrasi
penis.
Perkosaan di sini juga tidak mungkin dilakukan terhadap istrinya sendiri sebab ikatan
perkawinan dianggap sebagai suatu persetujuan bagi laki laki untuk melakukan senggama
dengan wanita yang dinikahi. Dengan kata lain, kebijakan kriminal yang dianut disini adalah
sebagai extra marital crime.3
Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia di atas 15 tahun tidak
dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya.
Untuk perbuatan yang terakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara
(pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau sepatutnya
dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin maka pelakunya dapat
diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.
Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya (pasal 287 KUHP)
. Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun maka untuk penuntutan tidak diperlukan adanya
pengaduan.4
c. Perzinahan
Perzinahan adalah persetubuhan antara pria dan wanita diluar perkawinan, dimana salah
satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Khusus untuk delik ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tadi yang
diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini
diancam dengan hukuman pen]ara selama maksimal 9 bulan.4
d. Perbuatan cabul
32
Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia diancam dengan hukuman
penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP).
Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul ini
dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya. berumur dibawah 15 tahun atau
belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP). Perbuatan cabul yang
dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesama jenis diancam hukuman penjara
maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP).
Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum dewasa diancam
dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP) .
Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak yang belum
dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam dengan hukuman
penjara maksimal 7 tahun.
Hukuman yang sama juga diberikan pada pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul
dengan bawahan atau orang yang penjagaannya dipercayakan kepadanya, pengurus, dokter,
guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat peker]aan negara, tempat
pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya (pasal 294 KUHP).
Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi penghubung bagi
perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam dengan hukuman penjara
maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).
Jika perbuatan ini dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan maka ancaman hukumannya
satu tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000,-4
33
1. a. Seorang pria telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui,
bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
b. Seorang wanita telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui, bahwa pasal
27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku baginya.
2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui, bahwa
yang turut bersalah telah kawin.
b. Seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu padal diketahui
olehnya, bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW (Burgerly Wetboek)
berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum
dimulai.
(5) Jika bagi suami istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan ini tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum keputusan yang menyatakan
pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
BW pasal 27
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan
sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.
34
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
KUHP pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana pejara paling lama sembilan tahun.
35
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang padahal diketahui, bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
(2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
(3) Barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
KUHP pasal 292
Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(1) Barang siapa dengan member atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja
menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkahlakunya, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang
belum cukup umurnya itudiketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan
pidana penjara lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakuan atas pngaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan
dan 12 bulan.
KUHP pasal 294
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang
belum cukup umur pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya,
diancam dengan pidana penjarapaling lama tujuh tahun:
(1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya:
36
(2) Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit
ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.
KUHP pasal 295
Diancam:
(1) Dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya,
anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh orang
yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, atau pun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang
lain;
(2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut ke-1 di atas yang
dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus diduga
demikian, dengan orang lain.
Jika yang bersalah, melakukan keahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka
pidana dapat ditambah sepertiga.
Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang
lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, atau denda paling banyak.5
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dpat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
37
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapau umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua piak pria maupun piak
wanita.4
38
1) Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-5 jam setelah
persetubuhan.
2) Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak bergerak) sampai
sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan, sedangkan pada orang mati sperma masih dapat
ditemukan dalam vagina paling lama 7-8 hari setelah persetubuhan.
3) Pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar setiap ejakulasi sebanyak 2-5 ml, yang
mengandung sekitar 60 juta sperma setiap mililiter dan 90% bergerak (motile)
4) Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP, misalnya pada sprei atau
kain maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet dan akan terlihat
berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke laboratorium.
5) Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar harus diperiksa, yaitu
untuk mencari sel epitel vagina yang melekat pada zakar. Ini dikerjakan dengan
menempelkan gelas objek pada gland penis (tepatnya sekeliling korona glandis) dan segera
dikirim untuk mikroskopis.
6) Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah robekan tersebut masih
terlihat darah atau hiperemi/kemerahan. Letak robekan selaput dara pada persetubuhan
umumnya di bagian belakang (comisura posterior), letak robekan dinyatakan sesuai
menurut angka pada jam. Robekan lama diketahui jika robekan tersebut sampai ke dasar
(insertio) dari selaput dara.
7) VeR yang baik harus mencakup keempat hal tersebut di atas (fungsi penyelidikan), dengan
disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan. hal ini dapat diketahui dari keadaan
sperma serta dari keadaan normal luka (penyembuhan luka) pada selaput dara, yang pada
keadaan normal akan sembuh dalam 7-10 hari.
b. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari penampang
benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Tindakan
membius juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat obat
bius/racun pada korban.
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti tidak ada
kekerasan. Faktor waktu sangat berperan. Dengan berlalunya waktu, luka dapat sembuh atau
tidak ditemukan, racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh. faktor waktu penting dalam
menemukan sperma.
c. Memperkirakan umur
39
1. Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti yang
dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang tidak mungkin dapat dilakukan
(kecuali didapatkan informasi dari akte keahiran). Dengan teknologi kedokteran yang
canggih pun maksimal hanya sampai pada perkiraan umur saja.
2. Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan yang meliputi
pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari
tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan radiologi lainnya.
3. Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan bentuk
badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan perkembangan payudara dan
pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham
belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan
molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah
korban sudah pernah menstruasi bila umur korban tidak diketahui.
4. Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal 287 KUHP untuk
menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.
3.5. Pemeriksaan
40
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban kekerasan seksual:
a. Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan menunggu terlalu
lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang
terdapat di tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya
trauma psikis yang lebih berat.
b. Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis kelaminnya
dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa
malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel.
Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan
palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.
c. Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh bagian
tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
d. Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.7
42
dengan noda basah, seperti darah atau air mani, harus dibiarkan kering, dilipat ke dalam dan
kemudian ditempatkan ke dalam tas plastik. Jika masih basah, tempat dalam kantong plastik
terbuka, kemudian masukkan ke dalam kantong kertas.
B. Pemeriksaan Fisik Umum
1. Perlengkapan :
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksa harus melengkapi perlengkapan
pemeriksaan forensiknya. Tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah harus diukur.
Perlengkapannya yaitu:
1) Sexual offences examination kit
2) Kertas bersih
3) Sumber cahaya
4) Hanschoen
5) Spekulum sesuai ukuran
6) KY jelly
7) Pengukur tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
43
Defensive laceration8
a. Kavum Oral
Pemeriksaan pada kavum oral harus dilakukan secara hati-hati pengambilan swab pada
daerah gigi apabila terjadi ejakulasi di mulut yang belum lama terjadi. Harus diingat bahwa
saliva dapat menjadi sampel forensik yang baik untuk menemukan adanya semen di mulut.
Swab basah digosokkan pada bibir untuk mendapatkan kemungkinan adanya sel pelaku.
b. Rambut Kepala dan Rambut Pubis
Adanya kecurigaan semen pada rambut kepala atau rambut pubis harus dilakukan
pengambilan swab, memotong rambut yang dicurigai, dan menjadikannya sebagai sampel
forensik. Sampel yang dapat diambil dari rambut kepala dan rambut pubis adalah berupa
semen, serat-serat, benda-benda asing lainnya, rambut yang terlepas. Serta kita juga memotong
rambut kepala dan rambut pubis sebagai sampel kontrol.
c. Kuku Jari
44
Benda asing pada kuku, mungkin merupakan sel kulit dari pelaku, maka perlu
dilakukan pengambilan sampel di bawah kuku. Pengambilan sampel dengan memotong kuku
adalah yang paling baik, namun hal ini tidak sesuai dengan pasien maka dilakukan
pengambilan swab.
Posisi pemeriksaan:
Posisi pemeriksaan9
45
1. Inspeksi genitalia eksterna dimulai dari mons pubis, perhatikan labia mayora, labia
minora, kelentit, selaput dara, robekan selaput dara, fourchette posterior, dan perineum.
Pemeriksaan Hymen8
46
2. Swab genitalia eksterna harus diambil sebelum dilakukan pemeriksaan dalam. Jika
terdapat darah, lakukan swab pada darah untuk mengetahui darimana darah tersebut
berasal.
Terdapat beberapa variasi normal dari selaput dara. Untuk dapat mengetahui cedera atau
kelainan pada selaput dara, harus dibedakan dengan yang normal. Berikut variasi normal dari
selaput dara.3,6
47
48
49
ini meggunakan protoskop untuk memeriksa kanalis anal bagian bawah yang ada dicurigai.
Pengambilan swab diambil dari anus dan rektal.8
c. Pemeriksaan Pelvis
Penting untung mempertimbangkan melakukan pemeriksaan perlvis bimanual jika ada
trauma internal seperti robekan ligamen, yang dapat terjadi tanpa ada pendarahan vagina dan
rasa tidak nyaman pada vagina pada jam-jam awal setelah kejadian.8
50
h. Teteskan canada balsem, tutup dengan gelas penutup lihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran 500 kali.
Hasil diharapkan : kepala sperma berwarna merah, bagian ekor berwarna biru muda, kepala
sperma tampak menempel pada serabut-serabut benang.
Pembuatan pewarnaan Baeechi :
Acid-fuchsin 1% (1 tetes atau 1 ml)
Methylene-blue 1% (1 tetes atau 1 ml)
HCl 1 % ( 40 tetes atau 40 ml).
51
alpha naphtanol yang dibebaskan akan bereaksi dengan Brentamine dan membentuk warna
ungu.
52
Dengan menyinari ruangan atau tempat di mana terjadinya peristiwa kejahatan dengan sinar
UV, Bercak air mani yang sulit dilihat bila hanya dengan mata telanjang, akan tampak
sebagai daerah bercak-bercak yang berfluoresensi putih.
Air mani merupakan elemen yang vital pada kasus perkosaan. Pada beberapa
keadaan dapat juga ditemukan darahnya. Untuk pengamanan elemen vital ini hendaklah
diambil beberapa langkah berhati-hati seperti berikut;
Pakaian dianginkan di udara dan jangan dipanaskan,
Pada bercak yang kering, bercak ditutup dengan kertas bersih,
Jangan melipat atau menggunting pada daerah yang bercak,
Catat keadaan bercak (basah atau kering) sewaktu ditemukan.8
53
BAB IV
JURNAL PEMBANDING
54
55
OPINI
Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan pada jurnal ini. Kelebihannya adalah
sampel yang digunakan banyak, dapat dianalisis secara statistik, dan disertai data demografi.
Kekurangan pada jurnal ini yaitu hanya menjelaskan temuan temuan pemeriksaan
secara makroskopik saja. Pada jurnal ini tidak menjelaskan bagaimana tipe tipe luka robek
pada selaput dara yang mengalami kejahatan seksual, kurang dilengkapi dengan dokumentasi
luka yang dialami oleh korban, kurang dilengkapi dengan teknik pemeriksaan yang dilakukan
Di jurnal ini juga kurang menjelaskan secara terperinci tentang tanda tanda kekerasan fisik
yang berada di luar daerah kelamin dan anal.
56
KESIMPULAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu
, tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang Kejahatan Terhadap
Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun di luar
perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta
persetubuhan tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Homoseksual juga termasuk bentuk
kejahatan seksual bila dilakukan pada orang dengan jenis kelamin sama namun belum dewasa
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual
sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya
tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham S, Arif Rahman S, Bambang PN, Gatot S, Hadi Bin Salim, Intarniati, dkk.
2012. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang.
2. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p:
221-7.
58