Вы находитесь на странице: 1из 62

JOURNAL READING

CEDERA GENITAL DAN ANAL: STUDI CROSS SECTIONAL


AUSTRALIA TERHADAP 1266 WANITA
YANG MELAPORKAN MENGALAMI
KEJAHATAN SEKSUAL

Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan


di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Dosen Penguji: dr. Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF, Msi Med

Residen Pembimbing: dr. Marlis Tarmizi

Disusun Oleh :
William Bramero Advento 1161050163 (FK UKI)
Shinta Nur Puspitasari 1161050171 (FK UKI)
Reni Astuti 1161050176 (FK UKI)
Diajeng Tri Herwinda 030.12.076 (FK Usakti)
Nadya Yosvara 030.12.183 (FK Usakti)
Rahim 030.12.218 (FK Usakti)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RSUP DR. KARIADI, SEMARANG
PERIODE 12 JUNI 2017 22 JULI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkah dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah journal reading yang
berjudul CEDERA GENITAL DAN ANAL: STUDI CROSS SECTIONAL
AUSTRALIA TERHADAP 1266 WANITA YANG MELAPORKAN
MENGALAMI KEJAHATAN SEKSUAL. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan ujian kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Trisakti. Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini tidak akan tercapai tanpa
bantuan pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan makalah
ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada:

1. dr. Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF Msi.Med selaku dosen penguji yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu
dan pengetahuan.
2. dr. Marlis Tarmizi selaku residen pembimbing makalah yang berkontribusi
besar dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan makalah
ini.
3. Teman-teman dokter muda di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan
kedepannya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat
serta menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk pembuatan makalah selanjutnya.

Semarang, Juli 2017

Tim Penulis

DAFTAR ISI

Kata pengantar............. .... i


Daftar Isi...... .... ii
BAB I PENDAHULUAN.. .......... 1
1.1 Latar Belakang... .......... 1
1.2 Rumusan Masalah .... 1
1.3 Tujuan Penulisan 1
1.4 Manfaat............. 2
1.4.1 Bagi Mahasiwa ............. 2
1.4.2 Bagi Instansi Terkait......... 2
1.4.3 Bagi Masyarakat.. ..................................................................... 2
BAB II JURNAL... .............................. 3
2.1 Jurnal Asli ........ 3
2.2 Terjemahan Jurnal 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 30
3.1 Definisi ................................................................................................. 30
3.1.1. Kejahatan Seksual ...................................................................... 30
3.1.2. Persetubuhan .............................................................................. 30
3.2 Klasifikasi ............................................................................................ 30
3.3 Aspek Medikolegal .............................................................................. 33
3.3.1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana ....................................... 33
3.3.2. Undang-undang Perkawinan ...................................................... 37
3.3.3. Undang-undang Perlindungan Anak .......................................... 38
3.4 Peran Dokter ........................................................................................ 38
3.5 Pemeriksaan ......................................................................................... 40
3.5.1. Wawancara Forensik .................................................................. 41
3.5.2. Pemeriksaan Medis .................................................................... 42
3.5.3. Pemeriksaan Laboratorium ........................................................ 50
3.5.4. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara ..................................... 52
BAB IV JURNAL PEMBANDING ................................................................ 54
OPINI ............................................................................................................... 56

ii

KESIMPULAN ................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA.. 58

iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejahatan seksual sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan,
dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di dalam
upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu
Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana
(KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tatacara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk
di dalam pengertian kasus kejahatan seksual.

Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di dalam ilmu
kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian
dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari pelaku kejahatan seksual itu sendiri.

Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya
tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas
atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.

Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana ini, hendaknya dilakukan
dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua bukti-bukti yang ditemukannya karena
tidak adanya kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti.
Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter hendaknya tidak meletakkan kepentingan korban di
bawah kepentingan pemeriksaan. Terutama bila korban adalah anak-anak pemeriksaan sebaiknya tidak
sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana frekuensi cedera genital dan anus dan karakteristik demografi dan
penyerangan yang terkait pada wanita yang melaporkan kejahatan seksual?
2. Apakah ruang lingkup kejahatan seksual dan perkosaan?
3. Bagaimana aspek hukum dan medikolegal kejahatan seksual?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Menggambarkan frekuensi cedera genital dan anus dan karakteristik demografi dan
penyerangan yang terkait pada wanita yang melaporkan kejahatan seksual.

2. Mengetahui ruang lingkup kejahatan seksual dan perkosaan.

3. Mengetahui dan menjelaskan aspek hukum dan medikolegal kejahatan seksual.

1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Mahasiswa

- Meningkatkan kemampuan dalam penyusunan suatu makalah dari berbagai


sumber dan teknik penulisan.
- Melatih kerjasama tim dalam penyusunan suatu makalah.
- Menambah pengetahuan dalam bidang ilmu kedokteran forensik.
1.4.2. Bagi Instansi Terkait

- Menambah bahan referensi bagi dokter dalam proses hukum kejahatan seksual
dalam bidang ilmu kedokteran forensik.
1.4.3. Bagi Masyarakat

- Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat bagaimana


hukuman pada pelaku tindak pidana kejahatan seksual yang terjadi di
masyarakat para korban maupun pelaku pada kasus tindak pidana yang terjadi
di masyarakat.

BAB II
JURNAL

2.1. Jurnal Asli

10

2.2. Terjemahan Jurnal

Cedera Genital Dan Anal: Studi Australia Cross-Sectional Terhadap 1266


Wanita Yang Melaporkan Mengalami Kejahatan Seksual

ABSTRAK

Tujuan: Untuk menggambarkan frekuensi cedera genital dan anal dan karakteristik demografi

serta penyerangan yang terkait pada wanita yang melaporkan mengalami kejahatan seksual.

Desain: Studi cross-sectional.

Lokasi : Sexual Assault Resource Centre (SARC), Australia Barat.

Peserta: Total 1266 wanita yang menghadiri SARC dari Januari 2009 sampai Maret 2015.

Metode: Wanita menjalani prosedur pengumpulan data terstandar oleh dokter yang dilatih

secara forensik menggunakan analisis regresi logistik multivariat. Pengukuran utama: (1)

Frekuensi cedera genital dan anal menurut jenis serangan seksual. (2) Identifikasi faktor

independen yang terkait dengan cedera genital dan anal mengikuti penetrasi vagina dan anal.

Hasil: Cedera genital diamati pada 24,5% wanita yang dilaporkan mengalami penetrasi vagina;

wanita dengan riwayat tanpa hubungan seksual sebelumnya 52,1% mengalami luka kelamin.

Cedera kelamin lebih mungkin terjadi tanpa hubungan seksual sebelumnya (adjusted odds ratio

[adj OR] 4,4, interval kepercayaan 95% [95% CI] 2,4-8,0), beberapa jenis penetran (adj. OR

1.5, 95% CI 1.0- 2.1), jika terjadi cedera tubuh secara umum dan kecil kemungkinannya dengan

penggunaan obat penenang dan penundaan pemeriksaan. Cedera anal, yang diamati pada

27,0% dari penetrasi komplit anal yang dilaporkan, lebih mungkin terjadi pada beberapa jenis

penetran (disesuaikan OR 5.0, 95% CI 1,2-21,0), jika terjadi cedera tubuh secara umum dan

kemungkinannya kecil dengan penundaan pemeriksaan.

Kesimpulan: Penelitian ini secara terpisah menghitung frekuensi cedera genital dan anal pada

wanita yang diserang secara seksual. Cedera kelamin tidak ada dalam proporsi besar wanita

tanpa mempedulikan status persalinan vagina sebelumnya. Diharapkan temuan tersebut akan

11

memberi informasi kepada masyarakat, polisi dan medikolegal kepada sistem peradilan pidana

dengan lebih baik.

1. Pendahuluan

Adanya luka tubuh secara umum telah dikaitkan dengan tingkat pelaporan yang lebih

tinggi [1] dan tuntutan kekerasan seksual [2-5]. Tingkat hukuman juga tinggi pada wanita yang

menderita luka kelamin setelah mengalami kekerasan seksual. Dalam sebuah studi besar di

Afrika Selatan 2009, baik cedera umum dan genital sangat terkait dengan hukuman. Meskipun

secara historis beberapa pengadilan mengandalkan adanya cedera kelamin untuk

"membuktikan" serangan seksual [7], diketahui dengan baik bahwa cedera kelamin tidak

terlihat pada mayoritas wanita yang mengikuti serangan seksual. Dalam memberikan kesaksian

ahli ke pengadilan, penting untuk mengetahui perkiraan prevalensi yang terpisah untuk cedera

genital dan anal setelah masing-masing, penetrasi vaginal atau anal tanpa konsensual. Ada

sejumlah laporan dalam literatur tentang prevalensi luka genital berikut dugaan penyerangan

seksual. Sayangnya, beragam teknik pemeriksaan / pengamatan, kriteria inklusi peserta dan

definisi cedera yang digunakan oleh banyak penelitian ini membuat mereka sulit untuk

menerapkannya di lingkungan Australia. Di Australia, pemeriksaan makroskopis (telanjang

mata) secara rutin digunakan untuk mendeteksi luka genitoanal setelah serangan seksual dan

kemerahan genital dan / atau pembengkakan dianggap sebagai temuan yang tidak spesifik dan

tidak termasuk dalam definisi cedera genital. Dari 85 studi tentang data prevalensi cedera

genital yang ditinjau oleh Lincoln dkk. Pada tahun 2013 [8] hanya lima belas digunakan 'mata

telanjang' pemeriksaan makroskopik [4,7,9-19]. Hanya enam dari cedera genital terpisah ini

dari cedera anal / peri-anal [4,11,14,15,19,20] dan hanya tiga dari enam [4,19,20]

mengeluarkan kemunculan genital dan / atau pembengkakan sebagai cedera.

12

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi kedua luka genital dan

anal pada wanita yang menghadiri layanan serangan seksual sesuai dengan sifat serangan

seksual (yaitu penetrasi vs percobaan vs. tidak diketahui). Penelitian ini juga berusaha untuk

menentukan karakteristik demografi dan penyerangan mana yang terkait dengan deteksi luka

genital pada wanita dengan penetrasi vagina yang lengkap dan dengan luka anal pada wanita

yang melaporkan penetrasi anal komplit.

2. Metode

2.1. Definisi

Penggunaan alkohol mengacu pada alkohol yang dikonsumsi dalam periode 6 jam

sebelum serangan.

Cedera anal termasuk luka di daerah perianal, anal dan rektum.

Tipe penyerang dikategorikan sebagai orang asing, pasangan intim, kenalan / teman,

kenalan yang tidak disengaja (diketahui <24 jam), tidak diketahui (tidak ada memori), saudara

dan orang lain (termasuk rekan kerja dan petugas kesehatan). Mitra intim termasuk saat ini dan

mantan (termasuk suami, de facto dan pacar).

Penyakit jiwa saat ini didasarkan pada riwayat pasien yang dilaporkan sendiri dan

termasuk psikotik (misalnya gangguan skizofrenia, bipolar) dan gangguan non-psikotik

(misalnya kegelisahan, depresi).

Cedera badan umum (non-genitoanal) termasuk luka yang ditemukan di kepala (kulit

kepala / rambut, mata, telinga, wajah), mulut (bibir, gigi dan rongga mulut), leher, dada (dada,

payudara, punggung atas, perut, punggung bawah dan bokong), lengan (lengan atas, lengan,

tangan, dan kuku), dan kaki (paha bagian dalam, sisa paha, kaki bagian bawah, kaki, lutut).

Cedera genital termasuk luka pada mons pubis, genitalia internal / eksternal dan

perineum (Gambar 1).

13

Serangan tidak senonoh adalah tindakan seksual tanpa persetujuan tanpa adanya

penetrasi selesai atau percobaan.

Jenis luka termasuk memar, lecet, laserasi, luka yang diiris, luka tembus (luka tusuk)

dan luka bakar. Kemerahan dan / atau kelembutan tidak disertakan karena sifatnya yang tidak

spesifik. Kecelakaan yang dipertimbangkan oleh dokter forensik untuk ditimbulkan sendiri

tidak dikecualikan.

Obat penenang yang tidak ditentukan termasuk cannabinoids (ganja & sintetis), opiat

(heroin) dan benzodiazepin.

Serangan seksual yang termasuk dalam penelitian ini komplit atau diupayakan penetrasi

vagina atau anal pasien dengan penis, jari tangan, tangan atau objek tanpa persetujuan mereka.

Sifat penetrasi diklasifikasikan sebagai tidak diketahui jika pasien mencurigai adanya serangan

seksual namun tidak memiliki atau tidak mengetahui kejadian tersebut.

Stimulan meliputi amfetamin, ekstasi, kokain (tidak ada halusinogen dalam kohort ini).

Jenis penetran mengacu pada bagian tubuh atau benda yang menembus vagina atau anal seperti

penis, jari tangan, dan / atau benda.

2.2. Pemilihan peserta studi

Sexual Assault Resource Centre (SARC) adalah satu-satunya pusat rujukan

penyerangan seksual untuk polisi dan penyedia layanan darurat lainnya di Perth, ibu kota

Australia Barat. Peserta studi termasuk remaja pasca pubertas dan wanita dewasa berusia 13

tahun ke atas dirujuk ke SARC untuk konsultasi darurat antara 1 Januari 2009 dan 31 Maret

2015 setelah dituduh melakukan kekerasan seksual terakhir. Pengecualian dari penelitian ini

adalah pasien yang (i) tidak memberikan persetujuan untuk penelitian, (ii) diserang secara tidak

senonoh, (iii) tidak mengetahui tanggal penyerangan seksual atau tidak dapat memperkirakan

waktu sejak serangan, (iv) dirujuk Ke SARC untuk konsultasi darurat lebih dari 10 hari setelah

14

serangan seksual, (v) tidak menyetujui pemeriksaan genital / anal, (vi) mengakui bahwa

laporan tersebut salah dan / atau dugaan serangan tersebut dianggap sebagai laporan palsu oleh

Polisi atau dokter forensik, (vii) hanya melaporkan serangan lisan dengan penis, (viii) hanya

melaporkan serangan vagina dan / atau anal dengan lidah.

Gambar 1 : Diagram daerah genito anal untuk mendeskripsikan suatu luka.

2.3. Pemeriksaan forensik dan pengumpulan data

Sebanyak 24 dokter memeriksa pasien selama masa studi dengan 12-15 dokter staf

setiap tahunnya. Rata-rata, setiap dokter memeriksa 53 pasien studi (kisaran interkuartil 14-

85). Dokter SARC dilatih secara forensik: enam dokter telah menyelesaikan Master of Forensic

Medicine, dua adalah Fellows of the Australasian College of Legal Medicine (FACLM), tujuh

memiliki beasiswa Fakultas Kedokteran Forensik Klinik dari Royal College of Pathologists

Australasia. Sebagai bagian dari pekerjaan mereka di SARC, semua dokter mengikuti

pendidikan reguler. Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan protokol pemeriksaan

kekerasan seksual standar, sebagaimana diuraikan dalam Manual Medis dan Forensik SARC,

15

Australia Barat. Ini termasuk pemeriksaan seluruh tubuh (kepala sampai kaki, depan dan

belakang) dan daerah genito-anal, dengan pengukuran dan dokumentasi adanya luka dan

temuan pada diagram bodi standar di Catatan Forensik SARC. Gambar. 1 menunjukkan

diagram yang digunakan untuk mendokumentasikan cedera genitoanal eksternal. Visualisasi

makroskopik, bukan kolposkopi atau pewarnaan, digunakan untuk pemeriksaan genito-anal.

Informed consent Pasien dan / atau wali diperoleh untuk penggunaan data yang tidak

teridentifikasi untuk penelitian. Dokter yang menjadi peserta penelitian memasukkan data

riwayat dan pemeriksaan ke dalam Sistem Informasi Klinik Medis forensik SARC [21].

Data database yang hilang atau tidak konsisten dipertanyakan dan diubah bila

memungkinkan mengikuti tinjauan bagan klinisi.

2.4. Analisis statistik

Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik wanita dan serangan

seksual dan diringkas sebagai penyimpangan standar untuk data kontinu dan persentase data

kategoris. Tes Chi Square dan Fisher Exact digunakan untuk membandingkan proporsi dengan

subkelompok. Pemilihan kovarian digunakan secara khusus untuk menilai faktor prognostik

untuk cedera pada pasien dan untuk membangun model regresi logistik multivariat. Semua

model awal termasuk kovariat yang memiliki nilai p <0,25 dalam analisis bivariat beserta

faktor-faktor yang diketahui secara klinis; Model kovariat. Dengan nilai p 0,15 atau kurang

dipertahankan pada model. Nilai 25% digunakan sebagai indikator perubahan penting dalam

koefisien. Model penentuan tujuan dari kovariat dan proses pemodelan dijelaskan oleh Hosmer

dkk. [22]. Tidak ada interaksi dua arah yang signifikan pada p <0,01 yang terdeteksi. Odds

ratios dan 95% confidence interval diperkirakan. Semua analisis statistik dilakukan dengan

menggunakan Stata versi 14.1 (College Station, TX, USA).

16

2.5. Rincian persetujuan etika

Persetujuan etika diperoleh dari Komite Etika Penelitian Kesehatan Wanita dan

Kesehatan Baru (nomor persetujuan 2014089EWEW) dan Komite Etika Penelitian Manalia

Curtin University, Australia Barat (nomor persetujuan HR98 / 2015).

3. Hasil

Sebanyak 1.755 wanita (dan 103 pria) dipresentasikan ke SARC untuk konsultasi

darurat selama periode studi 75 bulan, di antaranya 1266 termasuk dalam penelitian ini. Tingkat

eksklusi adalah 27,9% (n = 489): 5,4% (n = 95) tidak menyetujui penelitian, 2,0% (n = 35)

yang dipresentasikan setelah serangan tidak senonoh, 1,1% (n = 19) serangan seksual dianggap

salah laporan, 4,0% (n = 70) yang disajikan> 10 hari setelah serangan, 0,9% (n = 15)

melaporkan serangan oral hanya, 0,7% (n = 12) melaporkan serangan vagina hanya dengan

lidah, 13,8% (n = 243) Tidak menyetujui pemeriksaan genito / anal. Keterlibatan polisi pada

saat konsultasi darurat adalah 69,4% (n = 879). Delapan belas wanita mengalami dua atau lebih

serangan seksual terpisah selama masa studi dengan setiap konsultasi termasuk dalam analisis.

Gambar Diagram alur 2 memberikan gambaran umum rancangan studi dan rincian jumlah

peserta yang diperiksa untuk cedera spesifik lokasi dan prevalensi cedera berdasarkan jenis

serangan. Tabel 1 memberikan rincian tentang karakteristik demografi dan penyerangan dari

1.266 peserta penelitian (usia rata-rata 26,5 10,9 tahun, kisaran 13-88 tahun). Wanita dengan

penyakit jiwa saat ini menyumbang 39,7% (n = 503) peserta studi dan riwayat mengkonsumsi

alkohol dalam periode 6 jam sebelum serangan tersebut diperoleh pada 60,7% (n = 768). Lima

puluh satu persen wanita dipresentasikan ke SARC dalam waktu 24 jam dari dugaan serangan

seksual dan 81,9% dalam 72 jam. Penetrasi vagina yang komplit adalah bentuk serangan

seksual yang paling umum (n = 948, 74,9%), dengan 10,4% (n = 132) melaporkan serangan

anal yang dilakukan secara menyeluruh dan selesai.

17

3.1. Cedera kelamin

Empat puluh tiga (3,4%) dari 1266 peserta penelitian tidak berisiko mengalami luka

kelamin karena mereka menyatakan bahwa percobaan penetrasi vagina yang dilakukan dengan

baik dan tidak komplit telah terjadi. Dari 1223 perempuan yang dievaluasi untuk cedera

kelamin, 77,5% (n = 948) melaporkan penetrasi vagina yang komplit, 3,3% (n = 40)

melaporkan upaya penetrasi vagina dan 19,2% (n = 235) mencurigai adanya serangan seksual

namun tidak memiliki ingatan yang jelas terhadap kecelakaan. Secara keseluruhan, luka

kelamin terdeteksi pada 22,0% (269/1223) diperiksa untuk cedera kelamin. Cedera kelamin

terdeteksi pada 24,5% (232/948) dari mereka yang diperiksa karena dugaan penetrasi vagina

yang dilakukan, 15,0% (6/40) dari mereka yang mencoba penetrasi vagina dan 13,2% (31/235)

wanita dengan dugaan serangan seksual namun tidak ada ingatan yang jelas tentang jenis

penetrasi (Gambar 2). Dari 71 wanita tanpa hubungan seksual sebelumnya yang melaporkan

penetrasi vagina selesai, 52,1% (n = 37) mengalami luka kelamin dan 47,9% (n = 34) tidak.

232 wanita dengan cedera kelamin setelah menyelesaikan penetrasi vagina rata-rata memiliki

2,4 luka kelamin masing-masing, dengan 50% (n = 117) hanya memiliki satu luka genital. Jenis

cedera kelamin yang paling umum pada wanita yang melaporkan penetrasi vagina yang

komplit adalah laserasi yang diikuti oleh lecet; daerah yang paling umum dengan setidaknya

satu luka adalah fornix posterior, fossa navicularis, labia minora dan selaput dara (Tabel 2).

Tabel 3 merinci frekuensi dan kemungkinan cedera kelamin pada 948 wanita yang

melaporkan penetrasi vagina yang lengkap sehubungan dengan delapan karakteristik

demografi dan penyerangan yang terkait dengan cedera kelamin dalam analisis bivariat (p

<0,25). Pemodelan regresi logistik menentukan bahwa empat dari delapan faktor ini (termasuk

penggunaan obat penenang, riwayat hubungan seksual sebelumnya, waktu untuk pemeriksaan,

jumlah penetrasi vagina) secara independen terkait dengan cedera kelamin. Penggunaan sedatif

dalam 6 jam dari seksual serangan itu melindungi luka genital (disesuaikan OR = 0,3, 95% CI

18

0,1, 0,7). Faktor dengan dampak terbesar pada risiko cedera kelamin adalah riwayat hubungan

seksual tanpa vagina sebelumnya (disesuaikan OR = 4,7, 95% CI 2,8, 8,1). Kemungkinan

mengamati luka genital menurun seiring dengan meningkatnya waktu pemeriksaan. Faktor-

faktor yang tidak terkait dengan cedera kelamin yang diperiksa dalam analisis univariat

tercantum dalam Tabel 3 catatan kaki.

Penetrasi vagina komplit dengan satu, dua dan tiga jenis penetran (misalnya penis, jari,

benda atau tangan) dilaporkan masing-masing 74,0% (n = 701), 24,9% (n = 236) dan 1,2% (n

= 11) wanita yang melakukan penetrasi vagina. Proporsi cedera genital meningkat dengan

penggunaan beberapa penetrasi (Tabel 3). Setelah penyesuaian untuk faktor lain (Tabel 3),

penetrasi vagina oleh beberapa penetrasi dikaitkan dengan peningkatan risiko 1,5 kali lipat

(95% CI 1,1, 2,1) dari cedera kelamin dibandingkan dengan wanita yang diserang dengan satu

penetran.

Frekuensi cedera kelamin menurut jenis penetrasi diperiksa pada 948 wanita yang

melaporkan penetrasi vagina secara komplit. Dua penetran paling umum pada kasus penetrasi

701 "tunggal" adalah penis (n = 550, 78,5%) dan jari (n = 133, 19,0%). Perbedaan proporsi

cedera genital akibat penetrasi penis (126/550, 22,9%) dan jari (22/133, 16,5%) tidak signifikan

secara statistik (p = 0,111). Penetrasi vagina dengan tangan dan benda dilaporkan masing-

masing adalah 7 (1,0%) dan 11 (1,6%) dari 70 juta kasus penetrasi tunggal. Prevalensi cedera

kelamin akibat penetrasi tangan dan objek masing-masing adalah 71,4% (5/7) dan 36,4%

(4/11).

Pada subkelompok 807 wanita dengan penetrasi vagina yang komplit pemeriksaan

umum dan pemeriksaan genito-anal, 69,8% (n = 563) memiliki cedera tubuh secara umum.

Wanita dengan cedera tubuh secara umum lebih cenderung hadir dengan cedera kelamin

(27,9% (157/563) vs 20,9% (51/244), p = 0,037). Model regresi logistik multivariat

menentukan bahwa, pada sub kelompok ini, lima faktor, termasuk (i) riwayat hubungan seksual

19

sebelumnya, (ii) cedera tubuh secara umum, (iii) jumlah penetrasi vagina, (iv) penggunaan obat

penenang dan (v) Waktu untuk pemeriksaan, secara independen terkait dengan cedera kelamin.

Faktor dengan dampak terbesar pada risiko cedera kelamin adalah riwayat hubungan seksual

tanpa vagina sebelumnya (adjusted OR = 4,4, 95% CI 2,4, 8,0), diikuti oleh adanya cedera

tubuh secara umum (OR disesuaikan: 1,6, 95% CI 1.1, 2.3) dan penggunaan beberapa jenis

penetrants (OR disesuaikan = 1,5, 95% CI 1,0, 2,1). Penggunaan sedatif dalam 6 jam serangan

seksual melindungi luka genital (disesuaikan OR = 0,3, 95% CI 0,1, 0,7). Peningkatan waktu

untuk pemeriksaan dikaitkan dengan penurunan luka kelamin.

Dalam sebuah analisis sub kelompok terhadap 189 wanita berusia 13-17 tahun yang

diperiksa setelah menyelesaikan penetrasi vagina, 24,3% (n = 46) tidak memiliki riwayat seks

vaginal sebelumnya, dan 70,4% (n = 133) telah aktif secara seksual sebelum Penyerangan

(missing information n = 10). Prevalensi cedera kelamin secara signifikan lebih tinggi pada

kelompok "tidak ada kelompok seks sebelumnya" bila dibandingkan dengan rekan mereka

(52,2% (24/46) vs 19,5% (26/133); p <0,001). Dari 46 wanita muda yang tidak memiliki

riwayat seks vaginal sebelumnya yang melaporkan penetrasi vagina secara komplit, luka di

lokasi spesifik adalah sebagai berikut: selaput dara 30% (n = 14), labia minora 20% (n = 9),

fourchette posterior 15% (n = 7), fossa navicularis 11% (n = 5), klitoris 4% (n = 2), vagina atas

4% (n = 2), vagina rendah 2% (n = 1) uretra 2% (n = 1) , Labia majora 2% (n = 1), serviks 2%

(n = 1). Tidak ada luka yang tergolong vestibular atau perineal pada 46 wanita ini. Dari 133

wanita muda dengan riwayat seks vaginal sebelumnya yang melaporkan mengalami penetrasi

vagina, luka di lokasi spesifik adalah: selaput dara 5% (n = 4), labia minora 2% (n = 3),

posterior fourchette 6% (n = 8 ), Fossa navicularis 6% (n = 8), klitoris 2% (n = 3), Rendahnya

vagina 2% (n = 2), labia majora 2% (n = 2), vestibulum 1% (n = 1). Tidak ada luka yang

diklasifikasikan sebagai perineum, vagina tinggi, uretra atau serviks pada 133 perempuan ini.

20

Gambar.2. Diagram alur desain penelitian menunjukkan prevalensi luka genito-anal pada
wanita dengan status penetrasi vagina. Pasien menduga terjadi penyerangan seksual namun
tidak ada ingatan yang jelas akan kejadian tersebut.

21

Tabel 1 : Karakter demografis dan penyerangan dari 1266 wanita yang hadir ke Pusat Sumber
Seksual (Australia Barat) dan menyetujui pemeriksaan genito-anal setelah kejahatan vaginal
dan / atau anal

Tabel 2. Frekuensi tipe dan lokasi cedera pada wanita yang melaporkan adanya penetrasi

22

3.2. Cedera anal

Analisis cedera anal terbatas pada 463 wanita yang melaporkan adanya penetrasi anal

atau percobaan anal atau dugaan penyerangan seksual namun tidak ada ingatan yang jelas

mengenai kejadian tersebut. Secara keseluruhan, cedera anal terdeteksi pada 14,3% (66/463)

dari wanita yang terkena kejahatan seksual.. Luka pada anal dideteksi pada 27,0% (47/174)

kasus dengan dugaan penetrasi anal, pada 9,3% (5/54) kasus dengan upaya penetrasi anal dan

6,0% (14/235) wanita yang mencurigai adanya kejahatan seksual namun Tidak ada ingatan

yang jelas tentang kejadian tersebut (Gambar 2). 47 wanita dengan cedera anal setelah

melakukan penetrasi anal dengan rata-rata 2,1 cedera anal, dengan 45% (n = 21) hanya

memiliki satu cedera anal. Jenis yang paling umum dari cedera anal pada wanita yang

melaporkan penetrasi anal adalah laserasi yang diikuti oleh memar; tempat yang paling umum

dengan setidaknya satu luka adalah wilayah perianal (Tabel 2).

Penetrasi anal lengkap dengan satu, dua dan tiga penetrasi dilaporkan masing-masing

92,5% (161/174), 6,9% (12/174) dan 0,6% (1/174) kasus yang melaporkan penetrasi anal. Dua

penetran paling umum dalam kasus penetran "tunggal" adalah penis (123/161, 76,4%) dan jari

(32/161, 19,6%) dengan hanya 6 wanita yang melaporkan penetrasi tunggal dengan sebuah

benda. Jenis penetran dalam kasus penetran tunggal tidak terkait dengan cedera anal (nilai pasti

p Fisher 0.584). Kasus penetran tunggal memiliki risiko cedera anal yang lebih sedikit

dibandingkan dengan beberapa penetrasi (24,8% (40/161) vs 53,9% (7/13), nilai p-value Fisher

0,045).

Tabel 4 memberikan frekuensi dan kemungkinan relatif cedera anal pada wanita yang

diperiksa setelah melakukan penetrasi anal lengkap untuk empat faktor yang terkait dengan

cedera anal pada analisis univariat (yaitu waktu untuk pemeriksaan, usia dan kecacatan

intelektual, jumlah penetrasi). Hanya waktu untuk pemeriksaan dan jumlah penetran yang

23

terkait secara independen dengan cedera anal. Faktor-faktor yang tidak terkait dengan cedera

anal yang diperiksa dalam analisis univariat tercantum dalam Tabel 4.

Pada subkelompok 151 wanita dengan penetrasi anal yang menyelesaikan pemeriksaan

umum dan pemeriksaan genito-anal, 74,2% (112/151) mengalami cedera tubuh secara umum.

Wanita dengan cedera tubuh secara umum lebih cenderung hadir dengan cedera anal (31,3%

(35/112) vs 15,4% (6/39), p = 0,055). Pemodelan regresi logistik multivariat menentukan

bahwa, pada sub kelompok ini, tiga faktor, termasuk (i) jumlah penetrasi anal (ii) cedera tubuh

secara umum, dan (iii) waktu untuk pemeriksaan, secara independen terkait dengan cedera

kelamin. Faktor dengan dampak terbesar pada risiko cedera anal adalah penggunaan beberapa

jenis penetran (OR = 5,0, 95% CI 1,2, 21,0) diikuti oleh adanya cedera tubuh secara umum

(OR = 2,7, 95% CI 1.0, 7.3). Meningkatkan waktu untuk pemeriksaan dikaitkan dengan

penurunan cedera anal.

Tabel 3. Rasio frekuensi dan odds untuk cedera kelamin menurut karakteristik demografi dan
kejahatan pada wanita yang melaporkan penetrasi vagina (n = 948)

24

4. Diskusi

Karena banyaknya wanita dalam penelitian kami, kami dapat menilai frekuensi genital

dan anal individu yang terkait dengan jenis kekerasan seksual tertentu. Kecelakaan genital dan

anal telah dianalisis dengan tipe penetrasi (penis, jari tangan, tangan atau benda), jumlah

penetran dan penetrasi percobaan. Analisis terpisah terhadap luka genital dan anal tidak

terdokumentasi dengan baik dalam literatur.

Kami memeriksa remaja pasca pubertas dan perempuan dewasa terkait keahatan

seksual tanpa pembesaran atau pewarnaan genital untuk mendeteksi luka pada genital dan anal.

Perbandingan dengan penelitian menggunakan metode kolposkopi dan / atau pewarnaan sangat

kompleks, karena studi ini sering melaporkan tingkat cedera yang jauh lebih tinggi daripada

yang dilihat oleh 'mata telanjang'. Dari lima belas penelitian yang menggunakan pemeriksaan

makroskopik yang ditinjau oleh Lincoln dkk. pada tahun 2013, hanya enam luka genital yang

tidak termasuk / terpisah dari cedera anal / peri-anal . Dari keenam, hanya tiga di samping

studi Australia yang dilakukan oleh Lincoln et al. mengecualikan kemerahan dan

pembengkakan karena luka-luka dan oleh karena itu cocok untuk perbandingan frekuensi

cedera kelamin setelah menyelesaikan penetrasi vagina dengan penelitian kami. Empat studi

lebih lanjut yang belum diulas oleh Lincoln, memiliki perbedaan metodologis yang signifikan

terhadap penelitian kami yang menghalangi perbandingan dengan temuan kami .

Dari empat studi cedera genital yang sebanding, studi paling awal (1992) melaporkan

prevalensi genital 9% [9], jauh lebih rendah daripada prevalensi keseluruhan kita sebesar 22%.

Perbedaan besar ini mungkin karena penggunaan dokter yang terlatih secara forensik dalam

penelitian kami, tidak ada yang menyebutkan pelatihan dokter khusus dalam penelitian di AS.

Studi kedua terbatas pada remaja yang diberi stratifikasi oleh apakah mereka pernah melakukan

hubungan seksual vagina sebelumnya. Prevalensi cedera genital dalam penelitian ini pada

remaja tanpa hubungan seksual vagina sebelumnya adalah 53%, sama dengan 52% dalam

25

penelitian kami. Studi ketiga, oleh kelompok riset Manchester yang sama, melaporkan bahwa

prevalensi cedera kelamin pada pengadu orang dewasa adalah 23%, sama dengan wanita

berusia di atas 19 tahun dengan penetrasi vagina yang lengkap dalam penelitian ini. Studi

keempat, yang dilakukan di Queensland (Australia) melaporkan prevalensi 54% prevalensi

genital pada 41 wanita berusia 18-44 tahun, dua kali lipat prevalensi pada wanita berusia 20-

49 tahun . Prevalensi yang lebih tinggi dalam penelitian di Queensland mungkin karena yang

diperiksa hanya kasus dalam waktu 72 jam dari kejahatan seksual yang disertakan sedangkan

penelitian kami meliputi wanita yang diperiksa sampai 10 hari setelah dugaan penyerangan

seksual. Namun, ini tidak bisa menjadi penjelasan keseluruhan karena hanya 30% peserta studi

kami yang hadir dalam 72 jam mengalami luka kelamin. Faktor lain yang mungkin

menyebabkan tingkat cedera genital yang lebih tinggi dalam studi di Queensland yaitu semua

wanita melaporkan kejahatan seksual mereka ke polisi dibandingkan dengan hanya 69% wanita

dalam penelitian kami. Kami berpendapat bahwa wanita yang melapor ke polisi mungkin

termotivasi untuk melakukannya karena cedera tubuh dan / atau genito-anal. Kami telah

menunjukkan bahwa cedera fisik pada tubuh secara umum dikaitkan dengan peningkatan risiko

cedera kelamin. Namun satu penelitian di AS menentukan bahwa cedera tubuh secara umum

bukanlah pendorong bagi wanita untuk melaporkan ke polisi. Apakah ini berlaku untuk kasus

di Australia masih belum dapat diketahui.

Temuan yang menarik adalah bahwa walaupun jumlah penyerang dengan kontak seksual tidak

dikaitkan dengan peningkatan cedera genital dan / atau anal, jumlah jenis penetran yang

berbeda meningkatkan frekuensi cedera genito-anal. Kami dapat mempelajari cedera anal pada

463 wanita yang kami anggap berisiko mengalami cedera ini. Kami menetapkan bahwa 27%

wanita melaporkan penetrasi anal yang lengkap dan 9% wanita yang melakukan percobaan

penetrasi anal menderita luka anal yang terlihat. Setengah wanita yang diperiksa karena cedera

anal tidak memiliki ingatan yang jelas tentang jenis kejahatan dan 6% wanita ini menderita

26

luka anal. Sayangnya, perbandingan langsung temuan kami dengan penelitian lain sulit

dilakukan karena data yang dipublikasikan yang menunjukkan adanya luka anal setelah

penetrasi anal jarang terjadi. Hal ini karena kebanyakan penelitian hanya menyajikan temuan

secara luas sebagai cedera genito-anal setelah penetrasi anal (dan / atau vagina). Meskipun ada

dua penelitian yang melaporkan prevalensi cedera anal pada 8- 11%, ini terjadi pada semua

kasus kekerasan seksual yang diperiksa terlepas dari status penetrasi anal .

Sebuah studi di Swedia menemukan bahwa kemungkinan cedera anal lebih tinggi pada korban

pasangan intim dan kenalan bila dibandingkan dengan korban orang asing. Kami tidak

menemukan tipe penyerang yang terkait dengan cedera anal. Memang, hanya waktu untuk

pemeriksaan, jumlah penetrasi anal (single vs multiple) dan cedera tubuh secara umum terkait

secara independen dengan cedera anal pada wanita yang melaporkan penetrasi anal.

Tabel 4.Rentang frekuensi dan odds untuk cedera anal sesuai karakteristik demografi dan
penyerangan pada wanita yang melaporkan penetrasi anal lengkap (n = 174).

27

4.1. Kelebihan dan Keterbatasan

Penelitian ini memiliki sejumlah kelebihan. Dengan memasukkan sejumlah besar

peserta studi, kami dapat memperkirakan estimasi prevalensi cedera spesifik lokasi

berdasarkan berbagai jenis kejahatan seksual. Ukuran studi yang besar juga memungkinkan

kami untuk menggunakan regresi multivariat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait

secara independen dengan cedera. Selanjutnya, penggunaan protokol standar secara eksklusif

oleh klinisi yang dilatih secara forensik untuk memeriksa semua peserta studi memberikan

kepercayaan pada kualitas data. Ada sejumlah keterbatasan studi. Hasil penelitian tidak

digeneralisasikan untuk semua wanita yang mengikuti kekerasan seksual karena sejumlah

alasan. Pertama, 5% wanita yang merujuk ke SARC tidak menyetujui penggunaan data mereka

untuk penelitian. Kelompok ini mencakup beberapa wanita yang tidak termasuk menderita luka

parah dimana persetujuan tidak dapat diperoleh. Juga 11% dari mereka yang disebutkan dalam

10 hari setelah kejahatan seksual menolak semua pemeriksaan forensik. Kedua, kejahatan

seksual kurang dilaporkan ke polisi dan layanan kesehatan. Meskipun ada bukti bahwa cedera

tidak memotivasi wanita AS untuk melapor ke polisi , ada kemungkinan wanita Australia yang

merujuk SARC mungkin memiliki lebih banyak luka daripada mereka yang tidak dirujuk ke

SARC. Jika demikian, maka frekuensi cedera kita mungkin lebih dari perkiraan tingkat

populasi. Sebagai alternatif, beberapa wanita dengan luka yang mengancam jiwa yang tidak

parah yang diderita dari kejahatan pasangan intim mungkin enggan untuk menghadiri SARC

yang menyebabkan kita meremehkan prevalensi cedera. Wanita dengan luka yang mengancam

jiwa yang dirawat di rumah sakit mungkin tidak diidentifikasi karena telah diserang secara

seksual. Seperti semua penelitian yang meneliti hubungan antara kejahatan seksual dan cedera,

sejarah penyerangan bersifat subyektif dan bergantung pada pasien. Dalam upaya untuk

meminimalkan kesalahan, kami mengecualikan wanita dengan tuduhan palsu yang salah. Kami

telah mempresentasikan hasil kami sedemikian rupa sehingga menempatkan temuan kami ke

28

dalam konteks dengan riwayat wanita yang dilaporkan sendiri. Hal ini telah dilakukan untuk

memungkinkan dokter yang menghadiri pengadilan untuk menghubungkan temuan kasus

mereka dengan kasus yang memiliki karakteristik serupa.

5. Kesimpulan

Prevalensi cedera kelamin setelah penetrasi vagina non-konsensual serupa dengan

prevalensi cedera anal setelah penetrasi anal non-konsensual. Kecelakaan genital dan anal

keduanya ditemukan pada wanita yang mencurigai adanya kejahatan seksual namun tidak

memiliki ingatan yang jelas terhadap kejadian tersebut. Oleh karena itu kami

merekomendasikan agar wanita ini juga membutuhkan penyediaan layanan kesehatan dan

forensik. Sementara lebih dari setengah wanita tanpa hubungan seksual sebelumnya

mengalami luka kelamin setelah penetrasi vagina selama kejahatan seksual. Seperti semua

penelitian yang dipublikasikan sebelumnya di daerah ini, sejumlah besar wanita yang

melaporkan kejahatan seksual tidak memiliki luka genito-anal dan tidak adanya bukti genito-

anal tidak menyingkirkan adanya kejahatan seksual.

29

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

3.1.1. Kejahatan Seksual

Kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku
yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Seksual adalah berkenaan dengan seks (jenis kelamin)
dan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Jadi, kejahatan seksual adalah
perilaku yang bertentangan dengan hukum-hukum yang mengatur mengenai seksualitas.1
3.1.2. Persetubuhan

Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetasi penis ke dalam vagina,
penetrasi tersebut dapat dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa diesertai
ejakulasi.2

3.2. Klasifikasi
Kejahatan seksual dikategorikan menjadi:
a. Perkosaan

Umumnya negara negara maju mendefinisikan perkosaan sebagai perbuatan


bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan (force), menciptakan ketakutan
(fear) atau dengan cara memperdaya (fraud). Bersenggama dengan wanita idiot atau embecil
juga termasuk perkosaan (statutory rape) tidak mempersoalkan apakah wanita tersebut
menyetujui atau menolak ajakan bersenggama sebab dengan kondisi mental seperti itu tidak
mungkin yang bersangkutan mampu (berkompeten) memberikan konsen yang dapat
dipertanggungjawabkan secara yuridis.

Di negara bagian Florida, pelaku perkosaan tidak hanya dibatasi pada kaum laki laki
saja. Hukum di sana memungkinkan kaum perempuan melakukan perkosaan terhadap laki
laki, sebab prinsip yang dianut di sana adalah bahwa perkosaan sebagai male crime dan female
crime. Beberapa negara bagian lainnya bahkan menetapkan pekosaan sebagai tindakan pidana
yang yang tidak hanya dapat dilakukan terhadap wanita yang bukan isterinya (extra-marital
crime) saja, tetapi juga terhadap isterinya sendiri (intra-marital crime). Agaknya ikatan

30

perkawinan tidak secara otomatis dianggap sebagai bentuk konsen bagi suami untuk
melakukan senggama dengan isterinya sendiri.

Sedangkan di Indonesia, pengertian perkosaan dapat dilihat pada pasal 285 KUHP.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut perkosaan di sini digolongkan sebagai tindak pidana yang
hanya dapat dilakukan oleh laki laki (male crime) terhadap wanita yang bukan isterinya
(extra-marital crime) dan persetubuhannyapun harus bersifat intravaginal coitus. Persetubuhan
oral atau anal yang dilakukan dengan kekerasan tidak dapat diklasifikasikan sebagai perkosaan,
melainkan perbuatan menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal 289 KUHP).

Jadi tindak pidana perkosaan di Indonesia harus memenuhi unsur unsur sebagai berikut:

1. Unsur pelaku, yaitu:


a. Harus orang laki laki
b. Mampu melakukan persetubuhan
2. Unsur korban:
a. Harus orang perempuan
b. Bukan isteri dari pelaku
3. Unsur perbuatan, terdiri atas:
a. Persetubuhan dengan paksa (against her will)
b. Pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik atau
ancaman kekerasan
Karena hanya laki laki saja yang dapat menjadi pelakunya menunjukkan bahwa
kebijakan kriminal yang dianut di sini tentang perkosaan adalah sebagai male crime. Kebijakan
kriminal seperti itu nampaknya disebabkan karena pembuat undang undang masih
menggunakan atau setidak tidaknya masih dipengaruhi oleh konsep perkosaan sebagai
offence against property, di mana kaum perempuan masih ditempatkan sebagai subjek
kepemilikan, yaitu oleh orang tuanya bagi wanita yang belum menikah atau suaminya bagi
yang sudah bersuami.

Di beberapa negara maju konsep perkosaan sudah mengalami perubahan, yaitu sebagai
sexual offence, sehingga kaum wanita dimungkinkan melakukan perkosaan. Bahkan
kecenderungannya sekarang, perkosaan dianggap sebagai physical assault dengan tetap
memperhintungkan dampak trauma psikik yang dialami korban.

Kendati konsep yang dianut di sini masih dipengaruhi oleh konsep offence against
property namun sebenarnya ditinjau dari sudut biologik sangan relevan sebab laki laki hanya

31

dapat melakukan persetubuhan dalam keadaan aktif sedangkan wanita dapat disetubuhi dalam
keadaan aktif maupun pasif. Jika seandainya wanita menjadi pelaku perkosaan dan laki laki
menjadi korbannya maka persetubuhan yang menjadi salah satu unsur dari perkosaan
diragukan dapat terjadi karena dalam keadaan sedang mengalami tekanan jiwa karena dipaksa,
diragukan dapat mengalami respon seksual (ereksi) yang merupakan syarat terjadinya penetrasi
penis.

Perkosaan di sini juga tidak mungkin dilakukan terhadap istrinya sendiri sebab ikatan
perkawinan dianggap sebagai suatu persetujuan bagi laki laki untuk melakukan senggama
dengan wanita yang dinikahi. Dengan kata lain, kebijakan kriminal yang dianut disini adalah
sebagai extra marital crime.3

b. Persetubuhan di luar perkawinan

Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia di atas 15 tahun tidak
dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya.

Untuk perbuatan yang terakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara
(pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau sepatutnya
dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin maka pelakunya dapat
diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.

Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya (pasal 287 KUHP)
. Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun maka untuk penuntutan tidak diperlukan adanya
pengaduan.4

c. Perzinahan

Perzinahan adalah persetubuhan antara pria dan wanita diluar perkawinan, dimana salah
satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Khusus untuk delik ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tadi yang
diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini
diancam dengan hukuman pen]ara selama maksimal 9 bulan.4

d. Perbuatan cabul

32

Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia diancam dengan hukuman
penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP).

Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul ini
dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya. berumur dibawah 15 tahun atau
belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP). Perbuatan cabul yang
dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesama jenis diancam hukuman penjara
maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP).

Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum dewasa diancam
dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP) .

Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak yang belum
dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam dengan hukuman
penjara maksimal 7 tahun.

Hukuman yang sama juga diberikan pada pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul
dengan bawahan atau orang yang penjagaannya dipercayakan kepadanya, pengurus, dokter,
guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat peker]aan negara, tempat
pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya (pasal 294 KUHP).

Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi penghubung bagi
perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam dengan hukuman penjara
maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).

Jika perbuatan ini dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan maka ancaman hukumannya
satu tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000,-4

3.3. Aspek Medikolegal

3.3.1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

33

Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-


undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV KUHP, yaitu bab tentang
kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik persetubuhan di dalam perkawinan maupun
persetubuhan di luar perkawinan.

KUHP pasal 284

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a. Seorang pria telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui,
bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
b. Seorang wanita telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui, bahwa pasal
27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku baginya.
2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui, bahwa
yang turut bersalah telah kawin.
b. Seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu padal diketahui
olehnya, bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW (Burgerly Wetboek)
berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum
dimulai.

(5) Jika bagi suami istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan ini tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum keputusan yang menyatakan
pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

BW pasal 27

Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan
sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.

34

KUHP Pasal 285


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
KUHP Pasal 286
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
KUHP Pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
KUHP pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294

KUHP pasal 288

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
KUHP pasal 289

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana pejara paling lama sembilan tahun.

KUHP pasal 290

Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:

35

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang padahal diketahui, bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
(2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
(3) Barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
KUHP pasal 292

Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.

KUHP pasal 293

(1) Barang siapa dengan member atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan menyesatkan sengaja
menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkahlakunya, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang
belum cukup umurnya itudiketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan
pidana penjara lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakuan atas pngaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan
dan 12 bulan.
KUHP pasal 294

Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang
belum cukup umur pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya,
diancam dengan pidana penjarapaling lama tujuh tahun:

(1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya:

36

(2) Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit
ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.
KUHP pasal 295

Diancam:

(1) Dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya,
anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh orang
yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, atau pun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang
lain;
(2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut ke-1 di atas yang
dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus diduga
demikian, dengan orang lain.

Jika yang bersalah, melakukan keahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka
pidana dapat ditambah sepertiga.

KUHP pasal 296

Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang
lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, atau denda paling banyak.5

3.3.2. Undang-undang Perkawinan

Pasal 3 UU no. 1 /1974 tentang Perkawinan

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dpat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

37

Pasal 7 UU no. 1 / 1974 tentang Perkawinan

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapau umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua piak pria maupun piak
wanita.4

3.3.3. Undang-undang Perlindungan Anak


UU NO 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
1) Pasal 81
Dengan kekerasan atau ancaman memaksa anak (belum18 tahun) bersetubuh dengannya
atau dengan orang lain dikenai pidana penjara paling lama lima belas tahun atau pidana
denda sebesar paling banyak tiga ratus juta rupiah.
2) Pasal 82
Dengan kekerasan atau ancaman, tipuan, kebohongan, bujukan terhadap anak (belum 18
tahun) berbuat cabul dengannya atau dengan orang lain dikenai pidana penjara paling lama
lima belas tahun atau pidana sebesar paling banyak tiga ratus juta rupiah.4

3.4. Peran Dokter

a. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan


Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat
kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya pancaran air
mani. Pemeriksaan dipengaruhi oleh : besarnya zakar dengan ketegangannya, seberapa jauh
zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan.
Adanya robekan pada selaput dara hanya menunjukkan adanya benda padat/kenyal yang
masuk (bukan merupakan tanda pasti persetubuhan). Jika zakar masuk seluruhnya & keadaan
selaput dara masih cukup baik, pada pemeriksaan diharapkan adanya robekan pada selaput
dara. Jika elastis, tentu tidak akan ada robekan.
Adanya pancaran air mani (ejakulasi) di dalam vagina merupakan tanda pasti adanya
persetubuhan. Pada orang mandul, jumlah spermanya sedikit sekali (aspermia), sehingga
pemeriksaan ditujukan adanya zat-zat tertentu dalam air mani seperti asam fosfatase, spermin
dan kholin. Namun nilai persetubuhan lebih rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif
yang mutlak atau tidak khas.

38

1) Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4-5 jam setelah
persetubuhan.
2) Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak bergerak) sampai
sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan, sedangkan pada orang mati sperma masih dapat
ditemukan dalam vagina paling lama 7-8 hari setelah persetubuhan.
3) Pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar setiap ejakulasi sebanyak 2-5 ml, yang
mengandung sekitar 60 juta sperma setiap mililiter dan 90% bergerak (motile)
4) Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP, misalnya pada sprei atau
kain maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet dan akan terlihat
berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke laboratorium.
5) Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar harus diperiksa, yaitu
untuk mencari sel epitel vagina yang melekat pada zakar. Ini dikerjakan dengan
menempelkan gelas objek pada gland penis (tepatnya sekeliling korona glandis) dan segera
dikirim untuk mikroskopis.
6) Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah robekan tersebut masih
terlihat darah atau hiperemi/kemerahan. Letak robekan selaput dara pada persetubuhan
umumnya di bagian belakang (comisura posterior), letak robekan dinyatakan sesuai
menurut angka pada jam. Robekan lama diketahui jika robekan tersebut sampai ke dasar
(insertio) dari selaput dara.
7) VeR yang baik harus mencakup keempat hal tersebut di atas (fungsi penyelidikan), dengan
disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan. hal ini dapat diketahui dari keadaan
sperma serta dari keadaan normal luka (penyembuhan luka) pada selaput dara, yang pada
keadaan normal akan sembuh dalam 7-10 hari.
b. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari penampang
benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Tindakan
membius juga termasuk kekerasan, maka perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat obat
bius/racun pada korban.
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti tidak ada
kekerasan. Faktor waktu sangat berperan. Dengan berlalunya waktu, luka dapat sembuh atau
tidak ditemukan, racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh. faktor waktu penting dalam
menemukan sperma.
c. Memperkirakan umur

39

1. Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti yang
dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang tidak mungkin dapat dilakukan
(kecuali didapatkan informasi dari akte keahiran). Dengan teknologi kedokteran yang
canggih pun maksimal hanya sampai pada perkiraan umur saja.

2. Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan yang meliputi
pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari
tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan radiologi lainnya.

3. Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan bentuk
badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan perkembangan payudara dan
pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham
belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan
molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah
korban sudah pernah menstruasi bila umur korban tidak diketahui.

4. Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal 287 KUHP untuk
menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.

d. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin


Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan keturunan, pengertian
pantas/tidaknya buat kawin tergantung dari: apakah korban telah siap dibuahi yang artinya
telah menstruasi, namun untuk bukti hal ini korban perlu diisolir untuk waktu cukup lama. Bila
dilihat Undang-Undang Perkawinan, yaitu pada Bab II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi :
perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16
tahun.3,6

3.5. Pemeriksaan

Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk:

a. menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya.


b. menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
c. menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat perkembangan
seksual

40

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban kekerasan seksual:
a. Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan menunggu terlalu
lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang
terdapat di tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya
trauma psikis yang lebih berat.
b. Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis kelaminnya
dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa
malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel.
Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan
palsu bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.
c. Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh bagian
tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
d. Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.7

Langkah-langkah pemeriksaan adalah sebagai berikut:


3.5.1. Wawancara Forensik
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang
mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat
pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat
dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis
umum mencakup, antara lain:
1) Umur atau tanggal lahir,
2) Status pernikahan,
3) Riwayat paritas dan/atau abortus,
4) Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),
5) Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya),
6) Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan


seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:
1) What & How:
- jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),
- adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,
41

- adanya upaya perlawanan,


- apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,
- adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah
kejadian,
- adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),
- apakah ada nyeri di daerah kemaluan,
- apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,
- adanya perdarahan dari daerah kemaluan,
- adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,
- penggunaan kondom, dan
- tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah buang air,
tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.
2) When:
- tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
- apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
3) Where:
- tempat kejadian, dan
- jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian
yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
4) Who:
- apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak, jumlah pelaku,
- usia pelaku, dan
- hubungan antara pelaku dengan korban7

3.5.2. Pemeriksaan Medis


Pemeriksaan Pada Korban
A. Pemeriksaan Pakaian
Pemeriksaan pakaian dilakukan untuk menemukan adanya rambut, serat, dan cairan
tubuh yang merupakan salah satu sumber yang paling penting dalam pembuktian kasus
perkosaan. Menanggalkan pakaian harus dilakukan di atas selembar kain bersih dan putih. Jika
pasien tidak bisa menanggalkan pakaian, pakaian dapat dipotong namun jangan sampai
memotong robekan atau noda. Lakukan dengan hati-hati pada tiap item dan mengenakan
sarung tangan. Pakaian harus dikemas secara terpisah dalam sebuah kantong kertas kecil.
Pakaian lainnya mungkin dikemas bersama-sama dalam sebuah kantong kertas. Setiap pakaian

42

dengan noda basah, seperti darah atau air mani, harus dibiarkan kering, dilipat ke dalam dan
kemudian ditempatkan ke dalam tas plastik. Jika masih basah, tempat dalam kantong plastik
terbuka, kemudian masukkan ke dalam kantong kertas.
B. Pemeriksaan Fisik Umum
1. Perlengkapan :
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksa harus melengkapi perlengkapan
pemeriksaan forensiknya. Tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah harus diukur.
Perlengkapannya yaitu:
1) Sexual offences examination kit
2) Kertas bersih
3) Sumber cahaya
4) Hanschoen
5) Spekulum sesuai ukuran
6) KY jelly
7) Pengukur tinggi badan, berat badan dan tekanan darah

2. Penilaian Pada Trauma Fisik Non-Genital


Penilaian tanda-tanda trauma fisik non-genital sangat penting karena hal ini terjadi
pada 25-45 % korban. Pemeriksa harus mencari tanda-tanda berupa:
1) Laserasi
2) Memar
3) Abrasi
4) Bite marks
5) Tendangan
6) Hand tie marks
7) Tape marks
8) Cekikan
9) Serta mencari sisa darah, saliva maupun semen dari pelaku.

43

Defensive laceration8

Tanda lecet & Perdarahan Palatum8

a. Kavum Oral
Pemeriksaan pada kavum oral harus dilakukan secara hati-hati pengambilan swab pada
daerah gigi apabila terjadi ejakulasi di mulut yang belum lama terjadi. Harus diingat bahwa
saliva dapat menjadi sampel forensik yang baik untuk menemukan adanya semen di mulut.
Swab basah digosokkan pada bibir untuk mendapatkan kemungkinan adanya sel pelaku.
b. Rambut Kepala dan Rambut Pubis
Adanya kecurigaan semen pada rambut kepala atau rambut pubis harus dilakukan
pengambilan swab, memotong rambut yang dicurigai, dan menjadikannya sebagai sampel
forensik. Sampel yang dapat diambil dari rambut kepala dan rambut pubis adalah berupa
semen, serat-serat, benda-benda asing lainnya, rambut yang terlepas. Serta kita juga memotong
rambut kepala dan rambut pubis sebagai sampel kontrol.
c. Kuku Jari

44

Benda asing pada kuku, mungkin merupakan sel kulit dari pelaku, maka perlu
dilakukan pengambilan sampel di bawah kuku. Pengambilan sampel dengan memotong kuku
adalah yang paling baik, namun hal ini tidak sesuai dengan pasien maka dilakukan
pengambilan swab.

3. Pemeriksaan Fisik Genital


Pemeriksaan genital setelah pemeriksaan umum. Beritahukan kepada pasien bahwa
pemeriksaannya terasa kurang nyaman dan dia dapat menghentikannya kapan saja jika dia mau.
Genitalia eksternal dan internal diperiksa dengan menggunakan cahaya yang adekuat.
Fourchette posterior, fossa navicularis, labia minora dan hymen adalah daerah yang dicurigai
mengalami luka. Sekitar 25 % korban perkosaan mengalami trauma genital. Kebanyakan
merupakan trauma kecil namun bisa saja traumanya besar yang harus mendapatkan tindakan
medis.

Posisi pemeriksaan:

FrogLeg FrogLeg&dipangku ProneKneeChest

Posisi pemeriksaan9

45

Area genitalia wanita.8


a. Pemeriksaan vagina
Pemeriksaan vagiana, jika diperlukan, menggunakan sebuah spekulum untuk mencari
pendarahan vagina atau serviks, laserasi atau adanya benda asing. Benda asing berupa
tampon harus dikeluarkan yang kemudian dilakukan analisis forensik. Dilakukan
pengambilan swab untuk dilakukan pemeriksaan forensik.8

Langkah-langkah pemeriksaan daerah anogenital

1. Inspeksi genitalia eksterna dimulai dari mons pubis, perhatikan labia mayora, labia
minora, kelentit, selaput dara, robekan selaput dara, fourchette posterior, dan perineum.

Pemeriksaan Hymen8

46

2. Swab genitalia eksterna harus diambil sebelum dilakukan pemeriksaan dalam. Jika
terdapat darah, lakukan swab pada darah untuk mengetahui darimana darah tersebut
berasal.

Pengambilan Vaginal Swab8


3. Lakukan pemeriksaan dalam dengan spekulum. Lihat kondisi dinding vagina, adanya
benda asing, perdarahan, nyeri saat pemeriksaan dalam mengindikasikan adanya
kejahatan seksual yang dialami pasien. Bila kejahatan itu dilakukan dalam rentang waktu
24-96 jam, perlu diambil swab endoservikal (memeriksa adanya semen)
4. Untuk pemeriksaan regio anal, pasien diminta untuk tiduran menghadap kekiri (left
lateral position) bila mampu (bila tidak, pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien
litotomi). Dokter kemudian mengangkat kaki kanan pasien untuk melihat apakah ada
kelainan pada bagian bokong pasien, seperti apakah ditemukan adanya abrasi, laserasi
atau memar akibat kejahatan. Prosedur ini dilakukan sambil menutup vulva dan paha
pasien dengan sehelai kain. Pasien diperbolehkan untuk melakukan pengangkatan kaki
apabila mampu. Pada pasien yang sering mendapatkan penetrasi anal, dapat ditemukan
dubur yang berbentuk corong.
5. Proktoskopi dilakukan apabila ditemukan ada darah yang keluar dari anal, nyeri hebat
pasca serangan atau dicurigai adanya benda asing di dalam kanal anal.

Terdapat beberapa variasi normal dari selaput dara. Untuk dapat mengetahui cedera atau
kelainan pada selaput dara, harus dibedakan dengan yang normal. Berikut variasi normal dari
selaput dara.3,6

47

variasi normal hymen9

48

Hymen yang mengalami robekan.9

variasi robekan Hymen10


b. Pemeriksaan Anus
Inspeksi ada tidaknya robekan, pendarahan dan abrasi pada anus harus dilakukan.
Biasanya korban susah mengatakan adanya penetrasi anal yang terjadi padanya. Pemeriksaan

49

ini meggunakan protoskop untuk memeriksa kanalis anal bagian bawah yang ada dicurigai.
Pengambilan swab diambil dari anus dan rektal.8
c. Pemeriksaan Pelvis
Penting untung mempertimbangkan melakukan pemeriksaan perlvis bimanual jika ada
trauma internal seperti robekan ligamen, yang dapat terjadi tanpa ada pendarahan vagina dan
rasa tidak nyaman pada vagina pada jam-jam awal setelah kejadian.8

3.5.3. Pemeriksaan Laboratorium


1. Menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan: cairan vagina
Tanpa pewarnaan : satu tetes cairan vaginal ditaruh pada gelas objek dan kemudian ditutup,
pemeriksaan di bawah mikroskop dengan pembesaran 500 kali, Hasil pemeriksaan yang
diharapkan : sperma yang masih bergerak.
Dengan pewarnaan, dengan Malachite-green :
Metode : buat sediaan apus dari cairan vaginal pada gelas objek, keringkan di udara, fiksasi
dengan api, warnai dengan Malachite-green 1 % dalam air, tunggu 10 15 menit, cuci
dengan air, warnai dengan eosin-yellowish 1% dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air,
keringkan dan diperiksa di bawah mikroskop.
Hasil yang diharapkan : bagian basis kepala sperma berwarna ungu, bagian hidung merah
muda.

2. Menentukan adanya sperma pada pakaian:


Bahan pemeriksaan : pakaian
Metode :
a. Pakaian yang mengandung bercak diambil sedikit pada bagian tengahnya (konsentrasi
sperma terutama di bagian tengah)
b. Warnai dengan pewarnaan Baeechi selama 2 menit
c. Cici dengan HCl 1 %
d. Dehidrasi dengan alkohol 70 %, 85 %, dan alkohol absolut
e. Bersihkan dengan xylol,
f. Keringkan dan letakkan pada kertas saring,
g. Dengan jarum, pakaian yang mengandung bercak diambill benngnya 1-2 helai, kemudian
diurai sampai menjadi serabut-serabut pada gelas objek,

50

h. Teteskan canada balsem, tutup dengan gelas penutup lihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran 500 kali.
Hasil diharapkan : kepala sperma berwarna merah, bagian ekor berwarna biru muda, kepala
sperma tampak menempel pada serabut-serabut benang.
Pembuatan pewarnaan Baeechi :
Acid-fuchsin 1% (1 tetes atau 1 ml)
Methylene-blue 1% (1 tetes atau 1 ml)
HCl 1 % ( 40 tetes atau 40 ml).

3. Menentukan adanya air mani (asam fosfatase)


Bahan pemeriksaan : cairan vaginal
Metode :
cairan vaginal ditaruh pada kertas Whatman, diamkan sampai kering
perhatikan warna ungu yang timbul dan catat dalam berapa detik warna ungu tersebut
timbul.
Hasil yang diharapkan : warna ungu timbul dalam waktu kurang dari 30 detik, berarti asam
fosfatase berasal dari prostat, berarti indikasi besar; warna ungu timbul kurang dari 65 detik,
indikasi sedang.
Pembuatan reagensia :
Bahan- bahan yang dibutuhkan :
1) Sodium klorida 23 gram
2) Glacial acetic acid ml
3) Sodium acetate trihydrate 2 gram
4) Brentaminefast blue B 50 mg
5) Sodium alpha naphtyl phospate 50 mg
6) Aquades 90 ml
7) Kertas Whatman no. 1 serta penyemprot (spray)
Bahan no. 1,2 dan 3 dilarutkan dalam aquadest menjadi larutan buffer dengan pH
sekitar 5. Bahan no. 4 dilarutkan dengan sedikit larutan buffer kemudian bahan no. 5 dilarutkan
dalam sisa buffer.Selanjutnya bahan no. 4 yang sudah dilarutkan tersebut dimasukkan ke dalam
larutan Sodium alpha naphtyl phospate dan dengan cepat disaring dan dimasukkan ke dalam
botol yang gelap (reagensia ini bila disimpan dalam lemari es dapat tahan beberapa minggu).
Adapun dasar reaksi ini adalah: asam fosfatase akan menhidrolisis alpha naphtyl phospate dan

51

alpha naphtanol yang dibebaskan akan bereaksi dengan Brentamine dan membentuk warna
ungu.

4. Menentukan adanya kuman N. gonorhea (GO)


Bahan pemeriksaan : sekret uretra dan sekret serviks uteri.
Metode : pewarnaan gram
Hasil diharapkan : kuman N. gonorrhea

5. Menentukan adanya racun (toksikologi)


Bahan pemeriksaan: darah dan urine
Metode:
TLC
Mikrodiffusi dan sebagainya
Hasil yang diharapkan : adanya obat untuk menurunkan atau menghilangkan kesadaran

6. Menentukan golongan darah


Bahan pemeriksaan: cairan vaginal yang berisi air mani dan darah.
Metode:
Serologi (ABO grouping test)
Hasil yang diharapkan : golongan darah dari air mani berbeda dengan golongan darah dari
korban.
Pemeriksaan ini hanya dapat dikerjakan bila tersangka pelaku kejahatan golongan
sekretor.8

3.5.4. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara


Bila menghadapi kasus yang berkaitan dengan kejahatan seksual yang diikuti dengan
panganiayaan atau pembunuhan, pemeriksaan ditujukan untuk mencari bercak air mani yang
tertinggal di TKP:
Secara visual bercak air mani pada pakaian berwarna abu-abu atau kekuningan, bila
pakaian atau bahan tersebut berwarna gelap, bercak berwarna putih mengkilat,
Air mani mempunyai bau yang khas bila masih baru (basah)
Bercak air mani yang telah kering bila diraba dengan dua jari, akan member kesan seperti
meraba pakaian yang diberi tajin,

52

Dengan menyinari ruangan atau tempat di mana terjadinya peristiwa kejahatan dengan sinar
UV, Bercak air mani yang sulit dilihat bila hanya dengan mata telanjang, akan tampak
sebagai daerah bercak-bercak yang berfluoresensi putih.
Air mani merupakan elemen yang vital pada kasus perkosaan. Pada beberapa
keadaan dapat juga ditemukan darahnya. Untuk pengamanan elemen vital ini hendaklah
diambil beberapa langkah berhati-hati seperti berikut;
Pakaian dianginkan di udara dan jangan dipanaskan,
Pada bercak yang kering, bercak ditutup dengan kertas bersih,
Jangan melipat atau menggunting pada daerah yang bercak,
Catat keadaan bercak (basah atau kering) sewaktu ditemukan.8

53

BAB IV

JURNAL PEMBANDING

4.1 Jurnal Pembanding Pertama11

4.2 Jurnal Pembanding Kedua12

54

4.3 Perbedaan dan Persamaan Jurnal Pembanding


Jurnal pembanding Perbedaan Persamaan

Prevalence of physical - dilakukan di Departemen - Studi Cross-Sectional


and genital injuries in Forensik Kedokteran dan - Membahas kasus kekerasan
female victim of rape: A Toksikologi, SP Medical seksual
Three College, Bikaner - Pemeriksaan makroskopik
- Membahas tentang : Prevalensi
Year Institution Based
luka fisik dan genital pada
Cross-Sectional Study
korban pemerkosaan

Patterned genital injury - Studi Case-control - Membahas kasus kekerasan


in cases of rape e A - dilakukan di Southern seksual
caseecontrol study Denmark Sexual Assault - menggambarkan frekuensi
Referral Centre (SDSARC) cedera genital
- Metode : inspeksi, kolposkopi,
toluene blue
- Membahas tentang :
membandingkan lesi genital
yang terjadi pada kelompok
kontrol (hubungan seksual
konsensual) dengan kelompok
kasus (hubungan seksual non
konsensual)

55

OPINI

Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan pada jurnal ini. Kelebihannya adalah
sampel yang digunakan banyak, dapat dianalisis secara statistik, dan disertai data demografi.

Kekurangan pada jurnal ini yaitu hanya menjelaskan temuan temuan pemeriksaan
secara makroskopik saja. Pada jurnal ini tidak menjelaskan bagaimana tipe tipe luka robek
pada selaput dara yang mengalami kejahatan seksual, kurang dilengkapi dengan dokumentasi
luka yang dialami oleh korban, kurang dilengkapi dengan teknik pemeriksaan yang dilakukan
Di jurnal ini juga kurang menjelaskan secara terperinci tentang tanda tanda kekerasan fisik
yang berada di luar daerah kelamin dan anal.

56

KESIMPULAN

Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang

menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu

Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut

memang telah terjadi.

Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh undang-undang

, tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang Kejahatan Terhadap

Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun di luar

perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta

persetubuhan tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Homoseksual juga termasuk bentuk

kejahatan seksual bila dilakukan pada orang dengan jenis kelamin sama namun belum dewasa

seperti yang tertera dalam pasal 292 KUHP.

Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual

sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya

tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah

pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.

Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung adanya


persetubuhan.

57

DAFTAR PUSTAKA

1. Abraham S, Arif Rahman S, Bambang PN, Gatot S, Hadi Bin Salim, Intarniati, dkk.
2012. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang.

2. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p:
221-7.

3. Budiyanto, A; Widiatmaka, W; Sudiono, S;Munim TWA; Sidhi; Hertian, S; et al.1997.


Ilmu Kedokteran Forensik. Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi 1(2).

4. Bagian Forensik Universitas Indonesia. Peraturan Perundang-undangan Bidang


Kedokteran Cetakan Kedua. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia.
Jakarta:1994.

5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia.

6. Dahlan, Sofwan. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik. Badan Penerbit Universitas


Diponegoro. Semarang. Cetakan V.

7. Dianita P.I. Pemeriksaan dan penatalaksanaan korban (P3K) kekerasan seksual.


Departemen Ilmu Kedokteran/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta 2012:579-
83.

8. McBride M. et al. Rape/Sexual Asault : National Guidelines on Referral and Forensic


Clinical Examination in Ireland. Ireland. 2009.p40-53.

9. McClain et al, J Pediatr Health Care. Department of Pediatrics. Evaluation of Sexual


Abuse in the Pediatric Patient .2000.vol-14,pg.93-102.
10. David L. Sexual Abuse, Child. JAMA Network Journal. America2013.
11. Kumar S, Singh R, et al. Prevalence of Physical and Genital Injuries In Female of Rpe:
A Three Year Institution Based Cross Sectional Study. JMSCR Vol.05, Issue 04. April
2017. p20076-20079.
12. Astrup B, Ravn P, et al. Short Report: Patterned Genital Injury In Cases of Rape A
Case Control Study.Journal of forensic and Legal Medicine 20. 2013.p525-529.

58

Вам также может понравиться