Вы находитесь на странице: 1из 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegiatan produksi merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang sangat

penting. Kegiatan produksi memiliki peran sebagai salah satu bagian dari usaha

untuk menyediakan barang dan jasa sebagai pemuas kebutuhan manusia. Dalam

implementasinya, kegiatan produksi berusaha mengombinasikan input-input yang

ada untuk menghasilkan output barang dan jasa. Secara rasional, perusahaan akan

berproduksi dengan biaya minimum untuk menghasilkan output tertentu atau akan

berproduksi dengan biaya tertentu untuk menghasilkan output yang maksimum.

Kombinasi input yang dipilih oleh perusahaan dalam menghasilkan output pada

dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah harga dan

ketersediaan faktor produksi, selera konsumen, politik, sarana prasarana dan lain

sebagainya.
Pemilihan faktor-faktor produksi sebagai input produksi berimplikasi pada

hasil atau output barang dan jasa. Perusahaan seringkali berusaha mencari faktor-

faktor produksi yang murah namun optimum nilainya sehingga mengharapkan

output yang diproduksi akan optimum dengan biaya yang minim. Faktor produksi

pada umumnya terdiri dari faktor tenaga kerja, faktor modal dan teknologi. Faktor

modal dan teknologi pada umumnya sifatnya kurang begitu fleksibel untuk

disesuaikan dengan cepat dibandingkan dengan faktor tenaga kerja. Oleh karena

itu, kebijakan perusahaan yang bersifat jangka pendek seringkali ditujukan pada

faktor tenaga kerja seperti upah kerja, jumlah pekerja dan jam kerja.
Pengusaha dan tenaga kerja pada umumnya memiliki tujuan yang sama

yaitu saling memaksimalkan keuntungan. Pengusaha ingin mendapatkan profit

yang besar dengan biaya yang murah dan sebaliknya tenaga kerja ingin

mendapatkan upah yang tinggi terlepas dari seberapa besar produktivitasnya.

Masalah hubungan industrial tersebut sudah lama menjadi masalah yang cukup

pelik dan berkepanjangan. Permasalahan tersebut menunjukkan ketidakserasian

hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. Permasalahan tersebut sebagian

besar disebabkan oleh ketidakpuasan pekerja terhadap sistem pengupahan yang

ada (Tjiptoherijanto, 1993). Pengusaha dan pekerja memiliki keinginan berbeda

yaitu pengusaha ingin memaksimumkan laba dan returns bagi pemegang saham

dan sebaliknya pekerja sangat berkepentingan terhadap tingkat upah mereka.

Perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja sering menimbulkan

konflik kepentingan. Konflik tersebut biasanya terkait dengan nilai upah yang

diberikan kepada pengusaha. Apabila mengikuti berita yang berkembang di

masyarakat, seringkali di Indonesia terjadi demo buruh terutama saat May Day

(Hari Buruh). Demo buruh seringkali dilakukan oleh pekerja industri yang bersifat

padat karya. Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2015 tentang

pengupahan adalah acuan dasar dari penetapan upah minimum yang seharusnya

menjadi payung hukum utama dan kunci untuk memberikan kepastian

pengupahan.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan bahwa

masalah kepastian pengupahan menjadi masalah nomor satu yang harus segera

diselesaikan di sektor padat karya, utamanya sektor tekstil dan sepatu. Dari data
yang direkapitulasi oleh Desk Khusus Investasi Tekstil dan Sepatu (DKI-TS)

berdasarkan kategori permasalahan tercatat persoalan kenaikan upah dan

produktivitas tenaga kerja mendominasi dengan persentase tertinggi mencapai

30%. Kemudian, diikuti oleh permasalahan listrik 14% perusahaan, perizinan 8%,

restitusi PPN dan biaya PPN 6%, dan fluktuasi nilai tukar rupiah 6% serta impor

ilegal 4% dan permasalahan lainnya. (BKPM, 2015)

Permasalahan industi padat karya sebenarnya telah menjadi perhatian yang

serius bagi pemerintah. Pemerintah masih berupaya menggodok regulasi tentang

pengupahan dan ditunggu oleh banyak pihak karena merupakan amanat UU No

13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pemerintah menjanjikan formula

pengupahan khusus untuk industri padat karya dengan terobosan sistem

pengupahan baru. Alasan adanya terobosan sistem pengupahan khusus karena

industri padat karya menyerap banyak tenaga kerja, dan pada akhirnya

mengurangi tingkat pengangguran. (HukumOnline, 2015)

Tabel 1.1
Jumlah Tenaga Kerja Industri Tekstil Indonesia periode 2010-2013

Sumber: Kemenperin (2017)

Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa pada sektor industri tekstil yang

notebene merupakan industri padat karya memang terbukti menyerap tenaga kerja
yang besar. Selain itu, industri tekstil juga memiliki trend yang positif dan

menunjukkan adanya pertumbuhan yang cukup signifikan dalam penyerapan

tenaga kerja di sektor indutri tekstil. Data diatas cukup mempertegas bahwa

indonesia masih membutuhkan industri padat karya meski para pekerja tidak

jarang masih memiliki keterampilan yang masih minim dan dengan tingkat upah

yang relative rendah dibanding sejumlah Negara di Asia. Jika industri padat karya

ini direlokasi ke negeri lain akibat tekanan serikat buruh, ledakan pengangguran

takkan terelakkan. Dengan jumlah pengangguran yang masih 7,17 juta dan

pekerja informal di atas 79 juta, Indonesia justru membutuhkan lebih banyak lagi

industri padat karya. (BeritaSatu, 2013)

Pada sisi yang lain, industri yang bersifat padat modal notabene

menggunakan modal dalam jumlah yang besar, baik modal untuk kegiatan

operasional ataupun pengembangan bisnis. Selain itu, pada industri padat modal

menilai teknologi dengan harga yang sangat mahal sehingga tenaga kerja yang

diperlukan pada industri yang bersifat padat modal adalah relatif lebih sedikit

daripada industri padat karya karena tenaga kerja harus memiliki keahlian untuk

mengoperasikan segala teknologi yang ada. Industri padat modal biasanya hanya

dijalankan oleh perusahaan besar saja. Hal ini mengingat modal awal yang

dibutuhkan amat banyak. Industri padat modal cukup berbeda dengan industri

padat karya yang cenderung menitikberatkan pada jumlah besar tenaga kerja

dalam pengoperasian dan pengembangannya. Pada umumnya, industri padat

modal cenderung memberikan upah yang lebih besar dibandingkan dengan


industri padat modal. Dalam penyerapan tenaga kerja, industri padat modal

cenderung dibawah dari penyerapan tenaga kerja oleh industri padat karya.

Tabel 1.2

Jumlah Tenaga Kerja Industri Kilang Minyak Bumi Indonesia periode 2010-

2013

Sumber: Kemenperin

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang diserap oleh

industri yang bersifat padat modal seperti industri kilang minyak bumi relatif

lebih sedikit jika dibandingkan dengan industri padat karya. Situasi tersebut

menunjukkan bahwa industri padat modal memiliki kontribusi yang kecil terhadap

penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Trend menurun atau negatif semakin

memperjelas bahwa industri yang bersifat padat modal cenderung

memaksimalkan kapasitas produksi dengan menyesuaikan lewat barang modal

dan teknologi dibandingkan dengan menambah tenaga kerja. Industri yang

bersifat padat modal memang cenderung hanya membutuhkan tenaga-tenaga ahli

sehingga penyerapan tenaga kerja memang jauh lebih sedikit dibandingkan jenis

industri lainnya.
Penetapan upah pada berbagai industri cenderung berbeda-beda. Upah

pekerja pada industri yang bersifat padat karya seringkali lebih rendah dari tingkat

upah minimum regional (UMR) yang mengakibatkan seringkali pekerja

melakukan aksi unjuk rasa untuk meminta kenaikan upah. Tingkat upah yang

diterima oleh tenaga kerja dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup

pekerja dan keluarganya.

Sebaliknya, pada industri padat modal seringkali memberikan upah diatas

tingkat upah minimum regional (UMR). Pertimbangan tersebut didasari pada

loyalitas, keahlian dan dalam rangka untuk mendapatkan pekerja yang bermutu.

Dengan pemberian upah yang tinggi, diharapkan loyalitas pekerja tetap terjaga

dan produktivitas pekerja tersebut senantiasa meningkat.

Dalam penentuan upah nominal perusahaan, pengusaha dan pekerja

seringkali memiliki pandangan yang berbeda. Pengusaha berpandangan bahwa

syarat penting yang harus dipenuhi oleh pekerja sebagai dasar peningkatan upah

nominal adalah peningkatan produktivitas pekerja. Artinya, kenaikan

produktivitas akan mengakibatkan upah nominal naik. Sebaliknya pekerja

seringkali beranggapan bahwa hanya dengan cara upah nominal yang tinggi maka

pendapatan dan kesejahteraan pekerja dapat dinaikkan sehingga pekerja akan

dapat bekerja dengan lebih baik dan pada akhirnya produktivitas akan meningkat.

Hubungan timbal balik antara upah nominal dan produktivitas pentng

untuk dianalisis sebagai acuan dalam menyusun kebijakan yang menguntungkan

kedua belah pihak antara pengusaha dan pekerja. Hubungan timbal balik tersebut
perlu juga dianalisis masing-masing pada industri yang modal dan industri padat

karya untuk acuan yang tepat dalam merumuskan baik kebijakan upah nominal,

tunjangan, maupun kebijakan-kebijakan lain sesuai dengan jenis industrinya baik

industri padat modal atau industri padat karya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Bagaimana hubungan antara upah nominal dengan produktivitas

pekerja pada industri tekstil?


2. Bagaimana hubungan antara upah nominal dengan produktivitas

pekerja pada industri pengilangan minyak bumi?


3. Bagaimana hubungan antara tunjangan pekerja dengan produktivitas

pekerja pada industri tekstil?


4. Bagaimana hubungan antara tunjangan pekerja dengan produktivitas

pekerja pada indutri pengilangan minyak bumi?


1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang penulis ajukan, maka tujuan dari

penelitian tersebut adalah sebagai berikut:


1. Mengidentifikasi hubungan antara upah nominal dengan produktivitas

pekerja pada industri tekstil


2. Mengidentifikasi hubungan antara upah nominal dengan produktivitas

pekerja pada industri pengilangan minyak bumi


3. Mengidentifikasi hubungan antara tunjangan pekerja dengan

produktivitas pekerja pada industri tekstil


4. Mengidentifikasi hubungan antara tunjangan pekerja dengan

produktivitas pekerja pada industri pengilangan minyak bumi

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan di bidang

ekonomi perencanaan, khususnya mengenai hubungan antara produktivitas

pekerja, tingkat upah nominal dan tunjangan pekerja.

2. Manfaat Kebijakan

Dapat emberikan informasi mengenai hubungan upah dan produktivitas

pada indutri yang padat modal dan padat karya sehingga diharapkan

pemerintah dapat mengambil langkah kebijakan yang tepat sesuai dengan

sifat industri tersebut.

1.5 Sistematika Penulisan Skripsi


Sistematika penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima bab yang saling

berkaitan dengan sistematika sebagai berikut:


BAB 1. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan uraian dan penjelasan mengenai latar belakang

permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang landasan teori yang terkait dengan studi.

Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai penelitian sebelumnya, hipotesis, metode

analisis dan kerangka berpikir.

BAB 3. METODE PENELITIAN


Metode penelitian menjelaskan pendekatan yang dipakai dalam melakukan

penelitian, identifikasi variabel dan definisi operasional variabel. Bab ini juga

memuat jenis dan sumber data, prosedur pengumpulan data, serta teknik analisis.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini memuat gambaran umum, deskripsi variabel penelitian, analisis

model, pembuktian hipotesis, serta pembahasan hasil penelitian.


BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN
Bagian ini merupakan simpulan hasil penelitian yang ditarik oleh penulis

dan saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.

Вам также может понравиться