Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Abses Otak
Pembimbing :
dr.Ashwin Sp.S
Disusun Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Dalam proses
pembuatan dan penulisan laporan ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai
pihak.
Dalam laporan ini tentunya masih terdapat banyak kekurangan baik secara isi maupun
penulisan, oleh karena itu sebelumnya dengan kerendahan hati penulis memohon kritik
beserta saran apabila didalam laporan kasus ini terdapat suatu hal yang kurang tepat.
Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, penulis
mohon maaf apabila ada penulisan kata, gelar, atau istilah yang kurang berkenan. Akhir kata,
terima kasih atas perhatiannya.
1.2 Anamnesa
Keluhan utama : sakit kepala hebat
Keluhan tambahan : keluar cairan melalui telinga
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nn.A mengeluhkan sakit kepala yang hebat, sakit dirasakan sejak beberapa hari yang
lalu, nyeri dirasakan terus-menerus. Sakit kepala dirasakan seperti nyut-nyutan, tidak seperti
berputar. Jika diberikan skala nyeri 1-10 pasien mengatakan skala nya 7. Pasien juga
mengeluhkan badan nya terasa lemas dan nafsu makan menjadi berkurang.
Pasien memiliki riwayat keluarnya cairan dari telinga sejak kecil dan mulai berulang
semenjak 2 minggu belakangan ini disertai dengan nyeri kepala hebat. 2 hari yang lalu keluar
cairan dari telinga kiri lebih banyak disertai sakit kepala hebat. Cairan yang keluar dari
telinga kental , pendengaran dirasakan sedikit menurun dibagian telinga yang mengeluarkan
cairan. Keluhan demam ada dua minggu yang lalu, namun saat ini sudah tidak demam. Pasien
mengeluhkan adanya mual dan muntah. Muntah isi makanan yang dimakan, darah dan lendir
tidak ada. Pasien masih dapat makan secara biasa, buang air besar dan buang air kecil tidak
ada keluhan. Keluhan batuk dan pilek disangkal, gangguan keseimbangan disangkal. Nyeri
telan tidak ada.
Riwayat pengobatan hanya melakukan rontgen mastoid di RS.Islam Pondok Kopi lalu
diberikan metronidazol, ciprofloxacin, omeprazol dan rhinofed sebelum akhirnya dirujuk ke
RS.Persahabatan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat alergi disangkal.
- Riwayat trauma disangkal.
- Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat kebiasaan :
Makan teratur, jarang melakukan olahraga. Pasien jarang membersihkan telinga.
Mata :konjungtiva pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor (+/+), reflek
cahaya langsung dan tidak langsung (+/+),konjungtiva hiperemis (-/-)
Telinga :normotia,bentuk dan ukuran dalam batas normal, benjolan (-/-), sekret (-/+) ,
membran timpani kiri tidak terlihat jelas ,membran timpani kanan tampak
intake.
Hidung :deformitas septum nasi (-/-), mukosa hiperemis (-/-), sekret (-/-), darah (-/-),
benjolan (-/-).
Mulut :bibir kering (-),pucat (-), sianosis (-),lidah kotor (-), atrofi (-), tremor (),faring
hiperemis (-),tonsil T1/T1.
Leher :JVP 5+2 cmH20.Trakea teraba terletak ditengah, deviasi (-),nyeri tekan (-),
thyroid bruit (-); pembesaran kelenjar getah bening (-).
Thorax :
Inspeksi : Bentuk rongga dada normal, simetris saat statis dan dinamis,
retraksi intercostae (-/-)
Palpasi : Taktil fremitus kedua paru simetris, chest expansion simetris,
nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
JANTUNG :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V dua jari di lateral linea
midclavicularis sinistra,kuat angkat (+), thrill (-).
Perkusi :
o Batas jantung kanan : ICS V linea sternalis dextra.
o Batas jantung kiri : ICS V medial linea midclavikularis sinistra.
o Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra.
o Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal reguler, murmur (-), Gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : abdomen datar.
Auskultasi : bising usus (+) 7x/menit.
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : dalam batas normal
Extremitas : superior inferior
ka / ki ka/ ki
Edem (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Pucat (-/-) (-/-)
Ikterik (-/-) (-/-)
Capillary refil time <2 detik <2 detik
a. Rangsang Meningeal :
b. Nervus Cranialis :
E. pemeriksaan motorik
5555 5555
5555 5555
KOAGULASI 02/11/2016
PT (protrombin time)
Kontrol 10.9 detik
APTT
Kontrol 34.2 detik
Hemostasis
Tes HIV
Kimia klinik
Ureum 19 18 45mg/dl
Elektrolit
kesan :
Kesan :
CT Scan + Kontras
Kesan : tampak mastoiditis chronis bilateral yang disertai infiltrasi intracranial pada sisi kiri berupa
formasi dua fokus abses dan menekan ventrikel IV serta mengakibatkan ventriculomegaly.
1.6 Resume
Pasien Nn.A datang ke RS.Persahabatan dengan keluhan nyeri kepala hebat, dengan
skala nyeri 7, keluhan dirasakan terus menerus. Sudah diberi obat dari RS.Pondok Kopi
namun keluhan tidak juga menghilang. Selain nyeri kepala pasien juga mengeluhkan adanya
cairan yang keluar dari telinga kiri dan bertambah berat sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan
mual (+), muntah (+) isi makanan apa yang dimakan. Pendengaran telinga kiri dirasakan
berkurang dalam beberapa waktu ini.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah :
110/70 mmHg, Nadi : 84x /menit, pernafasan : 20x/menit, suhu : 36,4 C. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan adanya sekret di telinga kiri disertai adanya penurunan
pendengaran di telinga kiri. Dari pemeriksaan rangsangan meningeal didapatkan adanya kaku
kuduk yang positif.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan adanya penurunan kadar natrium, hasil tes
HIV didapatkan non reaktif. Dari hasil rontgen mastoid didapatkan kesan mastoiditis. Dari
hasil CT Scan mastoid didapatkan hasil mastoiditis bilateral dengan cholesteatoma kanan.
Hasil CT Scan kepala non kontras yaitu edema serebri dengan hidrosefalus, suspek
mastoiditis dan ensefalitis. Dan hasil dari CT Scan kontras yaitu tampak mastoiditis chronis
bilateral yang disertai infiltrasi intracranial pada sisi kiri berupa formasi dua fokus abses dan
menekan ventrikel IV serta mengakibatkan ventriculomegaly.
1.7 Diagnosis
1.8 Penatalaksanaan
2.2 Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi
pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit
jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis
media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp,
status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial. Patogenesis abses otak
tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini
telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi,
yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di
negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk
golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (life threatening
infection).
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-
laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu
sekitar 20-50 tahun.
Pembagian otak:
1. Prosencephalon - Otak depan
2. Mesencephalon - Otak tengah
o Diencephalon = thalamus, hypothalamus
o Telencephalon= korteks serebri, ganglia basalis, corpus striatum
3. Rhombencephalon - Otak belakang
o Metencephalon= pons, cerebellum
o Myelencephalon= medulla oblongata
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan laboratorium
disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi
neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai
riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran,
imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.2,7
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental,
derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda
rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.2
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun
kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.2
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap
darah.2,7. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang
normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa
dalam batas normal atau sedikit berkurang.2,7,12 kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan
ventrikel.2,7
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula
menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat
diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi
abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta
dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses.2,7,13 Pnemoensefalografi penting terutama
untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di
hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan
yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop
tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang
hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns.
CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan
abses.2,13 Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan
diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.
2.9 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi2,3,4,9
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan
antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya
abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin
generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan
kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan
sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan
ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi akibat trauma
penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau
vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna
meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus
dan streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi
akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses
yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan vancomycin dan
ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat
digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin.
Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat
digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi
aminoglikosida. Pada pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang
berspektrum luas dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
Drug Dose Frekwensi dan rute
Cefotaxime (Claforan) 50- 2-3 kali per hari,
100 mg/KgBBt/Hari
IV
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,
50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,
35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,
2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat
mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul
abses.Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko
potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone
setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya tekanan
intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift
pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat
bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari
XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak
dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk
mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial
dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi
merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan
stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa
dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan
eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small
deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara
penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam
mengurangi risiko kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat proses
desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses
itu sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan
lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan
secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik
dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini
dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi.
Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam
abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang
berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat
pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada
organisme dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6
minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap
korteks.Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus
(ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan
neurologis, EEG dan neuroimaging). 3
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang
dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan
perkembangan klinis penderita selanjutnya.
2.10 Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa Abses otak
2.11 Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang, dengan
perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat, serta manajemen
pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan
waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-
Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis,
kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah pembelajaran
lainnya.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat
didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel.
Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50% penderita.3,4
BAB III
Pembahasan
Pada kasus Nn.A keluhan yang dirasakan adalah nyeri kepala atau dikenal dengan
cephalgia, dimana cephalgia itu sendiri terbagi menjadi cephalgia primer ( cluster, tension,
migraine) dan nyeri kepala sekunder atau nyeri kepala yang disebabkan penyakit lainnya.
Pasien ini memiliki riwayat adanya keluar cairan dari telinga hal ini dapat dipikirkan sebagai
sebuah tanda bahwa adanya infeksi di bagian telinga nya. karena keluar cairan sudah
berulang sejak kecil maka dapat dikatakan bahwa kejadian ini merupakan sesuatu yang
kronis. Dan dapat dipikirkan bahwa nyeri kepala yang dialami pasien merupakan nyeri kepala
sekunder. Namun untuk memastikan nya perlu disingkirkan terlebih dahulu kemungkinan
dari nyeri kepala primernya.
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS.Pondok Kopi dengan bekal hasi Foto
Rontgen mastoid yang dalam hasilnya disebutkan bahwa terdapat adanya mastoiditis.
Mastoiditis adalah peradangan pada tulang mastoid yang biasanya terjadi akibat komplikasi
dari perluasan infeksi OMSK (otitis media supuratif Kronik). Maka dapat disimpulkan hal ini
sesuai dengan keluhan pasien yang mengatakan adanya cairan yang keluar dari telinga
dimana diduga telah terjadi perforasi pada bagian membran timpani sehingga terjadi
keluarnya cairan tersebut, dan karena membran timpani mengalami perforasi maka fungsi
pendengaran terganggu akibat terganggu nya getaran suara yang seharusnya dihasilkan
membran timpani.
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah
normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur sekitarnya. Pertahanan
pertama ialah mukosa kavum timpani bila sawar ini ditembus maka ada sawar kedua yaitu
dinding kavum timpani dan sel mastoid. Komplikasi terjadi karena perluasan radang infeksi
melalui tulang. Istilah mastoiditis digunakan ketika infeksi menyebar dari mukosa sampai
melibatkan dinding tulang sel-sel mastoid. Faktor perluasan infeksi dipengaruhi oleh
virulensi kuman, kerentanan tubuh penderita (karena nya di lakukan tes HIV ), pneumatisasi
mastoid dan kolesteatoma. Streptokokus B hemolitikus merupakan penyebab tersering.
Pada pasien ini mastoiditis tidak tertangani sehingga terjadi tekanan sekret yang
menyebabkan dekalsifikasi tulang, iskemik serta terputusnya trabekula antarsel. Penjebolan
sekret dapat terjadi ke ruang instrakranial, tulang temporal serta struktur lain sekitarnya. Ada
beberapa mekanisme terjadinya komplikasi ke intratemporal dan intrakranial yaitu melalui
erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis yang nantinya dapat menimbulkan
meningitis, abses otak, hidrosefalus otikus, empiema subdural, abses epidural dan
pneumocephalus.
Dari pemeriksaan rangsang meningeal didapatkan hasil kaku kuduk yang positif
sehingga dapat diduga bahwa telah terjadi perluasan infeksi sampai ke bagian otak
(meningitis atau ensefalitis). Dari hasil CT Scan kepala didapatkan hasil : tampak mastoiditis
chronis bilateral yang disertai infiltrasi intracranial pada sisi kiri berupa formasi dua fokus
abses dan menekan ventrikel IV serta mengakibatkan ventriculomegaly. Hal ini menegakan
diagnosis bahwa terdapat abses pada cerebral.
Untuk tindakan lebih lanjutnya dikonsultasi kan kepada spesialis bedah saraf untuk
dilakukan kraniotomi untuk menanggulangi abses dan juga edema serebri nya sehingga
desakan ruang bisa berkurang, serta konsultasi kepada spesialis THT untuk penatalaksanaan
OMSK dan mastoiditis lebih lanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Robert H. A. Haslam. Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA: WB
Saunders. 2004. p: 2047-2048.
2. Robert H. A. Haslam. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA:
WB Saunders. 2004. p:1973-1982.
4. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th ed. USA:McGraw-
Hill Inc, 1993:612-616.
6. Edwin G. Fischer, James E. McLennan, Yamato Suzuki. 1981. Cerebral Abscess in Children.
Am J Dis Child. 1981;135(8):746-749.
7. Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptoms, and Prognosis of
Intracerebral Abscess. American Academy of Pediatrics.
Availablathttp://aapgrandrounds.aappublications.org accessed at 3 May 2011.
9. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.