Вы находитесь на странице: 1из 25

LAPORAN KASUS

Abses Otak

Diajukan guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh

Program Pendidikan Profesi Dokter

Pembimbing :

dr.Ashwin Sp.S

Disusun Oleh :

Indra Pramana Putra 142.0221.185

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAF

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN

PERIODE OKTOBER NOVEMBER 2016


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Dalam proses
pembuatan dan penulisan laporan ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai
pihak.
Dalam laporan ini tentunya masih terdapat banyak kekurangan baik secara isi maupun
penulisan, oleh karena itu sebelumnya dengan kerendahan hati penulis memohon kritik
beserta saran apabila didalam laporan kasus ini terdapat suatu hal yang kurang tepat.
Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, penulis
mohon maaf apabila ada penulisan kata, gelar, atau istilah yang kurang berkenan. Akhir kata,
terima kasih atas perhatiannya.

Jakarta, November 2016

(Indra Pramana Putra)


BAB I
LAPORAN KASUS

1.I Identitas Pasien


Nama : Nn.A.L
Umur : 18 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Cakung, Jakarta Timur
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No.RM : 02-27-25-81
Tanggal datang : 29 Oktober 2016

1.2 Anamnesa
Keluhan utama : sakit kepala hebat
Keluhan tambahan : keluar cairan melalui telinga
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nn.A mengeluhkan sakit kepala yang hebat, sakit dirasakan sejak beberapa hari yang
lalu, nyeri dirasakan terus-menerus. Sakit kepala dirasakan seperti nyut-nyutan, tidak seperti
berputar. Jika diberikan skala nyeri 1-10 pasien mengatakan skala nya 7. Pasien juga
mengeluhkan badan nya terasa lemas dan nafsu makan menjadi berkurang.
Pasien memiliki riwayat keluarnya cairan dari telinga sejak kecil dan mulai berulang
semenjak 2 minggu belakangan ini disertai dengan nyeri kepala hebat. 2 hari yang lalu keluar
cairan dari telinga kiri lebih banyak disertai sakit kepala hebat. Cairan yang keluar dari
telinga kental , pendengaran dirasakan sedikit menurun dibagian telinga yang mengeluarkan
cairan. Keluhan demam ada dua minggu yang lalu, namun saat ini sudah tidak demam. Pasien
mengeluhkan adanya mual dan muntah. Muntah isi makanan yang dimakan, darah dan lendir
tidak ada. Pasien masih dapat makan secara biasa, buang air besar dan buang air kecil tidak
ada keluhan. Keluhan batuk dan pilek disangkal, gangguan keseimbangan disangkal. Nyeri
telan tidak ada.
Riwayat pengobatan hanya melakukan rontgen mastoid di RS.Islam Pondok Kopi lalu
diberikan metronidazol, ciprofloxacin, omeprazol dan rhinofed sebelum akhirnya dirujuk ke
RS.Persahabatan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat alergi disangkal.
- Riwayat trauma disangkal.
- Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit/ keluhan serupa.
- Riwayat DM disangkal
- Terdapat riwayat hipertensi di keluarga

Riwayat kebiasaan :
Makan teratur, jarang melakukan olahraga. Pasien jarang membersihkan telinga.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis , GCS E4M6V5
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Suhu : 36,4C
Pernapasan : 20x/menit
BB : 46 kg
TB : 162cm

Kepala : normosefali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah


dicabut, alopesia (-), nyeri tekan (-)

Mata :konjungtiva pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor (+/+), reflek
cahaya langsung dan tidak langsung (+/+),konjungtiva hiperemis (-/-)
Telinga :normotia,bentuk dan ukuran dalam batas normal, benjolan (-/-), sekret (-/+) ,
membran timpani kiri tidak terlihat jelas ,membran timpani kanan tampak
intake.
Hidung :deformitas septum nasi (-/-), mukosa hiperemis (-/-), sekret (-/-), darah (-/-),
benjolan (-/-).
Mulut :bibir kering (-),pucat (-), sianosis (-),lidah kotor (-), atrofi (-), tremor (),faring
hiperemis (-),tonsil T1/T1.
Leher :JVP 5+2 cmH20.Trakea teraba terletak ditengah, deviasi (-),nyeri tekan (-),
thyroid bruit (-); pembesaran kelenjar getah bening (-).

Thorax :
Inspeksi : Bentuk rongga dada normal, simetris saat statis dan dinamis,
retraksi intercostae (-/-)
Palpasi : Taktil fremitus kedua paru simetris, chest expansion simetris,
nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

JANTUNG :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V dua jari di lateral linea
midclavicularis sinistra,kuat angkat (+), thrill (-).
Perkusi :
o Batas jantung kanan : ICS V linea sternalis dextra.
o Batas jantung kiri : ICS V medial linea midclavikularis sinistra.
o Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra.
o Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal reguler, murmur (-), Gallop (-).

Abdomen :
Inspeksi : abdomen datar.
Auskultasi : bising usus (+) 7x/menit.
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : dalam batas normal
Extremitas : superior inferior
ka / ki ka/ ki
Edem (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Pucat (-/-) (-/-)
Ikterik (-/-) (-/-)
Capillary refil time <2 detik <2 detik

1.4 Pemeriksaan Neurologis

a. Rangsang Meningeal :

Kaku kuduk : (+)


Kernig sign : (-)
Laseque Sign : (-)
Brudzinsky1 : (-)
Brudzinsky2 : (-)

b. Nervus Cranialis :

N.1 Daya penghidu normosomia (normal)


N.2 Pengenalan warna : tidak dilakukan
Ketajaman penglihatan : kesan 6/6 dan 6/6
Lapang pandang : Baik/Baik
N.3,4 & 6 ptosis, strabismus, nistagmus, exoftalmus : -/-
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tak langsung : +/+
Gerakan bola mata : kanan kiri

N.5 Menggigit dan membuka mulut : +/+


Raba dan suhu : baik/baik
N.7 Kerutan dahi,kedipan mata, meringis, sudut mulut : simetris/simetris
N.8 Mendengar gesekan jari tangan : +/ berkurang
Tes garpu tala : tidak dilakukan
N.9 Faring : simetris/simetris
Sikap bahu dan angkat bahu : simetris/simetris
N.12 menjulurkan lidah : ditengah, tidak ada tremor dan deviasi
C. Refleks Fisiologis D. Refleks Patologis
Refleks biceps : +/+ Babinski : -/-
Refleks triceps : +/+ Chaddock : -/-
Refleks patella : +/+ Schaffer : -/-
Refleks achilles: +/+ Oppenheim : -/-
Gordon : -/-

E. pemeriksaan motorik
5555 5555
5555 5555

1.5 Hasil Laboratorium & Pemeriksaan Penunjang

Jenis Pemeriksaan Hasil (29/10/2016) Nilai Rujukan


Hb 12.9 12-16 g/dL
Ht 37.1 37-47 %
Leukosit 10.02 4800-10800 / mcL
Eritrosit 4.64 4.3 6.0 juta/mcL
Trombosit 372000 150.000-400.000/ mcL
MCV 80.0 80-96 fl
MCH 27.8 27-32 pg
MCHC 37.2 32-36 g/dL

KOAGULASI 02/11/2016
PT (protrombin time)
Kontrol 10.9 detik

Pasien 11.4 9.3 - 11.8 detik

APTT
Kontrol 34.2 detik

Pasien 32.7 31 - 47 detik

Kadar fibrinogen 488.4 136.0-384.0 mg/dl


dDimer Kuantitatif 2100 0-500m/L

Hemostasis

Masa perdarahan IVY 4.00 1.00-5.00 menit

Masa pembekuan Lee & White 8.00 10-15 menit

Analisa Gas Darah

pH 7.427 7.350 7.450

pCO2 32.50 35.00- 45.00 mmHg

pO2 140.30 75.00 100.00 mmHg

HCO3 21.70 21.00 25.00

BE -2.90 -2.50 - +2.50

Saturasi O2 99.70 95.00 98.00

Tes HIV

Kesimpulan Non reaktif

Kimia klinik

Ureum 19 18 45mg/dl

Kreatinin 0.4 0.5 1.2 mg/dl

GDS 127 70 200 mg/dl

Elektrolit

Na 132 135 145 mEq/L

K 3.50 3.50 5.00 mEq/L

Cl 99.0 98.0 107.0 mEq/L

Rontgen Mastoid : Kesan : tanda mastoiditis bilateral


Hasil CT Scan Mastoid

kesan :

mastoiditis bilateral dengan


cholesteatoma kanan, tulang pendengaran
kanan maleus dan inkus tidak
tervisualisasi lagi, telinga kiri tampak baik
CT Scan Kepala

Kesan :

edema serebri dengan hidrosefalus,


suspek mastoiditis dan ensefalitis

Saran : CT scan dengan kontras

CT Scan + Kontras

Kesan : tampak mastoiditis chronis bilateral yang disertai infiltrasi intracranial pada sisi kiri berupa
formasi dua fokus abses dan menekan ventrikel IV serta mengakibatkan ventriculomegaly.
1.6 Resume

Pasien Nn.A datang ke RS.Persahabatan dengan keluhan nyeri kepala hebat, dengan
skala nyeri 7, keluhan dirasakan terus menerus. Sudah diberi obat dari RS.Pondok Kopi
namun keluhan tidak juga menghilang. Selain nyeri kepala pasien juga mengeluhkan adanya
cairan yang keluar dari telinga kiri dan bertambah berat sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan
mual (+), muntah (+) isi makanan apa yang dimakan. Pendengaran telinga kiri dirasakan
berkurang dalam beberapa waktu ini.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah :
110/70 mmHg, Nadi : 84x /menit, pernafasan : 20x/menit, suhu : 36,4 C. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan adanya sekret di telinga kiri disertai adanya penurunan
pendengaran di telinga kiri. Dari pemeriksaan rangsangan meningeal didapatkan adanya kaku
kuduk yang positif.

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan adanya penurunan kadar natrium, hasil tes
HIV didapatkan non reaktif. Dari hasil rontgen mastoid didapatkan kesan mastoiditis. Dari
hasil CT Scan mastoid didapatkan hasil mastoiditis bilateral dengan cholesteatoma kanan.
Hasil CT Scan kepala non kontras yaitu edema serebri dengan hidrosefalus, suspek
mastoiditis dan ensefalitis. Dan hasil dari CT Scan kontras yaitu tampak mastoiditis chronis
bilateral yang disertai infiltrasi intracranial pada sisi kiri berupa formasi dua fokus abses dan
menekan ventrikel IV serta mengakibatkan ventriculomegaly.

1.7 Diagnosis

Mastoiditis kronik bilateral


Cephalgia dengan hidrosefalus e.c susp abses dd ensefalitis

1.8 Penatalaksanaan

Infus NaCl 0,9%/12 jam


Antibiotik Ceftriaxon IV 2x 2mg
Dexametason 3x1
Tramadol 3x1
Ketorolac 3x1
Ranitidin 2x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara
jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa.1,2

2.2 Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi
pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit
jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis
media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp,
status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial. Patogenesis abses otak
tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini
telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi,
yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di
negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk
golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (life threatening
infection).
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-
laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu
sekitar 20-50 tahun.

2.3 Anatomi Otak 8


Anatomi otak adalah struktur yang kompleks dan rumit karena fungsi. Organ yang
menakjubkan ini berfungsi sebagai pusat kendali dengan menerima, menafsirkan, serta untuk
mengarahkan informasi sensorik di seluruh tubuh. Ada tiga divisi utama otak, yaitu otak
depan, otak tengah, dan otak belakang.
Gambar 2.1. Anatomi otak (Sumber: www. biology.about.com)

Pembagian otak:
1. Prosencephalon - Otak depan
2. Mesencephalon - Otak tengah
o Diencephalon = thalamus, hypothalamus
o Telencephalon= korteks serebri, ganglia basalis, corpus striatum
3. Rhombencephalon - Otak belakang
o Metencephalon= pons, cerebellum
o Myelencephalon= medulla oblongata

2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah, sinusitis
(paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).3,4
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik
(empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut
dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi
putih dan abu dari jaringan otak).6 Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak
absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama
lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak.3,6
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS,
penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang
dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka
tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan
sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus otak.
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis melalui
klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal,
terletak superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga
menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis
dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat
menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses
pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis.
Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti
kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat
menyebar ke dalam serebelum.
Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus, streptococci (viridians, pneumococci,
microaerophilic), bakteri anaerob (bakteri kokus gram
positif, Bacteroides spp, Fusobacteriumspp, Prevotella spp, Actinomyces spp,
dan Clostridium spp), basil aerob gram-negatif (enteric rods, Proteus spp, Pseudomonas
aeruginosa, Citrobacter diversus, dan Haemophilus spp). Infeksi parasit (Schistosomiasis,
Amoeba) dan fungus (Actinomycosis, Candida albicans) dapat pula menimbulkan abses,
tetapi hal ini jarang terjadi.
Factor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau factor lingkungan.
1. faktor tuan rumah (host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan umum
yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang
adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna.
2. faktor kuman
Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan meningitis bacterial
akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan faktor pertahanan
host. Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan
saraf pusat jika terdapat ganggguan pada system limfoid atau retikuloendotelial.
3. faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke dalam tubuh
melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.9
2.5 Patofisiologi
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di
sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti
trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat
pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea;
sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada
lobus tertentu.2,7
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan
infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai
bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan
pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan
makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi
lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang
konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa
ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan
plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah
dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat
ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena
pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang,
makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi
reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar
maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast
meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum
mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh
karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu.
Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke
dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul
kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis sebagai
berikut:
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel
sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.7
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi
meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi
pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis
dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.2,7

2.6 Respon Imunologik pada Abses Otak. 9


Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan saraf
pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke
otak perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral merupakan
penyebaran ke otak secara langsung.
Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang dating melalui lintasan hematogen,
yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier. Pada toksemia dan
septicemia, sawar darah otak terusak dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi
jaringan otak jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat
cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung
pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan abses sereebri/ abses otak, kecuali
apabila jumlah kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan
nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak sangat protektif,
namun ia menghambat penetrasi fagosit, antibody dan antibiotik. Jaringan otak tidak
memiliki fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk
pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses infeksi di luar otak,
infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen dan destruktif.

2.7 Manifestasi Klinis


Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi
seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa
muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas
berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan
gejala neurologik fokal.2,7
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik
seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang menurun
menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke
dalam kavum ventrikel.2,5,7
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap
didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit.
Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses
ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga
gejala fokal adalah gejala sensorimotorik.7 Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu
hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan
nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat
fatal.

2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan laboratorium
disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi
neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai
riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran,
imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.2,7
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental,
derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda
rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.2
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun
kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.2
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap
darah.2,7. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang
normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa
dalam batas normal atau sedikit berkurang.2,7,12 kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan
ventrikel.2,7
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula
menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat
diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi
abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta
dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses.2,7,13 Pnemoensefalografi penting terutama
untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di
hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan
yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop
tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang
hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns.
CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan
abses.2,13 Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan
diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.

Gambar 2.2. Early cerebritis pada CT-Scan (Sumber: http://emedicine.medscape.com)

Gambaran CT-scan pada abses :


Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona
central inflamasi.
Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada
batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat gambaran ring
enhancement.
Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses)
yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik,
dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang
perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark,
metastasis, hematom yang diserap dan granuloma.2,3,7
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari
CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara
lain : umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform,
diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul
subkortikal. Hal ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan
mengapa daughter abscess biasanya berkembang di medial.
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering
dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah
perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor,
ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.2,3,7,8

2.9 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi2,3,4,9
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan
antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya
abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin
generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan
kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan
sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan
ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi akibat trauma
penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau
vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna
meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus
dan streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi
akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses
yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan vancomycin dan
ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat
digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin.
Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat
digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi
aminoglikosida. Pada pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang
berspektrum luas dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
Drug Dose Frekwensi dan rute
Cefotaxime (Claforan) 50- 2-3 kali per hari,
100 mg/KgBBt/Hari
IV
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,

50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,

35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,

2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,

15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat
mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul
abses.Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko
potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone
setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya tekanan
intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift
pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat
bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari
XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak
dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk
mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial
dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi
merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan
stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa
dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan
eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small
deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara
penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam
mengurangi risiko kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat proses
desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses
itu sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan
lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan
secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik
dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini
dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi.
Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam
abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang
berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat
pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada
organisme dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6
minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap
korteks.Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus
(ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan
neurologis, EEG dan neuroimaging). 3
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang
dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan
perkembangan klinis penderita selanjutnya.

2.10 Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa Abses otak

2.11 Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang, dengan
perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat, serta manajemen
pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan
waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-
Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis,
kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah pembelajaran
lainnya.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat
didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel.
Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50% penderita.3,4
BAB III

Pembahasan

Pada kasus Nn.A keluhan yang dirasakan adalah nyeri kepala atau dikenal dengan
cephalgia, dimana cephalgia itu sendiri terbagi menjadi cephalgia primer ( cluster, tension,
migraine) dan nyeri kepala sekunder atau nyeri kepala yang disebabkan penyakit lainnya.
Pasien ini memiliki riwayat adanya keluar cairan dari telinga hal ini dapat dipikirkan sebagai
sebuah tanda bahwa adanya infeksi di bagian telinga nya. karena keluar cairan sudah
berulang sejak kecil maka dapat dikatakan bahwa kejadian ini merupakan sesuatu yang
kronis. Dan dapat dipikirkan bahwa nyeri kepala yang dialami pasien merupakan nyeri kepala
sekunder. Namun untuk memastikan nya perlu disingkirkan terlebih dahulu kemungkinan
dari nyeri kepala primernya.

Pasien merupakan pasien rujukan dari RS.Pondok Kopi dengan bekal hasi Foto
Rontgen mastoid yang dalam hasilnya disebutkan bahwa terdapat adanya mastoiditis.
Mastoiditis adalah peradangan pada tulang mastoid yang biasanya terjadi akibat komplikasi
dari perluasan infeksi OMSK (otitis media supuratif Kronik). Maka dapat disimpulkan hal ini
sesuai dengan keluhan pasien yang mengatakan adanya cairan yang keluar dari telinga
dimana diduga telah terjadi perforasi pada bagian membran timpani sehingga terjadi
keluarnya cairan tersebut, dan karena membran timpani mengalami perforasi maka fungsi
pendengaran terganggu akibat terganggu nya getaran suara yang seharusnya dihasilkan
membran timpani.

Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah
normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur sekitarnya. Pertahanan
pertama ialah mukosa kavum timpani bila sawar ini ditembus maka ada sawar kedua yaitu
dinding kavum timpani dan sel mastoid. Komplikasi terjadi karena perluasan radang infeksi
melalui tulang. Istilah mastoiditis digunakan ketika infeksi menyebar dari mukosa sampai
melibatkan dinding tulang sel-sel mastoid. Faktor perluasan infeksi dipengaruhi oleh
virulensi kuman, kerentanan tubuh penderita (karena nya di lakukan tes HIV ), pneumatisasi
mastoid dan kolesteatoma. Streptokokus B hemolitikus merupakan penyebab tersering.

Pada pasien ini mastoiditis tidak tertangani sehingga terjadi tekanan sekret yang
menyebabkan dekalsifikasi tulang, iskemik serta terputusnya trabekula antarsel. Penjebolan
sekret dapat terjadi ke ruang instrakranial, tulang temporal serta struktur lain sekitarnya. Ada
beberapa mekanisme terjadinya komplikasi ke intratemporal dan intrakranial yaitu melalui
erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis yang nantinya dapat menimbulkan
meningitis, abses otak, hidrosefalus otikus, empiema subdural, abses epidural dan
pneumocephalus.

Dari pemeriksaan rangsang meningeal didapatkan hasil kaku kuduk yang positif
sehingga dapat diduga bahwa telah terjadi perluasan infeksi sampai ke bagian otak
(meningitis atau ensefalitis). Dari hasil CT Scan kepala didapatkan hasil : tampak mastoiditis
chronis bilateral yang disertai infiltrasi intracranial pada sisi kiri berupa formasi dua fokus
abses dan menekan ventrikel IV serta mengakibatkan ventriculomegaly. Hal ini menegakan
diagnosis bahwa terdapat abses pada cerebral.

Adanya abses pada intracranial menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan


intracranial yang dapat menyebabkan tertekan nya bagian otak sekitar sehingga timbulah
keluhan cephalgia. Penatalaksanaan awal yang diberikan adalah antibiotik untuk mengatasi
infeksi nya dan mencegah perluasan infeksi. Pemberian kortikosteroid untuk mengatasi
terjadinya peningkatan tekanan intracranial, terapi ranitidin untuk keluhan tambahan nya
seperti mual dan muntahnya. Pemberian ketorolac dan tramadol diberikan untuk mengaasi
nyeri yang dialami pasien karena pasien mengatakan nyeri sekali.

Untuk tindakan lebih lanjutnya dikonsultasi kan kepada spesialis bedah saraf untuk
dilakukan kraniotomi untuk menanggulangi abses dan juga edema serebri nya sehingga
desakan ruang bisa berkurang, serta konsultasi kepada spesialis THT untuk penatalaksanaan
OMSK dan mastoiditis lebih lanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Robert H. A. Haslam. Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA: WB
Saunders. 2004. p: 2047-2048.

2. Robert H. A. Haslam. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA:
WB Saunders. 2004. p:1973-1982.

3. Dorlan, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC

4. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th ed. USA:McGraw-
Hill Inc, 1993:612-616.

5. Margaret B. Rennels, Celeste L. Woodward, Walker L. Robinson, Maria T.


Gumbinas.1983. Medical Cure of Apparent Brain Abscesses. Pediatrics 1983;72;220-224.

6. Edwin G. Fischer, James E. McLennan, Yamato Suzuki. 1981. Cerebral Abscess in Children.
Am J Dis Child. 1981;135(8):746-749.

7. Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptoms, and Prognosis of
Intracerebral Abscess. American Academy of Pediatrics.
Availablathttp://aapgrandrounds.aappublications.org accessed at 3 May 2011.

8. Bailey.R, 2011, Anatomy of the Brain, Available


at http://biology.about.com/od/humananatomybiology/a/anatomybrain.htm accessed 16 May
2011

9. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Вам также может понравиться